Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Download dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ tanggal 10 Agustus 2009. Menambah penjelasan, belum dirapikan |
Merapikan. |
||
Baris 1:
{{UU|22|2009}}
<DIV align=justify><center>
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br>
NOMOR 22 TAHUN 2009<br>
TENTANG<br>
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN<br>
<br>DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br>
<br>PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,</center>
<br>Menimbang:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
</ol>
<br>Mengingat:
:Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
<br><center><br>Dengan Persetujuan Bersama<br>
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br>
dan<br>
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br>
<br>MEMUTUSKAN:</center>
<br>Menetapkan: '''UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.'''
<center><br>BAB <br>
KETENTUAN UMUM<br>
<br>Pasal 1</center>
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
<br><center>BAB II<br>
ASAS DAN TUJUAN<br>
<br>Pasal 2</center>
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>asas mandiri.
</ol>
<br><center>Pasal 3</center>
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
<li>terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
</ol>
<br><center>BAB III<br>
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG<br>
<br>Pasal 4</center>
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. </ol>
<br><center>BAB IV<br>
PEMBINAAN<br>
<br>Pasal 5</center>
(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.<br>
(2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>perencanaan;
<li>pengaturan;
<li>pengendalian; dan
<li>pengawasan.
</ol>
(3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; </ol>
<br><center>Pasal 6</center>
(1) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional;
<li>pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan
<li>pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
</ol>
(2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.<br>
(3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;
<li>pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
<li>pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.
</ol>
(4) Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;
<li>pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan
<li>pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.
</ol>
<br><center>BAB V<br>
PENYELENGGARAAN<br>
<br>Pasal 7</center>
(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.<br>
(2) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; </ol>
<br><center>Pasal 8</center>
Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan; </ol>
<br><center>Pasal 9</center>
Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;
<li>persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;
<li>perizinan angkutan umum;
<li>pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
<li>penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
</ol>
<br><center>Pasal 10</center>
Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor;
<li>pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
</ol>
<br><center>Pasal 11</center>
Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;
<li>pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
</ol>
<br><center>Pasal 12</center>
Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;
<li>pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;
<li>penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;
<li>pendidikan berlalu lintas;
<li>pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.
</ol>
<br><center>Pasal 13</center>
(
(
(
(
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.<br>
<br><center>BAB VI<br>
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN<br>
<br>Bagian Kesatu<br>
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan<br>
<br>Pasal 14</center>
(1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.<br>
(2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan.<br>
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.
</ol>
<br><center>Pasal 15</center>
(
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.<br>
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;
<li>arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;
<li>rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.
</ol>
<br><center>Pasal 16</center>
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.<br>
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.
</ol>
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;
<li>arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;
<li>rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.
</ol>
<br><center>Pasal 17</center>
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.<br>
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
<li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan </ol>
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;
<li>arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
<li>rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.
</ol>
<br><center>Pasal 18</center>
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Bagian Kedua<br>
Ruang Lalu Lintas<br>
<br>Paragraf 1<br>
Kelas Jalan<br>
<br>Pasal 19</center>
(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
<li>daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
</ol>
(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
</ol>
(3) Dalam keadaan tertentu daya dukung Jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.<br>
(4) Kelas Jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana Jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.<br>
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 20</center>
(1) Penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan dilakukan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>pemerintah kota, untuk jalan kota.
</ol>
(2) Kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.<br>
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Paragraf 2<br>
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan<br>
<br>Pasal 21</center>
(1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.<br>
(2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.<br>
(
(
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 22</center>
(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.<br>
(
(
(4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.<br>
(
(
(7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Pasal 23</center>
(1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.<br>
(2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
<br><center>Pasal 24</center>
(1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.<br>
(2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.
<br><center>Pasal 25</center>
(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>Rambu Lalu Lintas;
<li>Marka Jalan;
<li>Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
<li>alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan; </ol>
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah
<br><center>Pasal 26</center>
(1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau </ol>
(2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Pasal 27</center>
(1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.<br>
(2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.
<br><center>Pasal 28</center>
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.<br>
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
<br><center>Bagian Ketiga<br>
Dana Preservasi Jalan<br>
<br>Pasal 29</center>
(1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.<br>
(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.<br>
(3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.<br>
(4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Pasal 30</center>
Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.
<br><center>Pasal 31</center>
Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan.
<br><center>Pasal 32</center>
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.
<br><center>Bagian Keempat
Terminal<br>
<br>Paragraf 1<br>
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal<br>
<br>Pasal 33</center>
(1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal.<br>
(2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.
<br><center>Pasal 34</center>
(1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.<br>
(2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.
<br><center>Pasal 35</center>
Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Pasal 36</center>
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.
<br><center>Paragraf 2<br>
Penetapan Lokasi Terminal<br>
<br>Pasal 37</center>
(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.<br>
(2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
<li>kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
<li>kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
<li>keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
<li>permintaan angkutan;
<li>kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
<li>Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
<li>kelestarian lingkungan hidup.
</ol>
<br><center>Paragraf 3<br>
Fasilitas Terminal<br>
<br>Pasal 38</center>
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.<br>
(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.<br>
(3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.
<br><center>Paragraf 4<br>
Lingkungan Kerja Terminal<br>
<br>Pasal 39</center>
(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.<br>
(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.<br>
(3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
<br><center>Paragraf 5<br>
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal<br>
<br>Pasal 40</center>
(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>buku kerja rancang bangun;
<li>rencana induk Terminal;
<li>analisis mengenai dampak lingkungan.
</ol>
(2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>perencanaan;
<li>pelaksanaan; dan
<li>pengawasan operasional Terminal.
</ol>
<br><center>Pasal 41</center>
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.<br>
(2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Paragraf 6<br>
Pengaturan Lebih Lanjut<br>
<br>Pasal 42</center>
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Bagian Kelima<br>
Fasilitas Parkir<br>
<br>Pasal 43</center>
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.<br>
(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>usaha khusus perparkiran; atau
<li>penunjang usaha pokok.
</ol>
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.<br>
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 44</center>
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>rencana umum tata ruang;
<li>analisis dampak lalu lintas; dan
<li>kemudahan bagi Pengguna Jasa.
</ol>
<br><center>Bagian Keenam<br>
Fasilitas Pendukung<br>
<br>Pasal 45</center>
(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>trotoar;
<li>lajur sepeda;
<li>tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
<li>Halte; dan/atau
<li>fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
</ol>
(2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>pemerintah kota untuk jalan kota; dan
<li>badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
</ol>
<br><center>Pasal 46</center>
(1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta.<br>
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB VII<br>
KENDARAAN<br>
<br>Bagian Kesatu<br>
Jenis dan Fungsi Kendaraan<br>
<br>Pasal 47</center>
(1) Kendaraan terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>Kendaraan Tidak Bermotor.
</ol>
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>sepeda motor;
<li>mobil barang; dan
<li>kendaraan khusus.
</ol>
(3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>Kendaraan Bermotor Umum.
</ol>
(4) Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.
</ol>
<br><center>Bagian Kedua<br>
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor<br>
<br>Pasal 48</center>
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.<br>
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>susunan;
<li>perlengkapan;
<li>ukuran;
<li>karoseri;
<li>rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya;
<li>pemuatan;
<li>penggunaan;
<li>penempelan Kendaraan Bermotor.
</ol>
(3) Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>emisi gas buang;
<li>kebisingan suara;
<li>efisiensi sistem rem parkir;
<li>kincup roda depan;
<li>suara klakson;
<li>daya pancar dan arah sinar lampu utama;
<li>radius putar;
<li>akurasi alat penunjuk kecepatan;
<li>kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan.
</ol>
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Bagian Ketiga<br>
Pengujian Kendaraan Bermotor<br>
<br>Pasal 49</center>
(1) Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian.<br>
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>uji berkala.
</ol>
<br><center>Pasal 50</center>
(1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.<br>
(2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya.
</ol>
(3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.<br>
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 51</center>
(1) Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe.<br>
(2) Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa.<br>
(
(4) Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe.<br>
(5) Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.<br>
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 52</center>
(1) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.<br>
(
(3) Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang.<br>
(4) Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang.
<br><center>Pasal 53</center>
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan.
(2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan
<li>pengesahan hasil uji.
</ol>
(3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota;
<li>unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah.
</ol>
<br><center>Pasal 54</center>
(1) Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.<br>
(2) Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>susunan;
<li>perlengkapan;
<li>ukuran;
<li>karoseri; dan
<li>rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.
</ol>
(3) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>emisi gas buang Kendaraan Bermotor;
<li>tingkat kebisingan;
<li>kemampuan rem parkir;
<li>kincup roda depan;
<li>kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama;
<li>akurasi alat penunjuk kecepatan; dan
<li>kedalaman alur ban.
</ol> (4) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu.<br> (5) Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji.<br>
(6) Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji.<br>
(7) Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji.
<br><center>Pasal 55</center>
(1) Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian swasta.
</ol>
(2) Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan.
<br><center>Pasal 56</center>
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Bagian Keempat<br>
Perlengkapan Kendaraan Bermotor<br>
<br>Pasal 57</center>
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.<br>
(2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.<br>
(3) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurang-kurangnya terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>sabuk keselamatan;
<li>ban cadangan;
<li>segitiga pengaman;
<li>dongkrak;
<li>pembuka roda;
<li>helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan
<li>peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas.
</ol>
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 58</center>
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.
<br><center>Pasal 59</center>
(1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.<br>
(2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>merah;
<li>biru; dan
<li>kuning.
</ol>
(3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.<br>
(4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.<br>
(5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
<li>lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk mobil tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, dan jenazah; dan </ol>
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.<br>
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
<br><center>Bagian Kelima<br>
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor<br>
<br>Pasal 60</center>
(1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.<br>
(2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.
(3) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri.<br>
(4) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br>
(5) Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.<br>
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah.
Baris 772 ⟶ 780:
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB VIII
PENGEMUDI
Baris 781 ⟶ 789:
Persyaratan Pengemudi
Pasal 77</center>
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.
(2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis:
Baris 939 ⟶ 947:
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB IX
LALU LINTAS
Baris 948 ⟶ 956:
Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
Pasal 93</center>
(1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
Baris 1.348 ⟶ 1.356:
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB X
ANGKUTAN
Baris 1.354 ⟶ 1.362:
Angkutan Orang dan Barang
Pasal 137</center>
(1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.
Baris 1.820 ⟶ 1.828:
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
<br><center>BAB XI
KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Baris 1.826 ⟶ 1.834:
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 200</center>
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.
Baris 1.895 ⟶ 1.903:
(3) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.
<br><center>BAB XII
DAMPAK LINGKUNGAN
Baris 1.901 ⟶ 1.909:
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 209</center>
(1) Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Baris 1.969 ⟶ 1.977:
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB XIII
PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA
DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Baris 1.976 ⟶ 1.984:
Umum
Pasal 219</center>
(1) Pengembangan industri dan teknologi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor;
Baris 2.066 ⟶ 2.074:
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB XIV
KECELAKAAN LALU LINTAS
Baris 2.072 ⟶ 2.080:
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
Pasal 226</center>
(1) Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui:
a. partisipasi para pemangku kepentingan;
Baris 2.192 ⟶ 2.200:
Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>BAB XV
PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT,
MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT
Baris 2.199 ⟶ 2.207:
Ruang Lingkup Perlakuan Khusus
Pasal 242</center>
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.
(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Baris 2.221 ⟶ 2.229:
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB XVI
SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Baris 2.228 ⟶ 2.236:
Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi
Pasal 245</center>
(1) Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang terpadu.
(2) Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baris 2.306 ⟶ 2.314:
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB XVII
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 253</center>
(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan oleh:
Baris 2.323 ⟶ 2.331:
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB XVIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 256</center>
(1) Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
Baris 2.341 ⟶ 2.349:
Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
<br><center>BAB XIX
PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Baris 2.348 ⟶ 2.356:
Penyidikan
Pasal 259</center>
(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
Baris 2.465 ⟶ 2.473:
(2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
<br><center>BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 273</center>
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Baris 2.634 ⟶ 2.642:
Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 318</center>
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
Baris 2.643 ⟶ 2.651:
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit.
<br><center>BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 320</center>
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.
|