Said adalah type seorang humanist jang aktif. Apabila ia ingin tetap menghidupkan sifat² kebudajaan sendiri jang telah ditjapainja dengan pengadjaran, adalah itu karena tjintanja untuk nilai² batin ini dan bukanlah karena dengan segala daja upaja menggenggam kepunjaan sendiri dalam overkompensasi batin, jang lahir dari perasaan kurang (minderwaardigheidscomplex). Barang² kebudajaan jang dianggapnja berharga dan jang untuk itu dapat dididik anak² Indonesia, dia terima dengan tidak menanjakan asalnja. Tetapi untuk mengoper unsur² ini memang diperlukan kematangan djiwa dan dengan melepaskan kepunjaan djiwa sendiri tidaklah ditumbuhkan kematangan ini. Kita melihat djuga, bahwa orang banjak dalam kota², jang oleh tekanan ekonomi telah lama kehilangan kepertjajaan kepada jang lama dan berusaha dengan radjin meniru gaja „barat”, memperlihatkan dalam hal ini kepekaan istimewa untuk segala unsur² Amerikanja jang demikian dangkalnja berakar.
Apabila ia menganggap djiwa murid²nja tidak tahan kepada unsur² ini, Said memperingatkan mereka terhadap itu. Demikianlah misalnja ia memperingatkan mereka terhadap dansa modern. „Apakah jang kamu kehendaki sebenarnja, sedangkan dibioskop belum dapat diperlihatkan tjium dilajar putih dengan tidak kedengaran siut².” Ia djuga duduk dalam panitya sensur pilem dan ia melihat, bahwa panitya inipun tidaklah berdaja. Apabila seorang anak dalam kelas dengan mengunjah-ngunjah karet-gula ingin selalu terus memperlihatkan air muka jang lain, ia dapat melarangnja, tetapi diluar kelas hal itu tidak mungkin, karena ia tidak dapat memakai „mengganggu dia sendiri” sebagai alasan. Sementara itu ia sendiri adalah diluar pekerdjaannja hampir seorang perokok jang tak putus²nja mengepulkan asap keatas seperti tjerobong paberik.
„Apa jang hendak kami oper tidaklah dapat ditentukan lebih dahulu,” kata Said dengan tenang dan rasionil (tetapi bukan rasionalistis). „Sebab apabila ternjata ada sesuatu jang dapat kami terima, maka kami telah mengopernja.” Untuk memungkinkan pertjobaan ini atas rasa hidup sendiri, maka ia barangkali setudju dengan tingkat kebebasan jang lebih besar dalam kemungkinan penjintuhan dengan jang asing (jang tidak dipunjai), lebih besar dari jang dikehendaki Dewantoro. Tetapi persetudjuan kebudajaan dengan Belanda seperti jang ditetapkan dalam K.M.B. dan jang ditolak oleh gerakan Taman Siswa dalam konggresnja bulan Maret '50, dianggap Said djuga sebagai keberatan: dalam segala-galanja haruslah kebebasan tetap mendjadi sjarat, djuga dalam kerdja-sama kebudajaan jang diharapkannja dengan segala senang hati.
„Ketakutan kepada kembalinja pendjadjahan Belanda, tetapi dalam arti kebudajaan, tidaklah perlu dirasai oleh bangsa Indonesia lagi, lebih baik ia harus awas terhadap penetrasi kebudajaan Amerika, jang lebih kuat dan lebih merangkum itu.” Pendapat ini diberikannja belakangan dalam suatu interpiu dengan korresponden kantor berita „Antara”, dimana ia mendjelaskan perlunja pemerintah menetapkan sekarang dengan djelas, apakah pengetahuan bahasa Belanda untuk dapat mengikuti pengadjaran tinggi, lebih² dalam fakultet hukum, masih diperlukan atau tidak.
Pada saat ini, sebagai akibat tidak diadjarkannja bahasa itu disekolah-sekolah S.M.A., terutama mahasiswa² muda, mempunjai kesulitan besar dalam mengikuti kuliah² dan dalam mempeladjari buku² jang diwadjibkan, sehingga kebanjakan dari
68