Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi/BAB I PENDAHULUAN/Kerangka Teori/Checks and Balances System: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
|notes =
}}
 
[[Kategori:Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia]]
 
<div style="text-align: center;">
<b>'''2. Checks and Balances System</b>'''
</div>
 
Sebagaimana telah menjadi kemakluman bersama, John Locke
(1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan.<ref>Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam
arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan
kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam
fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya
pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila
pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law
and the Constitution, 4th edition, (London:The English Language Book Society, 1976),
hal. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material
disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan
kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers).
Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hal. 364</ref>
Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi
politik totaliter<ref>Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi.
Sidney Hook,“Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A.,
Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum
Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama
dengan The Asia Foundation, 1989), hal. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz,
“Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam
Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, (Jakarta: Gramedia, 1980), hal. 88</ref> bisa dihindari dengan adanya pembatasan
kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara
mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga.
Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan
kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif
(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan
federatif (federative power).<ref>John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman,
1993), hal. 188</ref> Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undangundang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan
legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang
berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan
menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan
transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan
tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan
tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang
menyelenggarakannya.<ref>Ibid</ref> Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut
tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk
mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak
yang berkuasa<ref>Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya
kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah (1) gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru dengan tahap-tahap konsolidasi awal yang memerlukan
pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; (2) munculnya era perang dingin yang
membelah dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang diikuti persaingan perebutan
pengaruh antarblok; (3) timbulnya fenomena perang antarnegara yang memacu
peningkatan anggaran militer di berbagai negara; (4) semakin kompleksnya lingkup
tugas-tugas pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan (5) munculnya
ketidakpuasan umum terhadap praktek multipartai yang dianggap sebagai biang keladi
instabilitas internal di berbagai negara. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah
dan Parlemen dalam Sejarah:Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-
Press, 1996), hal. 106-116; Jimly Asshiddiqie,“Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi
Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal
13 Juni 1998, hal. 10</ref>. Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi,pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan
penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang
harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hakhak asasi warga negara akan lebih terjamin.<ref>Lihat misalnya C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidwick &
Jackson, 1973), hal. 245-247</ref> Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang
membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.<ref>Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di
antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politica
terdapat suasana checks and balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan
Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hal. 19</ref> Dalam hal ini,
kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena
pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi
manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan
kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi
korban despotis raja-raja.<ref>Montesquieu, Membatasi Kekuasaan:Telaah Mengenai Jiwa Undang-undang [The
Spirit of the Laws], (Jakarta: Gramedia, 1993), hal. 44-55. Kenyataan bahwa
Montequieu sebagai seorang yang berprofesi hakim ikut mempengaruhi cara berpikirnya
yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara,
Cet. IV, (Jakarta:Aksara Baru, 1985), hal.2</ref>
 
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh
perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan
yudikatif. Argumentasi yang dapat dikemukakan pemikiran ini
adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka,
hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban
despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan
istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat
perlengkapan negara.<ref>Strong, op. cit., hal. 6</ref>
 
Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian
pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang
harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum
harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.<ref>Budiardjo, op. cit., hal. 227</ref> Hal ini
dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara
sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin
hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif
diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata
berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati
nurani hakim dapat diwujudkan.<ref>Budiardjo, op. cit.</ref> Dengan demikian, kekuasaan
yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat
penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan
menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam
kehidupan sebuah negara.
 
Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas
kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi.
Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks
and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara
lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan
saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang
lebih powerful dari yang lain.<ref>Ibid., hal. 153</ref>
{{reflist}}
 
[[Kategori:Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia]]