Halaman:Wayang Cina - Jawa di Yogyakarta.pdf/17

Halaman ini tervalidasi

injak dewasa, kecintaannya terhadap seni pertunjukan itu, akan sangat menentukan langkah hidupnya.

Pada awal abad ke XX, Gan Thwan Sing pindah ke Yogyakarta. Berbeda dengan teman-temannya sebaya dari golongan Peranakan yang sama memilih profesi sebagai pedagang, ia ternyata tidak berminat dalam bidang perdagangan. Dari teman-teman pribumi, ia memperoleh banyak keterangan, bahwa di ibukota Kesultanan Yogyakarta terbuka banyak peluang untuk menghayati seni pertunjukan. Itulah sebabnya, maka ia memutuskan untuk mencari pengalaman di Yogyakarta.

Di ibukota Kesultanan Yogyakarta itu, Gan Thwan Sing kian tertarik terhadap seni pedalangan dan seni musik Jawa (karawitan = bahasa Jawa). Sikapnya yang luwes, membantu dirinya untuk dapat berhubungan dengan berbagai golongan masyaraat, baik di kalangan Cina maupun pribumi. Dalam waktu singkat ia berhasil memperoleh pekerjaan sebagai artis sandiwara (tonil) dalam suatu organisasi teater amatir yang diusahakan oleh kalangan Peranakan di Yogyakarta. Karena organisasi teater amatir itu secara berkala menyelenggarakan pementasan dan ada kalanya mengadakan pertunjukan keliling antar kota, maka ia dapat nafkah yang cukup untuk hidup sehari-harinya. Dalam kesibukannya sebagai seorang artis sandiwara, ia tetap meluangkan waktu untuk dengan tekun belajar seni pedalangan gaya Yogyakarta. Bahkan ia tekun pula mempelajari bahasa dan aksara Jawa. Tatkala sudah berhasil memperoleh pengetahuan seni pedalangan yang cukup, lahirlah gagasannya untuk menciptakan suatu bentuk baru wayang (kulit).

Gagasan yang dilahirkannya itu merupakan perpaduan serasi dari dua aspek yang mempunyai latar belakang berbeda. Aspek pertama, adalah alam pakeliran Jawa. Aspek kedua, adalah alam legenda Cina. Kedua aspek yang berbeda warna itu, dipadukannya dengan serasi dalam bentuk pertunjukan wayang kulit. Penyajian pertunjukannya itu mengikuti pola pedalangan gaya Mataraman (gaya Yogyakarta).

Konsepsinya dimatangkan secara kreatif dengan penulisan beberapa buku lakon (pakem = bahasa Jawa) yang mengikuti pola buku lakon wayang kulit Jawa gaya Mataraman dan ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa. Lakon-lakon itu digubah dari khasanah folklore Cina kuna (ceritera rakyat, legenda) yang

10