Harapan
Majalah Tempo, 31 Juli 2000.
Profesor tua yang gemar berdansa itu akhirnya terbaring, sakit, menunggu mati, pelan-pelan. Sebelumnya, tiap Rabu malam ia selalu pergi ke Harvard Square. Di sana ia bergabung dengan para mahasiswa, di bawah sorot lampu yang memancar-mancar dan pengeras suara yang hingar. Ia akan mengikuti irama apa saja, sebuah tango atau sebuah musik Jimi Hendrix, seraya mengenakan kaus oblong putih dan celana olahraga hitam dan sehelai handuk yang dikalungkan di leher. Tak ada yang tahu bahwa pak tua itu seorang guru besar sosiologi terkemuka di Brandeis University. Tak banyak memang yang mengenal Morrie Schawrtz, sampai penyakit fatal itu menyerangnya dan ia akhirnya terbaring, sakit, menunggu mati, pelan-pelan.
Kini sebuah buku ditulis tentang hari-hari terakhir orang tua itu oleh Mitch Albom, bekas mahasiswanya. Seorang sahabat saya membelikan buku itu, Tuesdays With Morrie, tentu saja bukan karena ia membayangkan saya terbaring, sakit, tetapi karena dalam catatan Mitch Albom yang tipis itu (tak sampai 200 halaman) kita dapat membaca, bagaimana di hari-hari terakhirnya Morrie Schawrtz berbicara, dengan jasad yang semakin macet, tentang pelbagai hal yang menyangkut hidup dan mati, yang entah kenapa bagi saya menjadi soal harapan.
Dalam umur 60-an, Morrie seperti terkena asma. Pada suatu hari, ketika berjalan sepanjang Sungai Charles, angin dingin bertiup ke tubuhnya, dan ia seakan-akan tercekik. Ia jatuh dan diangkut ke rumah sakit. Dokter menyuntiknya dengan adrenalin. Beberapa tahun kemudian, ia mulai sulit berjalan. Pada suatu hari, ia terjatuh di tangga teater. Orang menyangka itu hanya karena ia tua. Tapi Morrie tahu ada sesuatu yang lebih serius ketimbang itu. Akhirnya ditemukan: Morrie menderita ALS, atau amyotrophic lateral sclerosis. Sistem syarafnya kena penyakit yang tak bisa diobati.
ALS melumerkan syaraf kita. Sering dimulai dari kaki, lalu menjalar ke tubuh atas. Akhirnya kita akan hanya bisa bernafas melalui satu tabung yang dipasang di leher kita yang dilobangi. Nyawa kita seakan-akan tersisa di dalam onggokan yang lumpuh, yang hanya bisa mengerdipkan mata. Proses kematian bisa berlangsung selama lima tahun. Dalam kasus Morrie, dokter memperkirakan dua tahun.
Profesor yang tak bisa lagi mengajar itu pun tahu tak ada yang bisa ia bantah. Ia memutuskan: ia akan membuat kematiannya sebagai proyek dia yang penghabisan. Belajarlah bersama aku, dalam perjalanan sakit menuju Maut yang pasti dan pelan ini. Maka ia pun membentuk kelompok diskusi tentang kematian, ia menerima wawancara—dan ia menjadi terkenal ketika di bulan Maret 1995, ia muncul dalam wawancara dengan Ted Koppel dalam wawancara “Nightline” dalam televisi ABC. Ia juga membuka semacam “kuliah mingguan”.
Itulah yang terjadi pada tiap hari Selasa sampai ajalnya tiba. Mitch Albom, bekas mahasiswanya yang sangat menyayangi guru yang baik itu, menyediakan diri untuk jadi satu-satunya murid. Ia akan datang, sehabis sarapan. Di sisi ranjang tempat sang profesor terbaring dan menatap kembang sepatu yang tampak di jendela ruang studi, ia akan merekam kuliah itu. Dr. Morrie Schwartz tak mengajarkan lagi sosiologi, tapi sesuatu yang lebih dalam dan lebih pendek, serangkaian kuliah tanpa buku, yang akan berakhir bukan dengan sebuah wisuda, tapi dengan pemakaman.
Ada 14 Selasa yang tercatat dalam Tuesdays With Morrie. Ada sejumlah topik yang dibahas, di antaranya tentang kematian, tentang keluarga, tentang emosi, usia tua, cinta, maaf, emosi dan pelbagai hal lain. Dr. Morrie Schawrtz tidak lagi disebut sebagai mahaguru, melainkan sebagai seorang yang akrab: Albom memanggilnya “coach” dan juga dengan nama depan, Morrie. Yang diutarakannya kian lama kian ringkas, karena tubuhnya kian lama kian lumpuh. Akhirnya bukan pengetahuan, melainkan kearifan. Tapi intinya bisa disebutkan dalam satu kalimat yang pada Selasa ke-4 ia katakan: “Sekali kita belajar tentang kematian, kita akan belajar tentang kehidupan.”
Tak banyak yang aneh dalam kearifan Morrie. Mungkin tak ada yang baru. Intinya adalah kepasrahan. Ketika akhirnya Morrie tak bisa lagi mengelap kotorannya sehabis buang air besar, ia menyerahkan diri—tak lagi dengan rasa malu—ke orang lain. “Aku mulai menikmati ketergantunganku,” katanya. “Seperti kembali menjadi anak-anak… Kita semua tahu bagaimana menjadi seorang anak. Ada dalam diri kita itu. Bagi saya, ini soal mengingat dan menikmatinya.”
Tampaklah pada Morrie: perlawanan terakhir bukanlah perlawanan terhadap sesuatu yang lebih kuat dan pasti menang—yang akhirnya berwujud Maut. Perlawanan terakhir adalah terhadap kepedihan merasa kalah. Kita perlu menang atas godaan untuk menganggap kemenangan itu satu hal yang paling penting.
Tapi tidakkah ini hanya sebuah pemberian dalih? Bukankah pasrah memberi kita ketenangan, tapi tetap saja bahwa ada yang menang dan ada yang kalah, dan kita tak pernah tahu alasannya? Mungkin. Kita akan mengatakan, “jangan-jangan hidup memang tak pernah adil,” dan dengan itu kita bisa maklum bila kita kehilangan. Atau sebaliknya, kita bisa jadi brutal: karena hidup tak pernah adil, maka pengertian keadilan adalah satu hal yang omong kosong. Mungkin soalnya tinggal memilih.
Morrie tahu ia jadi korban nasib yang tak ada alasannya. Yang menarik ialah bahwa ia tak memilih untuk menjadi marah dan membuat orang lain jadi korban. Harapan, baginya, ialah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh. Tapi akhirnya ia memberitahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapan?