Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Sabudis (bicara | kontrib)
Download dari http://www.djpp.depkumham.go.id/ tanggal 10 Agustus 2009. Menambah penjelasan, belum dirapikan
Sabudis (bicara | kontrib)
Merapikan.
Baris 1:
{{UU|22|2009}}
<DIV align=justify><center>
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br>
NOMOR 22 TAHUN 2009
NOMOR 22 TAHUN 2009<br>
TENTANG
TENTANG<br>
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN<br>
 
<br>DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br>
<br>PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,</center>
 
<br>Menimbang:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
 
Menimbang: a. <li>bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. <li>bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah;
c. <li>bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara;
d. <li>bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e. <li>bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
</ol>
 
<br>Mengingat:
Mengingat: Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
:Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 
<br><center><br>Dengan Persetujuan Bersama<br>
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br>
dan<br>
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br>
<br>MEMUTUSKAN:</center>
 
<br>Menetapkan: '''UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.'''
MEMUTUSKAN:
<center><br>BAB <br>
 
KETENTUAN UMUM<br>
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN.
<br>Pasal 1</center>
 
BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. #Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
2. #Lalu Lintas adalah gerak Kendaraan dan orang di Ruang Lalu Lintas Jalan.
3. #Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
4. #Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah serangkaian Simpul dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
5. #Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda dan intermoda yang berupa Terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.
6. #Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah Ruang Lalu Lintas, Terminal, dan Perlengkapan Jalan yang meliputi marka, rambu, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan, alat pengawasan dan pengamanan Jalan, serta fasilitas pendukung.
7. #Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
8. #Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.
9. #Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
10. #Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran.
11. #Ruang Lalu Lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung.
12. #Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi Lalu Lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
13. #Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.
14. #Halte adalah tempat pemberhentian Kendaraan Bermotor Umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.
15. #Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.
16. #Berhenti adalah keadaan Kendaraan tidak bergerak untuk sementara dan tidak ditinggalkan pengemudinya.
17. #Rambu Lalu Lintas adalah bagian perlengkapan Jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi Pengguna Jalan.
18. #Marka Jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan Jalan atau di atas permukaan Jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus Lalu Lintas dan membatasi daerah kepentingan Lalu Lintas.
19. #Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas adalah perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur Lalu Lintas orang dan/atau Kendaraan di persimpangan atau pada ruas Jalan.
20. #Sepeda Motor adalah Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.
21. #Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.
22. #Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum.
23. #Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi.
24. #Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.
25. #Penumpang adalah orang yang berada di Kendaraan selain Pengemudi dan awak Kendaraan.
26. #Pejalan Kaki adalah setiap orang yang berjalan di Ruang Lalu Lintas Jalan.
27. #Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan Jalan untuk berlalu lintas.
28. #Dana Preservasi Jalan adalah dana yang khusus digunakan untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan secara berkelanjutan sesuai dengan standar yang ditetapkan.
29. #Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas adalah serangkaian usaha dan kegiatan yang meliputi perencanaan, pengadaan, pemasangan, pengaturan, dan pemeliharaan fasilitas perlengkapan Jalan dalam rangka mewujudkan, mendukung dan memelihara keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran Lalu Lintas.
30. #Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terbebasnya setiap orang, barang, dan/atau Kendaraan dari gangguan perbuatan melawan hukum, dan/atau rasa takut dalam berlalu lintas.
31. #Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, Kendaraan, Jalan, dan/atau lingkungan.
32. #Ketertiban Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas yang berlangsung secara teratur sesuai dengan hak dan kewajiban setiap Pengguna Jalan.
33. #Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu keadaan berlalu lintas dan penggunaan angkutan yang bebas dari hambatan dan kemacetan di Jalan.
34. #Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah sekumpulan subsistem yang saling berhubungan dengan melalui penggabungan, pemrosesan, penyimpanan, dan pendistribusian data yang terkait dengan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
35. #Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
36. #Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
37. #Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. #Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
39. #Menteri adalah pembantu Presiden yang memimpin kementerian negara dan bertanggung jawab atas urusan pemerintahan di bidang Jalan, bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bidang industri, bidang pengembangan teknologi, atau bidang pendidikan dan pelatihan.
40. #Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penanggung jawab penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
<br><center>BAB II<br>
 
ASAS DAN TUJUAN<br>
BAB II
<br>Pasal 2</center>
ASAS DAN TUJUAN
 
Pasal 2
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. asas transparan;
b. <li>asas akuntabeltransparan;
c. <li>asas berkelanjutanakuntabel;
d. <li>asas partisipatifberkelanjutan;
e. <li>asas bermanfaatpartisipatif;
f. <li>asas efisien dan efektifbermanfaat;
g. <li>asas seimbangefisien dan efektif;
h. <li>asas terpaduseimbang; dan
i. <li>asas mandiri.terpadu; dan
<li>asas mandiri.
 
</ol>
Pasal 3
<br><center>Pasal 3</center>
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
<li>terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. <li>terwujudnya penegakanetika hukumberlalu lintas dan kepastianbudaya hukumbangsa; bagi masyarakat.dan
<li>terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
 
</ol>
BAB III
<br><center>BAB III<br>
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG
RUANG LINGKUP KEBERLAKUAN UNDANG-UNDANG<br>
 
<br>Pasal 4</center>
Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;
b. <li>kegiatan yanggerak menggunakanpindah saranaKendaraan, prasaranaorang, dan/atau fasilitasbarang pendukung Lalu Lintas dan Angkutandi Jalan; dan
c.<li>kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
<li>kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
</ol>
 
<br><center>BAB IV<br>
PEMBINAAN<br>
<br>Pasal 5</center>
 
(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.<br>
Pasal 5
(1) Negara bertanggung jawab atas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan pembinaannya dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. perencanaan;
<li>perencanaan;
b. pengaturan;
<li>pengaturan;
c. pengendalian; dan
<li>pengendalian; dan
d. pengawasan.
<li>pengawasan.
</ol>
(3) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh instansi pembina sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya yang meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
b.<li>urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
<li>urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. <li>urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;
d. <li>urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
e. <li>urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
</ol>
 
<br><center>Pasal 6</center>
(1) Pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh instansi pembina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional;
b. <li>penetapan norma,sasaran standar,dan pedoman,arah kriteria,kebijakan danpengembangan prosedur penyelenggaraansistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional;
c. <li>penetapan kompetensinorma, pejabatstandar, yangpedoman, melaksanakankriteria, fungsidan diprosedur bidangpenyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berlaku secara nasional;
<li>penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nasional;
d. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan
<li>pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, pemberian izin, dan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan
e. pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
<li>pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, pedoman, kriteria, dan prosedur yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
</ol>
(2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusannya kepada pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.<br>
(3) Urusan pemerintah provinsi dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;
<li>penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dan kabupaten/kota yang jaringannya melampaui batas wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
<li>pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di provinsi; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.
<li>pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi.
</ol>
(4) Urusan pemerintah kabupaten/kota dalam melakukan pembinaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;
<li>penetapan sasaran dan arah kebijakan sistem Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota;
b. pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan
<li>pemberian bimbingan, pelatihan, sertifikasi, dan izin kepada perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota; dan
c. pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.
<li>pengawasan terhadap pelaksanaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota.
 
</ol>
BAB V
<br><center>BAB V<br>
PENYELENGGARAAN
PENYELENGGARAAN<br>
 
<br>Pasal 7</center>
(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.<br>
(2) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
b.<li>urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;
<li>urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. <li>urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;
d. <li>urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
e. <li>urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
</ol>
 
<br><center>Pasal 8</center>
Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;
b.<li>inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;
<li>penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;
c. <li>perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan;
d. <li>perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan;
e. <li>penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;
f. <li>uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan
g. <li>pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan.
</ol>
 
<br><center>Pasal 9</center>
Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
b.<li>penetapan Manajemenrencana dan Rekayasaumum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
<li>Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;
c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;
<li>persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;
d. perizinan angkutan umum;
<li>perizinan angkutan umum;
e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
f.<li>pengembangan sistem pembinaaninformasi sumberdan dayakomunikasi manusiadi penyelenggarabidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
<li>pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
<li>penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
 
</ol>
Pasal 10
<br><center>Pasal 10</center>
Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor;
<li>penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor;
b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. <li>pengembangan industri perlengkapan JalanKendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.; dan
<li>pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
</ol>
Pasal 11
<br><center>Pasal 11</center>
Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;
<li>penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;
b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
c. <li>pengembangan teknologi perlengkapan JalanKendaraan Bermotor yang menjamin KetertibanKeamanan dan KelancaranKeselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.; dan
<li>pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
</ol>
Pasal 12
<br><center>Pasal 12</center>
Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor;
b.<li>pengujian pelaksanaandan registrasipenerbitan danSurat Izin identifikasiMengemudi Kendaraan Bermotor;
<li>pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;
c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
d.<li>pengumpulan, pengelolaanpemantauan, pusatpengolahan, pengendaliandan Sistem Informasi danpenyajian Komunikasidata Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
e.<li>pengelolaan pengaturan,pusat penjagaan,pengendalian pengawalan,Sistem Informasi dan patroliKomunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
<li>pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;
f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;
<li>penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;
g. pendidikan berlalu lintas;
<li>pendidikan berlalu lintas;
h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan
i. <li>pelaksanaan manajemenManajemen operasionaldan Rekayasa Lalu Lintas.; dan
<li>pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.
 
</ol>
Pasal 13
<br><center>Pasal 13</center>
(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.
(21) Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud padadalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan olehsecara forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalanterkoordinasi.<br>
(32) ForumKoordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugassebagaimana melakukandimaksud koordinasipada antarinstansiayat penyelenggara(1) yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dandilakukan menyelesaikanoleh masalahforum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.<br>
(43) Keanggotaan forumForum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimanabertugas dimaksudmelakukan padakoordinasi ayatantarinstansi (3)penyelenggara terdiriyang atasmemerlukan unsurketerpaduan pembina,dalam penyelenggara,merencanakan akademisi,dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan masyarakatAngkutan Jalan.<br>
(54) Ketentuan lebih lanjut mengenaiKeanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatursebagaimana dengandimaksud peraturanpada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan pemerintahmasyarakat.<br>
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.<br>
 
<br><center>BAB VI<br>
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN<br>
<br>Bagian Kesatu<br>
 
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan<br>
Bagian Kesatu
<br>Pasal 14</center>
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.<br>
 
(2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan.<br>
Pasal 14
(1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.
(2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
b. <li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ProvinsiNasional; dan
c. <li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.Provinsi; dan
<li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.
 
</ol>
Pasal 15
<br><center>Pasal 15</center>
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional.
(21) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud padadalam Pasal 14 ayat (13) harushuruf memperhatikana Rencanadisusun Tatasecara Ruangberkala Wilayahdengan Nasionalmempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional.<br>
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.<br>
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;
<li>prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;
<li>arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan
d. <li>rencana kebutuhanlokasi Ruangdan Lalukebutuhan LintasSimpul nasional.; dan
<li>rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.
 
</ol>
Pasal 16
<br><center>Pasal 16</center>
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.<br>
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. <li>Rencana Tata Ruang Wilayah ProvinsiNasional; dan
c. <li>Rencana IndukTata JaringanRuang LaluWilayah LintasProvinsi; dan Angkutan Jalan Nasional.
<li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.
</ol>
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;
<li>prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;
<li>arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan
d. <li>rencana kebutuhanlokasi Ruangdan Lalukebutuhan LintasSimpul provinsi.; dan
<li>rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.
 
</ol>
Pasal 17
<br><center>Pasal 17</center>
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.
(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.<br>
(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
b. <li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas danTata AngkutanRuang JalanWilayah Nasional;
<li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
d.<li>Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
<li>Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan
e. <li>Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
</ol>
(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;
<li>prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
<li>arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan
d. <li>rencana kebutuhanlokasi Ruangdan Lalukebutuhan LintasSimpul kabupaten/kota.; dan
<li>rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.
 
</ol>
Pasal 18
<br><center>Pasal 18</center>
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Bagian Kedua<br>
 
Ruang Lalu Lintas<br>
Bagian Kedua
<br>Paragraf 1<br>
Ruang Lalu Lintas
Kelas Jalan<br>
 
<br>Pasal 19</center>
Paragraf 1
Kelas Jalan
 
Pasal 19
(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
<li>fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan
b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
<li>daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.
</ol>
(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;
b. <li>jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungankolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 1218.000 (duadelapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 810 (delapansepuluh) ton;
c. <li>jalan kelas IIIII, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100500 (dua ribu seratuslima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 912.000 (sembilandua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 34.500200 (tigaempat ribu limadua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. <li>jalan kelas khususIII, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500100 (dua ribu lima ratusseratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 189.000 (delapan belassembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 43.200500 (empattiga ribu dualima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 108 (sepuluhdelapan) ton.; dan
<li>jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.
(3) Dalam keadaan tertentu daya dukung Jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.
</ol>
(4) Kelas Jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana Jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.
(3) Dalam keadaan tertentu daya dukung Jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.<br>
(4) Kelas Jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana Jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.<br>
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 20</center>
 
Pasal 20
(1) Penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan dilakukan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Pemerintah, untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi<li>Pemerintah, untuk jalan provinsinasional;
c. <li>pemerintah kabupatenprovinsi, untuk jalan kabupatenprovinsi; atau
d. <li>pemerintah kotakabupaten, untuk jalan kota.kabupaten; atau
<li>pemerintah kota, untuk jalan kota.
(2) Kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
</ol>
(2) Kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.<br>
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Paragraf 2<br>
 
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan<br>
Paragraf 2
<br>Pasal 21</center>
Penggunaan dan Perlengkapan Jalan
(1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.<br>
 
(2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.<br>
Pasal 21
(13) SetiapAtas Jalanpertimbangan memilikikeselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang ditetapkanharus dinyatakan dengan Rambu secaraLalu nasionalLintas.<br>
(24) Batas kecepatan paling tinggirendah sebagaimanapada dimaksudjalan padabebas ayathambatan (1)ditetapkan ditentukandengan berdasarkanbatas kawasanabsolut permukiman,60 kawasan(enam perkotaan,puluh) jalankilometer antarkota,per danjam jalandalam bebaskondisi hambatanarus bebas.<br>
(3) Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.
(4) Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 22</center>
 
(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.<br>
Pasal 22
(12) Penyelenggara Jalan yangwajib dioperasikanmelaksanakan harusuji memenuhi persyaratan laikkelaikan fungsi Jalan secarasebelum teknispengoperasian dan administratifJalan.<br>
(23) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakanmelakukan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasianpada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.<br>
(4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.<br>
(3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
(45) UjiTim kelaikanuji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (24) danterdiri ayatatas (3)unsur dilakukanpenyelenggara olehJalan, timinstansi ujiyang laikbertanggung fungsijawab Jalandi yangbidang dibentuksarana olehdan penyelenggaraPrasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br>
(56) TimHasil uji laikkelaikan fungsi Jalan sebagaimanawajib dimaksuddipublikasikan pada ayat (4) terdiridan atasditindaklanjuti unsuroleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sertadan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br>
(6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Pasal 23</center>
 
(1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.<br>
Pasal 23
(1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
<br><center>Pasal 24</center>
 
(1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.<br>
Pasal 24
(1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.
(2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.
<br><center>Pasal 25</center>
 
Pasal 25
(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Rambu Lalu Lintas;
<li>Rambu Lalu Lintas;
b. Marka Jalan;
<li>Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
<li>Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;
d. alat penerangan Jalan;
e.<li>alat penerangan Jalan;
<li>alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;
f. <li>alat pengawasan dan pengamanan Jalan;
g. <li>fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan
h. <li>fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.
</ol>
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah
 
<br><center>Pasal 26</center>
(1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi<li>Pemerintah untuk jalan provinsinasional;
c.<li>pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
<li>pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau
d. <li>badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
</ol>
(2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Pasal 27</center>
 
(1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.<br>
Pasal 27
(1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.
(2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.
<br><center>Pasal 28</center>
 
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.<br>
Pasal 28
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
<br><center>Bagian Ketiga<br>
 
Dana Preservasi Jalan<br>
Bagian Ketiga
<br>Pasal 29</center>
Dana Preservasi Jalan
(1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.<br>
 
(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.<br>
Pasal 29
(3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.<br>
(1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.
(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.
(3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.
(4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Pasal 30</center>
 
Pasal 30
Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.
<br><center>Pasal 31</center>
 
Pasal 31
Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan.
<br><center>Pasal 32</center>
 
Pasal 32
Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.
<br><center>Bagian Keempat
 
Terminal<br>
Bagian Keempat
<br>Paragraf 1<br>
Terminal
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal<br>
 
<br>Pasal 33</center>
Paragraf 1
(1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal.<br>
Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal
 
Pasal 33
(1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal.
(2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.
<br><center>Pasal 34</center>
 
(1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.<br>
Pasal 34
(1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.
(2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.
<br><center>Pasal 35</center>
 
Pasal 35
Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Pasal 36</center>
 
Pasal 36
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.
<br><center>Paragraf 2<br>
 
Penetapan Lokasi Terminal<br>
Paragraf 2
<br>Pasal 37</center>
Penetapan Lokasi Terminal
(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.<br>
 
Pasal 37
(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
<li>tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;
b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
<li>kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;
d. <li>kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusatkinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan kegiatanlintas;
<li>kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;
e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
<li>keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;
f. permintaan angkutan;
<li>permintaan angkutan;
g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
<li>kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;
h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
<li>Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
i. kelestarian lingkungan hidup.
<li>kelestarian lingkungan hidup.
 
</ol>
Paragraf 3
<br><center>Paragraf 3<br>
Fasilitas Terminal
Fasilitas Terminal<br>
 
<br>Pasal 38</center>
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.<br>
(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.<br>
(3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.
<br><center>Paragraf 4<br>
 
Lingkungan Kerja Terminal<br>
Paragraf 4
<br>Pasal 39</center>
Lingkungan Kerja Terminal
(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.<br>
 
(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.<br>
Pasal 39
(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.
(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.
(3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
<br><center>Paragraf 5<br>
 
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal<br>
Paragraf 5
<br>Pasal 40</center>
Pembangunan dan Pengoperasian Terminal
 
Pasal 40
(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. rancang bangun;
b. buku kerja <li>rancang bangun;
<li>buku kerja rancang bangun;
c. rencana induk Terminal;
<li>rencana induk Terminal;
d. analisis dampak Lalu Lintas; dan
e. <li>analisis mengenai dampak lingkungan.Lalu Lintas; dan
<li>analisis mengenai dampak lingkungan.
</ol>
(2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. perencanaan;
<li>perencanaan;
b. pelaksanaan; dan
<li>pelaksanaan; dan
c. pengawasan operasional Terminal.
<li>pengawasan operasional Terminal.
 
</ol>
Pasal 41
<br><center>Pasal 41</center>
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.
(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.<br>
(2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
<br><center>Paragraf 6<br>
 
Pengaturan Lebih Lanjut<br>
Paragraf 6
<br>Pasal 42</center>
Pengaturan Lebih Lanjut
 
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Bagian Kelima<br>
 
Fasilitas Parkir<br>
Bagian Kelima
<br>Pasal 43</center>
Fasilitas Parkir
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.<br>
 
Pasal 43
(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.
(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. usaha khusus perparkiran; atau
<li>usaha khusus perparkiran; atau
b. penunjang usaha pokok.
<li>penunjang usaha pokok.
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.
</ol>
(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.<br>
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 44</center>
 
Pasal 44
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. rencana umum tata ruang;
<li>rencana umum tata ruang;
b. analisis dampak lalu lintas; dan
<li>analisis dampak lalu lintas; dan
c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.
<li>kemudahan bagi Pengguna Jasa.
 
</ol>
Bagian Keenam
<br><center>Bagian Keenam<br>
Fasilitas Pendukung
Fasilitas Pendukung<br>
 
<br>Pasal 45</center>
(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. trotoar;
<li>trotoar;
b. lajur sepeda;
<li>lajur sepeda;
c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
<li>tempat penyeberangan Pejalan Kaki;
d. Halte; dan/atau
<li>Halte; dan/atau
e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
<li>fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.
</ol>
(2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi<li>Pemerintah untuk jalan provinsinasional;
c. <li>pemerintah kabupatenprovinsi untuk jalan kabupaten dan jalan desaprovinsi;
d. <li>pemerintah kotakabupaten untuk jalan kota;kabupaten dan jalan desa;
<li>pemerintah kota untuk jalan kota; dan
e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
<li>badan usaha jalan tol untuk jalan tol.
 
</ol>
Pasal 46
<br><center>Pasal 46</center>
(1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta.
(1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta.<br>
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>BAB VII<br>
 
KENDARAAN<br>
BAB VII
<br>Bagian Kesatu<br>
KENDARAAN
Jenis dan Fungsi Kendaraan<br>
 
<br>Pasal 47</center>
Bagian Kesatu
Jenis dan Fungsi Kendaraan
 
Pasal 47
(1) Kendaraan terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Kendaraan Bermotor; dan
b. <li>Kendaraan TidakBermotor; Bermotor.dan
<li>Kendaraan Tidak Bermotor.
</ol>
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelompokkan berdasarkan jenis:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. sepeda motor;
<li>sepeda motor;
b. mobil penumpang;
c. <li>mobil buspenumpang;
d. <li>mobil barangbus; dan
<li>mobil barang; dan
e. kendaraan khusus.
<li>kendaraan khusus.
</ol>
(3) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dikelompokkan berdasarkan fungsi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b. <li>Kendaraan Bermotor Umum.perseorangan; dan
<li>Kendaraan Bermotor Umum.
</ol>
(4) Kendaraan Tidak Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelompokkan dalam:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga orang; dan
b. <li>Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.orang; dan
<li>Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga hewan.
 
</ol>
Bagian Kedua
<br><center>Bagian Kedua<br>
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor
Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor<br>
 
<br>Pasal 48</center>
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.<br>
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. susunan;
<li>susunan;
b. perlengkapan;
<li>perlengkapan;
c. ukuran;
<li>ukuran;
d. karoseri;
<li>karoseri;
e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya;
<li>rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya;
f. pemuatan;
<li>pemuatan;
g. penggunaan;
<li>penggunaan;
h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau
i. penempelan<li>penggandengan Kendaraan Bermotor.; dan/atau
<li>penempelan Kendaraan Bermotor.
</ol>
(3) Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. emisi gas buang;
<li>emisi gas buang;
b. kebisingan suara;
<li>kebisingan suara;
c. efisiensi sistem rem utama;
d. <li>efisiensi sistem rem parkirutama;
<li>efisiensi sistem rem parkir;
e. kincup roda depan;
<li>kincup roda depan;
f. suara klakson;
<li>suara klakson;
g. daya pancar dan arah sinar lampu utama;
<li>daya pancar dan arah sinar lampu utama;
h. radius putar;
<li>radius putar;
i. akurasi alat penunjuk kecepatan;
<li>akurasi alat penunjuk kecepatan;
j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban; dan
k. <li>kesesuaian dayakinerja mesinroda penggerakdan terhadapkondisi beratban; Kendaraan.dan
<li>kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat Kendaraan.
</ol>
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Bagian Ketiga<br>
 
Pengujian Kendaraan Bermotor<br>
Bagian Ketiga
<br>Pasal 49</center>
Pengujian Kendaraan Bermotor
(1) Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian.<br>
 
Pasal 49
(1) Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. uji tipe; dan
b. <li>uji berkala.tipe; dan
<li>uji berkala.
 
</ol>
Pasal 50
<br><center>Pasal 50</center>
(1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.
(1) Uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a wajib dilakukan bagi setiap Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan, yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe.<br>
(2) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. pengujian fisik untuk pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan yang dilakukan terhadap landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap; dan
b.<li>pengujian penelitianfisik rancanguntuk bangunpemenuhan persyaratan teknis dan rekayasalaik Kendaraan Bermotorjalan yang dilakukan terhadap rumah-rumah,landasan bakKendaraan muatan, kereta gandengan, kereta tempelan,Bermotor dan Kendaraan Bermotor yangdalam dimodifikasikeadaan tipenya.lengkap; dan
<li>penelitian rancang bangun dan rekayasa Kendaraan Bermotor yang dilakukan terhadap rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi tipenya.
(3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.
</ol>
(3) Uji tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.<br>
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji tipe dan unit pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 51</center>
 
(1) Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe.<br>
Pasal 51
(2) Rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan, dan modifikasi tipe Kendaraan Bermotor yang telah lulus uji tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa.<br>
(1) Landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap yang telah lulus uji tipe diberi sertifikat lulus uji tipe.
(23) RumahPenanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan, dan kereta tempelan, dan modifikasi tipeserta Kendaraan Bermotor yang telahdimodifikasi lulusharus ujimeregistrasikan tipe diterbitkan surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasaproduksinya.<br>
(4) Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe.<br>
(3) Penanggung jawab pembuatan, perakitan, pengimporan landasan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Bermotor dalam keadaan lengkap, rumah-rumah, bak muatan, kereta gandengan dan kereta tempelan, serta Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi harus meregistrasikan tipe produksinya.
(5) Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.<br>
(4) Sebagai bukti telah dilakukan registrasi tipe produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan tanda bukti sertifikat registrasi uji tipe.
(5) Sebagai jaminan kesesuaian spesifikasi teknik seri produksinya terhadap sertifikat uji tipe, dilakukan uji sampel oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi dan uji tipe diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 52</center>
 
(1) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dapat berupa modifikasi dimensi, mesin, dan kemampuan daya angkut.<br>
Pasal 52
(12) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50pada ayat (1) dapattidak berupaboleh modifikasimembahayakan dimensikeselamatan berlalu lintas, mesinmengganggu arus lalu lintas, danserta kemampuanmerusak lapis perkerasan/daya angkutdukung jalan yang dilalui.<br>
(3) Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang.<br>
(2) Modifikasi Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui.
(3) Setiap Kendaraan Bermotor yang dimodifikasi sehingga mengubah persyaratan konstruksi dan material wajib dilakukan uji tipe ulang.
(4) Bagi Kendaraan Bermotor yang telah diuji tipe ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harus dilakukan registrasi dan identifikasi ulang.
<br><center>Pasal 53</center>
 
Pasal 53
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di Jalan.
(2) Pengujian berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan
<li>pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor; dan
b. pengesahan hasil uji.
<li>pengesahan hasil uji.
</ol>
(3) Kegiatan pemeriksaan dan pengujian fisik Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota;
<li>unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota;
b. unit pelaksana agen tunggal pemegang merek yang mendapat izin dari Pemerintah; atau
c. <li>unit pelaksana pengujianagen swastatunggal pemegang merek yang mendapatkanmendapat izin dari Pemerintah.; atau
<li>unit pelaksana pengujian swasta yang mendapatkan izin dari Pemerintah.
 
</ol>
Pasal 54
<br><center>Pasal 54</center>
(1) Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.
(1) Pemeriksaan dan pengujian fisik mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus, kereta gandengan, dan kereta tempelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a meliputi pengujian terhadap persyaratan teknis dan laik jalan.<br>
(2) Pengujian terhadap persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. susunan;
<li>susunan;
b. perlengkapan;
<li>perlengkapan;
c. ukuran;
<li>ukuran;
d. karoseri; dan
<li>karoseri; dan
e. rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.
<li>rancangan teknis Kendaraan Bermotor sesuai dengan peruntukannya.
</ol>
(3) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. emisi gas buang Kendaraan Bermotor;
<li>emisi gas buang Kendaraan Bermotor;
b. tingkat kebisingan;
<li>tingkat kebisingan;
c. kemampuan rem utama;
d. <li>kemampuan rem parkirutama;
<li>kemampuan rem parkir;
e. kincup roda depan;
<li>kincup roda depan;
f. kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama;
<li>kemampuan pancar dan arah sinar lampu utama;
g. akurasi alat penunjuk kecepatan; dan
<li>akurasi alat penunjuk kecepatan; dan
h. kedalaman alur ban.
<li>kedalaman alur ban.
</ol>
(4) Pengujian terhadap persyaratan laik jalan kereta gandengan dan kereta tempelan meliputi uji kemampuan rem, kedalaman alur ban, dan uji sistem lampu.<br>
(5) Bukti lulus uji berkala hasil pemeriksaan dan pengujian fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian kartu uji dan tanda uji.<br>
(6) Kartu uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan identitas pemilik, spesifikasi teknis, hasil uji, dan masa berlaku hasil uji.<br>
(7) Tanda uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat keterangan tentang identifikasi Kendaraan Bermotor dan masa berlaku hasil uji.
<br><center>Pasal 55</center>
 
Pasal 55
(1) Pengesahan hasil uji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b diberikan oleh:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. petugas yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian pemerintah kabupaten/kota; dan
b. <li>petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atas usul gubernur untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agenpemerintah tunggal pemegang merekkabupaten/kota; dan unit pelaksana pengujian swasta.
<li>petugas swasta yang memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk pengujian yang dilakukan oleh unit pelaksana pengujian agen tunggal pemegang merek dan unit pelaksana pengujian swasta.
</ol>
(2) Kompetensi petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat tanda lulus pendidikan dan pelatihan.
<br><center>Pasal 56</center>
 
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Bagian Keempat<br>
 
Perlengkapan Kendaraan Bermotor<br>
Bagian Keempat
<br>Pasal 57</center>
Perlengkapan Kendaraan Bermotor
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.<br>
 
(2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.<br>
Pasal 57
(1) Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor.
(2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Sepeda Motor berupa helm standar nasional Indonesia.
(3) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurang-kurangnya terdiri atas:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. sabuk keselamatan;
<li>sabuk keselamatan;
b. ban cadangan;
<li>ban cadangan;
c. segitiga pengaman;
<li>segitiga pengaman;
d. dongkrak;
<li>dongkrak;
e. pembuka roda;
<li>pembuka roda;
f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan
<li>helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumah-rumah; dan
g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas.
<li>peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas.
</ol>
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
<br><center>Pasal 58</center>
 
Pasal 58
Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas.
<br><center>Pasal 59</center>
 
(1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.<br>
Pasal 59
(1) Untuk kepentingan tertentu, Kendaraan Bermotor dapat dilengkapi dengan lampu isyarat dan/atau sirene.
(2) Lampu isyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas warna:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. merah;
<li>merah;
b. biru; dan
<li>biru; dan
c. kuning.
<li>kuning.
(3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.
</ol>
(4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.
(3) Lampu isyarat warna merah atau biru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b serta sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai tanda Kendaraan Bermotor yang memiliki hak utama.<br>
(4) Lampu isyarat warna kuning sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berfungsi sebagai tanda peringatan kepada Pengguna Jalan lain.<br>
(5) Penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
<ol style="list-style-type: lower-alpha;">
a. lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk mobil petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b.<li>lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk mobil petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
<li>lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk mobil tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, dan jenazah; dan
c. <li>lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk mobil patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus.
</ol>
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, prosedur, dan tata cara pemasangan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.<br>
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan lampu isyarat dan sirene sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
<br><center>Bagian Kelima<br>
 
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor<br>
Bagian Kelima
<br>Pasal 60</center>
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
(1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.<br>
 
Pasal 60
(1) Bengkel umum Kendaraan Bermotor berfungsi untuk memperbaiki dan merawat Kendaraan Bermotor wajib memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.
(2) Bengkel umum yang mempunyai akreditasi dan kualitas tertentu dapat melakukan pengujian berkala Kendaraan Bermotor.
(3) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang industri.<br>
(4) Penyelenggaraan bengkel umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.<br>
(5) Pengawasan terhadap bengkel umum Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.<br>
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum diatur dengan peraturan pemerintah.
 
Baris 772 ⟶ 780:
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB VIII
PENGEMUDI
 
Baris 781 ⟶ 789:
Persyaratan Pengemudi
 
Pasal 77</center>
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.
(2) Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis:
Baris 939 ⟶ 947:
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB IX
LALU LINTAS
 
Baris 948 ⟶ 956:
Pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas
 
Pasal 93</center>
(1) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dilaksanakan untuk mengoptimalkan penggunaan jaringan Jalan dan gerakan Lalu Lintas dalam rangka menjamin Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
Baris 1.348 ⟶ 1.356:
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB X
ANGKUTAN
 
Baris 1.354 ⟶ 1.362:
Angkutan Orang dan Barang
 
Pasal 137</center>
(1) Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor.
(2) Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus.
Baris 1.820 ⟶ 1.828:
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
<br><center>BAB XI
KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
 
Baris 1.826 ⟶ 1.834:
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
 
Pasal 200</center>
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bertanggung jawab atas terselenggaranya kegiatan dalam mewujudkan dan memelihara Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kerja sama antara pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan masyarakat.
Baris 1.895 ⟶ 1.903:
(3) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menetapkan kebijakan dan program untuk mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan berlalu lintas.
 
<br><center>BAB XII
DAMPAK LINGKUNGAN
 
Baris 1.901 ⟶ 1.909:
Perlindungan Kelestarian Lingkungan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
 
Pasal 209</center>
(1) Untuk menjamin kelestarian lingkungan, dalam setiap kegiatan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dilakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup untuk memenuhi ketentuan baku mutu lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Baris 1.969 ⟶ 1.977:
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan kriteria pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB XIII
PENGEMBANGAN INDUSTRI DAN TEKNOLOGI SARANA
DAN PRASARANA LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Baris 1.976 ⟶ 1.984:
Umum
 
Pasal 219</center>
(1) Pengembangan industri dan teknologi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
a. rancang bangun dan pemeliharaan Kendaraan Bermotor;
Baris 2.066 ⟶ 2.074:
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan industri dan teknologi Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB XIV
KECELAKAAN LALU LINTAS
 
Baris 2.072 ⟶ 2.080:
Pencegahan Kecelakaan Lalu Lintas
 
Pasal 226</center>
(1) Untuk mencegah Kecelakaan Lalu Lintas dilaksanakan melalui:
a. partisipasi para pemangku kepentingan;
Baris 2.192 ⟶ 2.200:
Setiap korban Kecelakaan Lalu Lintas berhak memperoleh pengutamaan pertolongan pertama dan perawatan pada rumah sakit terdekat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
<br><center>BAB XV
PERLAKUAN KHUSUS BAGI PENYANDANG CACAT,
MANUSIA USIA LANJUT, ANAK-ANAK, WANITA HAMIL, DAN ORANG SAKIT
Baris 2.199 ⟶ 2.207:
Ruang Lingkup Perlakuan Khusus
 
Pasal 242</center>
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit.
(2) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Baris 2.221 ⟶ 2.229:
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB XVI
SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Baris 2.228 ⟶ 2.236:
Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi
 
Pasal 245</center>
(1) Untuk mendukung Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan sistem informasi dan komunikasi yang terpadu.
(2) Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baris 2.306 ⟶ 2.314:
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB XVII
SUMBER DAYA MANUSIA
 
Pasal 253</center>
(1) Pembina Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib mengembangkan sumber daya manusia untuk menghasilkan petugas yang profesional dan memiliki kompetensi di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan oleh:
Baris 2.323 ⟶ 2.331:
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan sumber daya manusia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB XVIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
 
Pasal 256</center>
(1) Masyarakat berhak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
Baris 2.341 ⟶ 2.349:
Masyarakat wajib berperan serta dalam pemeliharaan sarana dan prasarana jalan, pengembangan disiplin dan etika berlalu lintas, dan berpartisipasi dalam pemeliharaan Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
 
<br><center>BAB XIX
PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN PELANGGARAN
LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Baris 2.348 ⟶ 2.356:
Penyidikan
 
Pasal 259</center>
(1) Penyidikan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilakukan oleh:
a. Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
Baris 2.465 ⟶ 2.473:
(2) Hasil penggunaan peralatan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
 
<br><center>BAB XX
KETENTUAN PIDANA
 
Pasal 273</center>
(1) Setiap penyelenggara Jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki Jalan yang rusak yang mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan Kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Baris 2.634 ⟶ 2.642:
Dalam hal nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan, besaran nilai denda sebagaimana dimaksud dalam Bab XX dapat ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
 
<br><center>BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 318</center>
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, pendidikan dan pelatihan Pengemudi yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan Pengemudi tetap berlangsung sesuai dengan izin yang diberikan dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.
 
Baris 2.643 ⟶ 2.651:
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, audit yang sedang dilaksanakan oleh auditor Pemerintah tetap dijalankan sampai dengan selesainya audit.
 
<br><center>BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 320</center>
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku.