Tiba-tiba Renny tersenjum, dan dengan lemah lembut disapanja saja:
„Maaf, tuan, kalau tidak salah, pernah saja kenal tuan. Tapi entah dimana, saja kira. . . . . . . .saja kira. . . . . . . .”
Saja hanja membisu. Hati tak tahan rasanja menghadapi dia jang tiba-tiba mendjadi gugup. Mungkin njata sudah muka saja baginja.
„Betul, nona Renny!” udjar Haris dengan hormat dan tersenjum :
„Dia Niko . . . . . . . .!”
Entah apa jang menjebabkan dia begitu putjat mukanja, kemudian berganti djadi merah hingga menambah ketjantikannja.
„Niko! Engkaukah itu, Niko?”
Tiba-tiba dia melompati saja seperti harimau menerkam dan merangkul saja erat-erat. Malu sekali ketika pandangan saja bertemu dengan pandangan Haris. Tjukup lama hal jang demikian ini. Dengan perlahan-lahan saja lepaskan pelukan Renny dan kami masuk kedalam ruang tamu bersama-sama.
Budjang jang dimarahi Haris tadi berdiri diarah pintu memandangi kami sadja. Pada pikiran saja ada marah padanja, karena kekurangadjarannja berani memandangi tuannja bertemu dengan tamunja. Budjang itu seolah-olah matanja sadja jang berbitjara, karena mulutnja sedikitpun tak membuka.
„Renny,” kata saja sambil mendudukkan dia jang masih menangis:
„Hal itu telah lalu. Masamu telah beralih pula. Kedatanganku ini bukan untuk urusan ini, tetapi pada urusan lain. Tidak Renny”, udjar saja selandjutnja: „Aku kemari untuk urusan dengan kekasihmu jang ditahan. Saudara Iskandar!”
„Niko!”
„Betul, Renny! Mr. Haris inilah jang akan mengurusi hal itu! Dia akan bertindak untuk membebaskan Iskandar dari tuduhan, dengan sjarat, kita harus kerdja sama. Engkau harus menolong kami, Renny!” Diusap airmatanja perlahan².
15