„engkau dan Manuel untuk beberapa hari harus didaerah ini. Engkau harus mentjari-tjari berita, tetapi djangan sampai kentara. Musuh kita awas sekali, apapula setelah diketahui bahwa fihak polisipun mentjari mereka. Tidak hanja dari fihak itu sadja musuh kita, Niko, engkaupun harus awas terhadap polisi. Djangan sampai ditjurigai, meski aku bisa menolongmu kalau tersangkut dengan fihak polisi sadja.” sambungnja pula dengan menarik nafas pandjang dan tersenjum pahit: „Sebab kalau demikian, pekerdjaan kita gagal !”
„Aku menginap didaerah ini ?” tanja saja. Ragu² saja untuk menginap dipelabuhan jang penuh teka-teki ini. Mungkin daerah ini penuh bandit, selundup dan pedagang gelap lainnja jang tak segan² untuk menumpas njawa saingannja. Termasuk kami sebagai musuh nomor satu.
„Tidak, Niko! Engkau dan Manuel boleh pulang tiap hari. Tetapi malam hari harus ada disini. Karena kerdja disini dan kerdjamu djuga, dikerdjakan malam hari! Buka lebar² telingamu, Niko!”
„Dan engkau, Haris?”
„Urusan dalam kota menunggu ! Mungkin agak lama berpisah. Uang jang kau butuhkan bisa kau ambil dirumahmu, dan ini untuk belandja sementara disini!”
Diberinja kami berdua uang duaratus seorang. Kemudian diberikan pada saja sebuah alat potret ketjil merk Leica lengkap dengan penjinarannja, sebuah verre-kijker ketjil dengan tempatnja sekali.
Kedua-duanja kata Haris untuk mentjari djedjak dan bukti. Kemudian dia membajar harga makanan dan terus berangkat dengan Nashnja. Tinggal saja dan Manuel jang masih termangu-mangu. Entah apa jang hendak kami kerdjakan berdua.
Mulailah kerdja kami berdua pada malam itu. Dari sebuah restaurant hingga warung kami masuki. Badju sudah kotor agaknja, karena gatal² rasanja kulit tubuh.
Lampu pelabuhan jang beberapa bagian sadja menerangi djalan, sedang beberapa bagian gelap, terutama disimpangan
28