Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 1957: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
-iNu- (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{rapikan}}
{{UU|1|1957}}
<div align=justify><br><br><center>UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br>NOMOR 71 TAHUN 1957<br>TENTANG<br>PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NOMOR 10 TAHUN 1954<br>TENTANG NASIONALISASI BATAVIASCHE VERKEERS MATSCHAPPIJ<br>N. V. (B.V.M.) (LEMBARAN-NEGARA TAHUN 1954 NO. 67<br>DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br><br>PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,</center><br><div class=sm>Menimbang: a. bahwa Pemerintah, berdasarkan pasal 96 ayat (1) Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia telah menetapkan Undang-undang Darurat No. 10 tahun 1954 tentang nasionalisasi Bataviasche Verkeers Maatschappij N.V.. (B.V.M.) (Lembaran Negara tahun 1954 No. 67);</div><div class=sm1>b. bahwa peraturan-peraturan yang termaktub dalam Undang-undang Darurat tersebut perlu ditetapkan sebagai Undang-undang;</div><div class=sm>Mengingat: &nbsp; &nbsp; pasal-pasal 89 dan 97 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia;</div><br><center>Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;<br><br>MEMUTUSKAN:</center><br><div class=s60>Menetapkan:&nbsp; &nbsp;UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO. 10 TAHUN 1954 TENTANG NASIONALISASI BATAVIASCHE VERKEERS MAATCHAPPIJ N.V. (B.V.M.) (LEMBARAN NEGARA TAHUN 1954 NO. 67) SEBAGAI UNDANG-UNDANG.</div><br><center>Pasal I</center>Peraturan-peraturan yang termaktub dalam Undang-undang Darurat No. 10 tahun 1954 tentang nasionalisasi Bataviasche Verkeers Maatschappij N.V. (B.V.M.) (Lembaran Negara tahun 1954 No. 67) ditetapkan sebagai Undang-undang yang berbunyi sebagai berikut:<br><br><center>Pasal 1</center><div class=s12>1. Keperluan umum menghendaki supaya Bataviasche Verkeers Maatschappij N.V. dinasionalisasi untuk tujuan mana harus dicabut hak dari saham-saham Bataviasche Verkeers Maatschappij N.V. agar menjadi milik penuh dan bebas dari Negara.</div><div class=s12>2. Peraturan-peraturan dalam "Onteigeningsordonnantie 1920" (Staatsblad No. 574) untuk nasionalisasi ini tidak berlaku.</div><br><center>Pasal 2</center>Saham-saham dalam modal pangkal dari Bataviasche Verkeers Maatschappij N.V. yang belum dimiliki oleh Negara Republik Indonesia, terhitung mulai berlakunya Undang-Undang ini dicabut haknya dari pemilik-pemiliknya oleh Pemerintah Republik Indonesia dan pindah menjadi milik penuh dan bebas dari Negara.<br><br><center>Pasal 3</center>Dengan tidak mengurangi yang tersebut dalam pasal 4, kepada pemilik-pemilik saham Bataviasche Verkeers Maatschappij N.V., yang sahamnya menurut Pasal 2 tersebut di atas dicabut haknya, diberi pengganti kerugian sebesar 23 1/3 % dari harga nominal sahamnya dalam mata-uang Belanda atau terhadap Warga Negara Indonesia, yang menurut peraturan devisen berkedudukan di Indonesia 70% dari harga tersebut dalam mata-uang Indonesia.<br><br><center>Pasal 4</center><div class=s12>1. Pemilik-pemilik saham Bataviasche Verkeers Maatschappij N.V., yang sahamnya menurut Pasal 2 tersebut di atas dicabut haknya, dan yang tidak menyetujui besarnya pengganti kerugian tersebut dalam Pasal 3 di atas, dalam waktu dua bulan mulai dari hari berlakunya Undang-undang ini, diberi kesempatan untuk mengajukan pengaduan menurut peraturan-peraturan acara yang berlaku dalam pengadilan di Indonesia untuk minta ditetapkan oleh hakim besarnya pengganti kerugian yang seadil-adilnya.</div>2. Hakim mendahulukan penyelesaian urusan ini.<br><br><center>Pasal 5</center><div class=s12>1. Oleh Pemerintah Republik Indonesia disediakan uang pada Bank Indonesia sebesar jumlah yang diperlukan untuk pembayaran pengganti kerugian kepada pemegang-pemegang saham, yang saham-sahamnya dicabut haknya, dihitung berdasarkan peraturan tersebut dalam Pasal 3 dari Undang-undang ini.<br>Selama waktu satu bulan terhitung dari mulai berlakunya Undang-undang ini Bank Indonesia membayarkan pengganti kerugian tersebut kepada pemegang-pemegang saham itu, yang menyerahkan sahamnya untuk Republik Indonesia beserta talon dan bukti-bukti dividen yang belum dibayar.</div><div class=s12>2. Setelah waktu satu bulan tersebut dalam ayat (1) berakhir, maka Bank Indonesia mengumumkan nomornya saham-saham yang dicabut haknya menurut peraturan dalam Pasal 2 dari Undang-undang ini, akan tetapi yang sesudahnya waktu satu bulan terhitung dari mulai berlakunya Undang-undang ini belum diserahkan menurut ayat (1), dan yang jumlah pengganti kerugiannya yang ditetapkan menurut pasal 3 telah disediakan pada Bank itu. Pengumuman itu ditempatkan dalam Berita Negara dan dalam surat-surat kabar yang dipandang perlu oleh Menteri Perhubungan.</div><div class=s12>3. Setelah tindakan tersebut dalam ayat (2) selesai, maka segala risiko dan biaya terhadap uang yang disediakan itu menjadi tanggungan yang berkepentingan.</div><br><center>Pasal 6</center>Terhadap modal yang berasal dari luar Negeri, pemindahan keluar Negeri, dari pengganti kerugian tersebut dalam pasal 3 dan pasal 4 diizinkan dalam waktu tiga tahun setelah terjadi hak atas pengganti kerugian yang telah ditetapkan dengan koers pada hari terjadinya hak menerima pengganti kerugian.<br><br><center>Pasal 7</center>Menteri Perhubungan diberi kuasa mengambil segala tindakan yang perlu untuk pelaksanaan Undang-undang ini.<br><br><center>Pasal II</center>Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.<br><br>Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br><br><div class=s300>Di sahkan di Jakarta<br>pada tanggal 26 Oktober 1957.<br>PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br><br>SUKARNO</div>Diundangkan<br>pada tanggal 10 Nopember 1957.<br>MENTERI KEHAKIMAN,<br>G. A. MAENGKOM<br><br>MENTERI PERHUBUNGAN,<br>SUKARDAN<br><br><br><br>LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1957 NOMOR 153<hr size=1><br><br><br><center>MEMORI PENJELASAN<br>MENGENAI<br>USUL UNDANG-UNDANG TENTANG PENETAPAN UNDANG-UNDANG<br>DARURAT NOMOR 1O TAHUN 1954<br>TENTANG<br>NASIONALISASI BATAVIASCHE VERKEERS MAATSCHAPPIJ N.V.<BR>(B.V.M.) (LEMBARAN NEGARA TAHUN 1954 NO. 67) SEBAGAI<br>UNDANG-UNDANG</center><br>A. Umum<br><br><div class=salinea>Dengan mengeluarkan Undang-undang nasionalisasi ini, Pemerintah diberikan hak untuk mencabut (onteigenen) hak yang terletak pada saham-saham B.V.M, dan yang pada waktu sekarang belum menjadi hak milik Pemerintah.</div><div class=salinea>Tentang alasan hukum pada Undang-undang ini dapat dikemukakan bahwa kesadaran hukum dari pada khalayak ramai menghendaki agar pengangkutan umum di Ibu Kota Negara Republik Indonesia diselenggarakan oleh bangsa Indosnesia sendiri.</div><br>B. Pasal demi pasal.<br><br>Pasal 1<br><div class=s120>Peraturan-peraturan dalam "Onteigeningsordonnantie 1920" untuk nasionalisasi B.V.M. tidak dapat dipergunakan, maka dalam hal ayat (2) tidak berlakunya harus disebut untuk menghindarkan salah faham tentang soal ini.</div><br>Pasal 2<br><div class=s120>Dalam pasal ini harus dipastikan bahwa pada waktu mulai berlakunya Undang-undang tersebut saham-saham menjadi milik penuh dan bebas dari Pemerintah (Negara).</div><br>Pasal 3<br><div class=s120>Dalam usaha mengambil oper saham-saham haruslah ditentukan dengan kurs setingkat mana pengoperan itu harus dilaksanakan.<br>Kurs tersebut ditetapkan sebagai berikut:<br>23 1/3% dari saham-saham yang dibayar dengan Nederlandse gulden (mata uang Belanda);<br>70% bagi saham yang dibayar dengan rupiah (mata Uang Indonesia).</div><br>Pasal 4<br><div class=s120>Pemilik-pemilik saham yang tidak menyetujui besarnya pengganti kerugiaan diberi kesempatan untuk meminta penetapan dari pengganti kerugian ini kepada hakim.</div><br>Pasal 5<br><div class=s120>Cukup jelas.</div><br>Pasal 6<br><div class=s120>Cukup jelas.</div><br><br>TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 1469<br></div><br>
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
 
 
NOMOR 1 TAHUN 1957
 
TENTANG
 
POKOK POKOK PEMERINTAHAN DAERAH
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 
Menimbang:
 
1.
 
bahwa berhubung dengan perkembangan ketata-negaraan maka Undang-undang tentang Pokok Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan Negara Kesatuan;
2.
 
bahwa pembaharuan itu perlu dilakukan dalam suatu Undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia;
 
Mengingat : Pasal-pasal 89, 131 jo. 132 Undang-Undang Dasar
 
Sementara; dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
 
MEMUTUSKAN:
 
I. Mencabut:
 
a. Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 1948
 
b. Undang-undang Negara Indonesia Timur No. 44 tahun 1950;
 
c. Peraturan-perundangan lainnya mengenai
 
Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
 
II. Menetapkan:
 
UNDANG-UNDANG TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH.
 
BAB I
 
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
 
(1) Yang dimaksud dengan Daerah dalam Undang-undang ini ialah daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang disebut juga "Daerah Swatantra" dan "Daerah Istimewa".
 
(2) Jika dalam Undang-undang ini disebut "setingkat lebih atas" maka yang dimaksudkan ialah:
 
1.
 
Daerah tingkat ke I (termasuk Daerah Istimewa tingkat I) bagi Daerah tingkat ke II (termasuk Daerah Istimewa tingkat II), yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat I itu;
2.
 
Daerah tingkat ke II (termasuk Daerah Istimewa tingkat II) bagi Daerah tingkat ke III (termasuk Daerah Istimewa tingkat III) yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat II itu.
 
(3) Jika dalam Undang-undang ini di belakang perkataan "Dewan Perwakilan Rakyat Daerah" atau "Dewan Pemerintah Daerah" disebut suatu "tingkat", maka dengan "tingkat" itu dimaksudkan tingkat dari Daerah yang disebut dalam hubungan itu.
 
(4) Jika dalam Undang-undang ini di belakang perkataan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah tidak disebut sesuatu penjelasan, maka yang dimaksud ialah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah dari Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa.
 
(5) Dalam Undang-undang ini dengan istilah keputusan dapat diartikan juga peraturan.
 
 
 
BAB II
 
PEMBAGIAN WILAYAH REPUBLIK INDONESIA DALAM DAERAH SWATANTRA
 
 
 
Pasal 2
 
(1) Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah adalah sebagai berikut:
 
a. Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya,
 
b. Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja, dan
 
c. Daerah tingkat ke III.
 
(2) Daerah Swapraja menurut pentingnya dan perkembangan masyarakat dewasa ini, dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa tingkat ke I,II atau III atau Daerah Swatantra tingkat ke I, II atau III, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
 
 
 
 
Pasal 3
 
Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam Pasal 2, ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang.
 
 
 
Pasal 4
 
(1) Yang dapat dibentuk sebagai Kotapraja adalah daerah yang merupakan kelompok kediaman penduduk, dengan berpedoman kepada syarat penduduk sejumlah sekurang-kurangnya 50.000 jiwa.
 
(2) Dalam Kotapraja, kecuali Kotapraja Jakarta Raya, tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah.
 
 
Bab III
 
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAH DAERAH BAGIAN I KETENTUAN UMUM
 
 
 
Pasal 5
 
Pemerintah Daerah terdiri daripada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan PemerintahDaerah.
 
 
Pasal 6
 
(1) Kepala Daerah karena jabatannya adalah Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah.
 
(2) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh dan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(3) Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah dipilih oleh dan dari, anggota Dewan Pemerintah Daerah.
 
(4) Selama Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum ada rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipimpin oleh seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tertua usianya.
 
 
BAGIAN II
 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
 
 
Pasal 7
 
(1) Bagi tiap-tiap Daerah jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam Undang-undang pembentukannya, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk yang harus mempunyai seorang anggota bagi masing-masing Daerah sebagai berikut:
 
a. bagi Daerah-daerah tingkat I tiap-tiap 200,000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 30 dan maksimum 75;
 
b. bagi Daerah-daerah tingkat II tiap-tiap 10.000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 15 orang dan maksimum 35;
 
c. bagi Daerah-daerah tingkat III tiap-tiap 2000 orang penduduk mempunyai seorang wakil dengan minimum 10 dan maksimum 20.
 
 
(2) Perubahan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut ketentuan-ketentuan tersebut tersebut dalam ayat (1) sub a, b dan c ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
 
(3) Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berlaku untuk masa empat tahun.
 
(4) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengisi lowongan keanggotaan antar atau, duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut.
 
(5) Menyimpang daripada ketentuan tersebut dalam ayat 3, anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang pertama meletakkan keanggotaannya itu bersama-sama pada waktu yang ditentukan dalam Undang-undang Pembentukan.
 
(6) Pemilihan dan penggantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diatur dengan Undang-undang.
 
 
Pasal 8
 
Yang dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ialah warganegara Indonesia yang:
 
1.
 
telah berumur dua puluh tahun;
2.
 
bertempat tinggal pokok di dalam wilayah yang bersangkutan sedikitnya enam bulan yang terakhir;
3.
 
cakap menulis dan membaca bahasa Indonesia dalam huruf Latin;
4.
 
tidak kehilangan hak menguasai atau mengurus harta bendanya karena keputusan pengadilan yang tidak dapat berobah lagi;
5.
 
tidak dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirobah lagi;
6.
 
tidak terganggu ingatannya.
 
 
 
Pasal 9
 
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah boleh merangkap menjadi:
 
1.
 
Presiden dan Wakil Presiden;
2.
 
Perdana Menteri dan Menteri;
3.
 
Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan;
4.
 
Anggota Dewan Pemerintah Daerah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang tingkatnya lebih atas atau lebih rendah;
5.
 
Kepala Dinas Daerah, Sekretaris Daerah dan pegawai yang bertanggung-jawab tentang keuangan kepada Daerah yang bersangkutan.
 
 
 
 
Pasal 10
 
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh:
 
1.
 
menjadi adpokat, pokrol atau kuasa dalam perkara hukum, dalam mana Daerah itu tersangkut;
2.
 
ikut serta dalam pemungutan suara mengenai penetapan atau pengusahaan dari perhitungan yang dibuat oleh suatu badan dalam mana ia duduk sebagai anggota pengurusannya, kecuali apabila hal ini mengenai perhitungan anggaran keruangan Daerah yang bersangkutan;
3.
 
langsung atau tidak langsung turut serta dalam ataupun menjadi penanggung untuk sesuatu usaha menyelenggarakan pekerjaan umum, pengangkutan atau berlaku sebagai rekanan (leverancier), guna kepentingan daerah;
4.
 
melakukan pekerjaan-pekerjaan lain yang mendatangkan keuntungan baginya atau merugikan bagi Daerah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan Daerah yang bersangkutan,
 
 
(2) Terhadap larangan-larangan tersebut dalam ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat memberikan pengecualian apabila kepentingan Daerah memerlukannya.
 
(3) Anggota yang melanggar caranya tersebut dalam ayat (1) setelah diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dengan lisan atau tulisan, dapat diberhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan sebelum itu dapat diberhentikan sementara oleh Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
 
(4) Terhadap putusan pemberhentian dan pemberhentian sementara tersebut dalam ayat(3), anggota yang bersangkutan dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu, dapat minta ketentuan Dewan Pemerintah Daerah yang setingkat lebih atas, atau bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat ke I, dari Presiden.
 
 
 
Pasal 11
 
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhenti karena anggota itu meninggal dunia, atau dapat diberhentikan, karena anggota itu:
 
1.
 
memajukan permintaan berhenti sebagai anggota;
2.
 
tidak mempunyai lagi sesuatu syarat seperti tersebut dalam Pasal 8 dan 9;
3.
 
melanggar suatu peraturan yang khusus ditetapkan bagi anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali yang termaksud dalam Pasal 10.
 
(2) Keputusan mengenai pengurangan keanggotaan termaksud dalam ayat (1) bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat ke I diambil oleh Menteri Dalam Negeri di atas usul Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah yang bersangkutan dan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di bawahnya oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, atas usul Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
 
(3) Atas keputusan Dewan Pemerintah Daerah termaksud dalam ayat (2) kecuali mengenai hal tersebut dalam ayat (1) sub a, anggota yang bersangkutan dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan itu berhak meminta putusan dalam bandingan kepada Presiden mengenai keputusan Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke I dan kepada Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke I mengenai keputusan Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke II.
 
 
 
Pasal 12
 
(1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menerima uang sidang, uang jalan dan uang penginapan menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam ayat (1) kepada Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat diberikan uang kehormatan menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(3) Peraturan tersebut dalam ayat (1) dan (2) harus disahkan lebih dahulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I, dan oleh Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah yang setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
 
(4) Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan umum mengenai hal tersebut dalam ayat (1) dan (20)
 
 
 
Pasal 13
 
(1) Sebelum memangku jabatannya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengangkat sumpah (janji) di dalam rapat pertama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dihadapan Menteri Dalam Negeri atau seorang yang ditunjuk olehnya yang memimpin rapat itu, menurut cara agamanya.
 
(2) Pengangkatan sumpah (janji) dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang antara waktu mengisi lowongan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai dimaksud dalam pasal 7 ayat (4), dilakukan dihadapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(3) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut:
 
"Saya bersumpah (menerangkan) bahwa saya untuk dipilih menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, langsung atau tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima, langsung ataupun tak langsung, dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian. Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ... dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan membantu memelihara segala peraturan yang berlaku bagi Republik Indonesia dan akan berusaha dengan sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Daerah ... Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan setia kepada Negara Republik Indonesia dan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara dan Daerah".
 
(4) Pada waktu pengangkatan sumpah atau janji semua orang yang hadir pada rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus berdiri; Menteri Dalam Negeri atau orang yang ditunjuk olehnya dalam hal termaksud dalam ayat (1) atau Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam hal termaksud dalam ayat (2) berusaha supaya segala sesuatu dilakukan dalam suasana hikmat.
 
 
BAGIAN III
 
SIDANG DAN RAPAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
 
Pasal 14
 
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang atau berapat atas panggilan Ketuanya. Atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau atas permintaan Dewan Pemerintah Daerah, maka Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib memanggil Dewan itu untuk bersidang atau berapat dalam satu bulan sesudah permintaan itu diterimanya,
 
(2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersidang sekurang-kurangnya sekali dalam tiga bulan.
 
(3) Semua yang hadir pada rapat tertutup berkewajiban merahasiakan segala hal yang dibicarakan dalam rapat itu.
 
(4) Kewajiban merahasiakan seperti tersebut dalam ayat (3) berlangsung terus, baik bagi anggota-anggota maupun pegawai-pegawai/pekerja-pekerja yang mengetahui hal-hal yang dibicarakan itu dengan jalan lain atau dari surat-surat yang mengenai hal itu sampai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membebaskan mereka dari kewajiban tersebut.
 
 
Pasal 15
 
(1) Rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbuka untuk umum, kecuali jika Ketua menimbang perlu ditutup ataupun sekurang-kurangnya lima anggota menuntut hal itu.
 
(2) Sesudah pintu ditutup rapat memutuskan apakah permusyawaratan dilakukan dengan pintu tertutup.
 
(3) Tentang hal yang dibicarakan dalam rapat tertutup, dapat diambil keputusan dengan pintu tertutup, kecuali tentang.
 
1.
 
anggaran belanja, perhitungan anggaran belanja dan perobahan anggaran-belanja.
2.
 
penetapan, perobahan dan penghapusan pajak.
3.
 
mengadakan pinjaman uang.
4.
 
kedudukan harta benda dan hak-hak Daerah
5.
 
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan, penyerahan-penyerahan barang dan pengangkutan tanpa mengadakan penawaran umum.
6.
 
penghapusan tagihan-tagihan sebagian atau seluruhnya.
7.
 
mengadakan persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai (dading)
8.
 
penerimaan anggota baru.
9.
 
mengadakan usaha-usaha yang dapat merugikan atau mengurangi kepentingan umum.
10.
 
penjualan barang-barang dan hak-hak ataupun pembebanannya, penyewaannya, pengepahannya peminjamannya untuk dipakai, baik untuk selutuhnya maupun untuk sebahagiannya.
 
 
 
Pasal 16
 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membuat peraturan tata-tertib, yang tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah Swatantra Tingkat I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
 
 
 
Pasal 17
 
(1) Rapat baru sah dan dapat mengambil sesuatu putusan, jikalau jumlah anggota yang hadir lebih dari separoh jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai yang ditetapkan dalam peraturan pembentukannya. Quorum itu dianggap selalu ada selama rapat itu, kecuali jika pada waktu diadakan pemungutan suara ternyata sebaliknya.
 
(2) Sesuatu putusan rapat adalah sah, jika diambil dengan suara terbanyak oleh anggota yang hadir pada saat pemungutan suara itu.
 
(3) Bila dalam pemungutan suara jumlah suara ternyata sama, maka pemungutan suara yang kedua kalinya diadakan dalam rapat pertama berikutnya. Bila jumlah suara masih juga sama maka usul yang bersangkutan dinyatakan tidak diterima.
 
(4) Pemungutan suara yang mengenai diri orang harus dilakukan dengan tertulis di atas kertas dengan tidak dibubuhi tanda tangan. Bila jumlah suara ternyata sama, maka diadakan pemungutan suara yang kedua kalinya. Bila jumlah suara ternyata msih sama, maka diadakan undian dan undian itulah yang memutuskan.
 
 
 
Pasal 18
 
Ketua, Wakil Ketua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak dapat dituntut karena pembicaraannya di dalam rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau karena tulisannya yang sampai kepada rapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali jika mereka dengan itu mengumumkan apa yang di katakan atau yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.
 
BAGIAN IV
 
DEWAN PEMERINTAH DAERAH
 
 
 
Pasal 19
 
(1) Anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih oleh dan dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas dasar perwakilan berimbang.
 
(2) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak boleh mejadi anggota Dewan Pemerintah Daerah.
 
(3) Jumlah anggota Dewan Pemerintah Daerah ditetapkan dalam peraturan pembentukan.
 
(4) Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan umum mengenai cara menyelenggarakan dasar perwakilan berimbang termaksud dalam ayat (1).
 
 
 
Pasal 20
 
(1) Anggota Dewan Pemerintah Daerah dipilih untuk suatu masa pemilihan Dewan Perwakilan rakyat Daerah, kecuali jika ia berhenti, baik atas kemauan sendiri atau karena meninggal dunia, maupun karena sesuatu keputusan berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 10 dan 11 ataupun karena sesuatu keputusan lain dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
 
(2) Jika berhubung dengan apa yang tersebut dalam ayat (1) timbul lowongan keanggotaan Dewan Pemerintah Daerah, maka anggota baru yang dipilih untuk mengisi lowongan itu duduk dalam Dewan Pemerintah Daerah hanya untuk sisa masa tersebut dalam ayat (1).
 
(3) Barang siapa berhenti sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ia dengan sendirinya berhenti sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah.
 
 
 
Pasal 21
 
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membuat pedoman untuk Dewan Pemerintah Daerah guna mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya.
 
(2) Pedoman tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintahan Daerah setingkat lebih atas dari Daerah yang bersangkutan bagi lain-lain Daerah.
 
(3) Dewan Pemerintah Daerah menetapkan peraturan tata-tertib untuk rapat-rapatnya, yang baru dapat berlaku setelah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
 
 
Pasal 22
 
(1) Anggota Dewan Pemerintah Daerah menerima uang kehormatan, uang jalan dan uang penginapan menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari Daerah yang bersangkutan bagi lain-lain Daerah.
 
(3) Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan umum hal tersebut dalam ayat (1).
 
 
 
BAGIAN V
 
KEPALA DAERAH
 
 
 
Pasal 23
 
(1) Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-undang.
 
(2) Cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan Undang-undang.
 
 
 
Pasal 24
 
(1) Sebelum Undang-undang tersebut dalam Pasal 23 ayat (1) ada, untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam ayat (2) sampai dengan 7.
 
(2) Hasil pemilihan Kepala Daerah dimaksud dalam ayat (1) memerlukan pengesahan lebih dahulu dari.
 
1.
 
Presidan apabila mengenai Kepala Daerah dari tingkat ke I.
2.
 
Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya apabila mengenai Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III.
 
(3) Kepala Daerah dipilih untuk satu masa pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau bagi mereka yang dipilih antar waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa pemilihan tersebut.
 
(4) Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan peraturan umum mengenai syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan seperti tersebut dalam ayat (1) dan cara pemilihan serta pengesahan Kepala Daerah.
 
(5) Kepala Daerah berhenti dari jabatannya, karena.
 
1.
 
meninggal dunia,
2.
 
masa pemilihan seperti dimaksud dalam ayat (3) berakhir.
3.
 
permintaan sendiri;
4.
 
keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memperhentikannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(6) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan seperti dimaksud dalam ayat (5) di atas, Kepala Daerah juga berhenti dari jabatannya karena keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang:
 
1.
 
memperhentikannya sebagai Kepala Daerah.
2.
 
memperhentikan Dewan Pemerintah Daerah.
 
(7) Pemberhentian Kepala Daerah termaksud dalam ayat (5) sub e dan d dan ayat (6) memerlukan pengesahan dari penguasa yang berwajib seperti di maksud dalam ayat (2).
 
 
 
Pasal 25
 
(1) Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dijaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh:
 
1.
 
Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I.
2.
 
Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III.
 
(2) Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1).
 
(3) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.
 
 
 
Pasal 26
 
(1) Apabila Kepala Daerah berhalangan atau berhenti dari jabatannya, maka ia diwakili oleh Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah.
 
(2) Apabila dalam hal yang dimaksud dalam ayat (1) Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah juga berhalangan atau berhenti dari jabatannya, maka ia diwakili oleh anggota yang tertua suianya dari Dewan Pemerintah Daerah itu.
 
(3) Apabila Dewan Pemerintah Daerah itu berhenti karena suatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), maka untuk sementara waktu tugas Dewan Pemerintah Daerah itu dijalankan oleh Ketua/Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
 
 
Pasal 27
 
(1) Apabila Kepala Daerah Istimewa berhalangan atau berhenti dari jabatannya, maka ia diwakili oleh Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
(2) Apabila Wakil Kepala Daerah Istimewa termaksud dalam ayat (1) itu berhalangan atau berhenti dari jabatannya, maka ia diwakili oleh seorang anggota Dewan Pemerintah Daerah yang dipilih oleh dan dari anggota Dewan Pemerintah Daerah.
 
(3) Apabila dalam Daerah Istimewa tidak diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa termaksud dalam Pasal 25 ayat (2), maka kepala Daerah Istimewa, apabila ia berhalangan atau berhenti dari jabatannya, diwakili oleh Wakil ketua Dewan Pemerintah Daerah yang dipilih oleh dan dari anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah.
 
(4) Apabila Dewan Pemerintah Daerah itu berhenti, karena suatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah seperti dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, maka untuk sementara waktu tugas Dewan Pemerintah Daerah dijalankan oleh Kepala Daerah Istimewa.
 
 
 
Pasal 28
 
(1) Kepala Daerah menerima gaji, uang jalan dan uang penginapan serta segala penghasilan lainnya yang sah yang bersangkutan dengan jabatannya, menurut peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam peraturan tersebut dapat diatur hal-hal mengenai kedudukan hukum dari Kepala Daerah.
 
(2) Peraturan tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari Daerah yang bersangkutan bagi lain-lain Daerah.
 
(3) Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan umum mengenai hal-hal tersebut dalam ayat (1).
 
 
 
Pasal 29
 
Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa menerima gaji, uang jalan dan uang penginapan serta segala penghasilan lainnya yang sah yang bersangkutan dengan jabatannya, menurut peraturan yang ditetapakan oleh Pemerintah. Dalam peraturan tersebut dapat diatur hal-hal lain mengenai kedudukan hukum dari Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
 
 
Pasal 30
 
(1) Sebelum memangku jabatannya Kepala Daerah mengangkat sumpah (janji) di hadapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam suatu sidan menurut cara agamanya dan disaksikan oleh Wakil Pemerintah Pusat.
 
(2) Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebelum memangku jabatannya mengangkat sumpah (janji) dalam suatu sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
 
(3) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut:
 
"Saya bersumpah (menerangkan), bahwa saya untuk dipilih menjadi Kepala Daerah, langsung atau tak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tiada memberikan atau menjanjikan ataupun akan memberikan sesuatau kepada siapapun juga.
 
Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung ataupun tak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian.
 
Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah ... dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan membantu memelihara segala peraturan yang berlaku bagi Republik Indonesia dan akan berusaha dengan sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Daerah...
 
"Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan setia kepada Negara Republik Indonesia dan akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara dan Daerah".
 
 
(4) Susunan kata-kata sumpah atau janji yang dimaksud dalam ayat (2) adalah sebagai berikut:
 
"Saya bersumpah (berjanji), bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah Istimewa ... dengan sebaik-baiknya dan sejujur-jujurnya, bahwa saya akan membantu memelihara segala peraturan yang berlaku bagi Republik Indonesia dan akan berusaha dengan sekuat tenaga memajukan kesejahteraan Daerah ... Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan setia kepada Negara Republik Indonesia dan akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara dan Daerah".
 
 
BAB IV
 
KEKUASAAN, TUGAS DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH DAERAH
 
BAGIAN I
 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
 
I
 
Ketentuan umum
 
Pasal 31
 
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga Daerahnya kecuali urusan yang oleh undang-undang ini diserahkan kepada penguasa lain.
 
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat (1) di atas, dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yang diatur dan diurus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya itu.
 
(3) Dengan peraturan Pemerintah tiap-tiap waktu, dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing Daerah, atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari Dewan Pemerintah Daerah dari daerah setingkat di atasnya, urusan-urusan tersebut dalam ayat (2) ditambah dengan urusan-urusan lain.
 
(4) Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Peraturan Daerah dapat menyerahkan untuk diatur dan diurus urusan-urusan rumah tangga Daerahnya kepada Daerah tingkat bawahannya, peraturan itu untuk dapat berlaku harus disahkan lebih dahulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah-daerah lainnya.
 
 
 
Pasal 32
 
Dalam peraturan pembentukan atau berdasarkan atas atau dengan peraturan undang-undang lainnya kepada Pemerintah Daerah dapat ditugaskan pembantuan dalam hal menjalankan peraturan-peraturan perundangan tersebut.
 
 
 
Pasal 33
 
Dengan Peraturan Daerah dapat ditugaskan kepada Pemerintah Daerah dari daerah tingkat bawahan untuk memberi pembantuan dalam hal menjalankan peraturan daerah.
 
 
 
Pasal 34
 
Jika dalam peraturan perundangan tersebut dalam Pasal 32 dan 33 tidak dinyatakan, bahwa tugas pembantuan yang dimaksud itu diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka tugas itu dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah.
 
 
 
Pasal 35
 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya ke hadapan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan Daerah dan penduduknya ke hadapan Dewan Pemerintah Daerah dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Indonesia.
 
 
 
Pasal 36
 
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk kepentingan Daerah atau untuk kepentingan pekerjaan tersebut dalam Bab IV § I dapat membuat peraturan-peraturan, yang disebut "Peraturan Daerah" dengan ditambah nama Daerah. Peraturan Daerah harus ditandatangani oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(2) Dalam Peraturan Pemerintah dapat diadakan ketentuan-ketentuan tentang bentuk Peraturan Daerah.
 
 
 
Pasal 37
 
(1) Pengundangan Peraturan Daerah yang merupakan syarat tunggal untuk kekuatan mengikat, dilakukan oleh Kepala Daerah dengan menempatkannya dalam.
 
1.
 
Lembaran Daerah tingkat ke I bagi Peraturan Daerah tingkat ke I tersebut dan Daerah-daerah tingkat bawahannya.
2.
 
Lembaran Kotapraja Jakarta Raya bagi Peraturan Daerah Kotapraja tersebut. Jika tidak ada lembaran-lembaran tersebut dalam sub a dan b maka pengundangan Peraturan Daerah itu dilakukan menurut cara lain yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah.
 
(2) Peraturan Daerah mulai berlaku pada hari yang ditentukan dalam peraturan tersebut atau jika ketentuan ini tidak ada peraturan Daerah mulai berlaku pada hari ke 30 sesudah hari pengundangannya termaksud dalam ayat (1)
 
(3) Peraturan Daerah yang tidak boleh berlaku sebelum disahkan oleh penguasa yang berkewajiban, tidak diundangkan sebelum pengesahan itu diberikan ataupun jangka waktu tersebut dalam Pasal 63 berakhir.
 
 
 
Pasal 38
 
(1) Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan umum.
 
(2) Peraturan Daerah tidak boleh mengatur pokok-pokok dan hal-hal yang telah diatur dalam peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya.
 
(3) Sesuatu Peraturan Daerah dengan sendirinya tidak berlaku lagi jika pokok-pokok yang diaturnya kemudian, diatur dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya.
 
(4) Jika dalam suatu peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya itu hanya diatur hal-hal yang telah diatur dalam sesuatu Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah ini hanya tidak berlaku lagi sekedar mengenai hal-hal itu.
 
 
 
Pasal 39
 
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat menetapkan hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya, Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) terhadap pelanggaran peraturan-peraturannya, dengan atau tidak dengan merampas barang-barang tertentu, kecuali jikalau dengan undang-undang atau Peraturan Pemerintah ditentukan lain.
 
(2) Dalam hal pelanggaran ulangan (recidive) perbuatan pidana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu tidak lebih dari satu tahun sejak penghukum pelanggaran pertama tidak dapat diubah lagi, maka dapat diancamkan hukuman-hukuman sampai dua kali maksimum dari hukuman yang termaksud dalam ayat (1).
 
(3) Perbuatan pidana sebagai dimaksud dalam ayat 1 adalah pelanggaran.
 
(4) Peraturan Daerah yang memuat peraturan pidana tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi Peraturan Daerah lainnya.
 
 
 
Pasal 40
 
Dengan Peraturan Daerah yang ditunjuk pegawai-pegawai Daerah yang diberi tugas untuk mengusut pelanggaran ketentuan-ketentuan dari Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 39.
 
 
 
Pasal 41
 
Dimana pelaksanaaan Keputusan Daerah memerlukan bantuan alat kekuasaan maka dalam Peraturan Daerah dapat ditetapkan, bahwa segala biaya untuk bantuan itu dapat dibebankan kepada pelanggar.
 
 
3. Kerja sama antara Pemerintah-pemerintah Daerah
 
 
 
Pasal 42
 
(1) Pemerintah Daerah dari beberapa Daerah dapat bersama-sama mengatur dan mengurus kepentingan bersama.
 
(2) Keputusan bersama mengenai hal yang dimaksud dalam ayat (1), demikian juga tentang perubahan dan pencabutannya, harus disahkan lebih dahulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi lain-lain Daerah.
 
(3) Bila tidak terdapat kata sepakat tentang perubahan atau pencabutan peraturan tersebut dalam ayat (1), maka Menteri Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut dalam ayat (2) yang memutuskan.
 
 
 
4 Panitia-panitia
 
 
 
Pasal 43
 
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membentuk Panitia-panitia yang terdiri dari anggota-anggotanya, untuk menjalankan pekerjaan guna melancarkan tugasnya.
 
 
 
BAGIAN II
 
DEWAN PEMERINTAH DAERAH
 
 
 
Pasal 44
 
(1) Dewan Pemerintah Daerah menjalankan keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(2) Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah.
 
 
 
Pasal 45
 
Dalam Peraturan Daerah Dewan Pemerintah Daerah dapat diserahi tugas untuk menetapkan peraturan-peraturan penyelenggaraaan dari Peraturan Daerah itu.
 
 
 
Pasal 46
 
Keputusan Dewan Pemerintah Daerah ditandatangani oleh Ketua Dewan Pemerintah Daerah.
 
 
 
Pasal 47
 
Dewan Pemerintah Daerah menyiapkan dengan sebaik-baiknya segala sesuatu yang harus dipertimbangkan dan diputus oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sepanjang persiapan itu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak ditugaskan kepada badan lain.
 
 
 
Pasal 48
 
Dalam menjalankan tugasnya tentang hal-hal yang tersebut dalam Pasal 44 ataupun Pasal 45, anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah bersama-sama bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
 
 
Pasal 49
 
Dewan Pemerintah Daerah mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan. Dalam hal-hal yang dipandang perlu Dewan Pemerintah Daerah dapat menunjuk seorang kuasa untuk menggantinya.
 
 
 
BAGIAN III
 
MELALAIKAN ATAU TIDAK MENJALANKAN TUGAS KEWAJIBAN
 
 
 
Pasal 50
 
(1) Jika Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ternyata melalaikan mengurus rumah tangganya, sehingga merugikan Daerah itu atau merugikan Negara, maka Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah menentukan cara bagaimana Daerah itu harus diurus menyimpang dari Pasal 31.
 
(2) Jika Pemerintah Daerah ternyata tidak menjalankan hal-hal yang termaksud dalam Pasal 32, maka oleh Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah ditunjuk alat-alat Pemerintah, yang harus menjalankan hal-hal itu atas biaya Daerah yang bersangkutan.
 
(3) Jika hal seperti tersebut dalam ayat 2 terjadi terhadap penyelenggaraan tugas termaksud dalam Pasal 33, maka penunjukan dilakukan dengan Peraturan Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memberikan tugas itu.
 
(4) Jika hal seperti tersebut dalam ayat (1) terjadi, maka sambil menunggu ditetapkannya Peraturan Pemerintah termaksud dalam ayat (1) hak, tugas, dan kewajiban Pemerintah Daerah untuk sementara itu dijalankan oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.
 
 
 
BAB V
 
SEKRETARIS DAN PEGAWAI DAERAH
 
 
 
BAGIAN I
 
KETENTUAN UMUM
 
 
 
Pasal 51
 
Semua pegawai Daerah, begitu pula pegawai Negara dan pegawai sesuatu Daerah lainnya yang diperbantukan kepada Daerah, berada di bawah pimpinan Dewan Pemerintah Daerah.
 
 
 
Bagian II
 
Sekretaris Daerah
 
 
 
Pasal 52
 
(1) Sekretaris Daerah adalah pegawai Daerah yang diangkat dan diperhentikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas usul Dewan Pemerintah Daerah dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam Pasal 53 ayat (1).
 
(2) Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah.
 
(3) Apabila Sekretaris Daerah berhalangan atau berhenti dari jabatannya, Dewan Pemerintah Daerah menunjuk seorang pegawai lain dari Daerah itu untuk mewakilinya.
 
 
 
BAGIAN III
 
PEGAWAI DAERAH
 
 
 
Pasal 53
 
(1) Pengetahuan tentang pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian sementara, gaji, pensiun, uang tunggu dan hal-hal sebagainya mengenai kedudukan hukum pegawai Daerah ditetapkan dalam Peraturan Daerah, sedapat- dapatnya disesuaikan dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai Negara.
 
(2) Peraturan Daerah tersebut dalam ayat (1) tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah lain-lainnya.
 
 
 
Pasal 54
 
(1) Cara dan syarat-syarat menetapkan pekerjaan pegawai Negara yang diperbantukan kepada Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah, sedangkan bagi pegawai Daerah yang diperbantukan kepada Daerah lainnya dalam Peraturan Daerah dari Daerah yang memperbantukan pegawainya itu.
 
(2) Pegawai Negara atau pegawai Daerah yang diperbantukan kepada Daerah digaji dari keuangan Daerah yang, menerima pegawai itu, kecuali apabila dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam Ayat (1) ditetapkan lain.
 
(3) Iuran pensiun pegawai serta jandanya dan iuran untuk tunjangan anak-anaknya bagi pegawai Negara atau bagi pegawai Daerah yang diperbantukan, dipungut dari gajinya dan dimasukkan dalam kas Negara atau kas Daerah yang bersangkutan.
 
 
 
Pasal 55
 
(1) Atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dengan keputusan Menteri atau penguasa yang ditunjuk olehnya, dapat dipekerjakan pegawai dalam lingkungan Kementeriannya untuk melakukan urusan-urusan tertentu bagi kepentingan Daerah yang bersangkutan.
 
(2) Dalam hal tersebut, dalam ayat (1), syarat-syarat dan hubungan kerja antara pegawai yang bersangkutan dengan alat-alat pemerintahan Daerah, sepanjang diperlukan diatur dalam keputusan termaksud dalam ayat itu.
 
 
 
BAB VI
 
KEUANGAN DAERAH
 
BAGIAN I
 
KETENTUAN UMUM
 
 
 
Pasal 56
 
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan pajak Daerah. dan retribusi Daerah.
 
(2) Dalam undang-undang ditetapkan peraturan umum tentang pajak Daerah dan retribusi Daerah.
 
(3) Peraturan daerah yang mengadakan, merobah dan meniadakan pajak Daerah dan retribusi Daerah, tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh penguasa dan menurut cara yang ditetapkan dalam undang-undang seperti dimaksud dalam ayat (2).
 
 
 
Pasal 57
 
Dengan Undang-undang kepada Daerah dapat diserahkan pajak Negara.
 
 
 
Pasal 58
 
(1) Kepada Daerah dapat diberikan.
 
1.
 
penerimaan-penerimaan pajak Negara untuk sebagian atau seluruhnya. dan
2.
 
ganjaran, subsidi dan sumbangan.
 
(2) Pemberian penghasilan termaksud dalam ayat (1) di atas diatur dalam Undang-undang.
 
 
 
Pasal 59
 
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berhak mengadakan perusahaan Daerah.
 
(2) Dalam Peraturan Pemerintah ditetapkan peraturan umum tentang mengadakan perusahaan Daerah.
 
 
 
BAGIAN II
 
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH
 
 
 
Pasal 60
 
(1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memegang semua kekuasaan mengenai pengelolaan umum keuangan Daerah, yang tidak dengan peraturan Undang-undang diserahkan kepada penguasa lain.
 
(2) Dalam Peraturan Pemerintah ditetapkan hal-hal mengenai.
 
1.
 
mengadakan pinjaman uang atau menjadi penanggung dalam peminjaman uang untuk kepentingan Daerah.
2.
 
penjualan barang-barang dan hak-hak ataupun pembebanannya, penyewaannya, pengepahannya atau peminjamannya untuk dipakai, baik untuk seluruhnya maupun untuk sebahagiannya.
3.
 
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan, penyerahan-penyerahan barang dan pengangkutan-pengangkutan, tanpa mengadakan penawaran umum.
4.
 
penghapusan tagihan-tagihan sebagian atau seluruhnya.
5.
 
mengadakan persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai, dan lain-lain hal yang berhubungan dengan pengeluaran keuangan Daerah.
 
 
 
BAGIAN III
 
ANGGARAN KEUANGAN DAERAH
 
 
 
Pasal 61
 
(1) Untuk pertama kalinya anggaran keuangan Daerah ditetapkan bagi Daerah tingkat ke I dan ke II dengan Undang-undang, bagi Daerah tingkat ke III dengan Peraturan Pemerintah.
 
(2) Untuk selanjutnya anggaran keuangan Daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
(3) Anggaran keuangan Daerah yang dimaksud dalam ayat (2), tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi Daerah lainnya.
 
(4) Tiap-tiap perubahan dalam anggaran keuangan Daerah seperti dimaksud dalam ayat (1) dan (2), kecuali yang dikuasakan dalam anggaran keuangan tersebut, tidak dapat berlaku sebelum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Baerah tingkat ke I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi daerah lainnya.
 
 
 
BAB VII
 
PENGAWASAN TERHADAP DAERAH
 
BAGIAN I
 
PENGESAHAN DAN JANGKA WAKTU PENGESAHAN
 
 
 
Pasal 62
 
Dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa sesuatu keputusan Daerah mengeneai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh :
 
1.
 
Menteri Dalam Negeri untuk keputusan Daerah tingkat ke I;
2.
 
Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke I untuk keputusan Daerah tingkat ke II;
3.
 
Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke II untuk keputusan Daerah tingkat ke III.
 
 
 
Pasal 63
 
(1) Bila untuk menjalankan sesuatu keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut undang-undang ini, harus ditunggu pengesahan lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke I bagi lain-lain Daerah dari Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, maka keputusan itu dapat dijalankan apabila Menteri Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut, dalam tiga bulan terhitung mulai hari keputusan itu dikirimkan untuk mendapat pengesahan, tidak mengambil ketetapan.
 
(2) Waktu tiga bulan itu dapat diperpanjang selama-lamanya tiga bulan lagi oleh Menteri Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut dan hal itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
 
(3) Bila keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam ayat (1) tidak dapat disahkan, maka Menteri Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah tersebut memberitahukan hal itu dengan keterangan cukup kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
 
(4) Terhadap hal tersebut dalam ayat (3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan dalam waktu satu bulan terhitung mulai saat pemberitahuan tentang penolakan pengesahan tersebut dapat memajukan kebeberatan kepada Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari Dewan Pemerintah Daerah yang menolak. Bila penolakan pengesahan itu terjadi oleh Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke I, maka keberatan itu diajukan kepada Menteri Dalam Negeri dan bila penolakan itu terjadi oleh Menteri Dalam Negeri, maka keberatan itu diajukan kepada Presiden.
 
 
 
BAGIAN II
 
PEMBATASAN DAN PERTANGUHAN
 
I UMUM
 
Pasal 64
 
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah, jikalau bertentangan dengan kepentingan umum, undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatnya, dipertangguhkan atau dibatalkan bagi Daerah Swatantra Tingkat ke I oleh Menteri Dalam Negeri atau penguasa lain yang ditunjuknya dan bagi lain-lain daerah Dewan Pemerintah.Daerah setingkat lebih atas.
 
 
 
Pasal 65
 
(1) Menteri Dalam Negeri atau penguasa lain yang ditunjuknya mempertangguhkan atau membatalkan keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah-daerah Swatantra Tingkat ke I dan III bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan umum, apabila ternyata, Dewan Pemerintah Daerah yang berhak melakukan wewenang itu menurut Pasal 64, tidak melakukannya.
 
(2) Pembatalan seperti dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah mendengar Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas, yang berwewenag melakukan pembatalan itu.
 
 
 
Pasal 66
 
(1) Pembatalan berdasarkan pertentangan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya, menghendaki pula dibatalkannya semula akibat dari pada keputusan yang dibatalkan itu, sepanjang akibat itu masih dapat dibatalkan.
 
(2) Pembatalan berdasarkan pertentangan dengan kepentingan umum hanya membawa pembatalan akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan itu.
 
 
 
Pasal 67
 
(1) Putusan pertangguhan atau pembatalan termaksud dalam Pasal 64 dan 65 dengan menyebutkan alasan-alasannya dalam tempo lima belas hari sesudah tanggal putusan itu, diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
 
(2) Lamanya tempo pertangguhan disebutkan dalam surat ketetapan dan tidak boleh melebihi enam bulan. Pada saat Pertangguhan itu keputusan yang bersangkutan berhenti berlakunya. (1) Apabila dalam tempo tersebut dalam ayat (2) berdasarkan pertangguhan itu tidak ada putusan pembatalan, maka keputusan Daerah yang bersangkutan berlaku.
 
 
 
Pasal 68
 
Untuk kepentingan pengawasan maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah wajib memberikan keterangan yang diminta oleh Pemerintah Daerah setingkat de atasnya atau oleh Menteri Dalam Negeri atau penguasa-penguasa lain yang ditunjuknya.
 
 
 
II PENGAWASAN OLEH PEMERINTAH
 
 
 
Pasal 69
 
Pemerintah mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Cara pengawasan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
 
 
 
BAGIAN III
 
PERSELISIHAN MENGENAI PEMERINTAHAN DAERAH
 
 
 
Pasal 70
 
(1) Perselisihan mengenai pemerintah antara :
 
1.
 
Daerah-daerah dari tingkat ke I atau antara Daerah tingkat Ke I dengan Daerah tingkat lainnya, dan antara Daerah-daerah yang terletak dalam satu wilayah Daerah ke I diputuskan oleh Menteri Dalam Negeri.
2.
 
Daerah-daerah di bawah Daerah tingkat ke I yang sama tingkatnya dan terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat ke I, diputus oleh Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke I itu, apabila mengenai perselisihan antara Daerah-daerah tingkat ke II, atau oleh Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke II yang bersangkutan apabila mengenai perselisihan antara Daerah-daerah tingkat ke III.
3.
 
Daerah dengan Daerah yang lebih atas, yang terletak dalam satu wilayah Daerah tingkat ke I diputus oleh Pemerintah Daerah tingkat ke I itu.
 
(2) Putusan termaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada Daerah-daerah yang bersangkutan.
 
 
 
BAGIAN IV
 
PENYELIDIKAN DAN PEMERIKSAAN OLEH PEMERINTAH
 
 
 
Pasal 71
 
(1) Bagi kepentingan umum Menteri Dalam Negeri atau pegawai Pemerintah Pusat yang atas namanya, berhak mengadakan penyelidikan dan pemeriksaan tentang segala sesuatu mengenai pekerjaan mengurus rumah tangga Daerah maupun mengenai tugas pembantuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah.
 
(2) Ketentuan tersebut dalam ayat (1) berlaku juga bagi Daerah tingkat lebih atas terhadap Daerah yang lebih rendah dalam lingkugannya.
 
 
 
BAGIAN V
 
PENGUMUMAN
 
 
 
Pasal 72
 
Tiap-tiap keputusan-mengenai pembatalan ataupun perselisihan mengenai pemerintah Daerah termaksud dalam Bagian 2 dan 3 Bab ini diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia atau menurut cara termaksud dalam Pasal 37 ayat (1). Dewan Pemerintah Daerah yang bersangkutan mengumumkan pula keputusan tersebut dalam Daerahnya.
 
 
 
BAB VIII
 
PERATURAN PERALIHAN
 
 
 
Pasal 73
 
(1) Propinsi, Daerah Istimewa setingkat Propinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia NO. 22 tahun 1948, tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra menurut ketentuan dalam Pasal 3 "Undang-undang tentang Pokok Pemerintah Daerah 1956" akan tetapi Daerah-daerah tersebut, sejak mulai berlakunya undang-undang ini berturut-turut menjadi Daerah tingkat ke I/Daerah Istimewa tingkat ke I dan Daerah tingkat ke II/Daerah Istimewa tingkat ke II termaksud dalam pasal Undang-undang ini.
 
(2) Semua Kota besar dan Kota kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1948, tidak perlu dibentuk lagi sebagai Kota Praja menurut ketentuan dalam Pasal 2 "Undang-undang tentang Pokok Pemerintahan Daerah 1956" akan tetapi Daerah-daerah tersebut, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini, menjadi kotapraja Jakarta Raya termaksud dalam Pasal 2 Undang-undang ini.
 
(3) Kotapraja Jakarta Raya yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1956 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Kotapraja menurut ketentuan dalam Pasal 3 "Undang-undang tentang Pokok Pemerintahan Daerah 1956", akan tetapi Daerah tersebut, sejak mulai berlakunya undang-undang ini, menjadi Kotapraja Jakarta Raya termaksud dalam Pasal 2 Undang-undang ini.
 
(4) Daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 tahun 1950 dan lain-lain Peraturan-perundangan berjalan terus menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan-perundangan tersebut hingga Daerah itu dibentuk, diubah atau dihapuskan berdasarkan Undang-undang ini.
 
 
 
Pasal 74
 
(1) Selama Pemerintah Daerah dari Daerah-daerah Swatantra termaksud dalam Pasal 73 ayat (1) (2) dan (3), yang pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, belum terbentuk dan tersusun menurut ketentuan-ketentuan dalam Pasal 5 dan 6, pemerintahan Daerah diselesanggarakan oleh Pemerintah Daerah yang ada pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, termasuk juga Kepala Daerahnya.
 
(2) Dalam waktu selambat-lambatnya dua tahun terhitung mulai hari berlakunya undang-undang ini, pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru menurut ketentuan dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6) harus sudah selesai.
 
(3) Dalam waktu selambat-lambatnya tiga bulan sesudah pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru termaksud dalam ayat (2), harus sudah diadakan pemilihan dari:
 
1.
 
Kepala Daerah,
2.
 
Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
3.
 
Anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah, sebagai yang dimaksud dalam undang-undang ini.
 
(4) Apabila berhubung dengan keadaan dalam masing-masing Daerah, Pemilihan Kepala Daerah belum dapat dilaksanakan menurut cara termaksud dalam Pasal 24 ayat (1), maka belum menyimpang dari ketentuan tersebut. Kepala Daerah diangkat sebagai berikut :
 
a. dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah belum terbentuk dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal 74 ayat (2) oleh:
 
1.
 
Presiden bagi Kepala Daerah tingkat ke I,
2.
 
Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Kepala Daerah tingkat ke II dan III;
 
b. dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah terbentuk, akan tetapi pemilihan Kepala Daerah itu tidak dapat terlaksana dalam waktu yang ditetapkan dalam Pasal Pasal 74 ayat (3), oleh Presiden bagi Kepala Daerah tingkat ke I, dan oleh Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Kepala Daerah tingkat ke II dan III, pengangkatan mana sedapat-dapatnya diambil dari calon-calon sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang, yang dimaksudkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
 
 
(5) Akibat-akibat lainnya dari peralihan karena ketentuan dalam Pasal 73 sepanjang diperlukan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
 
 
 
Pasal 75
 
(1) Sejak saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka segala peraturan-perundangan yang mengatur hal-hal yang menurut undang-undang ini harus diatur dalam suatu peratutan-perundangan terus berlaku, hingga diubah ditambah atau dicabut berdasarkan undang-undang ini.
 
(2) Selama Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan keuangan Daerah termaksud dalam Pasal 60 ayat (2) belum ditetapkan, segala sesuatu dijalankan menurut aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk yang berlaku.
 
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 74 ayat (1) maka selama kekuasaan pemerintahan di Daerah dibentuk berdasarkan Undang-undang ini, belum diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, kekuasaan dijalankan oleh penguasa-penguasa yang ditunjuk oleh Pemerintah.
 
 
 
BAB IX
 
PERATURAN PENUTUP
 
 
 
Pasal 76
 
(1) Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan 1956".
 
(2) Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 
Disahkan di Jakarta
 
pada tanggal 17 Januari 1957.
 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
 
SUKARNO
 
Diundangkan
 
pada tanggal 18 Januari 1957.
 
MENTERI KEHAKIMAN, a.i
 
SUNARJO
 
MENTERI DALAM NEGERI,
 
SUNARJO
 
Memori Penjelasan
 
Mengenai
 
Usul Undang-Undang tentang Pokok-pokok
 
Pemerintahan Daerah
 
Hal-hal utama yang diatur dalam rancangan yang baru sekarang ini ialah empat macam persoalan besar, yaitu:
 
1.
 
Bagaimanakah seharusnya isi otonomi itu;
2.
 
Berapakah selayaknya jumlah tingkat-tingkat yang dapat dibentuk dalam sistim otonomi itu;
3.
 
Bagaimanakah seharusnya kedudukan Kepala Daerah berhadapan dengan otonomi itu;
4.
 
Bagaimanakah dan apakah isi pengawasan yang tak boleh tidak harus dilakukan terhadap Daerah-daerah Otonomi oleh penguasa Pusat.
 
 
UMUM.
 
Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah ini bermaksud untuk mengatur sebaik-baiknya soal-soal yang semata-mata terletak dalam lapangan otonomi dan "medebewind" di seluruh, wilayah Negara Republik Indonesia, sesuai dengan maksud
 
 
 
pasal 131
 
Undang-Undang Dasar Sementara yang berarti juga akan merobah prinsip cara-cara pemerintahan bentuk lama, Pada umumnya soal-soal tersebut di atas tidak dapat dilepaskan dari soal-soal pokok yakni bagaimanakah bentuk Negara yang dihadapi dan bagaimanakah keadaan-keadaan sesungguhnya dalam pelbagai masyarakat dalam Negara itu. Kita telah menciptakan Negara Kesatuan, yang sifatnya ialah memusatkan segala urusan yang meliputi kepentingan seluruh wilayah Negara Kesatuan itu dan seluruh bangsa yang merupakan bangsa kesatuan itu. Pemusatan yang dimaksud mempunyai dua segi:
 
1.
 
segi tugas bagi Negara Kesatuan itu terhadap kepentingan-kepentingan yang dipusatkan itu;
2.
 
segi pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan-kepentingan rakyat setempat, yang walaupun sifatnya hanya setempat akan tetapi karena penjaringannya dengan lain-lain kepentingan di sekitarnya merupakan sedikit banyaknya juga kepentingan umum, ditinjau dati kesatuan Negara dan Bangsa.
 
 
Mengenai keadaan yang sesungguhnya dalam masyarakat maka soal itu dapat mengenai beberapa segi pula, umpamanya susunan masyarakat, ikatan-ikatan kemasyarakatan seperti ikatan kedarahan, ikatan adat-istiadat, ikatan kebudayaan umumnya, sifat dan tingkat perekonomian dalam masyarakat itu, tingkat kecerdasannya dan yang tidak boleh pula dilupakan akhlak umum, yang membedakan satu masyarakat dari masyarakat yang lain itu.
 
Juga lain-lain faktor dapat mempengaruhi hidupnya kemasyarakatan itu, umpamanya: tempat geografinya, corak buminya yang akan menentukan kemungkinan-kemungkinan saluran perhubungannya dan dalam perjalanan waktu pelbagai perkembangan dalam lapangan tehnik.
 
Ad. 1.
 
Dari gambaran pikiran yang tersimpul pada keterangan umum itu, dapatlah kita pahamkan, bahwa otonomi yang dapat diserahkan kepada sesuatu lingkungan masyarakat yang tertentu itu terbatas kepada pengertian, urusan Pusatkah atau kepentingan Pusatkah soal yang dihadapi dan jika jawabannya tidak menurut kebijaksanaan Pusat itu maka soal itu adalah urusan Daerah semata-mata. Tentu dalam negara-hukum seperti sifatnya negara kita ini, yaitu dalam arti terutama hukum tertulis, jika mengenai pembahagian kekuasaan itu, maka kebijaksanaan yang dimaksud itu dalam pokok-pokoknya perlu disalurkan dalam peraturan-peraturan perundangan, sehingga yang tidak dimasukkan dalam peraturan-peraturan perundangan tersebut itulah yang menjadi lapangan kebijaksanaan benar.
 
Dalam istilah hukum, yang dipakai dalam rancangan Undang-undang ini, urusan dan kepentingan Pusat yang tidak diatur itu dengan secara tertulis, dinamakan kepentingan umum. Jika kita telah mengerti apa yang dimaksud dengan urusan Pusat, yaitu segala apa yang menurut peraturan ditugaskan sendiri oleh Pusat kepada dirinya yang disebut kepentingan umum, sebagai tadi tersebut di atas maka nyatalah bahwa yang selebihnya itu termasuk kepada pengertian otonomi bagi kesatuan-kesatuan masyarakat dalam negara itu. Tetanglah kepada kita, bahwa pembahagian kekuasaan yang sedemikian itu bukan pembahagian yang isinya dapat diperincikan satu persatu.
 
Pada azasnya memang tidak mungkin untuk menetapkan secara tegas tentang urusan "rumah tangga Daerah" itu, hal mana terutama disebabkan karena faktor-faktor yang terletak dalam kehidupan masyarakat daerah itu sendiri, yang merupakan suatu hasil dari pertumbuhan pelbagai anasir dalam masyarakat itu dan yang dalam perkembangannya akan mencari jalan keluar sendiri.
 
Kehidupan kemasyarakatan itu adalah penuh dengan dinamika, dan terbentanglah di mukanya lapangan dan kemungkinan-kemungkinan yang sangat luas, disebabkan bertambahnya dan berkembangnya perhubungan manusia yang satu dengan yang lain, dan dengan pula kesatuan-kesatuan masyarakat yang satu dengan yang lain.Dengan berpegangan kepada pokok pikiran itu, maka pemecahan perihal dasar dan isi otonomi itu hendaknya didasarkan kepada keadaan dan faktor-faktor yang riil, yang nyata, sehingga dengan demikian dapatlah kiranya diwujudkan keinginan umum dalam masyarakat itu. Sistim ketata-negaraan yang terbaik untuk melaksanakan tujuan tersebut ialah sistim yang bersesuaian dengan keadaan dan susunan masyarakat yang sewajarnya itu. Karena itu perincian yang tegas, baik tentang urusan rumah-tangga Daerah maupun mengenai urusan-urusan yang termasuk tugas Pemerintah Pusat, kiranya tidak mungkin dapat diadakan, karena perincian yang demikian itu tidak akan sesuai dengan gaya perkembangan kehidupan masyarakat, baik di Daerah maupun di pusat Negara.
 
Urusan-urusan yang tadinya termasuk lingkungan Daerah, karena perkembangan keadaan dapat dirasakan tidak sesuai lagi apabila masih diurus oleh Daerah itu, disebabkan urusan tersebut sudah mengenai kepentingan yang luas daripada Daerah itu sendiri. Dalam keadaan yang demikian itu urusan tersebut dapat beralih menjadi urusan dari Daerah yang lebih atas tingkatnya atau menjadi urusan Pemerintah Pusat, apabila hal tersebut dianggap mengenai kepentingan nasional.
 
Demikian pula sebaliknya, urusan yang tadinya dijalankan oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat I, kemudian karena perkembangan keadaan dirasakan sudah sepatutnya urusan itu dilakukan oleh Daerah maka urusan tersebut dapat diserahkan kepada dan beralih menjadi urusan Daerah atau urusan Daerah bawahan.
 
Jadi pada hakekatnya yang menjadi persoalan ialah, bagaimanakah sebaik-baiknya kepentingan umum itu dapat diurus dan dipelihara, sehingga dicapailah hasil yang sebesar-besarnya. Dalam memecahkan persoalan tersebut, perlu kiranya kita mendasarkan diri pada keadaan yang riil, pada kebutuhan dan kemampuan yang nyata, sehingga dapatlah tercapai harmoni antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan, baik dalam Daerah itu sendiri, maupun dengan pusat Negara. Buah pikiran yang dibentangkan di atas itu digambarkan dalam pasal 31 dan 38, pasal-pasal mana cukup menjamin adanya kesempatan bagi daerah-daerah untuk menunaikan dengan sepenuhnya tugas itu, menurut bakat dan kesanggupannya agar dapat berkembang secara luas. Sistim ini dapatlah disebut sistim otonomi yang riil.
 
Di sinilah terletak perbedaan besar dengan sistim yang dianut sampai sekarang ini, sebagai yang dimaksudkan dengan Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948 dan Staatsblad Indonesia Timur No.44 tahun 1950. Sebagai tuntunan pertama dalam pembentukan daerah swatantra, maka pada tiap-tiap Undang-undang Pembentukan Daerah-daerah itu akan ditetapkan urusan-urusan tertentu, yang segera dapat diatur dan diurus oleh Daerah sejak saat pembentukan itu.
 
Urusan-urusan yang tercantum dalam Undang-undang Pembentukan itu hanya merupakan suatu pangkal permulaan saja, agar supaya Daerah-daerah itu dapat segera menjalankan tugasnya itu, dengan tidak mengurangi kemungkinan yang luas bagi perkembangan tugas otonomi Daerah itu. Di samping itu, kepada tiap-tiap Undang-undang Pembentukan daerah otonom akan diserahkan pula suatu penetapan anggaran belanja yang pertama bagi Daerah-daerah itu, di mana akan dapat dilihatnya urusan-urusan mana pada saat pembentukan itu dapat dijalankan oleh Daerah yang bersangkutan, dengan ditetapkan pula sumber keuangannya dan alat-alat perlengkapannya (pasal 61 ayat 1).
 
Urusan-urusan pusat diselenggarakan oleh aparatur-aparatur dari tiap-tiap Kementerian. Ada kemungkinan banyak urusan-urusan itu menurut sifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan Daerah lambat laun dapat diserahkan kepada Daerah. Untuk melancarkan itu akan dibentuk suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi, yang diketuai oleh Perdana Menteri atau salah seorang Wakil Perdana Menteri, sedang Menteri Dalam Negeri duduk sebagai Wakil Ketua dan lain-lain anggota, yang antaranya terdiri dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang ditunjuk oleh Seksi Dalam Negeri Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
 
 
 
Ad. 2.
 
Hal-hal yang disinggung ini tidak dapat kita lepaskan dari pengertian setempat mengenai kesatuan-kesatuan masyarakat yang paling bawah, yang kita namakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini bentuknya bermacam-macam di seluruh Indonesia ini. Di Jawa namanya Desa dan Desa itu adalah satu macam kesatuan masyarakat hukum yang tidak lagi terbagi dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum bawahan dan tidak pula Desa itu merupakan bahagian dari lain kesatuan masyarakat hukum menurut adat, sehingga desa itu berdiri tunggal, mempunyai daerah sendiri, rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin pula harta benda sendiri, sedangkan hukum-adat yang berlaku di dalamnya adalah sesungguhnya "homogeen". Lain coraknya umpamanya di Tapanuli, di mana kesatuan masyarakat hukum-adat itu mempunyai bentuk yang bertingkat, umpamanya Kuria sebagai kesatuan masyarakat hukum-adat yang tertinggi dan merupakan satu daerah, mempunyai di dalamnya sejumlah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat bawahannya, yang dinamakannya Huta, yang masing-masing mempunyai sekumpulan rakyat sendiri, satu penguasa sendiri dan mungkin pula mempunyai daerah sendiri sebagai bahagian dalam daerah kuria itu, sehingga adapula huta-huta yang tidak mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah kurianya sendiri.
 
Meskipun demikian juga dalam setiap kesatuan kuria itu berlaku hukum adat yang "homogeen". Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati kesatuan masyarakat hukum tertinggi yakni Nagari, yang masing-masing mempunyai daerah sendiri sedangkan dalam daerah itu dijumpai sejumlah suku-asal, yang masing-masing suku merupakan pula satu kesatuan masyarakat hukum-adat yang terbawah. Juga kesatuan masyarakat hukumnya yang bernama Suku itu mungkin mempunyai daerah sendiri atau tidak dalam lingkungan nagari itu. Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri adalah syarat mutlak dalam sistim otonomi, yang memberikan kekuasaan kepada sekumpulan rakyat yang berdiam dalam suatu lingkungan yang nyata.
 
Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempat-tempat yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada kabupaten di bawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikin-bikinan wilayah administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin-bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang ada. Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang sungguh mempunyai faktor-faktor pengikut kesatuannya.
 
Sebab itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung dengan hal-hal adanya atau tidak adanya kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat sebagai dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita insyafi bahwa urusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukum-adat, sehingga manakala sesuatu kesatuan masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu daerah otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti, bahwa tugas-tugas kepala-kepala adat dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segi-segi hukum-adat yang bercorak ketata-negaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukum-adat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengan kekuasaan ketata-negaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu.
 
Kesanggupan melihat perbedaan itu, yaitu perbedaan antara otonomi dan kekuasaan adat adalah suatu syarat penting untuk menjalin hidupnya otonomi itu secara yang memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak mau masih terkungkung dalam sistim hukum-adat itu.
 
 
 
Ad. 3.
 
Pada pokoknya seorang Kepala Daerah itu haruslah seorang yang dekat kepada dan dikenal oleh masyarakat Daerah yang bersangkutan itu, dan karena itu Kepala Daerah haruslah seorang yang mendapat kepercayaan dari rakyat tersebut dan diserahi kekuasaan atas kepercayaan rakyat itu. Berhubung dengan itu, maka jalan satu-satunya untuk memenuhi maksud tersebut ialah bahwa Kepala Daerah itu haruslah dipilih langsung oleh rakyat dari Daerah yang bersangkutan. Dasar pikiran ini tercantum dalam pasal 23 ayat 1 yang selanjutnya dalam ayat 2 ditentukan bahwa cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah ditetapkan dengan Undang-undang. Akan tetapi meskipun pada azasnya seorang Kepala Daerah itu harus dipilih secara demikian, namun sementara waktu dipandang perlu memperhatikan pula keadaan yang nyata dan perkembangan masyarakat dewasa ini didaerah-daerah, kenyataan mana kiranya belum sampai kepada suatu taraf, yang dapat menjamin berlangsungnya pemilihan dengan diperolehnya hasil-hasil dari pemilihan itu yang sebaik-baiknya. Berhubung dengan itu maka untuk masa peralihan itu yang diharapkan akan berlangsung tidak lebih lama dari 4 tahun perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang lebih praktis mengenai pemilihan Kepala Daerah itu.
 
Berdasarkan pendapat ini, maka dalam pasal 24 ditetapkan bahwa untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan bagi jabatan tersebut, syarat-syarat mana dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah. Meskipun pada umumnya Kepala Daerah dipilih terutama dari anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang cakap, namun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat pula memilih seorang calon dari luar yang dianggapnya memenuhi syarat-syarat. Hasil pemilihan Kepala Daerah ini perlu mendapatkan pengesahan terlebih dahulu dari instansi Pemerintah yang berwajib, sehingga dalam figur Kepala Daerah ini bertemulah titik demokrasi dari bawah dan dari atas dalam susunan pemerintahan Negara. Dengan pengesahan dari Pemerintah Pusat ini dapat pula dicegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dalam soal pemilihan Kepala Daerah. Mengenai cara pengesahan Kepala Daerah, begitu pula cara pemilihan dapat ditetapkan peraturan-peraturan umum dengan Peraturan Pemerintah. Pengesahan tersebut tidaklah akan dilakukan secara otomatis, akan tetapi akan diberikan setelah ditinjau apakah segala syarat yang diperlukan bagi penetapan Kepala Daerah telah dipenuhi. Dalam hal pengesahan tadi tidak dapat diberikan, Pemerintah akan menjelaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan sebab-sebab mengapa pengesahan tidak dapat diberikan, dengan disertai ketentuan untuk mengadakan pemilihan baru.
 
Dengan pengesahan oleh Pemerintah Pusat maka kedudukan Kepala Daerah sebagai organ Pemerintah Daerah itu merupakan satu organisasi yang stabil, karena berdasarkan kepercayaan DPRD terhadapnya yang tentu tidak mudah mengeluarkan suara-suara untuk menumbangkannya. Mengenai masa jabatan dari Kepala Daerah itu seyogyanya disesuaikan dengan masa pemilihan DPRD. yang bersangkutan, sehingga Kepala Daerah itu berdiri dan jatuh bersama-sama dengan DPRD.-nya itu. Dalam hal seorang anggota DPRD. dipilih menjadi Kepala Daaerah, maka segala ketentuan yang berlaku bagi anggota DPRD. itu juga berlaku baginya (Pasal 24 ayat 5 sub d). Berhubung dengan itu, maka apabila ia melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk tiap-tiap anggota DPRD., maka iapun dapat diberhentikan oleh DPRD. dari keanggotaan DPRD. sebagai dimaksud dalam pasal 10 dan 11 Undang-undang tersebut, yang akan berakibatkan pula berakhirnya kedudukannya sebagai Kepala Daerah. Sebagai Ketua merangkap Anggota DPD., ia menjalankan tugas dan kewajibannya itu bersama-sama dengan anggota-anggota DPR. lainnya, dan bertanggungjawab secara collegiaal terhadap DPRD. tentang penyelenggaraan tugasnya. Berhubung dengan itu, apabila DPD. ditumbangkan oleh DPRD maka Kepala Daerah yang telah dipilih oleh DPRD. itu turut serta pula jatuh, dan kembali kepada kedudukannya semula. Dengan kedudukan Kepala Daerah seperti diuraikan di atas, ia tidak mungkin lagi dapat dirasakan sebagai suatu "dwarskijker.. atau sebagai "boneka", melainkan sekarang tegaslah kedudukannya itu sebagai alat Daerah, yang tugas dan kewajibannya itu sesuai dengan tanggungjawab yang sewajarnya.
 
Berhubung dengan pokok-pokok pikiran seperti diuraikan di atas, maka perlu kiranya dijelaskan pula secara pokok-pokok akibat-akibatnya dari pikiran itu yang berhubungan dengan:
 
a. Tugas Kepala Daerah,
 
b. Wakil kepala Daerah,
 
c. Gaji dan segala emolumenten dari Kepala Daerah,
 
d. Kepala Daerah Istimewa.
 
 
 
Ad. a.
 
Sebagaimana telah dimaklumi, maka Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948 itu pada dasarnya menghendaki suatu Pemerintahan Daerah yang bersifat collegiaal dan tidak menghendaki adanya "dualisme" dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Artinya ialah bahwa penyelenggaraan pemerintahan Daerah itu haruslah sepenuhnya dijalankan oleh Pemerintah Daerah sebagai badan pemerintahan yaitu DPRD. dan DPD. Kepala Daerah tidak merupakan suatu organ yang berdiri sendiri terlepas dari pada DPRD. dan DPD. dan tidak diperkenankan menjalankan pemerintahan sendiri. Akan tetapi maksud untuk melenyapkan "dualisme" itu ternyata tidak dipegang teguh, baik oleh pembuat Undang-undang sendiri maupun dalam pelaksanaannya (praktek), sehingga dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948 sendiri terdapat ketentuan-ketentuan yang sesungguhnya bertentangan dengan maksud tersebut dan pada dasarnya masih mempertahankan sifat "dualisme" itu.
 
Hal ini terbukti dari ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal 28 ayat 6 (yaitu Peraturan Daerah dipandang mulai berlaku sesudah ditanda-tangani oleh Kepala Daerah) dan pasal 36 (yaitu Kepala Daerah dapat menahan dijalankannya keputusan dari DPRD. dan DPD.) dari Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948 itu. Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini, maka Kepala Daerah merupakan suatu organ yang bertindak sendiri, terlepas dari DPD. maupun DPRD. Meskipun dalam Memori penjelasan Undang-undang tersebut diterangkan, bahwa dalam hal tersebut Kepala Daerah itu bertindak sebagai pengawas, dan karena itu menjalankan tugas Pemerintah Pusat, namun tidaklah dapat dipungkiri, bahwa ketentuan tersebut menimbulkan kembali sifat "dualisme" dalam Pemerintah Daerah itu.
 
Berhubung dengan itu, agar supaya sifat "dualisme" ini dapat secara konsekuen dihapuskan, maka kepada Kepala Daerah hanya diserahkan melaksanakan tugas-tugas yang termasuk Urusan Daerah Otonom saja, dengan tidak menghilangkan pokok pikiran bahwa Pemerintah Daerah itu hanya terdiri dari DPRD. dan DPD. Tugas pengawasan yang sesungguhnya termasuk hak placet Pemerintah Pusat, tidak lagi dijalankan oleh Kepala Daerah. Berhubung dengan itu, maka adalah satu keuntungan apabila Kepala Daerah diserahi tugas Ketua DPD. Dengan demikian maka Kepala Daerah itu adalah "Zuiver" alat.Daerah yang dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah itu selalu bertindak collegiaal, yaitu bersama-sama dengan anggota DPR. lainnya.
 
 
Ad. b.
 
Apabila Kepala Daerah itu berhalangan maka ia diwakili oleh Wakil Ketua DPD. yang dipilih oleh dan dari anggota DPD. itu. Hal ini adalah berlainan dengan keadaan sampai sekarang, yang karena Kepala Daerah disamping pekerjaan dalam lapangan otonomi juga mengerjakan tugas dalam lapangan Pemerintah pusat memerlukan dua pejabat untuk mewakili Kepala Daerah apabila ia berhalangan, yaitu: 1. mewakili dalam lapangan otonomi dan 2. seorang lain yang mewakili dalam lapangan Pemerintah Pusat.
 
 
 
Ad. c.
 
Dari semua uraian tersebut di atas jelaslah, bahwa Kepala Daerah adalah alat dari Daerah yang bersangkutan. Berhubung dengan itu, maka berlainan daripada waktu yang telah lampau, maka penghasilan dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah tersebut akan ditetapkan oleh Daerah itu sendiri dengan peraturan daerah. Pengawasan preventief atas peraturan daerah yang mengatur hal tersebut di atas masih diperlukan, agar supaya dapat mencegah timbulnya discriminatie yang tidak sehat antara Daerah-daerah.
 
 
 
Ad. d.
 
Berlainan dengan Kepala Daerah biasa, maka Kepala Daerah Istimewa itu tidak dipilih oleh dan dari anggota-anggota DPRD. melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat dari keturunan keluarga yang berkuasa di Daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai Daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat-istiadat dalam daerah itu. Ketentuan ini pada pokoknya sama bunyinya dengan apa yang ditentukan dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Berhubung dengan itu, maka mengenai perwakilan Kepala Daerah, serta penghasilan dan segala "emolumenten" yang melakat kepada jabatan Kepala Daerah itu agak berbeda pula dari pada apa yang telah diuraikan mengenai hal tersebut bagi Kepala Daerah biasa. Seperti telah tercantum dalam Rancangan Undang-undang tersebut maka dalam suatu Daerah Istimewa dapat pula diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa. Hal ini misalnya dapat terjadi, apabila Daerah Istimewa itu terbentuk sebagai gabungan dari beberapa bekas Swapraja-Swapraja, seperti misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sesuai dengan sistim yang telah diuraikan di atas, maka Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah Ketua dan Wakil Ketua serta anggota dari DPD.
 
Berhubung dengan itu, maka apabila diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa tersebut, maka dengan sendirinya ialah yang mewakili Kepala Daerah Istimewa. Sedangkan apabila Wakil Kepala Daerah Istimewa ini juga berhalangan, maka Kepala Daerah Istimewa diwakili oleh seorang anggota DPD. yang dipilih oleh dan dari anggota DPD. Apabila dalam Daerah Istimewa itu tidak diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa, maka perwakilan Kepala Daerah Istimewa diatur seperti perwakilan Kepala Daerah biasa. Selain daripada itu, karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib, maka:
 
1.
 
ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD., sedangkan
2.
 
mengenai gaji dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah itu, tidak ditetapkan oleh Daerah itu sendiri, melainkan oleh Pemerintah Pusat.
 
 
 
Ad 4.
 
Mengenai pengawasan Pusat terhadap urusan Daerah-daerah, maka pengawasan itu berpusat kepada penjagaan :
 
1.
 
supaya DPRD. dan DPD. itu melakukan tugasnya secara sebaik-baiknya sehingga urusan Daerah tidak terbengkalai atau kurang terpelihara.
2.
 
supaya keputusan-keputusan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh alat-alat otonomi Daerah terutama di sini keputusan-keputusan yang diambil oleh DPRD. atau tindakan-tindakan yang diambil oleh DPD. sebagai alat penyelenggara, tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi mengenai sesuatu pokok atau sesuatu hal urusan umum.
 
 
 
Hak pengawasan itu merupakan bahagian yang tak dapat dipisahkan dari kekuasaan eksekutip seluruhnya, oleh karena pada instansi terakhir Pemerintahlah yang harus bertanggungjawab atas seluruh penyelenggaraan pemerintahan dalam negeri dan luar negeri itu kepada DPR. (Parlemen).
 
Berhubung dengan itu maka hak pengawasan ini haruslah diatur sedemikian rupa, sehingga sedikit-dikitnya dapatlah terjamin penyelenggaraan seluruh pemerintahan itu i.c. mengenai pemerintahan daerah dan dengan demikian penyelenggaraan dari kepentingan umum itu. Dengan dibentuknya daerah-daerah otonom, sebagai rangkaian pelaksanaan dari politik desentralisasi pemerintahan negara, maka juga sebahagian dari hak pengawasan ini disarankan kepada daerah-daerah otonom setingkat lebih atas, yaitu hak pengawasan represif dan preventif terhadap beberapa jenis keputusan-keputusan tertentu dari pemerintah Daerah bawahannya, sebagaimana ditentukan dalam Rancangan Undang-undang tersebut.
 
Jadi pengawasan preventif ini hanya diharuskan bagi beberapa keputusan tertentu saja, dalam mana tersangkut kepentingan-kepentingan besar atau kemungkinan timbulnya kegelisahan-kegelisahan dan gangguan-gangguan dalam penyelenggaraan kepentingan umum itu oleh pemerintah daerah sehingga dengan demikian kemungkinan datangnya kerugian atas kepentingan-kepentingan itu, dapat dicegah sebelumnya.
 
 
 
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
 
 
 
Pasal 1
 
1.
 
Istilah "Daerah" dalam Undang-undang ini dipakai sebagai satu istilah tehnis, untuk menyebut dengan satu perkataan apa yang dimaksud oleh Undang-Undang Dasar Sementara (Pasal 131 ayat 1) dengan anak kalimat "daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah-tangganya sendiri (autonoom)." Dalam Undang-undang ini diberikan dasar hukum kepada istilah baru "Daerah Swatantra" yang berarti "daerah otonoom", istilah mana sudah dipakai dalam surat-menyurat resmi. Berhubung perkataan "Daerah" itu dalam undang-undang ini dipakai sebagai satu istilah tehnis yang mempunyai isi yang tertentu, maka perkataan "daerah" Indonesia seyogyanya disebut "wilayah" Indonesia.
2.
 
Untuk keperluan pengawasan atau eksaminasi maka perlu ditunjuk instansi atasan yang melakukan pekerjaan itu. Oleh karena itu apabila dalam Undang-undang ini dijumpai perkataan "setingkat lebih atas", maka perkataan ini harus ditafsirkan Daerah tingkat I (termasuk Daerah Istimewa tingkat I) bagi Daerah tingkat II (termasuk Daerah Istimewa tingkat II), yang terletak dalam wilayah Daerah tingkat ke I itu. Demikian pula Daerah tingkat II (termasuk Daerah Istimewa tingkat ke II bagi Daerah-daerah tingkat III (termasuk Daerah Istimewa tingkat ke III) yang terletak dalam Daerah tingkat II itu.
3.
 
Ketentuan pasal 1 ayat 3 bermaksud untuk menghindari timbulnya suatu tafsiran yang tidak dikehendaki oleh pembuat undang-undang. Jadi apabila dalam Undang-undang ini kita jumpai misalnya perkataan "Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke-I" (pasal 64, 65 dan lain-lain), maka yang dimaksudkan ialah Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah tingkat ke-I, jadi baik Daerah tingkat I (termasuk Kotapradja Jakarta Raya) sebagai dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 maupun Daerah Istimewa tingkat I sebagai dimaksud dalam pasal 2 ayat 2.
4.
 
Yang dimaksud dengan "keputusan" dari Pemerintah Daerah ialah semua perwujudan kehendak Pemerintah Daerah (Daerah Perwakilan Rakyat Daerah atau Dewan Pemerintah Daerah) untuk bertindak terhadap sesuatu hal mengenai urusan rumah-tangganya. Perwujudan kehendak itu, terutama dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, biasanya berbentuk "peraturan" atau "mosi" dan peraturan yang dibentuk menurut syarat-syarat tertentu (misalnya mengenai pengundangannya) disebut "peraturan-peraturan-daerah".
 
 
 
Pasal 2
 
Pembagian dalam tingkat-tingkat daerah otonoom lihat Penjelasan Umum. Di samping itu perlu di sini dijelaskan bahwa antara Kotapraja tidak diadakan perbedaan tingkat, kecuali mengenai ibukota Negara, yang mempunyai kedudukan dan riwayat sendiri. Ketentuan dalam ayat 2 pasal ini, menentukan bahwa daerah Swapraja itu dengan undang-undang pembentukan dapat dijadikan Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa. Hal itu berarti, bahwa daerah Swapraja menjadi Daerah yang diberi otonomi menurut undang-undang dan pada azasnya telah memenuhi kehendak pasal 132 Undang-undang Dasar Sementara.
 
Mengenai Daerah Istimewa, setiap kali suatu daerah Swapraja itu dibentuk menjadi Daerah Istimewa, maka pada azasnya kita telah memberikan status baru kepada daerah Swapraja tersebut, yang bentuk susunan pemerintahannya menurut pasal 132 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara harus disesuaikan dengan dasar-dasar yang dimaksud dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara. Kepada daerah Swapraja itu mestilah diberikan pemerintahan berotonomi menurut undang-undang, sehingga tidak dibolehkan suatu daerah Swapraja terbebas dari pemerintahan otonomi yang bersifat demokratis menurut undang-undang itu, dimana kepada rakyat diserahkan hampir semua kekuasaan Swapraja itu, sehingga tinggal lagi urusan-urusan adat yang dapat dipertahankan dalam tangan Kepala Swapraja dan orang-orang besarnya selama rakyatnya bertakluk kepada hukum-adatnya. Tiap-tiap kali daerah Swapraja dibentuk menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra biasa, maka hal itu berarti hapusnya daerah Swapraja yang bersangkutan, sehingga akibat-akibat dari penghapusan itu haruslah pula diatur tersendiri, jadi diantaranya mengenai Kepala-kepala/pembesar-pembesar dan pegawai-pegawai lainnya dari Swapraja-Swapraja, yang sedapat-dapatnya dimasukkan pula ke dalam formasi pegawai Daerah Istimewa/Swatantra itu sesuai dengan syarat-syarat kecakapannya dan lain-lain.
 
 
 
Pasal 3
 
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara maka dalam pasal ini ditetapkan, bahwa pembentukan suatu Daerah Swatantra/Istimewa dilakukan dengan undang-undang. Pembentukan akan dilakukan setelah diadakan peninjauan dari pelbagai sudut antara lain dari sudut keuangan yang harus meyakinkan hak hidupnya, dan setelah minta pertimbangan atau atas usul dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Daerah setingkat lebih atas, sepanjang mengenai Daerah tingkat II dan III. Mengenai perubahan wilayah dari suatu Daerah Swatantra, hal ini dengan sendirinya tidak akan dilakukan tanpa persetujuan dari Dewan-dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan. Juga batas-batas wilayah dan penunjukkan ibukota daerah Swatantra masing-masing baik diatur dalam undang-undang pembentukan. Agar supaya perobahan (termasuk perluasan dan pengurangan) batas-batas wilayah Daerah-daerah Swatantra/Istimewa itu senantiasa diadakan dengan berhati-hati serta memperhatikan kehendak rakyat wilayah-wilayah yang bersangkutan, maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa perubahan itu harus dilakukan dengan undang-undang.
 
 
 
Pasal 4
 
Penetapan jumlah penduduk 50.000 jiwa sebagai syarat bagi pembentukan Kotapraja, diadakan mengingat perimbangan jumlah penduduk yang telah dipakai dalam undang-undang pembentukan Kabupaten-kabupaten pada waktu yang lampau. Berhubung dengan pertimbangan tersebut, maka mengenai kota-kota di luar Jawa yang menurut perkembangan sekarang, penduduknya kurang padat kalau dibandingkan dengan Jawa, akan tetapi kepentingannya ketata-negaraan tidaklah kurang, misalnya mengenai ibu-ibu kota karesidenan dahulu maka dibuka kemungkinan untuk menurunkan syarat minimum penduduk itu dalam hal dipandang perlu oleh pembuat undang-undang jumlah 50.000 hanya merupakan pedoman saja). Selain daripada itu dalam Kotapraja tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah, karena pembentukan daerah otonoom di dalam suatu Kotapraja akan mengakibatkan berkurangnya sumber-sumber penghasilan Kotapraja yang bersangkutan. Oleh karena juga daerah-daerah otonoom bawahan yang berada dalam Kotapraja itu harus mempunyai sumber-sumber penghasilannya sendiri agar nanti dapat berdiri sendiri juga dalam soal keuangannya, yang tentunya harus mengambilnya dari bagian sumber-sumber penghasilan Kotapraja yang bersangkutan itu. Berhubung dengan itu pembentukan daerah-daerah otonoom di dalam Kotapraja mungkin dapat merugikan Kotapraja itu sendiri dan karena itu seyogyanya tidak dibentuk saja daerah-daerah otonoom tingkat bawahan. Kekecualian diadakan bagi Kota-praja Jakarta Raya, yang mempunyai riwayat tersendiri dalam pembentukannya dan perkembangannya. Pun pula melihat luas daerahnya yang meliputi wilayah stadsgemente Batavia dahulu ditambah dengan kecamatan-kecamatan sekelilingnya (termasuk kecamatan Pulau Seribu) dan perkembangannya yang sangat cepat dalam segala segi penghidupan masyarakatnya, memang bagi Jakarta Raya diperlukan pengaturan dan perhatian yang istimewa pula dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
 
Di samping itu sumber-sumber penghasilannya ternyata cukup luas dan besar, malah masih diperlukan intensiteit yang lebih besar dari dalam menggali sumber-sumber keuangannya itu, sehingga karena itu pembentukan daerah otonoom tingkat lebih rendah di daerah Kotapraja Jakarta Raya akan dapat melancarkan jalannya pemerintahan di Daerah itu. Seperti diterangkan mengenai sumber-sumber penghasilannya daerah-daerah otonom itu tadi juga berhubung dengan banyaknya obyek-obyek tidak akan seberapa memberatkan Kotapraja sendiri.
 
 
 
Pasal 5
 
Dalam pasal 5 ditentukan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Dengan ketentuan ini, maka kedua badan ini merupakan alat-perlengkapan Daerah, yang menurut Undang-undang ini berkewajiban mengurus segala urusan rumah tangga sendiri dan dapat pula diserahi tugas untuk memberikan bantuan dalam menjalankan peraturan-peraturan oleh instansi-instansi yang lebih tinggi. Dalam pasal ini tidak disebut Kepala Daerah sebagai alat perlengkapan Daerah. Tentang kedudukan Kepala Daerah dan kekuasaannya dalam pemerintahan Daerah, lihat Penjelasan Umum.
 
 
 
Pasal 6
 
Cukup jelas (lihat lebih lanjut dalam Penjelasan Umum).
 
 
 
Pasal 7
 
Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditetapkan dalam undang Pembentukannya. Jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ini ditetapkan atas dasar perhitungan jumlah penduduk, yang harus mempunyai seorang wakil dalam Dewan, serta syarat-syarat minimum dan maximum jumlah anggota bagi masing-masing Daerah seperti tersebut dalam ayat 1 sub a, b dan c. Syarat minimum ini diadakan, agar supaya Daerah yang tidak banyak penduduknya masih mempunyai jumlah perwakilan yang cukup dalam DPRD-DPRD-nya, sedang syarat-syarat maximum diadakan jangan sampai jumlah anggota DPRD itu terlalu besar (log), yang dapat menghambat DPRD-DPRD tersebut dalam menjalankan tugasnya. Agar supaya jumlah anggota DPRD. ini senantiasa dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat di daerah-daerah itu masing-masing, maka telah seyogyanya dalam ayat 2 diadakan ketentuan, bahwa perubahan jumlah anggota DPRD ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berlaku untuk masa empat tahun, Dalam ayat (4) ditentukan, bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dipilih pada saat sesudah waktu pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selesai, memegang keanggotaannya itu tidak untuk empat tahun, akan tetapi sampai berakhirnya waktu pemilihan. Selain dari itu dalam ayat (5) ditentukan, bahwa para anggota DPRD yang pertama meletakan jabatannya bersama-sama pada waktu yang ditentukan dalam Undang-undang Pembentukan dengan ketentuan ini maka Daerah-daerah yang telah dibentuk itu dapat mempunyai waktu pemilihan yang berakhir pada saat yang sama, meskipun pembentukan Daerah-daerah itu tidak dilangsungkan pada suatu ketika.
 
 
 
Pasal 8
 
Untuk dapat dipilih menjadi anggota DPRD (passief kiesrecht) syarat-syarat tersebut dalam pasal ini diperlukan, agar supaya anggota itu mempunyai sifat dan pengetahuan minimum untuk dapat menjalankan kewajibannya dengan baik. Umur dua puluh satu tahun sebagai ditentukan dalam sub a dianggap cukup bagi seseorang untuk mempunyai pemandangan luas dan pendapat tertentu tentang pelbagai soal, sehingga dapat diharap menjalankan kewajibannya sebagai anggota DPRD dengan baik. Umur dua puluh satu tahun itu harus sudah tercapai pada waktu yang bersangkutan dipilih menjadi anggota DPRD. Wanita pun tidak dikecualikan untuk dapat dipilih sebagai anggota. Dalam waktu enam bulan yang ditetapkan pada sub b anggota harus benar bertempat tinggal di daerah yang bersangkutan, agar dengan demikian dapat dianggap mengetahui keadaan dari Daerah di mana ia menjadi wakil rakyatnya. Berhubungan dengan ini dalam sub. b., dipakai istilah "bertempat tinggal pokok."
 
 
 
Pasal 9
 
Dalam pasal 9 sub b ditentukan bahwa anggota DPRD. tidak boleh merangkap menjadi Perdana Menteri dan Menteri. Sesuai dengan kebiasaan politik (convention) dalam negara kita, maka yang dimaksudkan dengan Perdana Menteri itu juga Wakil Perdana Menteri dan dengan menteri juga Menteri Muda (vide Undang-undang Dasar Sementara 1950). Selain daripada itu dengan ketentuan yang termaktub dalam pasal 9 ini, dapat ditarik kesimpulan, bahwa semua pegawai Daerah, kecuali yang dimaksudkan dalam sub. c dapat menjadi anggota DPRD. Dengan demikian diperbesar kemungkinan pemilih dapat memilih orang-orang yang cakap menjadi anggota DPRD. Yang dimaksudkan dengan dinas pada sub b ialah bagian khusus dari pekerjaan Daerah misalnya: dinas pertanian, dinas pekerjaan-umum, dinas pendidikan dan sebagainya. Dengan dinas tidak dimaksudkan bagian dari Kantor Sekretaris atau bagian dari kantor lainnya.
 
 
 
Pasal 10
 
Pasal ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai anggota-anggota DPRD. itu melakukan usaha-usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung yang mendatangkan keuntungan baginya atau merugikan bagi daerah yang bersangkutan, seperti misalnya: menjadi adpokat, pokrol atau kuasa dalam perkara hukum dalam mana Daerah itu tersangkut dan lain-lain, sebab usaha-usaha tersebut dapat menurunkan kedudukan kehormatan sebagai anggota DPRD di mata rakyat, yang dengan sendirinya dapat berakibat mengurangkan kepercayaan rakyat kepada DPRD. yang bersangkutan. Akan tetapi, kalau kepentingan Daerah memerlukannya, maka DPRD dapat memberikan pengecualiannya, misalnya: dalam suatu Daerah tidak ada lagi seorang adpokat atau pemborong bangunan kecuali seseorang yang kebetulan menjadi anggota DPRD. itu, maka dalam hal ini, tidak ada jalan lain bagi DPRD. yang bersangkutan daripada menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut, dan menyimpang dari ketentuan termaksud dalam pasal 10 ayat 1.
 
Anggota yang melanggar larangan tersebut dalam ayat 1 dapat diperhentikan oleh DPRD. dan sebelum itu dapat diperhentikan sementara oleh DPD. yang bersangkutan akan tetapi setelah kepada yang bersangkutan itu diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dengan lisan atau tulisan. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang dari DPRD. maka kecuali kesempatan yang harus diberikan kepada yang bersangkutan untuk mempertahankan diri, anggota yang bersangkutan dapat minta pula ketentuan DPD. yang setingkat lebih atas atau bagi anggota DPRD. tingkat ke-I yang setingkat lebih atas atau bagi anggota DPRD. tingkat ke-I dari Presiden terhadap putusan pemberhentian dan pemberhentian sementara itu, dalam waktu satu bulan sesudah menerima putusan tersebut.
 
 
 
Pasal 11.
 
Dalam undang-undang ini dirasa perlu untuk mengadakan ketentuan tentang gugurnya atau dapat digugurkannya anggota-anggota DPRD. yang sama sekali tidak diatur dalam Undang-undang No.22/1948 RI. dan Undang-undang No.44/1950 NIT. sehingga kerap kali menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam praktek. Keanggotaan DPRD. itu gugur kalau anggota tersebut meninggal dunia. Lowongan yang dengan demikian ini timbul dalam DPRD. harus diisi menurut cara-cara yang tersebut dalam pasal 7 ayat 4. Gugurnya keanggotaan karena meninggal dunia ini tidak perlu menunggu keputusan-keputusan penguasa yang tersebut dalam ayat 2. Keanggotaan DPRD. dapat digugurkan karena anggota tersebut tidak lagi memenuhi sesuatu syarat seperti tersebut dalam pasal 8 dan 9, misalnya orang telah dipilih menjadi anggota DPRD itu kemudian sakit ingatan atau dipecat dari hak memilih atau hak dipilih dengan keputusan pengadilan yang tidak dapat dirobah lagi atau lain-lainnya seperti tersebut dalam pasal 8 atau kemudian menjadi Menteri dan lain-lainnya seperti tersebut dalam pasal 9. Demikian pula kalau anggota DPRD. itu melanggar suatu peraturan yang khusus ditetapkan bagi anggota-anggota DPRD. (yang dimaksudkan dengan peraturan di sini ialah peraturan-perundangan yaitu Undang-undang, Undang-undang Darurat atau Peraturan Pemerintah) atau memajukan permintaan untuk berhenti sebagai anggota. Penguguran ini harus dilakukan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD. tingkat ke-I atas usul DPD. dari Daerah yang bersangkutan dan dengan keputusan DPD. setingkat lebih atas bagi anggota-anggota DPRD. tingkat ke-I atas usul DPD. dari Daerah yang bersangkutan dan dengan keputusan DPD. setingkat lebih atas bagi anggota-anggota DPRD. lainnya atas usul DPD. yang bersangkutan. Dalam ayat 3 disediakan kemungkinan kepada anggota-anggota DPRD. yang bersangkutan untuk meminta putusan dalam banding kepada Penguasa yang setingkat lebih tinggi daripada Penguasa yang memutus.
 
 
 
Pasal 12
 
Dalam pasal ini ditentukan, bahwa peraturan mengenai uang sidang, uang jalan dan uang penginapan bagi anggota-anggota DPRD. ditetapkan oleh DPRD. yang bersangkutan. Kemudian dalam pasal ini juga diberikan dasarnya untuk memberikan uang kehormatan kepada Ketua dan Wakil Ketua DPRD. bila kemudian misalnya ternyata bahwa mereka itu harus bekerja sehari-hari dan menyumbangkan tenaganya dengan penuh, akan tetapi untuk menjaga keadilan dan perimbangan dengan kekuatan keuangan Daerah, maka peraturan-peraturan tersebut di atas memerlukan pengesahan terlebih dahulu dari instansi yang lebih atas. Peraturan tersebut bagi Daerah tingkat II dan III harus disahkan terlebih dahulu oleh DPD. setingkat lebih atas dan oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat I. Untuk menjaga jangan sampai peraturan tersebut sangat berbeda antara Daerah yang satu dengan lainnya, maka Pemerintah dengan peraturan Pemerintah dapat memberikan aturan-aturan umum mengenai hal tersebut (uniformitet).
 
 
 
Pasal 13
 
Menurut pasal ini, maka anggota DPRD. sebelum menjalankan hak dan kewajibannya itu harus bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di dalam rapat pertama DPRD. di hadapan Menteri Dalam Negeri atau seorang yang ditunjuk olehnya yang memimpin rapat itu, bahwa ia akan memenuhi kewajibannya itu dengan jujur. Oleh karena para anggota DPRD. itu baru boleh memangku jabatannya, apabila mereka itu sudah bersumpah (menyatakan janji) maka dengan sendirinya perlu ditetapkan siapa yang akan memimpin rapat pertama DPRD. itu jadi untuk menerima penyumpahan janji tersebut. Berhubung dengan itu, maka dalam ayat 1 itu ditetapkan, bahwa yang memimpin rapat itu ialah Menteri Dalam Negeri atau seorang yang ditunjuk olehnya. Baru mengenai pengangkatan sumpah janji dari anggota DPRD. yang antar waktu mengisi lowongan keanggotaan DPRD. seperti dimaksud dalam ayat 2, dapat dilangsungkan di hadapan Ketua DPRD. itu sendiri, oleh karena dalam keadaan yang demikian itu para anggota DPRD. sudah memangku jabatannya. Berlainan dengan ketentuan dalam undang-undang RI. No.22/1948, maka anggota-anggota DPD. menurut undang-undang ini tidak perlu mengadakan sumpah atau janji sebelum menjalankan tugasnya itu, karena anggota-anggota DPD. itu dipilih oleh dan dari anggota-anggota DPRD. Jadi anggota DPD. itu adalah anggota DPRD. yang sebelum menjalankan hak dan kewajibannya, sebagai anggota DPRD. yang sebelum menjalankan hak dan kewajibannya, sebagai anggota DPRD. telah bersumpah atau berjanji. Karena itu tidak perlu kiranya anggota-anggota DPD. ini bersumpah atau berjanji sampai dua kali. Tentang susunan kata sumpah atas janji dicantumkan pula dalam pasal ini, sehingga tidak perlu lagi menunggu penetapannya dalam peraturan Pemerintah seperti pada Undang-undang RI. No.22/1948.
 
 
 
Pasal 14
 
Perkataan "Sidang dan Rapat" dalam pasal ini mengandung arti yang sama seperti perkataan-perkataan dalam bahasa asing "Zitting en Vergadering". Suatu sidang dapat ditentukan untuk suatu waktu, di mana diadakan rapat-rapat. Penetapan waktu dan penyelenggaraan dari rapat dan sidang ini adalah termasuk kewajiban Ketua DPRD., meskipun tidak tegas dinyatakan dalam pasal ini. Sidang dan rapat DPRD. ini dapat juga diadakan atas permintaan Dewan Pemerintah Daerah, kalau badan ini berpendapat bahwa sidang dan rapat itu perlu diadakan untuk kepentingan Daerah yang bersangkutan. Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang dibicarakan dalam rapat tertutup tidak saja mengenai anggota DPRD. akan tetapi juga mengenai para pegawai/pekerja-pekerja dan semua yang hadir pada rapat tertutup itu ditambah pula dengan mereka yang mengetahui hal-hal yang dibicarakan dalam rapat itu dengan jalan lain, umpamanya pegawai yang mengetahuinya, karena kedudukannya menerima laporan dari lain pegawai yang mengunjungi rapat.
 
 
 
Pasal 15
 
Pada umumnya rapat DPRD. itu terbuka bagi umum. Sifat terbuka ini adalah sesuai dengan cita-cita demokrasi, di mana rakyat umum juga dapat mengikuti dengan seksama segala pembicaraan dalam rapat-rapat itu dan apa yang diperdebatkan oleh para wakilnya itu. Dengan demikian maka umum dapat mengadakan kritik dan pemandangan-pemandangan atas pembicaraan-pembicaraan dan putusan-putusan yang diambil dalam rapat itu dengan melalui pers, radio dan lain-lain. Dalam keadaan yang khusus, misalnya kalau kepentingan umum memerlukannya, maka rapat dapat memutuskan untuk mengadakan rapat tertutup. Dalam memutuskan ini harus diindahkan ketentuan-ketentuan dalam pasal 17 ayat 1, 2 dan 3. Ayat 3 menentukan beberapa hal yang tidak dapat diambil putusan dalam rapat tertutup. Jadi mengenai hal-hal yang tersebut dalam ayat ini harus dibicarakan dalam rapat terbuka, karena pembicaraan-pembicaraan mengenai hal-hal tersebut perlu sekali dapat diikuti oleh umum. Hal-hal yang tidak dapat dibicarakan atau diambil putusan dalam rapat tertutup adalah umumnya mengenai keuangan dan harta-benda Daerah, tentang penerimaan anggota baru dan segala usaha yang dapat merugikan atau mengurangi kepentingan umum. Ayat ini mengharuskan supaya umum mempunyai pengetahuan seluas-luasnya mengenai hal-hal tersebut dengan mengikuti pembicaraan dalam rapat terbuka.
 
 
 
Pasal 16
 
Cukup jelas.
 
 
 
Pasal 17
 
Dalam ayat 1 ditetapkan bahwa quorum yang harus dicapai untuk dapat mengadakan rapat yang sah dan dapat mengambil sesuatu putusan adalah lebih dari separoh jumlah anggota DPRD., yang ditetapkan dalam undang-undang pembentukan termaksud dalam pasal 7 ayat 1. Berlainan dengan Undang-undang RI. No.22/1948 di sini dengan tegas dinyatakan, bahwa yang dimaksudkan dengan jumlah anggota DPRD. ialah jumlah yang ditentukan dalam undang-undang pembentukan bagi Daerah yang bersangkutan, jadi bukan jumlah anggota yang benar-benar duduk sebagai anggota DPRD. Umpamanya menurut undang-undang pembentukan (bagi Propinsi misalnya) DPRD. mempunyai 75 anggota, akan tetapi waktu akan diadakan rapat ada lowongan untuk dua kursi (anggota), maka jumlah untuk menetapkan quorum bukanlah 75-2, melainkan tetap seperti yang ditetapkan dalam undang-undang pembentukan yaitu 75. Jadi dalam hal ini quorum itu adalah lebih dari separoh jumlah anggota (75)-37. = 38.
 
Untuk mengetahui tercapainya atau tidak quorum itu haruslah diperiksa daftar anggota yang hadir pada suatu rapat (presentielijst). Quorum ini dianggap selalu ada selama rapat itu, kecuali jika pada waktu diadakan pemungutan suara ternyata quorum itu tidak ada lagi, misalnya karena beberapa anggota yang mula-mula hadir kemudian meninggalkan rapat itu. Di dalam praktek keadaan ini kerap kali menimbulkan kesulitan, karena timbulnya persoalan apakah kalau kemudian pada waktu diadakan pemungutan suara ternyata quorum itu tidak ada lagi, rapat itu masih sah mengingat ketentuan dalam ayat 1. Memang meskipun rapat itu mula-mula sah, karena memenuhi quorum yang telah ditentukan dalam ayat 1, akan tetapi kalau kemudian pada waktu pemungutan suara quorum itu tidak ada lagi maka rapat itu tak dapat mengadakan keputusan yang sah.
 
Ketentuan ini bermaksud agar supaya anggota-anggota DPRD. itu berusaha untuk menghadiri rapat, yang sudah diadakan itu demi kepentingan Daerah yang mereka wakili. Kalau quorum tidak tercapai maka harus diadakan rapat lagi pada waktu lain, sehingga terdapat quorum itu. Aturan bahwa dengan rapat yang kedua, meskipun tidak tercapai quorum, rapat dianggap sah, tidak ada. Ini untuk menjaga agar supaya jangan sampai pembicaraan dan putusan dapat diadakan dalam rapat yang tidak dihadiri oleh kebanyakan dari jumlah anggota DPRD. Dengan demikian dasar-dasar demokrasi tetap dapat terpelihara. Bila quorum itu terus menerus tidak dapat tercapai, sehingga DPRD. tidak dapat mengadakan rapat-rapat dan keputusan yang perlu dalam mengurus rumah tangga Daerah, sehingga merugikan Daerah atau Negara, maka Pemerintah dengan peraturan Pemerintah menentukan cara bagaimana Daerah itu harus diurus menurut ketentuan dalam pasal 50. Ayat 2 menegaskan lagi ketentuan dalam ayat 1, yaitu bahwa putusan rapat itu hanya sah jika diambil dengan suara terbanyak dari anggota yang hadir pada saat pemungutan suara itu, yang berarti bahwa pada saat itu quorum yang telah ditetapkan, harus ada.
 
Ayat 3, mengatur pemungutan suara mengenai perkara, umpamanya mengenai rancangan peraturan daerah, sedang ayat 4 mengatur pemungutan suara mengenai orang. Tentang cara pemungutan suara, undian dan sebagainya dapat diatur seterusnya dengan jelas dalam peraturan tata-tertib DPRD.
 
 
 
Pasal 18
 
Maksud aturan ini ialah agar supaya anggota DPRD. dapat mengeluarkan pendapatnya dengan bebas. Anggota tidak perlu takut akan dituntut, karena apa yang dengan lisan atau tertulis dikemukakan dalam rapat. Meskipun demikian, anggota harus mempunyai sopan santun sendiri dan di dalam aturan tata-tertib dapat ditetapkan, bahwa segala sesuatu harus diajukan dengan sopan dan tertib. Ketentuan ini hanya mengenai mengeluarkan pendapat dan keterangan dengan bebas pada waktu diadakan rapat dan diucapkan atau diajukan didalam rapat DPRD. itu. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap rapat-rapat DPD.
 
 
 
Pasal 19
 
Dalam ayat 1 ditetapkan bahwa anggota-anggota DPD. dipilih oleh dan dari anggota-anggota DPRD. atas dasar perwakilan berimbang. Ketentuan ini bermaksud untuk menghindarkan kemungkinan diborongnya semua kursi dalam DPD. itu oleh partai yang mempunyai wakil.terbanyak dalam DPRD. Dasar perwakilan berimbang ini memberikan jaminan kepada partai Kecil atau golongan kecil untuk juga mempunyai wakilnya dalam DPD. itu. Dengan dasar ini, maka yang menentukan perwakilan ialah besarnya kiesquotient, misalnya: Jumlah anggota DPRD. adalah 50, sedang jumlah anggota DPD. menurut Undang-undang Pembentukan dari Daerah yang bersangkutan adalah 5, maka kiesquotientnya adalah 50:5 = 10.
 
Dengan demikian, inilah partai yang besar dan yang umpamanya mempunyai 25 anggota sebagai wakilnya dalam DPRD., hanya akan mendapat 2 kursi dalam DPD. itu, sedangkan 3 kursi lainnya disediakan untuk partai-partai atau golongan-golongan lainnya. Sekedar untuk memberikan tuntunan dalam cara menyelenggarakan dasar perwakilan berimbang ini, maka Pemerintah dengan Peraturan Pemerintah dapat memberikan aturan-umum tentang hal ini (ayat 4). Ayat 2 menentukan bahwa Ketua dan Wakil Ketua DPRD. tidak boleh duduk sebagai anggota DPD. Dengan demikian dapat dihindarkan keganjilan mengenai tanggung jawabnya sebagai anggota DPD. kepada DPRD. lagi pula dapat menghindarkan kesulitan dalam penyelenggaraan tugas kedua badan itu masing-masing. Jumlah anggota DPD. ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan, karena masing-masing Daerah itu mempunyai jumlah penduduk dan anggota DPRD. yang berlainan. Pemilihan anggota-anggota DPD. ini seharusnya dilaksanakan oleh DPRD. segera sesudah DPRD. terbentuk, supaya dengan demikian urusan rumah-tangga daerah itu dapat segera mulai diselenggarakan.
 
 
 
Pasal 20
 
Dalam Undang-undang ini tidak diadakan anggota-anggota pengganti yang khusus bagi anggota-anggota DPD. yang karena sesuatu hal (misalnya sakit, dan lain-lainnya) tidak dapat menjalankan tugasnya. Bilamana seorang anggota DPD. karena sesuatu hal, misalnya sakit, tidak dapat menjalankan tugasnya, maka tugas ini sementara dijalankan oleh anggota DPD. lainnya yang ada berdasar penunjukan rapat DPD. Kalau anggota itu terus-menerus sakit, sehingga sama sekali tidak dapat menjalankan tugasnya, maka satu-satunya jalan untuk mengganti anggota itu sebelum waktunya berakhir seperti yang ditetapkan dalam ayat 1, ialah supaya anggota itu memajukan permohonan untuk berhenti menjadi anggota DPD. Anggota yang insaf akan kedudukannya, sebagai wakil rakyat, yang diserahi tugas menjalankan putusan-putusan DPRD. dan memimpin sehari-hari pemerintahan Daerah, akan merasa betapa besar kerugian yang akan diderita Daerahnya dan dengan demikian juga Negara, bila tugas-tugas itu terbengkalai dan tidak dapat dilaksanakannya. Oleh karena itu, untuk menghindarkan hal ini, kiranya tidak akan ada keberatan apa-apa untuk memajukan permohonan berhenti itu, dan menyediakan tempatnya bagi orang lain, yang akan dipilih oleh DPRD. Seyogyanya, jika hal ini terjadi maka diberikanlah peringatan seperlunya oleh Ketua/Wakil Ketua DPD. kepada anggota-anggota yang bersangkutan. Tindakan ini adalah sesuai dengan sumpah/janji anggota tersebut seperti termaksud dalam pasal 13, yaitu bahwa senantiasa akan mengutamakan kepentingan negara umumnya dan Daerah khususnya, daripada kepentingan diri sendiri. Ayat 2 menetapkan, bahwa jika timbul lowongan keanggotaan DPD. maka anggota baru yang dipilih untuk mengisi lowongan itu duduk dalam DPD. untuk kekurangan dari waktu tersebut dalam ayat 1. Dengan ketentuan ini, maka anggota-anggota DPD. itu selalu meletakkan jabatannya pada waktu yang bersamaan, dan hal ini adalah sesuai dengan pertanggung jawab kolektip dari anggota-anggota DPD. Selanjutnya periksa Penjelasan Umum, mengenai persoalan tersebut diatas.
 
 
 
Pasal 21
 
Pedoman untuk Dewan Pemerintah Daerah yang mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajiban perlu diadakan oleh DPRD., agar supaya DPD. dapat menjalankan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Karena pedoman tersebut mengenai soal yang dapat berakibat besar untuk berjalannya peraturan-peraturan daerah, maka guna menjaga ketepatannya diperlukan pengesahan dari instansi atasan. Seperti biasanya terjadi dalam praktek Dewan Pemerintah Daerah menetapkan peraturan tata-tertib untuk rapat-rapatnya, yang baharu dapat berlaku setelah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
 
 
Pasal 22
 
Dalam pasal 44 ayat 2 ditetapkan, bahwa pimpinan sehari-hari pemerintahan Daerah diserahkan kepada Dewan Pemerintah Daerah. Berhubung dengan ini dapatlah dikira-kirakan, bahwa tenaga anggota-anggota DPD. itu akan dibutuhkan sepenuhnya bagi kepentingan pemerintahan Daerah itu, sehingga tidak mungkin dirangkap dengan jabatan lain. Mengingat hal tersebut di atas, maka dalam pasal ini ayat 1 ditetapkan, bahwa kepada anggota DPD. tersebut diberikan uang kehormatan menurut peraturan-peraturan yang dibuat oleh DPRD. Uang kehormatan ini dimaksudkan sebagai uang pengganti kerugian yang terbatas. Artinya bahwa, sesuai dengan kedudukan kehormatan sebagai anggota-anggota DPD., kepada anggota-anggota DPD. diberikan sekedar uang pengganti kerugian, yang besarnya ditetapkan dengan mengingat kekuatan keuangan Daerah yang bersangkutan dan Negara. Tidaklah uang kerugian ini dimaksudkan sebagai pengganti kerugian seluruh penghasilan yang mungkin diperoleh seorang anggota DPD. itu di luar lapangan pekerjaan sebagai anggota. Seorang anggota DPRD yang telah dipilih dan juga menerima pilihan itu sebagai anggota DPD., sudah selayaknya menerima pula segala konsekuensinya, yaitu di sini yang berhubungan dengan uang kehormatan yang telah ditetapkan oleh DPRD. yang bersangkutan itu. Kepala Daerah, yang menjadi Ketua dan anggota DPD. karena jabatannya, tidak menerima uang kehormatan dimaksud itu. (Lihatlah selanjutnya pasal 28). Untuk mencegah penetapan uang kehormatan yang melebihi batas dan sangat berbeda dengan lain-lain Daerah, maka penetapan DPRD. mengenai hal ini harus disahkan terlebih dahulu oleh instansi yang lebih atas.
 
 
 
Pasal 23, 24 dan 25
 
Yang dimaksud dengan penguasa ialah pegawai Pemerintah Pusat atau Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke-I dan II, yang bertindak atas nama Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya sudah cukup dijelaskan dalam Penjelasan Umum.
 
 
 
Pasal 26
 
Mengenai perwakilan Kepala Daerah sudah cukup dijelaskan dalam Penjelasan Umum.
 
 
 
Pasal 27
 
Mengenai perwakilan Kepala Daerah Istimewa sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan Umum.
 
 
 
Pasal 28
 
Mengenai gaji dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah sudah cukup dijelaskan dalam Penjelasan Umum.
 
 
 
Pasal 29
 
Mengenai gaji dan segala "emolumenten" yang melekat kepada jabatan Kepala Daerah Istimewa sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan Umum.
 
 
 
Pasal 30
 
Juga Kepala Daerah yang telah dipilih berdasarkan pasal 23 atau pasal 24, sebelum memangku jabatannya, harus mengangkat sumpah (janji). Pengangkatan sumpah janji tersebut harus dilakukan di hadapan Ketua DPRD. dalam suatu sidang DPRD. tersebut, sebagai suatu badan di mana terhimpun wakil-wakil dari rakyat Daerah yang bersangkutan, sedangkan penyaksian oleh wakil Pemerintah Pusat menunjukkan adanya suatu titik pertemuan dalam kepentingan, yaitu sebagai penanggung jawab terakhir kepada DPR. Demikian pula sebaliknya pengangkatan sumpah janji dari Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang telah diangkat oleh instansi-instansi Pemerrintah Pusat berdasarkan pasal 25 harus disaksikan oleh DPRD. yang bersangkutan, penyaksian mana juga menunjukkan adanya suatu titik pertemuan dalam kepentingan, yaitu kepentingan dari Daerah yang bersangkutan. Oleh karena cara pengangkatan dari Kepala Daerah dan dari Kepala Daerah Istimewa itu adalah berbeda, maka isi sumpah janji itu pun sedikit berlainan, satu dan lain disesuaikan dengan cara pengangkatannya tersebut.
 
 
 
Pasal 31
 
Ayat 1 dari pasal 31 menyatakan, bahwa urusan rumah tangga Daerah diatur oleh Pemerintah Daerah, sehingga segala urusan yang tidak atau belum diatur oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat atasan dapat diatur oleh Daerah. Sebaliknya apabila sesuatu urusan berdasarkan kepentingan umum diatur oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasan, maka Peraturan Daerah yang mengatur urusan itu dengan sendirinya berhenti berlaku. Ayat 2 menetapkan adanya urusan tertentu sebagai kekuasaan pangkal daripada Pemerintah Daerah. Di mana keadaan sekarang menyatakan, bahwa urusan yang ada di tangan Pemerintah Pusat dapat dijadikan urusan Daerah, maka ayat 3 memberikan dasar, agar sebanyak mungkin dari urusan-urusan yang diatur oleh Pemerintah Pusat itu dialihkan menjadi urusan Daerah. Dalam pelaksanaannya akan dibentuk suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi yang dimaksud dalam penjelasan Umum. Selanjutnya mengenai pasal 31 ini lihatlah uraian dalam penjelasan Umum.
 
 
 
Pasal 32
 
Pasal ini memberikan kemungkinan kepada Pemerintah Pusat untuk minta bantuan kepada Pemerintah Daerah dalam hal menjalankan peraturan-peraturan perundangan (pengesahan sesuatu urusan dalam "hak medebewind"). Berdasarkan pasal 132 ayat 3 Undang-undang Dasar Sementara, maka dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada Daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah-tangganya. Akan tetapi, sesuai dengan maksud pasal 99 Undang-undang Dasar Sementara, maka dalam pasal ini ditetapkan bahwa penyerahan sesuatu dalam hak medebewind itu dapat dilakukan dalam undang-undang pembentukan atau berdasarkan atas atau dengan peraturan undang-undang lainnya, yang berarti bahwa penyerahan sesuatu dalam hak medebewind itu, dapat juga dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Selain daripada itu menurut ketentuan ini, maka hak medebewind itu hanya dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah, yaitu DPRD. atau DPD., jadi tidak kepada Kepala Daerah.
 
 
 
Pasal 33
 
Selainnya Pemerintah Pusat, juga sesuatu Daerah dapat menyerahkan kewajibannya kepada Daerah dibawahnya untuk dijalankan (medebewind). Perlu di sini diperhatikan, bahwa sesuatu Daerah hanya dapat minta bantuan dari Daerah tingkat bawahannya dalam menjalankan peraturan daerah itu khusus mengenai hal-hal yang terletak dalam dataran otonomi Daerah itu. Apa yang diserahkan "in-medebewind" oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah itu, tidak dapat oleh Daerah itu diserahkan lagi kepada Daerah tingkat bawahannya seperti termaksud oleh pasal ini kecuali kalau kebebasan ini memang diberikan oleh undang-undang peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 32.
 
 
 
Pasal 34
 
Ketentuan dalam pasal ini bermaksud untuk menghilangkan keraguraguan tentang siapa yang diserahi hak medebewind menurut pasal 32 dan 33 itu. Apabila dalam undang-undang, peraturan Pemerintah atau peraturan daerah hak medebewind itu diserahkan kepada Pemerintah atau peraturan daerah hak medebewind itu diserahkan kepada Pemerintah Daerah, maka ini berarti bahwa yang diserahi menjalankan tugas itu ialah Dewan Pemerintah Daerah, lain halnya kalau dalam peraturan perundangan itu dengan tegas dinyatakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
 
 
Pasal 35
 
Dalam pasal ini ditetapkan bahwa.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela kepentingan-kepentingan Daerah dan penduduknya ke hadapan instansi-instansi lebih atas (hak petisi). Hal ini dapat dijalankan dengan tertulis, lisan atau mosi.
 
 
 
Pasal 36
 
Dalam ayat 1 ditentukan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk kepentingan Daerah atau untuk kepentingan pekerjaan tersebut dalam Bab IV $ 1 dapat membuat peraturan-peraturan yang disebut "peraturan-daerah" dengan ditambah nama Daerah, misalnya "Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat". Peraturan-peraturan daerah ini harus ditandatangani oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Agar supaya diperoleh "uniformiteit" dalam bentuk peraturan daerah, maka Pemerintah dengan peraturan Pemerintah dapat menetapkan ketentuan-ketentuan tentang hal tersebut.
 
 
 
Pasal 37
 
Dalam ayat 1 ditetapkan, bahwa peraturan daerah itu baru mempunyai kekuatan mengikat kalau peraturan tersebut sudah diundangkan oleh Kepala Daerah dalam lembaran-lembaran termaksud dalam sub a dan b, dan jikalau tidak ada lembaran-lembaran itu, maka pengundangan dilakukan menurut cara lain yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah. Ketentuan dalam ayat 2 bermaksud untuk melenyapkan keragu-raguan mengenai berlakunya peraturan daerah itu. Demikian pula mengenai peraturan-peraturan daerah, yang harus disahkan terlebih dahulu oleh instansi lebih atas untuk dapat berlaku, hanya diundangkan kalau sudah diperoleh pengesahan itu atau jangka waktu tersebut dalam pasal 63 berakhir (yaitu jikalau dalam 3 bulan terhitung mulai hari keputusan itu dikirimkan untuk mendapat pengesahan, ketetapan itu tidak diambil).
 
 
 
Pasal 38
 
Ketentuan dalam ayat 1 ini bermaksud, bahwa dalam menyelenggarakan hal otonomi yang bersifat luas itu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus selalu mengingat apakah sesuatu pokok atau hal yang akan diaturnya dalam peraturan-daerah itu, tidak sudah diatur lebih dahulu dalam peraturan-peraturan daerah itu, tidak sudah diatur lebih dahulu dalam peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya. Sebab dalam sistim pemerintahan negara kesatuan, di mana daerah-otonom merupakan suatu bagian yang "integrerend'" daripada Negara, maka harus dijaga jangan sampai terjadi pertentangan dalam perundang-undangan antara Daerah otonom dengan Pemerintah Pusat atau dengan Daerah yang lebih tinggi tingkatnya ataupun dalam sesuatu peraturan daerah diatur sesuatunya yang bertentangan dengan kepentingan umum. Yang dimaksudkan dengan istilah "peraturan perundangan" disini, ialah apa yang dimaksud dengan "wetteljke regeling" yakni yang terdiri dari:
 
1.
 
peraturan undang-undang yakni undang-undang, undang-undang darurat dan peraturan Pemerintah.
2.
 
peraturan daerah.
 
 
Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa peraturan daerah tidak boleh mengatur pokok-pokok dan hal-hal yang telah diatur dalam peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya. Ketentuan ini adalah sesuai dengan maksud dari sistem rumah tangga daerah yang riil (lihat penjelasan Umum), di mana Daerah berhak mengurus segala sesuatu yang dianggapnya termasuk urusan rumah-tangga daerahnya, kecuali kalau peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya itu menyediakannya pengurusan tersebut bagi instansi sendiri atau bagi tingkat Daerah lain atau mengaturnya sendiri pokok-pokok/hal-hal yang sama itu. Dalam pasal ini dibedakan dengan tegas antara pokok-pokok (dalam bahasa asingnya "onderwerpen") dan hal-hal (dalam bahasa asingnya "punten", oleh karena membawa akibat yang sangat berlainan seperti termaksud dalam ayat 3 dan 4 yaitu :
 
1.
 
kalau sesuatu peraturan daerah mengatur pokok-pokok yang kemudian diaturnya dalam peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya, maka peraturan-daerah tersebut dengan sendirinya (van Rechtswege) tidak berlaku lagi.
2.
 
kalau peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya itu memuat beberapa hal yang sama (hal-hal itu merupakan bagian dari suatu pokok), sebagai yang telah diatur dalam peraturan-daerah, maka peraturan-daerah itu terus berlaku, kecuali mengenai hal-hal yang diatur kemudian dalam peraturan-perundangan yang lebih tinggi tingkatnya itu.
 
 
 
Pasal 39
 
Pasal ini memberikan kekuasaan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menetapkan hukuman terhadap pelanggaran peraturan-peraturannya; hukuman selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- dapat ditetapkan oleh masing-masing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari tiga tingkat Daerah. Agar supaya hal ini dapat dijalankan dengan penuh kebijaksanaan, maka peraturan yang memuat peraturan-pidana untuk dapat berlaku harus disahkan terlebih dahulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi peraturan daerah tingkat ke-I dan oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas bagi peraturan daerah lainnya. Dalam ayat 2 diatur tentang pelanggar-ulangan (recidive) dari perbuatan pidana tersebut dalam ayat 1 yang sama sekali tidak diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948. Dalam hal recidive tersebut di atas, yang dilakukan dalam waktu tidak lebih dari satu tahun sejak penghukuman pelanggaran pertama tidak dapat diubah lagi, maka hukuman-hukuman itu dapat diancamkan sampai dua kali maximum dari hukuman yang termaksud dalam ayat 1. Maksud ketentuan ini ialah agar supaya yang berkewajiban sungguh-sungguh mentaati peraturan tersebut.
 
 
 
Pasal 40
 
Pasal ini memberikan kemungkinan kepada Daerah untuk menunjuk pegawai-pegawai daerah yang diberi tugas kepolisian, yaitu untuk mengusut pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah.
 
 
 
Pasal 41
 
Dalam pasal ini ditetapkan, bahwa kalau pelaksanaan keputusan daerah itu memerlukan bantuan alat kekuasaan, maka dalam peraturan daerah dapat ditetapkan, bahwa segala biaya untuk bantuan itu dapat dibebankan kepada pelanggar. Ketentuan ini yang tidak terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948 bermaksud, agar supaya yang berwajib sungguh-sungguh mentaati segala keputusan Daerah itu, dan bila terpaksa pelaksanaan keputusan itu harus mendapat bantuan alat-kekuasaan, maka segala biaya untuk bantuan itu dapat dibebankan kepada pelanggar. Dengan "sanctie" ini, maka kiranya dapat dijamin pelaksanaan keputusan Daerah itu sebagaimana mestinya.
 
 
 
Pasal 42
 
Dalam menjalankan kekuasaan dan kewajibannya, Daerah-daerah dapat bekerja bersama-sama; kerja sama ini tidak perlu hanya antara Daerah-daerah yang setingkat saja,. melainkan dapat juga antara Daerah-daerah yang tidak sama tingkatnya. Kerja-sama ini dapat dijalankan jika kepentingan dari Daerah-daerah yang bersangkutan itu memerlukannya (incidenteel). Kepentingan-kepentingan ini mengenai seluruh lapangan Pemerintahan Daerah. Keputusan daerah untuk mengatur kerja sama ini lebih dahulu harus disahkan oleh instansi atasan. Pada umumnya kerja sama antara Daerah-daerah itu diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah masing-masing sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Daerah-daerah itu. Akan tetapi dalam keadaan memaksa maka juga Dewan Pemerintah Daerah dapat mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama itu, dengan catatan bahwa keputusan yang demikian ini kemudian harus disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-daerah yang bersangkutan, karena kerja sama ini pada umumnya, membawa akibat-akibat finansieel yang harus ditanggung oleh Daerah masing-masing. Selain daripada itu jika untuk melaksanakan kerja sama ini dibentuk sebuah badan atau panitia, maka dalam peraturan kerja sama itu harus pula diatur tentang pertanggungan-jawab dari badan atau panitia ini. Apabila kerja sama itu terjadi antara Daerah tingkat I dan Daerah tingkat II atau Daerah-daerah lainnya yang tidak sama tingkatnya, maka pengesahan dilakukan oleh instansi yang lebih tinggi dari Daerah yang tertinggi diantara Daerah-daerah yang mengadakan kerja sama itu, jadi di sini oleh Menteri Dalam Negeri. Demikian pula, kalau kemudian tidak terdapat kata sepakat tentang perubahannya atau pencabutannya peraturan tentang kerja sama itu, maka Menteri Dalam Negeri atau Dewan Pemerintah Daerah yang tersebut dalam ayat 2 yang memutus.
 
 
 
Pasal 43
 
Ketentuan mengenai panitia-panitia ini tidak terdapat dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948. Oleh karena itu dalam undang-undang baru ini dirasa perlu untuk mengadakan kemungkinan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membentuk panitia-panitia yang diperlukan untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan tertentu dengan maksud agar supaya tugas Daerah itu dapat berjalan lancar misalnya membentuk panitia untuk mempersiapkan dan mempermudahkan pemecahan persoalan dan lain-lain.
 
 
 
Pasal 44
 
Kekuasaan dan kewajiban Dewan Pemerintah Daerah adalah terutama termasuk kekuasaan eksekutip. Oleh karena itu, kewajiban pertama dari Dewan Pemerintah Daerah itu ialah menjalankan putusan-putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Di samping hal tersebut di atas, maka pimpinan sehari-hari dari pemerintahan Daerah diserahkan pula kepada Dewan Pemerintah Daerah (ayat 2). Apa yang termasuk pimpinan sehari-hari dalam pasal ini tidak dijelaskan; akan tetapi meskipun demikian pimpinan sehari-hari ini harus diperbedakan dari pimpinan-umum dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang memegang kekuasaan yang tertinggi di Daerah itu. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memegang pimpinan umum, seyogyanya tidak memegang pemerintahan sehari-hari karena badan ini terlalu "log" dan dengan demikian tidak layak untuk memimpin Pemerintahan sehari-hari. Karena itu pimpinan sehari-hari ini diserahkan kepada Dewan Pemerintah Daerah, yang dalam menjalankannya ini harus bertanggung-jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
 
 
Pasal 45
 
Disamping kewajiban-kewajiban tersebut dalam pasal 44 Dewan Pemerintah Daerah dapat juga diserahi tugas untuk menetapkan peraturan-peraturan penyelenggaraan dari peraturan daerah. Dengan ketentuan ini maka Dewan Pemerintah Daerah dapat diberi kekuasaan legislatip, meskipun hanya terbatas pada pembuatan peraturan penyelenggaraan dari peraturan daerah saja. Maksud dari ketentuan ini ialah agar supaya penyelenggaraan pemerintah daerah dapat lebih cepat dan efisien diadakan dan tidak perlu segala sesuatu itu diatur oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
 
 
 
Pasal 46
 
Ketentuan ini diadakan sesuai dengan tanggung jawab anggota-anggota DPD. dalam menjalankan tugasnya secara kolektip kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pasal 48).
 
 
 
Pasal 47
 
Pasal ini menetapkan, bahwa Dewan Pemerintah Daerah juga berkewajiban untuk menyiapkan segala sesuatu yang harus dipertimbangkan dan diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kecuali kalau persiapan ini oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditugaskan kepada badan lain (vide pasal 43). Ketentuan semacam ini tidak terdapat pada Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948, karena itu dalam undang-undang ini dimuatnya untuk lebih menjelaskan lagi tugas-tugas Dewan Pemerintah Daerah itu.
 
 
 
Pasal 48
 
Pasal ini menetapkan tanggung-jawab Dewan Pemerintah Daerah terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam menjalankan tugasnya itu. Lebih konsekuen daripada Undang-undang Republik Indonesia No.22 tahun 1948, maka di sini diatur pertanggungan-jawab Dewan Pemerintah Daerah secara kolektif kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan Pemerintah Daerah dapat mengadakan pembagian pekerjaan antara anggota-anggota dan terhadap pekerjaan ini masing-masing bertanggung jawab kepada Dewan Pemerintah Daerah (sebagai college). Jadi pertanggungan-jawab dari anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah mengenai tugas kewajiban yang ditetapkan menjadi tugas anggota-anggota itu masing-masing di dalam Dewan Pemerintah Daerah. Akan tetapi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka seluruh Dewan Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab secara kolektif yaitu: Kalau Dewan Pemerintah Daerah tidak menyetujui salah suatu tindakan anggotanya, maka Dewan Pemerintah Daerah dapat menyerahkan tugas anggota tersebut kepada anggota Dewan Pemerintah Daerah yang lain atau merobah pembagian pekerjaan antara anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan itu. Terhadap tindakan anggota tersebut, Dewan Pemerintah Daerahlah yang bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya mosi tidak percaya atau mosi tidak setuju (afkeuring) dari DPRD. yang bersangkutan terhadap kebijaksanaan DPD. yang dapat menyebabkan tumbangnya DPD. tersebut. Oleh karena itu, adanya tanggung jawab kolektif ini, mengharuskan anggota-anggota DPD. itu bekerja rapat dan saling membantu satu sama lain.
 
 
 
Pasal 49
 
Perwakilan ini perlu ditegaskan di sini agar supaya dalam perkara perdata atau pidana terang badan mana yang harus bertindak atas nama Daerah, jika Daerah menjadi penggugat atau yang digugat. Akan tetapi tidak hanya perwakilan di dalam pengadilan saja, melainkan juga di luar pengadilan ditegaskan di sini. Karena Dewan Pemerintah Daerah ini merupakan sebuah "college", maka kerap kali tidak mungkin untuk seluruh "college" itu yang mewakili Daerah. Berhubung dengan ini, maka dalam pasal ini ditentukan, bahwa Dewan Pemerintah Daerah dapat menunjuk seorang kuasa untuk menggantinya misalnya: seorang anggota Dewan Pemerintah Daerah/Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Kepala Daerah sendiri.
 
 
 
Pasal 50
 
Dalam hal Pemerintah Daerah melalaikan mengurus rumah tangga Daerah seperti tersebut dalam ayat 1, maka Pemerintah dapat menentukan cara bagaimana Daerah itu harus diurus menyimpang dari pasal 31. Pemerintah misalnya dapat menyerahkan tugas DPRD. itu kepada DPD. jika tindakan lain tidak berhasil, maka sebagai tindakan terakhir Pemerintah dapat membekukan DPRD. untuk suatu masa tertentu atau membubarkan DPRD. Apabila Pemerintah terpaksa membubarkan DPRD., maka Pemerintah berwajib dalam waktu 1 bulan sesudah pembubaran itu mulai dengan mengadakan pemilihan DPRD. baru, agar supaya "vacuum" demokrasi di Daerah dapat segera diatasi. Ayat 2 mengatur dalam hal Pemerintah Daerah melalaikan tugasnya medebewins sedangkan ayat 3 memberikan "voorziening" dalam hal DPRD. itu tidak menjalankan tugas yang diserahkan kepadanya oleh DPRD. yang lebih tinggi tingkatnya. Ayat 4 menentukan, bahwa selama Peraturan Pemerintah dimaksud dalam ayat 1 belum menentukan cara bagaimana Daerah itu harus diurus, maka Kepala Daerah diserahi tugas menjalankan hak, tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah.
 
 
 
Pasal 51
 
Untuk menghilangkan segala keragu-raguan dalam praktek mengenai kedudukan pegawai yang diperbantukan maka diadakan ketentuan umum dalam pasal ini. Pada prinsipnya semua pegawai daerah begitu pula pegawai Negara yang diperbantukan kepada Daerah berada di bawah pimpinan Dewan Pemerintah Daerah dan bukan di bawah Kepala Daerah, kecuali dengan sendirinya dalam hal dimaksud dalam pasal 50 ayat 4.
 
 
 
Pasal 52
 
Sekretaris Daerah menurut pasal ini adalah seorang pegawai Daerah, yang diangkat/diberhentikan oleh DPRD. atas usul DPD. dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam pasal 53 ayat 1. Karena pekerjaan dan kedudukan-kedudukan Sekretaris Daerah ini sangat penting, maka pengangkatan dan pemberhentiannya dilaksanakan oleh DPRD. Akan tetapi karena dalam prakteknya sulit bagi DPRD. untuk mengetahui pegawai Daerah yang mana yang kiranya cakap untuk diangkat menjadi Sekretaris Daerah, maka ditetapkan bahwa pengangkatan itu dilakukan atas usul DPD., yang lebih mengetahui tentang keadaan dan kecakapan pegawai Daerah, karena semua pegawai Daerah berada di bawah pimpinan DPD. selain daripada itu, agar supaya Sekretaris Daerah yang diangkat itu sungguh-sungguh orang yang cakap dan memang patut menduduki tempat itu, maka harus pula diperhatikan syarat-syarat yang tersebut dalam pasal 53 ayat 1, dimana diantaranya ditetapkan bahwa penuturan tentang pengangkatan pegawai sedapat-dapatnya diseganikan dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap pegawai Negara. Jadi baik DPD. yang mengusulkan calon Sekretaris Daerah itu, maupun DPRD. yang mengangkatnya harus memperhatikan sedapat-dapatnya syarat-syarat yang ditetapkan oleh Negara bagi pegawainya yang berkedudukan sama. Dengan jalan demikian kiranya dapat dihindari pengangkatan seorang Sekretaris hanya atas dasar dan kepentingan politik saja. Seperti di atas telah dikatakan, maka Sekretaris Daerah itu tidak merangkap Sekretaris Kepala Daerah seperti termaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia No.22/1948 dan Undang-undang NIT. No.44/1950, melainkan Sekertaris Daerah itu adalah Sekertaris DPRD. dan DPD. Yang dimaksudkan dengan ayat 3 ialah, jika berhalangan itu terjadi untuk waktu yang pendek; jika halangan itu menjadi lama, umpamanya lebih dari 3 bulan karena sakit, maka DPD. untuk keberesan pekerjaan seharusnya mengajukan gantinya Sekretaris itu kepada DPRD.
 
 
 
Pasal 53
 
1). Peraturan tentang pegawai Daerah harus ditetapkan dalam peraturan daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah oleh karena ini menjadi kekuasaan dan kewajibannya. Maka Daerah dapat mengadakan peraturan tentang hal itu yang berbeda dengan peraturan yang berlaku bagi pegawai Negara, tetapi sedapat mungkin Daerah diharuskan dalam pasal ini menyesuaikan peraturan dengan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah bagi pegawai Negara.
 
2). Peraturan-daerah itu untuk dapat berlaku harus disahkan dulu oleh Menteri Dalam Negeri bagi Daerah tingkat ke-I dan bagi Daerah tingkat ke-II dan ke-III oleh Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas.Pengesahan itu diperlukan untuk menjaga jangan sampai imbangan tentang gaji dan lain-lain terganggu.
 
 
 
Pasal 54
 
1). Karena pegawai-pegawai yang mempunyai keahlian sementara waktu ini tidak akan mencukupi keperluan pemerintahan Daerah, maka masih diperlukan cara memperbantukan pegawai Negara kepada Daerah, agar supaya Pemerintah dapat membagi-bagi tenaga dengan rasionil kepada Daerah-daerah. Ketentuan dalam ayat 1 pasal ini diadakan untuk lebih menegaskan lagi kedudukan pegawai Negara dan pegawai Daerah yang diperbantukan.
 
2). dan 3). untuk menegaskan instansi manakah yang harus memikul akibat keuangan dari perbantuan pegawai itu, maka diadakan ketentuan yang termuat dalam ayat 2 pasal ini. Pada pokoknya ditentukan, bahwa instansi yang memakai tenaga itu, membayar gajinya. Uang iuran pensiun dan sebagainya dimasukkan dalam kas instansi yang memperbantukan tenaga tersebut.
 
 
 
Pasal 55
 
Ketentuan ini diadakan untuk memberi kemungkinan kepada Pemerintah Daerah meminta pertolongan kepada pegawai-pegawai Negara dalam menyelenggarakan urusan-urusan tertentu dari Daerah itu, karena misalnya tidak ada tenaga pada Daerah itu untuk menyelenggarakan urusan tersebut, atau dalam hal sesuatu Daerah tidak atau belum mempunyai pegawai yang ahli untuk mengorganisir dinas baru dari Daerah itu berhubung dengan penyerahan baru dari sesuatu urusan Pemerintah Pusat kepada Daerah tersebut. Pegawai yang dimaksud dalam ayat ini tidak merupakan pegawai Negara yang diperbantukan kepada Daerah, tetapi tetap berkedudukan sebagai pegawai Negara dan termasuk formasi pegawai dari Kementerian, atau Jawatannya semula. Di dalam prakteknya, adanya ketentuan tentang syarat-syarat dan hubungan kerja antara pegawai Negara yang dipekerjakan untuk kepentingan Daerah, dengan alat-alat pemerintahan Daerah itu akan lebih menegaskan kedudukan hukum dari pegawai Negara itu selama tenaganya dibutuhkan guna kepentingan Daerah yang bersangkutan.
 
 
 
Pasal 56
 
1). Mengikuti ketentuan dalam UUDS. pasal 117 yang tidak memperkenankan pemungutan pajak dan cukai untuk kegunaan kas Negara, kecuali dengan Undang-undang atau atas kuasa Undang-undang, maka hak untuk mengadakan pajak daerah dan retribusi daerah dengan Undang-undang ini diletakkan dalam tangan DPRD. (Pasal 56 ayat 1). Yang dimaksud dengan pajak daerah ialah pungutan daerah berdasarkan peraturan yang ditetapkannya guna pembiayaan pengeluaran-pengeluaran daerah sebagai badan publik, sedang lapangan pajak daerah adalah lapangan pajak yang belum dipergunakan atau diusahakan Negara. Retribusi daerah ialah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung.
 
2). Ketentuan bahwa peraturan umum tentang pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam Undang-undang (Pasal 56 ayat 2) dimaksudkan agar daerah mendapat pegangan yang umum, sehingga akan dapat dijauhkan pembebanan rakyat yang melebihi batas. Di dalam menentukan besarnya jumlah pajak atau retribusi harus mendapat perhatian beberapa faktor-faktor antara lain tarip-tarip yang berlaku dilain-lain daerah sekitarnya, kekuatan keuangan serta kemampuan penduduk, tarip-tarip yang progresif dan sebagainya, sehingga pajak daerah dan retribusi daerah yang diadakan itu terasa adil dan layak oleh penduduk dan merupakan sumber pendapatan yang berarti bagi daerah.
 
3). Oleh karena pajak daerah dan retribusi daerah itu bagi daerah merupakan pendapatan yang tidak kecil artinya dan kepada penduduk memberikan beban, dan dengan demikian mempunyai arti yang penting bagi semua fihak, maka ditentukan bahwa untuk berlakunya sesuatu peraturan tentang pajak daerah dan retribusi daerah diperlukan pengesahan lebih dahulu oleh penguasa dan menurut cara-cara yang ditetapkan dalam Undang-undang (pasal 56 ayat 3).
 
 
 
Pasal 57
 
Seperti dijelaskan dalam penjelasan pasal 56 lapangan pajak daerah adalah lapangan pajak yang belum dipergunakan atau diusahakan oleh Negara. Dalam pada itu di antara pajak-pajak yang telah diusahakan oleh Negara terdapat beberapa macam pajak yang sedikit banyak mempunyai sifat kedaerahan dan pengurusannya lebih tepat jika diselenggarakan oleh daerah, seperti pajak verponding, pajak rumah tangga, pajak potong dan sebagainya. Kesanggupan keuangan daerah sebesar-besarnya dan seluas-luasnya untuk pembiayaan urusan rumah tangganya memerlukan penyerahan pajak-pajak yang dimaksud di atas kepada daerah. Dengan penyerahan ini dapat diharapkan bahwa daerah akan lebih mencurahkan perhatian serta tenaganya untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya untuk kepentingan daerah-daerah sendiri.
 
 
 
Pasal 58
 
1). Selain daripada penyerahan pajak Negara kepada daerah (pasal 57) dapat pula diserahkan sebagian atau seluruh penerimaan dari sesuatu pajak Negara, agar dapat terjamin kebutuhan akan keuangan (ayat 1 sub a) begitu pula jika perlu dapat diberikan ganjaran, subsidi dan sumbangan (ayat 1 sub B).
 
 
Ganjaran adalah:
 
1.
 
jumlah uang yang diserahkan kepada daerah berhubung dengan kewajiban menyelenggarakan tugas Negara.
2.
 
jumlah uang yang diserahkan kepada daerah berhubung tugas Negara telah menjadi urusan rumah tangga daerah.
 
 
Dasar daripada pemberian ganjaran ini ialah bahwa:
 
1.
 
daerah memerlukan waktu yang tidak singkat untuk dapat menyesuaikan keadaan keuangannya guna menanggung bertambahnya pengeluaran untuk tugas yang diserahkan kepada daerah.
2.
 
pada hakekatnya Negara tidak dapat melepaskan diri sama sekali dari pertanggungan-jawab atas penyelenggaraan otonomi daerah, karena dalam tugas dimaksud selalu terdapat unsur-unsur kepentingan umum yang pada pokoknya menjadi tugas Negara. Subsidi ialah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk penyelenggaraan usaha-usaha daerah yang biayanya melampaui kekuatan keuangan daerah. Sumbangan ialah bantuan yang diberikan kepada daerah untuk menutup kekurangan anggaran keuangan daerah, oleh karena keadaan luar biasa yang mengakibatkan bahwa daerah mengalami kesulitan keuangan.
 
 
2). Pemberian penghasilan tersebut kepada daerah akan diatur dalam Undang-undang Perimbangan Keuangan.
 
 
 
Pasal 59
 
Didalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah DPRD. dengan sendirinya memperhatikan pula penyelenggaraan usaha-usaha untuk meninggikan kemakmuran dan kesejahteraan penduduknya. Dalam hendak mewujudkan tujuan ini kepada daerah diberi hak untuk mengadakan perusahaan daerah. Mengingat akan ketentuan dalam pasal 37 dan 38 UUDS. maka perusahaan-perusahaan (utiliteitsbedrijven) yang diadakan sebagai badan publik dan tidak diajukan untuk semata-mata akan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan melepaskan fungsi sosial daripada perusahaan itu terhadap penduduk daerah. Adanya sesuatu perusahaan dari daerah tidak boleh merusak keseimbangan keuangan umum daerah, sehingga pokok untuk mendirikan perusahaan daerah harus didapat dari mengadakan pinjaman. Peraturan umum tentang mengadakan perusahaan daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
 
 
 
Pasal 60
 
1). Pengelolaan keuangan daerah yang tepat dan sehat serta seksama, akan memberi gambaran dan pemandangan setiap waktu tentang cara bagaimana daerah melaksanakan kewajibannya dan merupakan syarat utama dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan daerah, lagi pula akan menjadi dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan urusan daerah. Untuk keperluan-keperluan dimaksud DPRD. memegang kekuasaan penuh untuk mengadakan peraturan-peraturan daerah yang antara lain memuat ketentuan tentang:
 
1.
 
penyusunan anggaran keuangan daerah.
2.
 
menyampaikan rencana anggaran keuangan daerah yang sudah ditetapkannya kepada penguasa yang berhak mengesahkannya.
3.
 
menyelenggarakan keuangan daerah yang telah mendapat pengesahan.
4.
 
pemeriksaan perhitungan dan pertanggungan-jawab keuangan daerah.
5.
 
perhitungan anggaran keuangan daerah.
 
 
 
2). Keuangan daerah tidak dapat terlepas dari keuangan Negara dan pada hakekatnya merupakan bagian dari keuangan umum. Persamaan dan keseragaman dalam cara penyelenggaraan keuangan daerah diperlukan agar dapat diperoleh gambaran tentang dan mempermudah pengawasan terhadap pengurusan dan perkembangan rumah tangga daerah, berhubung dengan mana dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan peraturan-peraturan umum mengenai penyelenggaraan keuangan daerah.
 
 
 
Pasal 61
 
1). Di dalam membentuk daerah dikehendaki adanya anggaran keuangan daerah pertama yang menjadi dasar permulaan bagi daerah untuk menyelenggarakan tugas kewajibannya. Penetapan anggaran keuangan daerah pertama dalam Undang-undang untuk daerah tingkat I dan II berdasarkan kenyataan bahwa tugas-tugas yang diserahkan pada daerah tersebut meliputi tugas berbagai-bagai Kementerian, yang memerlukan peninjauan yang seksama dengan mengadakan perobahan anggaran keuangan Negara, sepanjang diperlukan. Anggaran keuangan daerah pertama memuat antara lain rencana biaya dari :
 
1.
 
keperluan-keperluan berhubung dengan pembentukan daerah.
2.
 
urusan-urusan rumah tangga sendiri menurut keadaan pada waktu pembentukan daerah yang bersangkutan.
3.
 
urusan-urusan pemerintah yang diserahkan dan ditugaskan kepada daerah sesuai dengan yang dimuat dalam anggaran Negara.
 
 
2). Dengan memakai anggaran keuangan daerah pertama sebagai pangkal permulaan untuk selanjutnya anggaran keuangan daerah ditetapkan oleh DPRD.
 
3). Dasar otonomi yang seluas-luasnya menghendaki kesanggupan keuangan daerah sebesar-besarnya dan dengan sendirinya dasar ini tidak terlepas dan harus mengikuti keadaan keuangan Negara seluruhnya. Kesanggupan keuangan daerah sebesar-besarnya tidak dapat diserahkan kepada daerah untuk mewujudkannya menurut kehendaknya sendiri-sendiri, oleh karena sebagai dinyatakan di atas, keuangan daerah tidak dapat dipisahkan dari keuangan Negara seluruhnya dalam menyelenggarakan kepentingan umum. Berhubung dengan itu dimuat ketentuan (pasal 61 ayat 3) bahwa anggaran keuangan daerah tidak berlaku sebelum disyahkan oleh Menteri Dalam Negeri bagi daerah tingkat I dan oleh DPD. setingkat lebih atas bagi lain-lain daerah.
 
4). Ketentuan ini berlaku pula untuk tiap-tiap perubahan anggaran keuangan daerah (ayat 4).
 
 
 
Pasal 62
 
Berlainan dengan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948 dan Undang-undang N.I.T. No. 44 tahun 1950, Bab tentang pengawasan terhadap Daerah dalam undang-undang ini untuk mendapat systematik yang lebih teratur, terbagi dalam 5 bagian yakni :
 
1. tentang pengesahan dan jangka waktu pengesahan;
 
2. tentang pembatalan dan pertanggungan;
 
3. tentang sengketa mengenai tata-usaha Daerah;
 
4. tentang penyelidikan dan pemeriksaan oleh Pemerintah;
 
5. tentang pengumuman.
 
Sebelum meningkat pada penjelasan sepasal demi sepasal, lebih dahulu tentang pengawasan terhadap Daerah ini, perlu rasanya dikemukakan, bahwa pada umumnya dapat dikatakan bahwasanya pengawasan atas segala keputusan Pemerintah Daerah Swantara pengawasan itu merupakan suatu akibat mutlak dari adanya Negara Kesatuan. Dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara di dalam suatu Negara Kesatuan pada umumnya haruslah selalu diusahakan tetap terpeliharanya kesatuan itu, sehingga kemerdekaan Daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sekali-kali tidak boleh berakhir dengan rusaknya hubungan Negara dan Daerahnya. "Harmoni" antara Pusat dan Daerah harus tetap ada dan terpelihara, dan di dalam Negara dengan pemerintahan yang didesentralisir, maka pengasan inilah yang merupakan jalan yang terpenting untuk menjamin terpeliharanya harmoni itu. Menilik sifatnya, pengawasan ini dapat terbagi dalam DUA jenis pengawasan :
 
A. pengawasan preventief;
 
B. pengawasan represif.
 
ad. A. PENGAWASAN PREVENTIF
 
Pengawasan preventif ini dimaksudkan untuk mencegah berlakunya keputusan Daerah yang dipandang penting oleh pembuat Undang-undang. Pengawasan semacam ini hanya diharuskan bagi beberapa putusan tertentu, dalam mana tersangkut kepentingan-kepentingan besar, sehingga dengan demikian kemungkinan datangnya kerugian atas kepentingan-kepentingan itu sudah dapat dicegah sebelumnya. Pengawasan preventif ini berupa mewajibkan didapatkannya pengesahan lebih dahulu dari fihak pengawas yang ditunjuk, sebagai suatu syarat yang harus dipenuhi lebih dahulu, supaya keputusan itu dapat mulai berlaku, di samping syarat-syarat lain yang bersangkutan dengan pengundangan apabila keputusan itu merupakan peraturan daerah. Keputusan-keputusan Daerah yang menurut undang-undang ini harus diawasi secara preventif, ialah antara lain putusan-putusan Daerah termaksud dalam pasal 12 ayat 3, pasal 21 ayat 2, pasal 22 ayat 2, pasal 3 ayat 4, pasal 42 ayat 2, pasal 53 ayat 2, dan lain-lainnya. Selain keputusan-keputusan Daerah tentang hal-hal termaksud dalam pasal-pasal tersebut di atas itu, dalam undang-undang atau peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa sesuatu keputusan Daerah mengenai pokok-pokok tertentu tidak berlaku sebelum disahkan oleh penguasa yang ditunjuk (periksalah pasal 62 dari undang-undang ini).
 
 
 
Ad. B. PENGAWASAN REPRESSIF
 
Pengawasan represif dalam undang-undang ini diwujudkan dengan pembatalan, yang bermaksud meniadakan keputusan-keputusan, yang salah karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan umum. Berlainan dengan pengawasan preventif yang hanya ditujukan kepada keputusan-keputusan tertentu dan harus dijalankan di dalam jangka waktu yang terbatas, sebelum sesuatu keputusan tertentu itu mulai berlaku, pengawasan represif ini dijalankan terhadap semua keputusan Daerah di dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sungguhpun keputusan itu sudah mulai berlaku. Yang dimaksudkan dengan "keputusan" dalam undang-undang ini ialah keputusan di dalam arti luas, dalam mana termasuk jua peraturan-daerah, sebagai telah dinyatakan juga dalam pasal 1 ayat 1. Apabila menurut pendapat pengawas, suatu putusan Daerah memuat anasir- anasir yang memberi alasan untuk membatalkan keputusan itu, baik karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya maupun dengan kepentingan umum, maka keputusan Daerah itu dapat dipertangguhkan oleh pengawas yang ditunjuk untuk itu. Pertangguhan ini dimaksudkan untuk menahan dijalankannya putusan itu selama masih dalam pertimbangan untuk pembatalan. Akta penundaan ini dibatasi dalam undang-undang ini (Periksa pasal 67).
 
 
 
Pasal 63
 
Agar supaya keputusan tentang pengesahan ini tidak diambil dalam waktu yang sangat lama, maka dalam pasal ini diadakan ketentuan jangka waktu untuk mengambil keputusan oleh penguasa yang harus mengesahkan selama 3 bulan terhitung mulai hari putusan Daerah yang bersangkutan dikirimkan untuk mendapat pengesahan. Jika dalam waktu 3 bulan itu instansi ang wajib mengesahkan tidak mengambil keputusan, maka putusan Daerah itu oleh Daerah tersebut dapat dijalankan. Waktu 3 bulan ini dapat diperpanjang sampai 6 bulan. Dalam ayat 4 dibuka kemungkinan bagi Daerah untuk memajukan keberatan terhadap putusan tidak memberi pengesahan kepada Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas dari penguasa Daerah yang menolak atau kepada Menteri Dalam Negeri apabila yang menolak itu Dewan Pemerintah Daerah tingkat I.
 
 
 
Pasal 64 dan 65
 
Instansi yang berhak untuk membatalkan atau menunda suatu putusan daerah terutama diletakkan kepada instansi setingkat lebih atas (Lihat pasal 64). Karena Pemerintah Pusat adalah penanggung jawab terakhir mengenai segala hal yang berhubungan dengan soal-soal pemerintahan daerah hal mana dicantumkan dalam pasal 69, maka dalam pasal 65 diberi kemungkinan kepada Pemerintah Pusat untuk mempertangguhkan atau membatalkan keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah-daerah Swantara tingkat ke-II dan ke-III yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatnya atau dengan kepentingan umum, apabila ternyata, Dewan Pemerintah Daerah yang berhak melakukan wewenang itu menurut pasal 64, tidak melakukannya. Selanjutnya cara-cara pengawasan yang belum diatur dengan undang-undang ini, akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (periksa pasal 69). Yang dimaksud dengan penguasa dalam pasal-pasal 64, 65 dan 68 ialah pegawai Pemerintah Pusat atau Dewan Pemerintah Daerah tingkat ke-I dan II, yang bertindak atau atas nama Menteri Dalam Negeri.
 
 
 
Pasal 66.
 
Dalam pasal ini diatur akibat-akibat pembatalan sesuatu keputusan Daerah karena:
 
a. bertentangan dengan peraturan-perundangan yang lebih tinggi;
 
b. bertentangan dengan kepentingan umum.
 
 
 
Hal di atas ini dalam Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948 ataupun dalam Undang-undang N.I.T. No. 44 tahun 1950 tidak diatur dalam undang-undangnya sendiri, hanya dalam penjelasan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948 terdapat ketentuan sebagai tercantum dalam pasal 66 ini. Oleh karena hal itu merupakan ketentuan pokok, maka lebih pada tempatnya, apabila hal itu dimuat dalam undang-undangnya sendiri dan tidak cukup dalam penjelasan saja.
 
 
 
Pasal 67
 
Sudah jelas.
 
Pasal 68
 
Sudah jelas.
 
Pasal 69
 
Lihatlah penjelasan atas pasal-pasal 64 dan 65.
 
Pasal 70
 
Cukup jelas.
 
Pasal 71.
 
Sudah jelas.
 
Pasal 72.
 
Sudah jelas.
 
Pasal 73.
 
Pembentukan Daerah Swantara berdasarkan undang-undang ini sudah barang tentu tidak dapat diadakan dengan sekaligus untuk semua Daerah didalam wilayah Indonesia begitu pula peraturan-peraturan penyelenggaraannya menghendaki waktu yang cukup. Berhubung dengan hal-ihwal itu perlu diadakan pasal-pasal peralihan agar undang-undang dapat dijalankan dengan tidak mengacaukan jalannya pemerintahan Daerah sepanjang Daerah ini belum dapat terbentuk menurut undang-undang ini. Pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini kita dapatkan di Indonesia Daerah-daerah Swatantra yang berdasar atas pelbagai jenis perundang-undangan pokok, misalnya :
 
1.
 
Propinsi-propinsi di Jawa, Sumatera dan Kalimantan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Besar dan Kota Kecil di Jawa dan Kalimantan, begitu pula Kabupaten, Daerah Istimewa setingkat Kabupaten di Kalimantan dibentuk berdasarkan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948.
2.
 
Kotapraja Jakarta Raya berdasar atas S.G.O. dengan "tijdelijke voorzieningenn j/a juncto Undang-undang No. 1 tahun 1956."
3.
 
Daerah-daerah dalam Propinsi Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara atas Undang-undang N.I.T. No. 44 Tahun 1950.
4.
 
Kota Makasar atau ordonnatie voorloopige voorzieningen m.b.t. de bestuursveering v/d gewesten Borneo en de Groote Oost (Staatsblad 1946 No.17)juncto S.G.O.S.
 
 
Lain daripada itu masih kita dapatkan pula daerah-daerah asli yang mengurus rumah tangganya sendiri sebagai desa, marga, negari dsb., yang berdasarkan I.G.O. dan I.G.O.B. Sebelum daerah-daerah tersebut di atas dapat dibentuk baru berdasarkan undang-undang baru ini, perlu dalam pasal 73 ini dinyatakan bahwa daerah-daerah swatantra itu berjalan terus berdasrakan perundang-undangannya pokok masing-masing. Oleh karena dasar-dasar pokok dari undang-undang ini tidak banyak sekali perbedaannya dengan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948, maka selain untuk mengejar waktu yang diperlukan untuk membentuk baru berdasarkan undang-undang ini, nampaknya tidak akan menimbulkan banyak kesulitan di dalam praktek jika Propinsi, Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil, begitu pula Daerah Istimewa setingkat propinsi dan setingkat Kabupaten yang telah dibentuk berdasarkan Undang-undang R.I. No. 22 tahun 1948 sejak saat mulai berlakunya undang-undang baru ini menjadi berturut-turut Daerah tingkat ke-I, Daerah tingkat ke-II, Kotapraja, Daerah istimewa tingkat ke-I dan tingkat ke-II menurut undang-undang baru ini. Oleh karena itu dalam pasal 73 ayat 1 dan 2 hal di atas dicantumkan demikian. Demikian pula halnya dengan Kotapraja Jakarta-Raya, yang menurut ayat 3 menjadi Kotapraja Jakarta-Raya menurut undang-undang ini. Sebaliknya Daerah-daerah di dalam Propinsi Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara sungguhpun Undang-undang N.I.T. No. 44 tahun 1950 hampir sama dengan Undang-undang .I. No. 22 tahun 1948 tidak dapat dinyatakan menjadi sesuatu jenis Daerah menurut undang-undang baru ini, oleh karena masih harus ditinjau lebih jauh mengenai isi rumah tangganya. Sebelum pembentukan baru terjadi, maka Daerah-daerah tersebut berjalan terus bersandarkan Undang-undang No. 44 tahun 1950.
 
 
 
Pasal 74.
 
Ayat 1 bermaksud untuk mencegah kekosongan dalam Pemerintah Daerah, berhubung dengan dijadikannya daerah-daerah otonoom yang sudah ada berdasarkan Undang-undang R.I. No. 22/1948 dan Undang-undang No. 1 tahun 1956, menjadi daerah-daerah otonom menurut undang-undang ini (pasal 73 ayat 1, 2 dan 3). Dengan ketentuan ayat 1 itu, maka Pemerintah Daerah yang ada pada saat mulai berlakunya undang-undang ini dapat terus melakukan kewajibannya seperti sediakala, dengan ketentuan, bahwa dalam waktu selambat-lambatnya dua tahun pembentukan D.P.R.D. baru berdasarkan pasal 7 ayat 6 sudah, selesai. Sedangkan dalam waktu selambat-lambatnya 3 bulan sesudah pembentukan D.P.R.D. itu maka harus pula telah diadakan pemilihan Kepala Daerah, Ketua dan Wakil Ketua D.P.R.D. tidak dapat dibentuk dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, maka dengan sendirinya pemilihan Kepala Daerah sebagai dimaksud dalam pasal 24 ayat 1, tidak akan dapat terlaksana, sehingga karena itu perlu diadakan jalan keluar untuk menghadapi kesulitan tersebut, Jalan keluar dimaksud tercantum dalam ayat 4 sub a. Demikian pula apabila D.P.R.D. itu sudah dapat dibentuk, akan tetapi pemilihan Kepala Daerah tidak dapat dilaksanakan dalam waktu dimaksud dalam ayat 2, maka perlu juga diadakan jalan keluar; jalan keluar dimaksud terdapat dalam ayat 4 sub b. Selanjutnya ayat 5 menyerahkan kepada Peraturan Pemerintah pengaturan lebih lanjut akibat-akibat yang ditimbulkan oleh ketentuan pasal 73 ayat 1, 2 dan 3 itu.
 
 
Pasal 75. Sudah jelas.
 
Pasal 76. Sudah jelas.
 
Diketahui
 
Menteri Kehakiman a.i
 
SOENARJO
 
--------------------------------
 
CATATAN
 
*) Disetujui D.P.R. dalam pleno terbuka ke-113 pada hari jum'at tanggal 14 Desember 1950, P.19/56,