Nash Haris jang kami tumpangi sedang mengikuti Chevrolet biru milik Fadholie. Orang ini orang Arab, tetapi modern segala-galanja.
Dengan tenang dikendarainja mobilnja dan sedang kami ikuti. Kami hanja ingin tahu rumahnja sadja.
Hari telah rembang.
Kira² pukul 7 petang sampailah kami pada rumah besar, dimana mobil Fadholie memasuki halamannja. Nash jang kami tumpangi pura terus. Saja, Manuel dan Haris turun. Melihat-lihat keadaan sekitar rumah. Kira² pukul 8 malam, Fadholie keluar pula dengan mobil birunja. Kami mengikuti lagi.
Tudjuannja kini kearah pelabuhan kota. Dan gudangnja.
Pukul 9.30 dia memasuki kantornja. Lampu dikantornja masih menjala. Tiga orang jang berdiri digelap pada beberapa sudut gudangnja mengarahkan pandangannja pada kami.
„Niko, mereka teman kami!” udjar Haris sambil memberi isjarat dengan matanja pada orang² jang berdiri disudut-sudut gudang. Pukul 10 kurang seperempat!
Kami pasang topeng. Lampu kantor Fadholie sudah padam.
Dua orang kawan Haris mendobrak pintu dengan hebat, dan kami masuk bersama-sama. Didalam kamar itu gelap sadja.
Entah apa jang saja kerdjakan dalam kamar gelap, karena apa jang kami tudju tak ada.
Tiba² lampu menjala.
Fadholie telah menjalakan lampu itu. Ditangannja diatjungkan selaras pistol berkaliber besar.
Terkedjut Haris melihatkan kedjadian jang sebaliknja ini. Maksud kami menjergap Fadholie djangan sampai dapat bergerak atau berteriak, kini kami jang djadi sasaran. Kalau hal jang demikian tetap kami diamkan, berarti kedok kami akan terbuka, dan akan diketahuinja siapa Tjempaka Merah.
„Bagus, saudara² !” udjarnja sambil menjeringai pada kami :
„Saudara² menghendaki jang demikian ! Saja tahu rentjana
35