Halaman:Undang undang pokok agraria dan landreform.pdf/47

Halaman ini tervalidasi

tah jang bersifat monopoli hanja dapat diselenggarakan dengan undang-undang (pasal 13 ajat (3)).

(7). Dalam pasal 10 ajat (1) dan (2) dirumuskan suatu azas jang pada dewasa ini sedang mendjadi dasar dari pada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir diseluruh dunia, jaitu dinegara-negara jang telah/sedang menjeleng garakan apa jang disebut „landreform” atau „agrarian reform” jaitu, bahwa „Tanah pertanian harus dikerdjakan atau diusahakan setjara aktip oleh pemiliknja sendiri”.

Agar supaja sembojan ini dapat diwudjudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan lainnja. Misalnja perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah jang harus dimiliki oleh orang tani, supaja ia mendapat penghasilan jang tjukup untuk hidup lajak bagi diri sendiri dan keluarganja (pasal 13 jo pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah jang boleh dipunjai dengan hak milik (pasal 17), agar ditjegah tertumpuknja tanah ditangan golongan-golongan jang tertentu sadja. Dalam hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas jang penting, jaitu bahwa pemiliknja dan penguasaan tanah jang melampaui batas tidak diperkenankan, karena hal jang demikian itu adalah merugikan kepentingan umum. Achirnja ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnja dengan sjarat-sjarat jang ringan, sehingga pemiliknja tidak akan terpaksa bekerdja dalam lapangan lain, dengan menjerahkan penguasaan tanahnja kepada orang lain.

Dalam pada itu mengingat akan susunan masjarakat pertanian kita sebagai sekarang ini kiranja sementara waktu jang akan datang masih perlu dibuka kemungkinan adanja penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang jang bukan pemiliknja, misalnja setjara sewa, berbagi-hasil, gadai dan lain sebagainja. Tetapi segala sesuatu harus diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnja, jaitu untuk mentjegah hubungan hubungan hukum jang bersifat penindasan si-lemah oleh si-kuat (pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnja pemakaian tanah atas dasar sewa, perdjandjian bagi-hasil, gadai dan sebagainja itu tidak boleh diserahkan pada persetudjuan pihak-pihak jang berkepentingan sendiri atas dasar „free-fight”, akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan-ketentuan tentang tjara dan sjarat-sjaratnja, agar dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan ditjegah tjara-tjara pemerasan (exploitation de l'homme par l'homme). Sebagai misal dapat dikemukakan ketentuan-ketentuan didalam Undang-undang No. 2 tahun 1960 tentang „Perdjandjian Bagi Hasil” (L.N. 1960-2).

Ketentuan pasal 10 ajat (1) tersebut adalah suatu azas, jang pelaksanaannja masih memerlukan pengaturan lebih landjut (ajat (2)). Dalam keadaan susunan masjarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan itu nanti kiranja masih perlu membuka kemungkinan diadakannja dispensasi. Mitsalnja seorang pegawai-negeri jang untuk persediaan hari-tuanja mempunjai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerdjaan-

42