Halaman:Warisan Seorang Pangeran 02.pdf/18

Halaman ini telah diuji baca

tjap rapi ditiga tempat, seperti merupakan huruf „pin” — tingkat jang dipasang terbalik !

Bukan main girangnja Teng Yang, hingga ia berdjingkrakan. Malah Lok Tjiauw dan Sim Goat Hoa turut memperdengarkan pudjian : „Bagus !”

Dipihak lainnja, pihak Too Liong dan kawan²nja reaksinja adalah sebaliknja, Karena sangat heran dan gegetun, ketua Tjeng Pang itu sampai melongo, matanja mentjilak, mulutnja terpentang.

Tjuma Seng Liang seorang, jang Sanggup mengendalikan diri. Ia isikan tjawannja sendiri sampai luber dan ia bawa itu kepada Tjeng Loen, Sambil tertawa, ia berkata: „Laoko, kau ahli menimpuk peluru, permainanmu ini apakah anehnja ? Kami beramai biasa bersilat dengan tangan kosong, maka itu kami sekarang seperti lagi menonton pendjual djimat didepan kuilnja Thio Thian Soe! Hingga tentunja kau mentertawakan kami.........”

Kata² ini bermaksud merendahkan kepandaian Tjeng Loen berbareng untuk menolong muka sendiri, Selagi Tjeng Loen sendiri belum sempat bilang apa², Teng Yang telah mendahului karena ia mendjadi tidak senang hati, Hanja, disaat Teng Yang hendak menegur, seorang lainpun sudah mendahuluinja. Orang itu membuat berisik dengan djeritannja seperti orang kalap. Iapun bukan lain daripada orang jang Tjioe Too Liong undang dengan segala kehormatan sambil dibekali bingkisan jang berarti, ialah Hoe Loen, sidjago Rimba Hidjau. Orang tua ini telah tenggak beberapa tjawan arak, hidungnja mendjadi bertambah mengkilap, mukanja pun merah sebagai darah. Tegas bedanja dengan kumis dan alisnja jang putih meletak seperti saldju. Karena tubuhnja jang djangkung, tampaknja mirip dengan Liam Po atau Oey Tiong sidjenderal tua jang tersohor!

Sesudah memperdengarkan suaranja jang perisik itu, djago tua ini lantas memandang semua orang. Ia memperlihatkan roman sangat temberang. lapun melenggak, lalu tertawa besar sepuas²nja. Achirnja ia ngotjeh seorang diri: „Bagaimana sekarang ? Duapuluh tahun jang lampau, permainan ini aku telah wariskan kepada anakku, kepada. tjutjuku! Apakah sekarang, sesudah berumur enampuluh tahun, aku mesti mejakinkannja lagi ? Tapi, siapa suruh aku mengikuti orang lari-larian seperti sibuta ? Setelah sekarang aku kena bentur orang, apa aku mesti terus²an ber-pura² buta terlebih

lama?”

Warisan Seorang Pangeran djilid II — 2

77