Halaman:Tjerita Ko Teng Tjan.pdf/402

Halaman ini tervalidasi

— 963 —

„Haroeslah dibilang akoe ini ada saorang sanget latjoer,“ kata Kou Kongtjoe kamoedian, „brangkali orang jang baegitoe sial sebagi akoe ini tiada ada!“

„Djamaklah, Siangkong,“ kata itoe nona dengen perkataän menghiboer. Moekanja ini nona kaliatan berseri-seri, satoe tanda hatinja merasa sanget boengah. „Bila didenger Siangkong amapoenja tjerita, tiada sala sebegimana Siangkong bilang tadi, sasoenggoenja kau soeda djadi korban dari perboeatannja itoe iboe-tiri!“

„memang moesti dikata bener begitoe.“ kata poela Kongtjoe kita: „Dari sebab katemahaännja itoe prempoean kedji, akoe poenja oeroesan roema tangga djadi kaloei, seperti dipaksa akoe berpisaän sama soedara sendiri, jang sampe di ini tempo akoe tiada taoe begimana dengen ia orang poenja . . . . . . . . .“

Blon abis ia berkatam dari dalem ada mendatengin satoe prempoean moeda. Ia ada pake pekean malem jang terbikin dari soetra; ia menghamperi ka pertengaän di manaitoe doea orang lagi beromong-omong. Lebi doeloe ia pandang moekanja Kou KOngtjoe seperti orang sedeng mengenali, achir-achia dengen terharoe ia menoebroek: „Soedara! brilah penjaoetan, apa kita orang ini boekan bertemoe di dalem pengimpian?. . . . . . . “