Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Hidayatsrf (bicara | kontrib) |
||
Baris 11:
}}
<center>
RANCANGAN
Baris 23 ⟶ 20:
PEREMPUAN DAN ANAK
▲DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
▲PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa setiap orang adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa
memiliki hak-hak asasi yang hakiki sesuai dengan harkat dan
martabat manusia;
b.
Baris 63 ⟶ 57:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 28B ayat (2), 28D ayat (1)
dan ayat (2), 28G, dan 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Baris 84 ⟶ 78:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
▲MEMUTUSKAN :
▲Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK.
�
Baris 94 ⟶ 87:
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Baris 125 ⟶ 117:
Pasal 2
Perdagangan perempuan dan anak dalam ketentuan Undang-undang ini termasuk
perdagangan laki-laki yang telah berumur 18 (delapan belas) tahun.
�
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pemberantasan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak merupakan landasan
atas penghormatan dan pengakuan hak-hak dan martabat yang sama dan tidak dapat
dicabut dari hak perempuan dan anak tersebut.
Pasal 4
Baris 141 ⟶ 132:
masyarakat, bangsa, dan negara dalam mewujudkan dan menjunjung tinggi hukum dan
hak asasi manusia dalam upaya menghapus segala bentuk perdagangan perempuan dan
anak.
BAB III
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK
Pasal
5
(1)
Baris 168 ⟶ 158:
penerimaan, pengalihan, atau pemindahtanganan.
�
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan perdagangan perempuan atau anak dengan tujuan
Baris 178 ⟶ 168:
nonmateriil, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Catatan :
Cetakan miring, perlu diputuskan oleh penentu kebijakan.
Pasal 7
Baris 187 ⟶ 177:
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), setiap orang yang dengan
sengaja memasukkan ke Indonesia perempuan atau anak dengan maksud :
a. diperdagangkan di wilayah negara Republik Indonesia; atau
Baris 197 ⟶ 187:
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 18 (delapan belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 9
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan
Baris 207 ⟶ 197:
�
paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan
Baris 219 ⟶ 209:
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 11
Baris 225 ⟶ 215:
melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu yang berakibat terjadinya
tindak pidana perdagangan perempuan atau anak dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 12
(1)
Baris 245 ⟶ 235:
dengan perempuan dan anak yang diperdagangkan tersebut.
�
Pasal 13
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana perdagangan perempuan atau anak, dipidana dengan pidana
yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 14
Baris 256 ⟶ 246:
dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau
seluruhnya untuk melakukan tindak pidana perdagangan perempuan atau anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8.
Pasal 15
Baris 262 ⟶ 252:
kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana perdagangan
perempuan atau anak, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 16
(1)
Baris 278 ⟶ 268:
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
Pasal 17
(1)
Baris 284 ⟶ 274:
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada
�
pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(2)
Baris 297 ⟶ 287:
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK
Pasal 18
Baris 304 ⟶ 293:
pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan
dalam perkara tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 19
Baris 310 ⟶ 299:
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 20
Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
�
Baris 321 ⟶ 310:
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 21
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak
pidana perdagangan perempuan dan anak, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana
yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 22
Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup untuk dimulainya penyidikan,
penyidik dapat menggunakan alat bukti selain yang ditentukan dalam Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
Pasal 23
Alat bukti permulaan dan pemeriksaan tindak pidana perdagangan perempuan dan
anak dapat meliputi :
a. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
Baris 346 ⟶ 334:
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 24
(1)
Baris 356 ⟶ 344:
�
pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak
pidana perdagangan perempuan dan anak yang sedang diperiksa;
b.
Baris 369 ⟶ 357:
Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan
atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Pasal 25
(1)
Baris 410 ⟶ 398:
melakukan tindak pidana perdagangan perempuan dan anak berdasarkan bukti
permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan 23 untuk paling
lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.
Pasal 27
(1)
Baris 431 ⟶ 419:
dalam perkara tindak pidana perdagangan perempuan dan anak wajib diberi
perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 29
(1)
Baris 449 ⟶ 437:
Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 30
(1)
Baris 470 ⟶ 458:
RESTITUSI, REHABILITASI, DAN REPATRIASI
▲Pasal 31
(1)
Baris 484 ⟶ 470:
pengadilan.
�
Pasal 32
(1)
Baris 495 ⟶ 481:
Pasal 33
Pengajuan restitusi dan/atau rehabilitasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada
pelaku berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
Pasal 34
Pelaku wajib memberikan restitusi dan/atau rehabilitasi paling lambat 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak penerimaan permohonan.
Pasal 35
(1)
Baris 516 ⟶ 502:
ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan
pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 36
(1)
Baris 527 ⟶ 513:
�
melakukan penyitaan dan eksekusi terhadap harta kekayaan pelaku untuk
membayar restitusi dan/atau rehabilitasi korban.
Pasal 37
(1)
Baris 542 ⟶ 528:
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 38
Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana perdagangan perempuan dan anak.
Pasal 39
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 diwujudkan dalam
pemberian:
a.
Baris 564 ⟶ 549:
perdagangan perempuan dan anak.
�
Pasal 40
Hak yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dilaksanakan dengan
berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial
lainnya.
Pasal 41
(1)
Baris 580 ⟶ 565:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian penghargaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENCEGAHAN DAN KERJA SAMA
Pasal 42
(1)
Baris 597 ⟶ 582:
secara khusus kepada masyarakat atau keluarga yang secara potensial akan
dijadikan korban perdagangan perempuan dan anak.
Pasal 43
(1)
Baris 618 ⟶ 603:
keimigrasian, ekstradisi, bantuan hukum timbal balik dalam masalah-masalah pidana,
dan kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
Pada saat Undang-undang ini berlaku, perkara perdagangan orang yang masih dalam
proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang
pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.
BAB
X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 46
Baris 644 ⟶ 628:
1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan
Pidana Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana
�
Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3080) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 47
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Baris 662 ⟶ 646:
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR …
�
Baris 672 ⟶ 656:
ATAS
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN PERDAGANGAN
PEREMPUAN DAN ANAK
I. UMUM
Baris 693 ⟶ 676:
dipindahkan, dan dijual kembali sebagai obyek komoditi yang menguntungkan
pelaku seperti kejahatan masa lalu yang disebut white slave trade yang dialami
perempuan pada abad 19.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan perempuan dan anak pada
Baris 700 ⟶ 683:
laki-laki di bawah umur merupakan kualifikasi kejahatan karena tindakan
tersebut tidak manusiawi dan layak mendapatkan sanksi pidana. Namun
ketentuan Pasal 297 tersebut, pada saat ini, tidak dapat diterapkan secara lintas
�
negara sebagai kejahatan internasional atau transnasional. Demikian pula
terhadap Pasal 324 KUHP yang substansinya tidak memadai lagi.
Selain KUHP, perlindungan terhadap perdagangan orang juga telah
Baris 714 ⟶ 697:
langsung sehingga perlu suatu undang-undang yang dapat melaksanakan
Undang-undang tersebut, khususnya pengaturan mengenai larangan
perdagangan perempuan dan anak..
Pada dasarnya, tindak pidana perdagangan perempuan dan anak, selain
Baris 723 ⟶ 706:
pelakunya. Selain itu, perlu pula pengaturan khusus hukum formilnya, yakni
hukum acara yang menyimpang dari Undang-undang tentang Hukum Acara
Pidana.
Undang-undang ini dibentuk, selain untuk mencegah dan menangani
Baris 731 ⟶ 714:
nasional terhadap keinginan bangsa-bangsa internasional dalam memberantas
tindak pidana perdagangan perempuan dan anak karena sifat tindak pidananya
yang transnasional dan terorganisasi.
II. PASAL DEMI PASAL
Baris 737 ⟶ 720:
1
Cukup jelas.
�
Baris 749 ⟶ 731:
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Baris 756 ⟶ 738:
pengutang mempekerjakan dirinya atau orang-orang yang menjadi
tanggungannya sebagai jaminan utangnya tanpa kejelasan tentang nilai
dan lama kerjanya.
Pasal 6
Baris 765 ⟶ 747:
Cukup jelas.
Pasal 9
Luka berat dalam ketentuan ini adalah :
.
Baris 785 ⟶ 767:
berturut-turut;
.
Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Yang dimaksud dengan HIV/AIDs adalah Human Immune Deficiency
Virus/ Acquirated Immune Deficiency Syndrome yakni sejenis virus
yang menyebabkan penyakit yang …
Pasal 10
Dokumen negara dalam ketentuan ini, misalnya, paspor, kartu tanda
penduduk, kartu keluarga,
Dokumen lain dalam ketentuan ini, misalnya, surat perjanjian kerja,
surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dll.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
�
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Baris 841 ⟶ 823:
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ketentuan dalam Pasal 27 ini tidak menghentikan penyidikan apabila
pada suatu daerah tertentu belum dibentuk ruang pemeriksaan khusus.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
�
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Organisasi internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup
struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi
internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang
menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ..
�
Baris 952 ⟶ 934:
PEREMPUAN DAN ANAK
</center>
[[Kategori:Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia]]
|