Halaman:UU-36-2008.pdf/55

Halaman ini belum diuji baca

Ayat (5) dan ayat (6) Contoh: Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4)): Rp 584.160.000,00

Pajak Penghasilan setahun:
5% x  Rp 50.000.000,00    = Rp   2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00   = Rp  30.000.000,00
25% x Rp 250.000.000,00   = Rp  62.500.000,00
30% x Rp 84.160.000,00    = Rp  25.248.000,00
                            ----------------- (+)
                            Rp 120.248.000,00 

Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
((3 x 30) : 360) x Rp 120.248.000,00 = Rp 30.062.000,00.

Ayat (7)

    Ketentuan pada ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak. Angka 14 Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk memberi keputusan tentang besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan yang dapat dibenarkan untuk keperluan penghitungan pajak. Dalam dunia usaha terdapat tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio). Apabila perbandingan antara utang dan modal sangat besar melebihi batas-batas kewajaran, pada umumnya perusahaan tersebut dalam keadaan tidak sehat. Dalam hal demikian, untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak, Undang-Undang ini menentukan adanya modal terselubung.
    Istilah modal di sini menunjuk kepada istilah atau pengertian ekuitas menurut standar akuntansi, sedangkan yang dimaksud dengan "kewajaran atau kelaziman usaha" adalah adat kebiasaan atau praktik menjalankan usaha atau melakukan kegiatan yang sehat dalam dunia usaha. Ayat (2)
      Dengan makin berkembangnya ekonomi dan perdagangan internasional sejalan dengan era globalisasi dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanamkan modalnya di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40% dan 20% pada X Ltd. yang bertempat kedudukan di negara Q.
      Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek.
      Dalam tahun 2009 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).