Halaman:Taman Siswa.pdf/76

Halaman ini tervalidasi

Kristus untuk mengerti adjaran Kristus dan tjontohnja, djuga tidak historisitet Muhammad. Mereka semuanja hidup dalam kita sendiri. Sebab itu untuk kami hanjalah berlaku kedjawen dan agama disampingnja ialah pakaian: Seorang Djawa sebenarnja tidak menanjakan „agama mana kauanut”, tetapi „kaubawa?”

Pertjakapan ini nistjajalah tidak ada gunanja. Tetapi keluarbiasaan Said untuk menghargai filsafat-hidup Nietzsche sebagai orang Djawa tidaklah begitu aneh. Bukankah kedjawen dengan kepertjajaannja kepada rentjana alam jang teratur adalah seakan-akan filsafat-hidup sendiri jang hanja dengan mengambil kepertjajaan sebagai dasar (dan apakah jang lebih sesuai dalam suatu masjarakat, dimana kerdja selalu hanja mempunjai tjorak tambahan atas keluapan alam?) dapat sampai kepada kepertjajaan akan hidup dan akan kemungkinan tertjapainja kesempurnaan? Dan disinilah filsafat-hidup itu mendjadi idealismus jang paling murni dan kita sampai kepada filsuf lain dari Eropah jang dianggap Said sebagai gurunja: „Apa jang ditulis oleh prof. Bierens de Haan, adalah mendjelmakan kalimat demi kalimat apa jang saja rasa sebagai orang Djawa.”

Dalam garis inilah djuga hendaknja ditjari, kalau kita hendak mengerti utjapan Dewantoro, bahwa pengertian kodrat alam, (kodrat alam jang merangkum seluruh hidup kita dan jang, karena watak illahi alam, membawa kita kepada kebaikan), mendjauhkan kita dari tiap² ketidaksenangan jang kesal (dan hal ini membuat Armijn Pane gusar), djuga penggabungan kodrat, jang dirumuskan dalam sila Taman Siswa jang pertama, dengan kemerdekaan jang disebutkan dalam sila ketiga atau „hak mengatur diri seseorang” (tentang pertentangan batin dalam azas „nerimo” ia diserang oleh prof. J. J. van Rijekevorsel). Untuk itu ada baiknja diingat, bahwa seseorang jang hidup dalam sikap „nerimo", artinja dalam kepertjajaan dan penjerahan, haruslah merasa kemerdekaan batin jang kuat. Djadi adalah djuga senjum simpul Said jang mengatakan, bahwa „nerimo” tentulah bukan berarti, bahwa kita duduk begitu sadja dengan tangan lemas tergantung; tetapi kegembiraannja jang kentara itu, jang membuatnja demikian berbeda dari portret² lukisan jang telah kita sebutkan. Ia djuga telah mengenal ketidaktentuan, lebih lama dan lebih dalam dari beberapa orang lain, tetapi ia sekarang gembira tentang itu dan ia ingin, bahwa tiap² orang pada waktunja akan mengalami waktu jang demikian, hal itu akan membuktikan pengalaman jang lebih dalam dari jang diperkenankan kedangkalan umum. Pendapatnja bahwa krisis djiwa akan sehat pada waktunja, sebenarnja bertentangan dengan titik permulaan tjita² pedagogis Dewantoro, tetapi menjatakan kepertjajaan kepada alam jang meluap dengan zaman kemudaan, didjelmakan dengan tidak terkutik dalam pembatasan „pada waktunja”.

Revolusioner jang suka tertawa ini biasanja melunakkan kemarahan murid²nja terhadap pendjadjah (dahulu) tanah air mereka dengan kritik: „Bukankah kita djuga bersalah dalam pendjadjahan kita itu?” Sakit hati tidaklah dikenal Said, untuk itu djiwanja, jang, diberi makan oleh pengadjaran dan batjaan, terlalu dididik dengan sutji. Perdjuangan jang dahulu, sebenarnja telah lalu dari padanja dengan tidak meninggalkan solidaritetnja dengan bangsanja. „Dari orang² Belanda tidak saja sangka, bahwa demikian dalam mereka runtuh, tetapi bangsa kami sendiripun melakukan kekedjaman. Demikianlah halnja dalam pertempuran.”

67