Salah seorang dari pembeli jg. hadir disana melihatkan saja.
„Ribut apa ?” tanja dia tersenjum dan meneguk kopi panasnja dengan lega tampaknja: „Lihat polisi itu! Dulu tidak ada polisi! Dulu banjak pekerdja disini. Lantas baru² ini ada pekerdja itu berkelahi. Ramé, deh! Seorang ditikam, untung ndak terus mati!”
„O, itu sebabnja didjaga!?” tanja saja membodoh. Orang itu mengangguk.
„Tapi jang mengherankan, kang Djo,” udjar tukang warung sambil melambatkan pembitjaraannja: „sebelum ada polisi itu sudah ada orang menembak tiga kali berturut-turut. Mungkin pendjaga atau anak kapal jang menembak pentjuri besi tua!”
„Menembak tiga kali ?” tanja saja tertarik, tetapi se-olah² pertanjaan biasa sadja.
„Ja! Didekat gudang ini sebelah sana! Tigakali ber-turut², dan suara motor pergi.”
„Kapan?”
„Kira² sepuluh hari jang lalu! Saja takut, bung, kalau² polisi mengedjar pentjuri lantas pentjurinja nekad dan masuk warung sini. Tapi waktu itu polisi belum ada disana.”
Orang jang duduk disebelah saja melotot memandang tukang warung.
„Sepuluh hari jang lalu! Suara motor itu kan motornja tuan Fadholie! Waktu itu aku ada ditepi laut memantjing. Djangan kau kira jang tidak². Kalau motor biru itu, kang Pomo, ja motornja tuan Fadholie!”
Mobil biru! Mobil biru telah disinjalir jang mengadakan perampokan di Bank dulu. Dan mobil biru itu disitu waktu penembakan sebagai jang didengar oleh orang warung tadi. Mobil biru. Siapakah Fadholie? Segera hal itu saja tanjakan pada orang jang berkata-kata tadi.
Saja tjatatlah :
Fadholie, pemilik gudang penjimpan kapok,
Gudang No. 47 sebelah tenggara warung.
Saja keluar setelah selesai makan dan minum, Manuel djuga keluar terkemudian.
32