PENDJELASAN
ATA
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
TENTANG
PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN.
UMUM:
|
- Dalam rangka membangun masjarakat jang adil dan makmur berdasarkan Pantjasila, Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5/1960) menetapkan dalam pasal 7, bahwa agar supaja tidak merugikan kepantingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah jang melampaui batas tidak diperkenankan. Keadaan masjarakat tani Indonesia sekarang ini ialah, bahwa kurang lebih 60 % dari para petani adalah petani tidak bertanah. Sebagian mereka itu merupakan buruh tani, sebagian lainnja mengerdjakan tanah orang lain sebagai penjewa atau penggarap dalam hubungan perdjandjian bag hasil. Para petani jang mempunjai tanah (sawah dan/atau tanah kering) sebagian terbesar masing-masing tanahnja kurang dari 1 hektar (rata-rata 0,6 ha sawah atau 0,5 ha tanah kering) jang terang tidak tjukup untuk hidup jang lajak, Tetapi disamping petani-petani jang tidak bertanah dan jang bertanah tidak tjukup itu, kita djumpai petani-petani jang menguasai tanah-tanah pertanian jang luasnja berpuluh-puluh beratus-ratus, bahkan beribu-ribu hektar. Tanah-tanah itu
tidak semuanja dipunjai mereka dengan hak milik, tetapi kebanjakan dikuasainja dengan hak gadai atau sewa. Bahkan tanah-tanah jang dikuasai dengan hak gadai dan sewa inilah merupakan bagian jang terbesar.
Kalau hanja melihat pada tanah tanah jang dipunjai dengan hak milik menurut tjatatan di Djawa, Madura, Sulawesi Selatan, Bali, Lombok hanja terdapat 5400 orang jang mempunjai sawah jang luasnja lebih dari 10 hektar (diantaranja 1000 orang jang mempunjai lebih dari 20 hektar). Mengenai tanah kering, jang mampunjai lebih dari 10 hektar adalah 11.000 orang, diantaranja 2.700 orang jang mempunjai lebih dari 20 hektar. Tetapi menurut kenjataannja djauh lebih banjak djumlah orang jang menguasai tanah lebih dari 10 hektar dengan hak gadai atau sewa. Tanah-tanah itu berasal dari tanah-tanah kepunjaan para tani jang tanahnja tidak tjukup tadi, jang karena keadaan terpaksa mènggadaikan atau menjewakan kepada orang-orang jang kaja tersebut. Biasanja orang-orang jang menguasai tanah-tanah jang luas itu tidak dapat mengerdjakan sendiri. Tanah tanahnja dibagihasilkan kepada petani-petani jang tidak bertanah atau jang tidak tjukup tanahnja. Bahkan tidak djarang bahwa dalam hubungan gada para pemilik jang menggadaikan tanahnja itu kemudian mendjadi penggarap tanahnja sendiri sebagai pembagi hasil. Dan tidak djarang pula bahwa tanah-tanah jang luas itu tidak diusahakan ("dibiarkan terlantar") oleh karena
|