Halaman:Tjerita Ko Teng Tjan.pdf/337

Halaman ini tervalidasi

— 898 —

diri dari depan dapoer sedeng rasaken sakit di dalem kamar sendiri: berbagi-bagi pikiran sedi ada menoempoek dalem hatinja ini boedak baek.

„Oh, beginilah nasibnja orang jang djoeal dirinja, setiap waktoe aken rasaken poekoelan poekoelan heibat jang biasanja orang berboat pada binatang andjing,“ meratap Tjoen Jauw dengan koetjoerken aer matanja. „Akoe idoep di doenia sebatang karang, tiada poenja ajah dan iboe;ada poenja soedara lelaki satoe-satoenja, tapi ia itoe sedikit poen tiada ambil open. Toa Kongtjoe, jang dalem ini roema ada seabgi akoe poenja pembela, tapi ia djarang ada di roema, Siotjia seperti takoet sama iboe tirinja . . . . oh . . . . njatalah akoe soeda tiada poenja orang perlindoengan lagi seperti pada waktoe Kou Lo-Ja dan Bwe Taij Taij masi idoep. . . . . .”

Menginget itoe semoea Tjoen Jauw laloe menangis, Ia sigra mengambil satoe poetoesan jang tida bisa diroba lagi. Koentji pintoe kamar; boeka angin dan oedjoengnja iker pada satoe tiang dan oedjoeng laen iket pada lehernja sendiri.

„Kwe Si doerhaka!“ menggero Tjoen Jauw dengen keras .Idoep akoe tida bisa membales kau poenja perboeatan boesoek sasoedanja djadi orang aloes akoe nanti bikin peritoengan! . . . ,

Dengen ini perkataän, Tjoen Jauw, ini boedak