memasuki beberapa djalan. Achirnja sampai pada bagian belakang sebuah hotel besar. Hotel ini terkenal, dan sajapun tahu meski bagian belakangnja.
Tak salah, hotel ini Hotel Capitol, hotel terbesar.
Tiga orang bersendjata itu memaksa saja dan Manuel untuk turun dan menggiring kami arah tangga kebakaran. Saja lihat Manuel tidak membawa tas jang berisi uang tadi. Entah ditinggal diambil, entah dibuang didjalan.
Orang itupun tahu,
„Mana uang jang didalam tas itu?!" tanjanja sambil mendjorokkan laras pistolnja pada punggung Manuel.
„Karena saudara mengantjam dengan begitu mendadak, tas itu terlepas dan saja takut. Djadi djatuh pada waktu mobil dipemberhentian tadi!"
„Bodoh!" bentaknja.
„Djangan anggap kami bodoh, saudara!" udjar saja mengantjam: „Kami tahu apa jang akan kami perbuat!" sambung saja. Dalam pikiran saja memudji kepandaian Manuel karena takut uang itu djatuh ketangan pendjahat² ini.
„Tetapi mengapa uang itu djatuh?"
„Karena kukira saudara ini polisi, djadi kami inginkan tidak ada bukti kalau tertangkap! Dan, kalau saja pikir saudara seperti kami, tentu uang jang kami dapat dengan susah pajah itu akan djatuh ketangan saudara! Lebih baik semua tidak mendapat begini!" djawab Manuel dengan pandainja. Heran djuga melihat kepandaiannja dalam memutuskan sesuatu jang setjepat itu.
„Bagus djuga!" udjar orang jang seperti Walter itu dan kami terus menaiki tangga kebakaran kearah sebuah kamar.
„Saudara² orang jang berani !" udjar orang itu selandjutnja: „Dan kepala kami inginkan engkau berdua sadja, tidak uang itu! Ajoh, terus naik !"
Baru kini saja mengerti. Orang ini suruhan dari kepala pendjahat. Dan dijalan kesatu tempat pendjahat jang begitu aneh, tetapi sudah terentjana.
74