„Niko, Niko! Engkau chawatir sahabat?" kata Jansen : „Nah, sekarang kutjeritakan. Begini! Aku sebenarnja berpakansi kekotamu ini dari Ibu kota hendak menemui Haris. Tiba² disini kudengar engkau menghadapi peristiwa jang patut untuk djadi bahan penjelidikan. Nah, begitulah ! He, duduk dulu engkau! Nona Renny djuga! Jah, kuteruskan! Daripada pakansi dengan nganggur begitu sadja, maka aku ikut engkau. Dan disini aku ditempatkan untuk mendjaga nona Renny. Malam aku datang, siang aku pergi. Persis seperti kelelawar."
„Mengapa perlu didjaga?"
„Penting, Niko, penting! Soal njawa! Dan djuga soal penjergapan jang akan kami adakan, barangkali pendjahat² jang memukul engkau itu datang malam hari. Tetapi rupa²nja mereka mengerti kalau aku adang!"
„Engkau lewat pintu belakang?"
„Jap! Tepat sekali! Aku tahu engkau djuga melewati djalan itu, dan engkau djalan berdjingkat-djingkat lewat depan kamar mandi!"
„Mengapa tidak kau panggil?"
„Dengan pistol ditanganmu? Hah, siapa tahu terus sadja engkau menembaki aku! Tjelaka, kan!"
„Matamu awas, Jan!" kata saja tertawa.
„Hah, kau lupa bajang2mu masuk kamar mandi, karena sinar masuk dari seberang pintu kamar mandi dan mengenai engkau! Hahahaha!" dia tertawa kegirangan.
Saja kira dia mengintip dari pintu kamar mandi itu. Untunglah kawan sendiri, kalau tidak tentu untuk dua kalinja rentjana pendjahat itu berhasil menanam saja kedasar laut.
Lama kami bertiga saling berdiamkan diri. Masing² tentu dengan pikirannja. Tiba² Jansen menepuk bahu saja dan sambil mengatakan sesuatu pada telinga saja. Muka saja djadi berseri-seri agaknja, karena Renny ikut tersenjum.
„Dia sudah tahu!" kata Jansen sambil menundjuk Renny jang tersenjum girang itu.
Dan rentjana kami akan dilakukan besok petang.
★★★
55