Halaman:Warisan Seorang Pangeran 02.pdf/7

Halaman ini telah diuji baca

Hek Sat Sin sangat setudjui pieboe. Ia tahu, umpama Teng Yang diperiksa sidang, sebab dia tjuma memukul orang luar, dia tidak bakal dihukum berat. Hukuman enteng tidak memuaskan. Sebaliknja bila orang pieboe, bukankah sendjata tidak ada matanja? Bukankah pieboe pun tidak bakal ada ekornja ? Bukankah lebih gampang memuaskan hati dengan memainkan sendjata tadjam? Disamping itu, masih ada satu keuntungan lain baginja. Dalam perkumpulan, kedudukannja lebih tinggi dua tingkat dari Teng Yang. Maka kalau ia dapat menghadjar Teng Yang sepuasnja tidak mungkin Teng Yang berani mentjelakai padanja. Kalau Teng Yang berani, berarti dia melawan tjouwsoe — pendiri Liang Pang!

Maka djuga Hek Sat Sin sangat menjetudjui usul siorang pertengahan, jaitu, Tjin-kioe-siauw Lok Tjiauw, orang jang „Menggetarkan Sembilan Tingkat Langit”.

Sim Teng Yang dapat menerka maksud tersembunji ketua itu, malah dia dengar djuga, untuk pieboe itu, Hek Sat Sin sudah mengundang dua pembantu jang katanja gagah. Tapi ia muda-belia, ia tidak djeri. Iapun mempunjai andalan. Maka itu, kebetulan sekali datangnja Tjeng Loen, hingga ia djadi semakin besar hatinja.

Tjeng Loen tidak dapat menolak permintaan saudara ini. Di samping sesama orang kang-ouw, sahabat, merekapun merupakan saudara angkat. Selain itu Hek Sat Sin memang bersikap keterla.uan, Lagi pula, ia hendak minta bantuan saudara-angkat ini, karena seharusnja mereka saling membantu. Ia hanja belum tahu sampai dimana kekuatan pihak lawan.

Lekas sekali, hari ketiga telah tiba. Selama itu, Lok Tjiauw telah repot mengatur persiapan, hingga ia mesti mundar-mandir ke kuil Tiauw Sin Bio, jang letaknja ditepi laut. Tiauw Sin Bio itu berarti kuilnja malaikat atau dewa gelombang.

Hari itu Teng Yang pun bersiapsedia. Pieboe ditetapkan malam, tetapi djam siensie, djam tiga atau empat lohor, ia sudah pindjam sebuah djoli hidjau dan mungil dari besannja. Djoli itu ia taroh didepan pintu rumahnja.

Apakah kau hendak gotong si terluka kekuil ?" tanja Tjeng Loen heran. Padanja telah diterangkan, bahwa diwaktu dianiaja. Kakak sepupunja terluka setengah mati.

Sim Pek Ngo menggeleng kepala pelahan². Ia pun bersenjum.

„Itulah tak perlu”, djawabnja. „Aku tjuma hendak mengguna- —————— ketika ini, untuk mengadjar adat kepada Hek Sat Sin. Kau