Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
←Mengganti halaman dengan '{{tabs|tab1 |tab1=Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006 |tab2= |tab3=Kesimpulan |tab4=PERTIMBANGAN HUKUM |tab5=PENDAPAT MAHKAMAH }}'
Baris 2:
|tab1=Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006
|tab2=
|tab3=Kesimpulan
|tab4=PERTIMBANGAN HUKUM
|tab5=PENDAPAT MAHKAMAH
}}
 
 
 
<center>
P U T U S A N
 
Nomor 005/PUU-IV/2006
 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
 
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU KY) dan Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(selanjutnya disebut UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh:
 
1. Nama : PROF. DR. PAULUS EFFENDI LOTULUNG, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
2. Nama : DRS.H. ANDI SYAMSU ALAM, SH.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
3. Nama : DRS.H. AHMAD KAMIL, SH.M.HUM.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
4. Nama : H. ABDUL KADIR MAPPONG, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
5. Nama : ISKANDAR KAMIL, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
6. Nama : HARIFIN A. TUMPA, SH. MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
 
7. Nama : PROF. DR. H. MUCHSIN, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
8. Nama : PROF. DR. VALERINE J.L.K., SH.MA.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
9. Nama : H. DIRWOTO, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
10. Nama : DR. H. ABDURRAHMAN, SH.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
11. Nama : PROF. DR. H. KAIMUDDIN SALLE, SH.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
12. Nama : MANSUR KARTAYASA, SH.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
13. Nama : PROF. REHNGENA PURBA, SH.MS.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
14. Nama : PROF. DR. H.M. HAKIM NYAK PHA, SH.DEA.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
15. Nama : DRS. H. HAMDAN, SH.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
16. Nama : H.M. IMRON ANWARI, SH.SpN.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
 
 
 
 
17. Nama : TITI NURMALA SIAHAAN SIAGIAN, SH.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
18. Nama : WIDAYATNO SASTRO HARDJONO, SH.MSc.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
19. Nama : MOEGIHARDJO, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
20. Nama : H. MUHAMMAD TAUFIQ, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
21. Nama : H. R. IMAM HARJADI, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
22. Nama : ABBAS SAID, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
23. Nama : ANDAR PURBA, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
24. Nama : DJOKO SARWOKO, SH.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
25. Nama : I MADE TARA, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
26. Nama : ATJA SONDJAJA, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
 
 
 
 
27. Nama : H. IMAM SOEBECHI, SH. MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
28. Nama : MARINA SIDABUTAR, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
29. Nama : H. USMAN KARIM, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
30. Nama : DRS. H. HABIBURRAHMAN, M.HUM.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
31. Nama : M. BAHAUDIN QUADRY, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
 
Dalam hal ini memberi kuasa kepada 1. Prof. Dr. Indrianto Senoadji, SH.,
2. Wimboyono Senoadji, SH., MH., 3. Denny Kailimang, SH., MH., 4. O.C.
Kaligis, SH., MH., 5. Juan Felix Tampubolon, SH., MH., beralamat di Kompleks
Majapahit Permai Blok B-122, Jakarta Pusat Telp. (021) 3853250, HP. 0818935555,
berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 8 Maret 2006;
 
Telah membaca permohonan para Pemohon;
 
Telah mendengar keterangan para Pemohon;
 
Telah mendengar keterangan Pemerintah;
 
Telah mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia;
 
Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia;
 
Telah mendengar keterangan Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial;
 
Telah membaca keterangan tertulis Pihak Terkait Langsung Komisi
Yudisial;
 
Telah membaca keterangan tertulis dan mendengar keterangan Pihak
Terkait Tidak Langsung;
 
Telah mendengar keterangan Ahli dari para Pemohon dan Saksi serta Ahli
dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial;
 
Telah memeriksa bukti-bukti;
 
DUDUK PERKARA
 
Menimbang bahwa para Pemohon, telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonannya bertanggal 10 Maret 2006 yang diterima dan terdaftar di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 14 Oktober 2005, dengan registrasi Nomor
005/PUU-IV/2006, yang telah diperbaiki secara berturut-turut dengan perbaikan
permohonan bertanggal 17 Maret 2006, 27 Maret 2006 dan 29 Maret 2006, yang
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
 
I. Dasar Hukum Permohonan.
 
a. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan :
 
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum;
 
b. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai Hakim
Agung pada Mahkamah Agung yang mempunyai kepentingan hukum dalam
permohonan ini karena Pemohon menganggap hak dan kewenangan
konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan �pengawasan hakim� yang
diatur dalam Bab. III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) serta
yang berkaitan dengan �usul penjatuhan sanksi� yang diatur dalam Pasal 21,
Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25
ayat (3) dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab. I Pasal 1 butir 5 Undang-
undang tersebut. Dengan berlakunya Pasal-pasal tersebut menimbulkan
kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim Agung termasuk juga Hakim
Mahkamah Konstitusi menjadi atau sebagai objek pengawasan serta dapat
diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial;
 
c. Bahwa ketentuan yang diuraikan pada huruf b di atas sangat berkaitan
dengan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa �dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku Hakim Agung dan Hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi
Yudisial yang diatur dalam Undang-undang�;
 
II. Alasan-alasan permohonan pengujian terhadap Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman :
 
1). - bahwa di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan sebagai
berikut : �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku Hakim�;
 
- bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam satu nafas dan konteknya
satu sama lain maka bermakna bahwa Komisi Yudisial mempunyai
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dalam rangka
melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung;
 
2). bahwa di dalam Pasal 25 UUD 1945 mengatur bahwa syarat-syarat untuk
menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang-
undang;
 
Undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut diatur oleh Undang-
undang yang berbeda untuk Hakim Tingkat I dan Tingkat Banding (Undang-
undang No. 8 Tahun 2004 untuk Peradilan Umum, Undang-undang No. 9
Tahun 2004 untuk Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-undang No. 7
Tahun 1989 untuk Peradilan Agama, Undang-undang No. 31 Tahun 1997
untuk Peradilan Militer) serta Hakim Agung (Undang-undang No. 5 Tahun
2004) dan Mahkamah Konstitusi (Undang-undang No. 24 Tahun 2003);
 
Dalam hal ini jelas bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau
Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, karena untuk
menjadi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya
berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding;
 
Lebih jelas lagi bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang untuk mengadakan
pengawasan terhadap Hakim Ad Hoc;
 
Dari sini jelas terlihat bahwa yang dimaksud dengan kata �Hakim� di dalam
Pasal 24B UUD 1945 bukan terhadap seluruh Hakim;
 
Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksudkan oleh Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 tentang kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim adalah
Hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung;
 
3). bahwa akan tetapi ternyata di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
yaitu:
 
a. Pasal 20 disebutkan bahwa:
 
�Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan
terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim�;
 
b. Pasal 1 butir 5 menentukan bahwa yang dimaksud dengan:
 
�Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua
lingkungan peradilan yang barada dibawah Mahkamah Agung serta
Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�;
 
Dengan demikian Pasal 1 butir 5 tersebut telah memperluas pengertian
Hakim yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 karena hanya
dimaksudkan terhadap Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung saja, tidak meliputi Hakim Agung
dan Hakim Mahkamah Konstitusi;
 
c. Di samping kedua Pasal yang disebut di dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tersebut, hal yang sama juga disebut di dalam Pasal 34 ayat
(3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan
pengawasan Hakim Agung adalah bertentangan dengan Pasal 24B UUD
1945;
 
4). bahwa dalam rumusan pasal-pasal yang di sebut dalam angka 3 di atas
membawa makna bahwa pengawasan Komisi Yudisial terhadap para Hakim
pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan termasuk di dalamnya
Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Mahkamah Konstitusi
jelas bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945, karena yang dimaksud
�Hakim� dalam Pasal 24B tersebut tidak meliputi Hakim Mahkamah Agung
dan Hakim Mahkamah Konstitusi;
 
5). bahwa secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak
menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial
adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan
pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung;
 
Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
yang berbunyi sebagai berikut :
 
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman;
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;
 
 
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo
Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang
diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi
sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan
Majelis Kehormatan Hakim;
 
6). bahwa di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim
Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur
dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung, sedang bagi Hakim Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
dihadapan Majelis Kohormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur
 
dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tanpa campur tangan dari Komisi
Yudisial. Hal ini berbeda dengan Hakim pada badan peradilan dibawah
Mahkamah Agung selain mensyaratkan usul penjatuhan sanksi dari Komisi
Yudisial, juga Hakim yang bersangkutan diberi kesempatan lebih dahulu
untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim;
 
Atas dasar tersebut maka Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat
(5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur
tentang usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan/atau Hakim
Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B
dan Pasal 25 UUD 1945 yang memberi kewenangan kepada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis Kehormatan
Mahkamah Agung dan/atau Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;
 
7). bahwa oleh karena pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim
Mahkamah Konstitusi serta usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial tidak
termasuk Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi, maka
sepanjang mengenai �pengawasan dan usul penjatuhan sanksi� terhadap
Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal:
 
- 1 butir 5
 
- 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat
(5), 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial serta Pasal 34 ayat (3) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan selanjutnya
menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat bagi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah
Konstitusi;
 
Pengawasan Komisi Yudisial selama ini yang telah memanggil beberapa
Hakim Agung, dalam hubungan dengan perkara yang telah diadilinya. Pemanggilan
oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung Bagir Manan, Marianna Sutadi, Paulus
Effendi Lotulung, Parman Suparman, Usman Karim, Harifin A. Tumpa telah
mengakibatkan terganggunya hak konstitusional Hakim Agung, yang dijamin
 
kemerdekaannya oleh UUD 1945. Pemanggilan Komisi Yudisial kepada para Hakim
Agung tersebut, berpotensi dan akan membawa makna bahwa semua Hakim Agung
dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus suatu perkara. Hal ini akan
menghancurkan independensi Hakim Agung yang dijamin UUD 1945;
 
Bahwa pengawasan oleh Komisi Yudisial dengan cara memanggil Hakim
Agung karena memutus suatu perkara merupakan sebab-akibat (causal verband),
hilangnya atau terganggunya kebebasan Hakim yang dijamin oleh UUD 1945;
 
Bahwa memperluas makna �Hakim� pada Pasal 24B UUD 1945
sebagaimana berdasarkan pada Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial adalah bertentangan dengan prinsip hukum yang
berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan
perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis
dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu
ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain
ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Selain
itu, perluasan makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi
Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan
�penjatuhan sanksi� pada Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2)
dan ayat (3) serta ayat (5), 24 ayat (1) dan 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, adalah bertentangan dengan asas
Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori;
 
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka mohon kiranya Mahkamah
Konstitusi memutuskan:
 
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon ;
2. Menyatakan:
- Pasal 1 angka 5
- Pasal 20;
- Pasal 21;
- Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5);
- Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5);
- Pasal 24 ayat (1) dan;
 
- Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, serta
Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, sepanjang yang
menyangkut Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, bertentangan
dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
 
 
3. Menyatakan Pasal-pasal tersebut pada angka 2 di atas tidak mempunyai
kekuatan mengikat bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim
Mahkamah Konstitusi;
 
 
Atau mohon putusan yang seadil-adilnya;
 
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, para
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti, yang diberi tanda P-1 sampai dengan Bukti
P-28, sebagai berikut:
 
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial;
 
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
 
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
 
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman;
 
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
 
Bukti P-6 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 241/M
Tahun 2000, tanggal 2 September 2000;
 
Bukti P-7 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 273/M
Tahun 1998, tanggal 28 September 1998;
 
Bukti P-8 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83/M
Tahun 2003, tanggal 28 Mei 2003;
 
Bukti P-9 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/M
Tahun 2004, tanggal 5 Agustus 2004;
 
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Panggilan Komisi Yudisial No. 06/Pangg.KY/
06/2006, tanggal 11 Januari 2006;
 
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Panggilan Komisi Yudisial No. 19/Pangg.KY/
06/2006, tanggal 25 Januari 2006;
 
Bukti P-12 : Fotokopi Draft Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Republik Indonesia Nomor ��� Tahun �� Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial;
 
Bukti P-13 : Asli Buku Keempat Jilid 2A terbitan Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001;
 
Bukti P-14 : Fotokopi Karya Tulis Zein Badjeber tentang Komisi Yudisial dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
 
Bukti P-15 : Fotokopi Karya Tulis Hobes Sinaga, SH., MH., mengenai Eksistensi
Komisi Yudisial menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
 
Bukti P-16 : Fotokopi Karya Tulis Hobes Sinaga, SH., MH., mengenai Komisi
Yudisial;
 
Bukti P-17 : Fotokopi Kode Etik, AD dan ART Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI);
 
Bukti P-18 : Fotokopi Keputusan Mahkamah Republik Indonesia Nomor:
KMA/057/SK/VI/2006 tentang TATA KERJA MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH AGUNG tanggal 6 Juni 2006;
 
Bukti P-19 : Fotokopi Keputusan Mahkamah Republik Indonesia Nomor:
KMA/058/SK/VI/2006 tentang TATA KERJA MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH AGUNG tanggal 6 Juni 2006;
 
Bukti P-20 : Fotokopi Pedoman Perilaku Hakim Mahkamah Agung Republik
Indonesia tanggal 30 Mei 2006;
 
Bukti P-21 : Fotokopi Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
KMA/041/SKB/XI/1992 Nomor M.05-PW.07.10 Tahun 1992, tanggal
18 Nopember 1992;
 
Bukti P-22 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
1991 tanggal 5 Juli 1991;
 
Bukti P-23 : Fotokopi surat dari Komisi Yudisial Republik Indonesia kepada Ketua
Mahkamah Agung Nomor 1284/P.KY/V/2006, tanggal 8 Mei 2006;
 
Bukti P-24 : Fotokopi surat dari Komisi Yudisial Republik Indonesia kepada Ketua
Mahkamah Agung Nomor 143/P.KY/V/2006, tanggal 17 Mei 2006;
 
Bukti P-25 : Fotokopi surat dari Komisi Yudisial Republik Indonesia kepada Ketua
Mahkamah Agung Nomor 147/P.KY/V/2006, tanggal 18 Mei 2006;
 
Bukti P-26 : Fotokopi surat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada
Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 27/WKMA-NJ/VI/2006,
tanggal 21 Juni 2006;
 
Bukti P-27 : 1 lembar dokumen yang berisi �Beberapa Kasus Campur Tangan
Komisi Yudisial Di Dalam Pengadilan�, tanggal 27 Juni 2006;
 
Bukti P-28 : Kliping-kliping berita internet mengenai pertentangan Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan KomisiYudisial Republik Indonesia;
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 11 April 2006 dan tanggal 2
Mei 2006, Pemerintah telah memberi keterangan secara lisan dan tertulis, yang
menguraikan sebagai berikut:
 
I. UMUM
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip Negara hukum
adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
 
Bahwa perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan di Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman (judicative power). Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, ditegaskan
bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
 
Bahwa Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang lebih dipertegas
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mempunyai
wewenang untuk mengadili pada tingkat kasasi, peninjauan kembali (PK)
terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
sengketa tentang kewenangan mengadili, menguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang, dan kewenangan-kewenangan lainnya
sebagai ditentukan dan diatur didalam undang-undang. Selain kewenangan
tersebut, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengawasan terhadap jalannya peradilan, tentang pelaksanaan tugas pengadilan
dan tingkah laku para hakim disemua lingkungan peradilan.
 
Mahkamah Konstitusi sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang dirinci
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, mempunyai wewenang menguji Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 
Selain perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, UUD 1945 telah mengintroduksi
suatu lembaga baru yang berkaitan erat dengan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman (judicative power) yaitu Komisi Yudisial.
 
Komisi Yudisial sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
bahwa: �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim�. Kewenangan Komisi Yudisial dipertegas dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa Komisi Yudisial tersebut
kemudian mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim.
 
Bahwa UUD 1945 telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi
dibidang peradilan yaitu dengan lebih mengefektifkan fungsi pengawasan baik
pengawasan internal maupun eksternal kepada Hakim Agung pada Mahkamah
Agung, Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, dan para Hakim pada
semua lingkungan badan peradilan di Indonesia.
Pengawasan internal dilaksanakan oleh organ/badan yang dibentuk oleh lembaga
itu sendiri yang diberikan tugas untuk melakukan pengawasan kepada Hakim.
Misalnya pada Mahkamah Agung terdapat Ketua Muda Bidang Pengawasan,
sedangkan pengawasan eksternal sesuai ketentuan UUD 1945 dilakukan oleh
Komisi Yudisial.
 
Bahkan Mahkamah Agung pada persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 24
Nopember 2005 yang diwakili oleh Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah
Agung R.I. sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006 berpendapat bahwa : �apapun yang
dikemukakan oleh para Pemohon dalam kenyataannya sekarang, kewenangan
yang ada pada Mahkamah Agung didasarkan kepada Pasal 32 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 yang tidak dihapuskan atau tidak dirubah oleh Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004 dengan demikian tetap masih berlaku dimana
ditegaskan dan jelas disebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung
mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan tugasnya.
 
Kemudian Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-
hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.
Mahkamah Agung juga berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan
yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Undang-undang menentukan pengawasan dan kewenangan sebagaimana
dimaksud, ayat (1) dan (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
 
Sedangkan kewenangan yang ada pada Komisi Yudisial sudah jelas dan kami
melihat bahwa kewenangan yang ada pada Mahkamah Agung adalah
pengawasan internal dan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
berdasarkan, baik Undang-Undang Dasar maupun ketentuan dari Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 adalah kewenangan eksternal yang diberikan
sepenuhnya kepada Komisi Yudisial dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim� (vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006, halaman 37 s/d 38).
 
 
 
 
Kenyataan juga pada akhir-akhir ini, kita bisa melihat kewenangan-kewenangan
Komisi Yudisial dijalankan tanpa ada satu halangan apapun dan para Hakim yang
dipanggil oleh Komisi Yudisial tidak pernah dilarang oleh Mahkamah Agung dan
para Hakim yang dinilai oleh Komisi Yudisial mungkin tidak menjalankan
profesinya dengan baik dan dinilai melakukan unprofesional conduct telah
diusulkan oleh Komisi Yudisial sesuai dengan kewenangan yang ada kepadanya.
 
Dari uraian tersebut di atas, nampak jelas adanya kehendak yang kuat untuk
menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka tanpa campur tangan
pihak manapun, yang pada gilirannya diharapkan harkat, martabat dan keluhuran
perilaku Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dapat terjaga, sehingga
kedepan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa hukum dapat terwujud dan
rasa keadilan pada masyarakat akan menjadi kenyataan.
 
 
 
 
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
 
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa para Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu :
 
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
 
 
Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan �hak
konstitusional� adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
 
Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI, pengertian dan
batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu :
 
a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
 
 
c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
 
 
Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya
ketentuan Pasal 1 butir 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat
(5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat
(3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,
dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan.
 
Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat
sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Juga
apakah kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab
akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji.
 
Bahwa hak konstitusional yang didasarkan pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
tidak menyangkut para Pemohon tetapi menyangkut Mahkamah Agung,
sehingga para Pemohon tidak dapat mendasarkan diri pada Pasal 24B ayat (1)
sebagai landasan untuk mengkonstruksikan adanya hak konstitusional para
Pemohon yang dirugikan baik secara faktual maupun potensial yang timbul
dalam hubungan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
Kemudian jika para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
 
Kehakiman, maka hal ini perlu dipertanyakan hak konstitusional para Pemohon
mana yang dirugikan?, apakah lembaga Mahkamah Agung sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman itu sendiri atau hakim secara keseluruhan baik dalam
lingkungan peradilan umum, tata usaha negara, agama maupun peradilan
militer.
 
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, ditegaskan bahwa: �Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�.
 
Dengan demikian, kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh lembaga
Mahkamah Agung dan lembaga badan peradilan dibawah Mahkamah Agung
dan oleh lembaga Mahkamah Konstitusi, dan bukan oleh Hakim Agung, bukan
oleh hakim pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung, dan bukan oleh
Hakim Mahkamah Konstitusi. Selain itu hak dan/atau kewenangan konstitusional
Hakim Agung yang mana yang dianggap dirugikan karena dalam UUD 1945
tidak satupun pasal yang mengatur baik secara langsung maupun tidak langsung
hak dan/atau kewenangan konstitusional Hakim Agung.
 
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa
nyata-nyata tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional para
Pemohon yang dirugikan atas keberlakuan kedua Undang-undang a quo, karena
pada kenyataannya para Pemohon dengan jabatan sebagai Hakim Agung tetap
dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk menyelenggarakan
peradilan.
 
Karena itu Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi agar memerintahkan para Pemohon untuk membuktikan secara sah
terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak
terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon atas keberlakuan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan
 
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
 
Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para
Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian
apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini
disampaikan argumentasi Pemerintah tentang materi pengujian Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN
KEHAKIMAN
Sehubungan dengan pendapat para Pemohon dalam permohonannya yang
menyatakan bahwa :
 
 
A. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial, yaitu :
1. Pasal 1 butir 5: "Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan
peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945".
2. Pasal 20: "Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim".
3. Pasal 21: �Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan
usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�.
4. Pasal 22 ayat (1) huruf e: "Dalam melaksanakan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial : membuat
laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta
tindasannya disampaikan kepada Presden dan DPR".
Ayat (5): "Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa
paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan
keterangan atau data yang diminta".
 
 
5. Pasal 23 ayat (2): "Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat,
disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi".
Ayat (3): �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�.
 
Ayat (5): �Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim
diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada
Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak
oleh Majelis Kehormatan Hakim�.
 
 
6. Pasal 24 ayat (1): �Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan
penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
Hakim�.
7. Pasal 25 ayat (3): �Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang
Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon
Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung
dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh anggota
Komisi Yudisial�.
Ayat (4): � Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-turut atas
keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan
pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah
 
 
 
 
 
 
 
 
Konstitusi maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima)
orang anggota�
 
 
 
 
B. Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman : "Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial
yang diatur dalam undang-undang"
bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945, sebagai
berikut :
 
Pasal 24B ayat (1): �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim�.
 
Pasal 25 : �Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan undang-undang".
 
Sehubungan dengan anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat
menyampaikan penjelasan sebagai berikut :
 
1. Para Pemohon dalam permohonannya beralasan bahwa kalimat yang
terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, apabila dibaca dalam
satu napas dan konteknya satu sama lain maka bermakna bahwa
Komisi Yudisial �mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim
adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung�,
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut :
 
a. Bahwa berdasarkan teknik penyusunan perundang-undangan maka
untuk memperjelas substansi suatu norma digunakan sistem tabulasi,
sehingga ketentuan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung
dua kewenangan Komisi Yudisial yang berbeda yaitu :
 
 
- kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan
- mempunyai kewewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
b. Bahwa frase "berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung"
dan frase "mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim"
dihubungkan oleh kata hubung "dan". Kata hubung "dan" dalam
konteks ini berfungsi sebagai penghubung satuan ujaran (kata, frase,
klausula, dan kalimat yang setara), yang termasuk tipe yang sama
serta memiliki fungsi yang tidak berbeda (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1995).
c. Bahwa secara gramatikal frase "berwenang mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung", dan frase "mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim" merupakan dua frase yang mempunyai
kedudukan yang setara. Sehingga tidak mungkin frase "mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim" sebagai sub-ordinasi dari
frase "berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung".
d. Bahwa dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006, juga telah
ditegaskan bahwa kewenangan pengawasan oleh Mahkamah Agung
bersifat internal, sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial baik berdasarkan UUD 1945, maupun Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, adalah kewenangan
eksternal dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim.
 
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah berpendapat alasan para
Pemohon yang menyatakan bahwa pengertian �mempunyai kewenangan
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim" adalah dalam rangka melaksanakan
kewenangan Komisi Yudisial yaitu "mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung� tidak berkaitan dengan konstitusionalitas keberlakuan suatu
undang-undang.
2. Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 25 UUD 1945 mengatur syarat-
syarat untuk menjadi hakim dan untuk diberhentikan sebagai hakim
 
 
 
 
 
 
ditetapkan dengan undang-undang, yaitu antara lain: Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2004 (untuk Hakim Tingkat I dan Banding); Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 (untuk Hakim Peradilan Tata Usaha
Negara); Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (untuk Hakim Peradilan
Agama); Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 (untuk Hakim Peradilan
Militer); Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 (untuk Hakim Agung); dan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 (untuk Hakim Mahkamah
Konstitusi).
 
Para Pemohon menyimpulkan bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak
menjangkau Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi karena untuk
menjadi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya
berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding. Juga Komisi Yudisial
tidak berwenang mengawasi hakim Ad Hoc.
 
Sehingga menurut para Pemohon bahwa yang dimaksud �hakim� dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bukan terhadap seluruh Hakim, melainkan
Hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung.
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut :
 
 
a. Bahwa kesimpulan para Pemohon yang didasarkan pada ketentuan-
ketentuan dalam : Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 (untuk Hakim
Tingkat I dan Banding), Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 (untuk
Hakim Peradilan Tata Usaha Negara), Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 (untuk Hakim Peradilan Agama), Undang-undang Nomor
31 Tahun 1997 (untuk Hakim Peradilan Militer), Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 (untuk Hakim Agung), dan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 (untuk Hakim Mahkamah Konstitusi),
merupakan kesimpulan sepihak para Pemohon yang dijadikan dasar
untuk menafsirkan kata �hakim� seperti yang tercantum dalam Pasal
24B ayat (1) UUD 1945.
b. Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji
konsistensi antara undang-undang yang satu dengan undang-undang
yang lain, yaitu antara Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004, Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 5
Tahun 2004, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 terhadap
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
 
c. Bahwa jika terjadi inkonsistensi antara undang-undang yang satu
dengan yang lain yang sifatnya sederajat, maka sesuai dengan asas
perundang-undangan yang menyatakan �undang-undang yang
kemudian/belakangan mengenyampingkan undang-undang yang
berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori)�, sehingga
sepanjang mengatur tentang ketentuan yang sama dan dibuat oleh
lembaga yang sama pula, maka semua undang-undang yang dijadikan
acuan oleh para Pemohon tersebut di atas dikesampingkan oleh
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 karena undang-undang ini
diundangkan paling belakangan. Konsekuensinya semua pengertian
�hakim� di dalam undang-undang tersebut diatas, harus tunduk pada
pengertian hakim yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
d. Bahwa perbedaan perekrutan (rekruitmen) antara Hakim Agung
dengan Hakim, tidak dapat dijadikan alasan oleh para Pemohon untuk
membedakan antara Hakim Agung dengan Hakim, karena setelah
menjadi Hakim (Hakim Agung, Hakim Peradilan Umum, Hakim
Peradilan Agama dan Hakim Peradilan Militer) kewenangannya sama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, karenanya tunduk pada
lembaga pengawasan eksternal sebagaimana diamanatkan Pasal 24
ayat (2) UUD 1945.
 
 
Berdasarkan uraian tersebut diatas , Pemerintah berpendapat keberatan
dan alasan para Pemohon tidak relevan.
3. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, Pemerintah
dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
 
a. Bahwa Rancangan Undang-undang tentang Komisi Yudisial
merupakan salah satu rancangan undang-undang inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), dalam rancangan
awal rumusan Pasal 1 angka 5 berbunyi: �hakim adalah hakim pada
semua badan peradilan di lingkungan peradilan�.
 
b. Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dibuat Pemerintah,
rumusan Pasal 1 angka 5 diusulkan perubahan yang berbunyi :
�hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada semua badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara,
serta pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut�.
 
c. Bahwa untuk merumuskan ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut, antara
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah terjadi diskusi
dan perdebatan yang cukup alot, intensif, tajam dan dinamis (dibahas
selama tiga hari kerja dan tiga kali skorsing). Hal ini bertujuan agar
dalam merumuskan ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut jangan
sampai memperluas substansi dari ketetntuan Pasal 24 ayat (2) dan
Pasal 25 UUD 1945.
 
 
Berikut disampaikan kutipan beberapa pendapat anggota Panitia Kerja
(PANJA) pada rapat-rapat kerja antara lain :
a. Andi Mattalata, SH. M.Hum., (Fraksi Partai Golkar) menjelaskan
bahwa: �Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, mengandung 2 (dua) pesan, yaitu pertama mengenai
pengangkatan Hakim Agung dan bukan Hakim Konstitusi dan juga
bukan pengangkatan hakim yang lain-lain. Kemudian yang kedua
adalah mempunyai kewenangan dalam rangka manjaga dan
menegakkan kehormatan Hakim, maksudnya seluruh hakim selaku
pelaksana kekuasaan kehakiman�. (Rapat ke-4 tanggal 21 Juni 2004).
b. M. Akil Mochtar, SH., MH., (Fraksi Partai Golkar) menjelaskan bahwa:
kita ingin memposisikan anggota Komisi Yudisial itu di berbagai
perspektif yang berhubungan dengan tugas Komisi, yang pertama,
tugas komisi adalah melakukan rekruitment terhadap calon Hakim
Agung, kemudian mengusulkannya kepada DPR, yang kedua tugas-
tugas lain yang berkaitan dengan pengawasan dan juga mengawasi
perilaku para hakim secara keseluruhan, bukan saja hanya Hakim
Agung�. (Rapat ke 3 tanggal 7 Juni 2004).
 
 
c. Drs. H. Lukman Hakim S, (Fraksi Persatuan Pembangunan)
menjelaskan bahwa: kalau kita cermati betul tugas Komisi sebenarnya
melakukan pengawasan dalam konteks perilaku, bukan dalam istilah
pengawasan internal yang sebenarnya sudah dilakukan Mahkamah
Agung�. (Rapat ke 2 tanggal 2 Juni 2004).
 
 
Setelah melakukan diskusi dan perdebatan panjang dan melelahkan,
pada akhirnya rumusan Pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang
tentang Komisi Yudisial disetujui dalam rapat Panitia Kerja pada tanggal
21 Juni 2004, dengan rumusan: �Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim
pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945�.
Dari uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 1
angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,
tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon,
dan tidak bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
 
 
4. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 ayat
(1) huruf e dan ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial, utamanya yang berkaitan dengan �pengawasan hakim�,
bahwa pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim pada badan
peradilan di semua lingkungan peradilan termasuk di dalamnya Hakim
Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945, karena yang dimaksud
"Hakim" dalam Pasal 24B tersebut tidak meliputi Hakim Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi.
 
Selanjutnya para Pemohon beranggapan bahwa secara universal
kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim
Agung pada mahkamah Agung karena Komisi Yudisial merupakan mitra
Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim
pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada di bawah
Mahkamah Agung.
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut :
 
 
a. Bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap
hakim di lingkungan pelaku kekuasaan kehakiman pada semua tingkat
termasuk Hakim Agung, adalah dalam rangka pengawasan yang
berkaitan dengan teknis yustisial, yaitu dalam rangka
pelaksanaan/menjalankan tugas untuk memeriksa, memutus dan
mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan (pengawasan
yang bersifat internal).
b. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, kewenangan yang dimiliki oleh Komisi
Yudisial yaitu untuk melakukan pengawasan dalam rangka menjaga
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan
hakim (pengawasan yang bersifat ekstern), bukan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan
Hakim disemua lingkungan peradilan dalam memeriksa, memutus dan
mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan.
 
 
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa
ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tidak merugikan
hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
5. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 21, Pasal 23 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat
(4) yang dihubungkan Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, utamanya yang berkaitan dengan "usul
penjatuhan sanksi". Menurut para Pemohon, usul penjatuhan sanksi
terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo. Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dilakukan
oleh Komisi Yudisial dengan memberikan rekomendasi kepada
Mahkamah Agung dan kepada hakim yang akan dijatuhi sanksi
pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim.
Sedangkan pelaksanaan pemberhentian Hakim Agung dilakukan oleh
Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan
diberi kesempatan membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, sedangkan bagi Hakim
Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya dilakukan oleh Ketua
Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu di hadapan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23
ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
 
Sehingga menurut para Pemohon Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945.
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang tugas
dan fungsinya bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Komisi
Yudisial memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal ini sebagai kehendak yang
kuat dari undang-undang agar dapat terwujud mekanisme checks and
balances terhadap pelaksanaan indepedensi kekuasaan kehakiman dan
cabang-cabang kekuasaan lainnya.
 
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa
ketentuan Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24
ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tidak merugikan hak dan/atau
kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
 
 
6. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Terhadap alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat lebih dipahami apabila
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: "Hakim adalah
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang-undang". Pengertian hakim mencakup keseluruhan pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas dan
fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan.
 
Dari uraian tersebut di atas maka Pasal 34 ayat (3) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak merugikan
hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
 
 
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD
1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
 
 
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak
dapat diterima (niet onvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan:
- Pasal 1 angka 5
- Pasal 20
- Pasal 21
- Pasal 22 ayat (1) huruf e, dan ayat (5)
- Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)
- Pasal 24 ayat (1)
- Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4)
 
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Pasal
34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman tidak bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e,
dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1),
Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tetap mempunyai kekuatan
hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
 
 
Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya
(ex aequo et bono);
Menimbang bahwa DPR RI, pada persidangan bertanggal 2 Mei 2006 telah
memberi keterangan secara lisan, dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Mei 2006, yang
menguraikan sebagai berikut:
 
MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN
 
Di dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan:
 
 
1. Mengajukan permohonan putusan:
a. ketentuan Pasal 1 angka 5
b. ketentuan Pasal 20
c. ketentuan Pasal 21
d. ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5)
e. Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5)
f. Pasal 24 ayat (1)
g. Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) serta Pasal
34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)
 
 
 
 
 
 
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, khususnya ketentuan Pasal 24B dan Pasal 25.
 
 
 
 
2. Materi muatan dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1)
huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25
ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Terhadap permohonan tersebut dapat disampaikan keterangan sebagai berikut:
 
 
1. Kronologis lahirnya Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial bermula dari
usul inisiatif sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada
November 2000 dan menjadi usul inisiatif Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna pada bulan Januari 2003.
Pembahasan RUU tersebut dimulai pada bulan Mei tahun 2004.
2. Sebelum dan selama pembahasan RUU, Pansus mendapat masukan dari
berbagai kalangan, antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat yang
mempunyai perhatian terhadap lembaga kekuasaan kehakiman, dan Mahkamah
Agung.
3. Bahwa pada intinya, semua masukan tentang Komisi Yudisial termasuk
didalamnya kewenangan yang dimilikinya, bertitik tolak dari kesadaran
berdasarkan pengalaman selama ini. Dalam praktek pengawasan hakim dan
hakim agung yang dijalankan oleh Mahkamah Agung memiliki kelemahan antara
lain: kurangnya transparansi dan akuntabilitas, semangat membela korps,
kurang lengkapnya metode pengawasan, kelemahan sumber daya manusia,
rumitnya birokrasi yang harus dilakukan dan berbagai kelemahan lainnya. Oleh
karena itu perlu ada institusi tersendiri yang independen dan mempunyai
kewenangan pengawasan terhadap seluruh hakim. Institusi itu adalah Komisi
Yudisial.
4. Bahwa berdasarkan pencermatan terhadap risalah Rapat PAH III dan PAH I
Badan Pekerja MPR RI sejak Sidang Umum I tahun 1999 hingga Sidang
Tahunan 2002 ada semangat saling mengimbangi dan saling kontrol diantara
lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung. Dalam hal ini hakim agung,
meskipun memiliki kemerdekaan dalam menjatuhkan putusan, tetapi terhadap
perilaku di luar teknis yudisial perlu dilakukan pengawasan oleh institusi yang
independen. Sebelumnya ada usulan tentang pembentukan Dewan Kehormatan
 
 
 
 
Hakim, namun atas saran tim ahli PAH I Badan Pekerja MPR RI, istilah Dewan
Kehormatan tersebut tidak perlu masuk dalam UUD 1945 dan kemudian muncul
istilah Komisi Yudisial. Isitilah Komisi ini awal mulanya dikemukakan oleh Bapak
Iskandar Kamil, SH (hakim agung dari Mahkamah Agung) yang pada intinya
ingin agar keluhuran martabat para hakim benar-benar bisa terjaga. Jadi dengan
demikian, kewenangan Komisi Yudisial termasuk pengawasan terhadap hakim
agung, Hanya saja Komisi Yudisial tidak berwenang untuk memberikan usulan
pemberhentian karena pengawasan tersebut.
5. Bahwa di dalam pembahasan oleh Badan Pekerja MPR RI, mengenai asal usul
materi Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidaklah dalam satu nafas antara
kewenangan Komisi Yudisial dalam hal mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Akan tetapi
pembahasannya terpisah antara dua kewenangan tersebut. Dalam Risalah rapat
ke-5 Badan Pekerja masa sidang tahunan MPR RI Tahun 2001 pada hari selasa
tanggal 23 Oktober 2001 dalam acara laporan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR RI dan pengesahan Rancangan Putusan MPR RI hasil Badan Pekerja
MPR RI serta Penutupan Rapat Badan Pekerja MPR RI masa Sidang Tahunan
MPR 2001 dalam Buku Kesatu Jilid I yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal
MPR RI Tahun 2001, pada halaman 251 dan 252 tercantum bahwa: semula
tentang Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi
Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
ditempatkan dalam Pasal 24B ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: �Hakim
Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dan
dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwaklan Rakyat�.
Kemudian dirumuskan lagi dalam rancangan tersebut pada halaman 252 alinea
pertama dalam Pasal 24C ayat (1) dengan redaksi yang berbeda sebagai
berikut: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain (dengan
memperhatikan masukan dari masyarakat berdasarkan masukan dari
masyarakat).
 
Dalam halaman 252 pada alinea keempat dari baris keempat dari bawah
berbunyi antara lain: �Pasal 25 dalam bracket untuk menegakkan kehormatan
dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh Komisi
 
 
 
 
 
 
Yudisial�. Konsep dari rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial
dalam bahan rancangan perubahan UUD 1945 tersebut, masih terjadi
perbedaan pendapat diantara anggota PAH I, maka Badan Pekerja MPR RI
bersepakat membawa rumusan perubahan UUD dalam perubahan ketiga
sebagaimana yang terdapat pada buku kesatu jilid 2 Hasil Rapat Badan Pekerja
MPR RI tanggal 5 September 2000 s/d 23 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan
MPR RI Tahun 2001, mencantumkan bahwa Pasal 24B perubahan ketiga UUD
1945 berasal dari dua Pasal yang berbeda yaitu Pasal 24C yang berbunyi :
 
 
(1) Komisi Judisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain (dengan memperhatikan
masukan dari masyarakat) berdasarkan masukan dari masyarakat.
Alternatif 1 :
 
(2) Anggota Komisi Judisial dipilih dari mantan Hakim Agung, unsur praktisi
hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan akademisi.
 
 
 
 
Alternatif 2 :
(2) Anggota Komisi Judisial berasal dari pengacara, jaksa, guru besar ilmu
hukum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan wakil daerah.
 
Alternatif 3 :
 
(2) Anggota Komisi Judisial harus berpengalaman dalam profesi hukum,
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
 
(3) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Judisial diatur dengan
undang-undang.
 
Adapun Pasal 25A berbunyi: � Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga
keluhuran martabat dan perilaku para hakim, dilakukan oleh Komisi Judisial�.
Dari bunyi kedua Pasal tersebut disimpulkan bahwa Pasal tersebut tidak dapat
dibaca satu nafas, karena awalnya Pasal tersebut berdiri sendiri dan berasal dari
2 (dua) Pasal yang berbeda. Dirumuskan Pasal 24B ayat (1), Pasal 24C, dan
Pasal 24C ayat (1) serta Pasal 25A.
 
 
6. Bahwa pada buku Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dibuat oleh anggota PAH I Badan Pekerja MPR RI Tahun 2003 yang terlibat
langsung dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI Tahun
 
 
 
 
2003 pada halaman 195-196 intinya menyatakan bahwa hakim pada Pasal 24B
ayat (1) adalah temasuk hakim agung, adapun bunyi dari buku panduan tersebut
adalah: �Ketentuan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia mengenai pembentukan Komisi Yudisial, didasari pemikiran bahwa
hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-
figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan
keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam
susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari
keadilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat,
serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk
mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham
Negara Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga di bidang
kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga
yang bersifat mandiri. Menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1), Komisi Yudisial
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Melalui lembaga Komisi Yudisial diharapkan
dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat
sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui
putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta
perilakunya�.
7. Bahwa dalam rangka terwujudnya checks and balances, transparansi, kontrol
terhadap perilaku hakim, masukan dari Mahkamah Agung yang terdapat dalam
Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial Halaman 45 berbunyi: �����.bahwa
Komisi Yudisial berfungsi untuk �menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.� ����kami memandang ada 5
(lima) tugas yang bisa ditafsirkan dari fungsi di atas yaitu :
� pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung);70 (keterangan
foot note: Kata �menjaga� dalam Pasal 24B UUD 1945 diwujudkan dalam
tugas �pengawasan� sedang kata �menegakkan� diwujudkan dalam tugas
pendisiplinan atau menjatuhkan sanksi disiplin�).
 
 
8. Bahwa berdasarkan Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial pada halaman 58
yang disusun oleh salah satu Tim Penangggung jawabnya yaitu Bapak Prof. Dr.
 
 
 
 
Paulus Effendi Lotulung, S.H. yang dalam hal ini juga sebagai Pemohon,
mencantumkan bahwa penerapan pembagian lingkup pengawasan berdasarkan
objek yang diawasi, tidak tepat jika kita menafsirkan UUD 1945 secara
gramatikal. Redaksional yang digunakan Pasal 24B Amandemen Ketiga UUD
1945 adalah : �����perilaku hakim�. Kalimat hakim disini harus diartikan
sebagai seluruh hakim, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat
kasasi (hakim agung). Jika maksud pembuat UUD hanyalah hakim agung, maka
redaksi yang digunakan adalah �hakim agung� sebagaimana digunakan dalam
menjelaskan dalam pasal yang sama yang membicarakan mengenai tugas
pengawasan yaitu�����.mengusulkan pengangkatan hakim agung��.
9. Bahwa pembagian lingkup pengawasan Komisi Yudisial dan pengawasan hakim
di lingkungan Mahkamah Agung, yaitu Ketua Muda Bidang Pengawasan dan
Pembinaan (TUADA WASBIN), yang paling tepat adalah berdasarkan aspek
yang diawasi. Pembagian lingkup berdasarkan aspek yang diawasi dapat
dilakukan dengan tegas berdasarkan amanat Perubahan Ketiga UUD 1945.
Aspek pengawasan selama ini di Mahkamah Agung yaitu aspek teknis yudisial,
administrasi peradilan serta tingkah laku dan perbuatan hakim, maka yang
menjadi ruang lingkup Komisi Yudisial adalah aspek tingkah laku dan perbuatan
hakim. Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan eksternal
tersebut diharapkan bukan hanya mengefektifkan pengawasan, namun juga
akan mengurangi tugas non yustisial bagi hakim dan hakim agung, sehingga
lebih dapat mencurahkan perhatian dan waktunya pada tugas pokok memeriksa
dan memutus perkara.
 
 
10. Bahwa dalam proses pembahasannya, pemerintah selalu didampingi oleh
Mahkamah Agung yang dalam hal ini diwakili oleh Abdul Rahman Saleh,SH.,MH
(hakim Agung) dan Prof.Dr. Paulus Effendi Lotulung,SH. Salah satu pendapat
mereka menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga independen yang
melakukan pengawasan eksternal, sedangkan Mahkamah Agung melakukan
pengawasan secara internal. Mengenai pengertian hakim dalam rangka
semangat saling kontrol diantara lembaga pemegang kekuasaan yang ada
maka hakim itu termasuk hakim agung.
11. Bahwa Pengertian hakim yang terdapat pada Pasal 1 angka 5 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial berbunyi : �Hakim agung dan
hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah
 
 
Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945� sesuai dengan UUD 1945, karena berdasarkan kaedah bahasa Indonesia
penggunaan huruf �h� kecil atau huruf �H� besar mempunyai makna yang
berbeda, dalam penulisan kata hakim jika kata hakim ditulis dengan huruf �H�
besar mengandung arti tertentu yang lebih sempit dan jika kata hakim ditulis
dengan huruf �h� kecil maka mengandung arti luas, UUD 1945 Pasal 24B ayat 1
menuliskan kata hakim dengan huruf �H� besar karena diawal kalimat, tetapi kata
agung dengan menggunakan huruf �a� kecil menunjukkan bahwa ketika berada
ditengah kalimat kata hakim agung akan ditulis huruf kecil oleh UUD 1945.
Berdasarkan hal tersebut maka hakim agung dan hakim konstitusi termasuk di
dalam pengertian hakim yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 24B ayat (1).
12. Bahwa dalam buku Cetak Biru Mahkamah Konstitusi pada halaman 121
tercantum bahwa Komisi Yudisial secara yuridis memiliki kewenangan untuk
mengawasi hakim baik di lingkungan peradilan umum maupun Mahkamah
Konstitusi. Buku cetak biru Mahkamah Konstitusi tidak dijadikan dasar dalam
memutuskan pengertian hakim yang diawasi dalam Undang-undang Komisi
Yudisial karena buku tersebut baru diterbitkan pada bulan Desember 2004,
sedangkan Undang-undang Komisi Yudisial disahkan pada awal Agustus 2004.
Buku tersebut hanya digunakan untuk menambah keyakinan DPR bahwa
ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial tidak menyimpang dari konstitusi.
13. Berdasarkan hal tersebut di muka, maka ketentuan Pasal 1 angka 5, ketentuan
Pasal 20, ketentuan Pasal 21, ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5),
Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4415) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4358) tidak bertentangan dengan Pasal 24B dan
Pasal 25 UUD 1945 yang berbunyi:
Pasal 24B ayat (1) : �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
 
 
 
 
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.�
 
Pasal 25 : �Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan
sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang�.
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 2 Mei 2006 dan 10 Mei 2006
telah didengar keterangan tertulis yang dibacakan dipersidangan dari kesaksian
Mantan Anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, yang telah memberi
keterangannya di bawah sumpah, masing-masing menerangkan sebagai berikut:
 
Saksi Harun Kamil, SH
 
A. SIDANG UMUM TAHUN 1999
 
 
1. Dalam rapat-rapat PAH III BP MPR Tahun 1999, tidak ada pembicaraan khusus
menyangkut Komisi Yudisial. Dalam membicarakan atau mengajukan usulan
perubahan mengenai Bab IX, Kekuasaan Kehakiman, sebagian besar fraksi
hanya tertarik pada issu kemadirian Mahkamah Agung dan judicial review yang
harus dimiliki oleh Mahkamah Agung.
2. Hanya fraksi PBB yang disampaikan oleh Hamdan Zoelva, yang menyinggung
tentang pengawasan terhadap para hakim termasuk hakim agung yaitu dengan
membentuk dewan kehormatan hakim dalam UUD ini, yaitu pada Rapat Pleno
PAH III, hari Kamis, tanggal 7 Oktober 1999, pada saat menyampaikan
pengantar musyawarah fraksi.
 
 
Hamdan Zoelva, menyatakan :
"... Kami juga setuju Mahkamah Agung itu sebagai lembaga yang mandiri,
kemudian yang mengawasi Mahkamah Agung itukan sebenarnya adalah kinerja
mahkamah agung terletak pada hakimnya, jadi sebenarnya bukan kepada
Mahkamah Agung sendiri tetapi kepada hakimnya. Oleh karena itu perlu
dibentuk dan dimuat dalam UUD ini, kita bentuk suatu dewan kehormatan
hakim, yang kita bentuk dari unsur-unsur baik kalangan hakim, dari kalangan
ahli hukum, maupun dari kalangan orang-orang yang benar-benar memiliki
integritas yang tinggi. Merekalah yang akan menilai kinerja hakim itu sendiri.
Dan mereka pulalah yang akan merekomendir apakah hakim itu termasuk
hakim Agung diberhentikan atau tidak. Jadi inilah satu-satunya lembaga yang
kami anggap mempunyai kompotensi untuk menilai kinerja hakim, tidak bisa
DPR misalnya untuk menilai hakim, karena hakim dan Mahkamah Agung itu
 
 
 
 
benar-benar suatu lembaga yang mandiri, jadi tidak bisa dinilai oleh lembaga
lain, yang bisa menilai suatu dewan tersendiri atau dewan kehormatan hakim..."
(Buku Kedua Jilid 6, Risalah Rapat BP PAH III SU MPRI, hlm. 41)
 
3. Dalam kesimpulan yang disampaikan oleh Pak Harun Kamil selaku Ketua
Rapat, disampaikan bahwa pemberdayaan dan pertanggungjawaban lembaga
kehakiman atau Mahkamah Agung, adalah merupakan satu topik yang menjadi
prioritas yang disampaikan oleh fraksi-fraksi. (Ibid., hlm. 52-53), Demikian juga
disimpulkan oleh H. Amin Aryoso., selaku ketua Rapat pada tanggal 10 Oktober
1999, menegaskan adanya usulan dari FPBB tentang Dewan Kehormatan
Hakim yang memiliki tugas dan wewenang mengawasi dan memberikan sanksi
apabila Mahkamah Agung dinyatakan melakukan tindakan melanggar hukum
(Ibid., hlm. 178)
 
4. Sedangkan Prof. Sahetapy, yang mewakili FPDIP, meminta secara eksplisit
tercantum dalam UUD, DPR juga berhak untuk meminta keterangan dari
Mahkamah Agung mengawasi Mahkamah Agung. (Ibid., hlm. 71).
 
B. SIDANG TAHUNAN 2000
 
1. Dalam pengantar Musyawarah fraksi yang disampaikan pada sidang Pleno PAH
I, hari Senin, 6 Desember 1999, beberapa fraksi menyampaikan perhatiannya
terhadap penataan kekuasaan kehakiman, yang pada umumnya menyoroti
pentingnya penataan kembali kekuasaan kehakiman yang mandiri yang tidak
boleh ada campur tangan dari lembaga negara yang lain-serta diberikan
kewenangan judicial review. 'Akan tetapi secara khusus mengenai pengawasan
terhadap Mahkamah Agung (kekuasaan kehakiman) antara lain disampaikan
oleh fraksi-fraksi sebagai berikut :
 
 
a. FPG (Agun Gunanjar Sudarsa), mengemukakan, sbb:
"...Selain itu perlu dipertimbangkan bagaimana pengawasan dan
pertanggungjawaban kekuasaan Mahkamah Agung tersebut..." (Buku Kedua
Jilid 3 A, Risalah Rapat PAH I Sidang Tahunan 2000, him., 104).
 
 
b. FPBB (Hamdan Zoelva), mengemukakan sbb:
"...Kekuasaan Mahkamah Agung, termasuk hakim agung dan hakim-hakim di
bawahnya, tidak boleh dibiarkan tidak terkontrol dan terawasi sehingga dapat
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim sebagaimana terasa
pada saat ini. Pengawasan/kontrol itu tidak boleh diserahkan kepada
lembaga tinggi maupun lembaga tertinggi negara yang sarat dengan muatan
 
 
 
 
 
 
politik. Kami berpendapat bahwa untuk melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap Mahkamah Agung termasuk kepada para hakim-hakim khususnya
terkait dengan pelaksanaan tugas-tugas yudisial perlu dibentuk sebuah
komisi independen yang anggotanya dipilih oleh DPR dan disahkan oleh
Presiden selaku Kepala Negara dari mantan hakim, mantan jaksa,
pengacara-pengacara senior maupun professor hukum dari perguruan tinggi
ditambah dengan tokoh-tokoh masyarakat yang kesemuanya dikenal memiliki
integritas yang sangat tinggi serta tidak pernah memiliki cacat moral
sedikitpun.. Komisi ini diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan
terhadap hakim-hakim yang diduga melakukan penyimpangan termasuk
keanehan dalam produk putusan yang dihasilkannya. Hasil pemeriksaan
komisi ini harus dijadikan pertimbangan dalam penentuan karir-seorang
hakim dan termasuk hukuman penurunan pangkat atau pemberhentian jika
seandainya komisi merekomendasi-kannya. Hal-hal yang menyangkut komisi
ini perlu diatur dalam UUD..." (Ibid., hlm. 121).
 
 
 
 
2. Tanggapan fraksi-fraksi atas pengantar musyawarah fraksi yang dilaksanakan
pada Rapat Pleno PAH 1 tanggal 9 Desmber 1999, hanya FPG (Hatta Mustafa)
yang secara khusus menyoroti masalah pengawasan terhadap hakim, yang
mengemukakan sbb:
"...Berkaitan dengan hak uji materil, pengawasan terhadap hakim, begitu juga
pengawasan dan pertanggungjawaban publik institusi lembaga kekuasaan
kehakiman dimaksud maka perlu perumusan yang lebih jelas tentang kekuasaan
kehakiman dalam rangka kepastian tegaknya supremasi hukum..." (Ibid., hlm.
194)
 
3. Usulan dibentuknya Dewan Kehormatan Hakim untuk dimuat dalam UUD,
dikemukakan juga oleh Tim dari Mahkamah Agung yang diundang dalam
dengar pendapat dengan PAH 1 pada tanggal 17 Februari 2000. Pada saat itu
pihak Mahkamah Agung (Iskandar Kamil) mengusulkan ayat (4) pada Pasal 24
yang berbunyi "Pada Mahkamah Agung dibentuk Dewan Kehormatan Hakim
yang mendiri yang bertugas melaksanakan pengawasan eksternal atas perilaku
hakim dalam penyelenggaraan peradilan.
 
Lebih lanjut Pak Iskandar Kamil mengemukakan :
 
�...Dalam ayat (4) ini juga menyerap aspirasi masyarakat bahwa perlu adanya
perwujudan check and balances yang lebih konkrit, begitu pak, sebab kadang-
 
 
 
 
kadang dikatakan bahwa jajaran kekuasaan kehakiman seperti tirani judisial
katanya, dengan doa restu bapak-bapak dan ibu sekalian mudah-mudahan kami
tidak menjadi tirani dan memang kami tidak ingin menjadi tirani pak. Oleh sebab
itu, tetapi keinginan kami itu memang perlu diwujudkan dalam suatu ketentuan
perundangan. Jadi Dewan Kehormatan Hakim yang mandiri itu yang
dimaksudkan adalah independen. Oleh beberapa kalangan disebut judicial
committe. Jadi semacam itulah kira-kira pak yang melakukan pengawasan
eksternal yang dimaksudkan adalah idenya nanti personil dari dewan
kehormatan ini adalah bukan personil dari jajaran peradilan sendiri, bisa terdiri
dari para pakar, para tokoh-tokoh yang lain, hanya memang menjadi suatu
masalah yang barangkali bisa kita pertimbangkan juga apakah lembaga
semacam ini partisan atau tidak, ini satu-satunya masalah barangkali pak,
tugasnya adalah melakukan pengawasan atas perilaku hakim dalam
menyelenggarakan peradilan sehingga dengan adanya lembaga ini maka para
hakim itu tidak bisa berperilaku semaunya, begitu kira-kira pak, dapat
berperilaku sebagaimana diharapkan oleh masyarakat ...( Ibid., him. 761-762)
 
Inilah pertama kalinya istilah judicial committe, dikemukakan dalam rapat-rapat
PAH 1 MPR.
 
Dalam menjawab pertanyaan anggota PAH 1 mengenai Dewan Kehormatan
Hakim ini, Iskandar Kamil, selanjutnya menerangkan :
 
"... Dewan Kehormatan Hakim itu anggotanya justeru bukan intern jajaran
peradilan. Itu diambilkan dari luar semua yang terdiri dari kalau mantan boleh,
mantan hakim misalnya itu bisa barangkali mantan jaksa, ... pengacara ..."
(Ibid., hlm. 791).
 
4. Ketika pembahasan rumusan Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman,
pada tanggal 8 Juni 2000 (Buku Kedua Jilid 3 C, Risalah Rapat PAH 1, Sidang
Tahunan 2000), beberapa fraksi lebih tegas lagi mengusulkan mengenai
pengawasan terhadap hakim ini, yaitu antara lain diusulkan oleh :
 
 
a. FPG (Agun Gunanjar), mengusulkan penambahan ayat (3) pada Pasal 25,
sbb:
(3) Pada Mahkamah Agung dibentuk Komisi Yudisial yang berfungsi untuk
memberikan rekomendasi kepada MPR mengenai pengangkatan dan
pemberhentian termasuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung
yang keanggotaannya terdiri dari mantan hakim agung, unsur praktisi hukum,
 
 
 
 
 
 
tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi (Buku Kedua Jilid 3 C,
Risalah Rapat PAH 1 Sidang Tahunan 2000., hlm.433)
 
 
b. F Reformasi (Patrialis Akbar), mengemukakan :
"... selama ini kita mengetahui ada dualisme pengawasan didalam
pengawasan peradilan ini dimana kalau ada kesalahan-kesalahan dilakukan
oleh hakim, maka baik itu departemen kehakiman yang sekarang
Menkumdang yang juga masih punya perpanjangan tangan ke hakim
maupun juga mahkamah agung sendiri, dua badan ini masih punya
perbedaan-perbedaan didalam melakukan pengawasan terhadap seorang
hakim, oleh karena itu kedepan kami berharap agar pengawasan yang betul-
betul; yang khusus perhatian perilaku hakim di semua tingkatan, baik itu di
tingkat pengadilan negeri maupun mahkamah agung kita berharap ada satu
badan khusus yang kerjanya itu khusus untuk melakukan pengawasan, ...
kami namakan di sini adalah kita bentuk semacam satu dewan kehormatan,
tetapi posisinya tetap ada di bawah mahkamah agung dan dia independen,
hakim agung dan ketua mahkamah pun bisa dilakukan pengawasan dewan
kehormatan ini ...", (Ibid., hlm. 439-440). Selajutnya Patrialis mengusulkan
satu ayat mengenai dewan kehormatan, yaitu ayat (4): Pada mahkamah
agung dibentuk dewan kehormatan hakim yang betugas melaksanakan
pengawasan atas perilaku hakim dalam penyelenggaraan peradilan... (Ibid.,
hlm. 441).
 
 
c. FPBB (Hamdan Zoelva), mengusulkan penambahan satu ayat juga, yaitu :
"ayat (4) untuk mengawasi tugas-tugas yudisial daripada hakim dibentuk
sebuah dewan pengawas yudisial yang independen dan diangkat dari
para ahli hukum yang memiliki moral integritas yang tidak diragukan.
Disini perlu kami perjelas bahwa bahwa kekuasaan kehakiman yang
bebas dan independen, bebas dari pengaruh lembaga-lembaga yang lain
tidak sepenuhnya bebas akan tetapi dia hanya dibatasi oleh dua hal
yaitu oleh aturan hukum itu sendiri dan juga dapat diawasi oleh dewan
pengawas yudisial yang mengawasi tingkah laku dalam bidang yudisial
yang dilakukan di seluruh tingkatan pengadilan..." (Ibid., hlm. 442).
a. FUG (Sutjipto), mengusulkan satu ayat mengenai kekuasaaan
kehakiman, yaitu :
 
 
 
 
 
 
"ayat (3) Lembaga mahkamah agung dibentuk dewan kehormatan yang
mandiri dan bertugas melakukan pengawasan atas perilaku hakim dalam
penyelenggaraan peradilan. Jadi saya kira di sini perlu bahwa
kemandirian hakim itu ada kontrol sehingga dalam perilakunya ada dewan
kehormatan hakim". (Ibid., him. 451)
 
 
 
 
f. FPDIP (IDG Palguna), mengusulkan :
"...untuk menghindari intervensi kekuasaan eksekutif terhadap hakim, kami
mengusulkan pembentukan suatu badan yang mandiri yang kami sebut komisi
judisial pada tingkat nasional maupun daerah, sehingga kalau dulu hakim
agung diangkat oleh Presiden dan hakim-hakim diangkat oleh menteri
kehakiman, sekarang kami mengusulkan untuk hakim agung diangkat oleh
Presiden berdasarkan usul komisi judisial nasional dan untuk hakim biasa
maksudnya di luar mahkamah agung itu, diangkat oleh presiden berdasarkan
usul komisi judisial daerah". (Ibid., him. 453)
 
 
6. Dalam pandangan akhir fraksi-fraksi atas hasil-hasil rumusan PAH 1, pada rapat
Pleno PAH 1, tanggal 29 Juli 2000, beberapa fraksi menegaskan kembali
mengenai komisi yudisial ini, yaitu antara lain :
a. FPDIP (Soetjipno), mengemukakan sbb:
"... untuk tetap mempertahankan integritas dan kemandirian para hakim
dan hakim agung, dibentuk komisi yudisial yang melakukan proses
seleksi dan rekrutmen yang benar-benar didasarkan pada prinsip
profesionalisme ..."( Ibid., him. 737).
 
 
b. FPG (T.M.Nurlif), mengemukakan sbb :
untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh
kekuasaan lembaga negara lainnya dan pihak manapun maka proses
rekrutmen dan dan pengangkatan hakim agung haruslah sungguh
memperhatikan integritas moral keahlian dan kecakapannya yang dilakukan
oleh komisi yudisial yang terdiri dari mantan hakim, akademisi, tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Dan untuk menegakkan kehormatan serta
keluhuran martabat dan perilaku hakim dibentuk dewan kehormatan hakim
sehingga checks and balances dalam lingkungan kekuasaan kehakiman itu
sendiri..." (Ibid., him. 746).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
d. FPBB (Hamdan Zoelva), mengemukakan sbb:
"... Disamping wewenang untuk mengusulkan hakim agung sebagaimana diatur
dalam UUD ini komisi ini nantinya diharapkan menjadi komisi yang
independen yang berwenang melakukan penilaian dan memberikan
rekomendasi baik atas promosi maupun pemindahan terhadap hakim-hakim .
Tugas wewenang serta kedudukan komisi ini akan diatur lebih lanjut dalam
UU. Disamping itu untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran
martabat dan perilaku para hakim dibentuk dewan kehormatan ini". (Ibid.,
him. 778)
 
 
 
 
6. Pembahasan Komisi A Majelis pada Sidang Tahun 2000, pada tanggal 13
Agustus 2000, beberapa anggota memberikan pandangannya mengenai Komisi
Yudisial, antara lain :
a. Agun Gunanjar
"...Hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh komisi yudisial. Jadi,
menyangkut masalah komisi yudisial ini kami tetap berpegang seperti yang
tentunya peresmiannya, pengangkatan keanggotaan itu tentunya tetap
melalui keputusan Presiden. Kami ingin menegaskan bahwa pasal ini adalah
bentuk checks and balances dalam lingkungan mahkamah agung. Dimana
pihak yang mengusulkan dalam hal ini adalah komisi yudisial, tetapi
melakukan kontrol dalam rangka menegakkan kehormatan dan menjaga
keutuhan martabat, tidak dilakukan oleh komisi yang sama, tetapi dibentuk
sebuah dewan kehormatan, sehingga ada checks and balances dalam
rangka penanganan masalah ini. Sehingga pengawasan atau
pertanggungjawaban hakim yang dilakukan, dikhawatirkan selama ini selalu
kepada Tuhan, begitu itu diharapkan melalui mekanisme ini selalu bisa
dikontrrol.." ( Buku Ketiga, Jilid 10, Risalah Rapat Komisi A, Sidang Tahunan
2000), him. 326).
 
 
b. Nusa Toendan (FPDIP)
"... mengenai dewan kehormatan hakim saya mengusulkan agar supaya ini
perlu ditinjau kembali, dipikirkan betul-betul karena apa bahwa
kecenderungan yang kita lihat di masyarakat dalam praktek kehidupan kita
sehari-hari, dewan kehormatan ini mendukung untuk membela korpsnya.
Sudah banyak praktek-praktek yang kita dengar bahwa justeru bahwa dewan
 
 
 
 
 
 
kehormatan ini membela atau membela kesalahan dari korpsnya, Jadi ada
satu, apa namanya suatu tanggung jawab moral mereka menjaga nama
baiknya..." (Ibid., him. 335)
 
 
 
 
7. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000, tentang Penugasan BP untuk
Mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945, tercantum draft perubahan
mengenai kekuasaan kehakiman, khususnya terkait Komisi Yudisial yaitu :
Pasal 24B
 
 
(1) Hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Komisi Yudisial.
(2) Komisi Yudisial bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan dan
keanggotaanya diatur dengan undang-undang
(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih oleh Hakim Agung.
 
 
Pasal 25A
Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku
para hakim, dibentuk Dewan Kehormatan Hakim.
 
C. SIDANG TAHUNAN 2001
 
 
1. Usulan Tim Ahli, yang disampaikan pada Rapat Pleno PAH 1 tanggal 15 Mei
2001 dalam menjawab pertanyaan �para anggota PAH 1, tim ahli dalam hal
ini dikemukakan oleh DR. Maria S.W. Sumarjono, menyampaikan sbb:
"... mengenai siapa yang melakukan pengawasan terhadap hakim agung
dan hakim konstitusi, karena dua-duanya itu wewenangnya berbeda
walaupun berada di dalam satu istilahnya dalam satu habitat itu, memang
didalam perubahan kedua disitu ada disebut dewan kehormatan, tapi
mungkin bapak-bapak melihat wah ini malah justeru dihilangkan oleh Tim
Ahli apakah tidak perlu, kami berpikir memang perlu, tetapi kalau didalam
UUD kasihan hakim saja yang ada dewan kehormatan, la, yang lembaga-
lembaga lainnya bagaimana? Padahal kami tahu untuk DPR itu ada kode
etiknya didalam Tatib dan sebagainya, jadi Dewan Kehormatan tapi kan
tidak perlu dicantumkan dalam UUD kayanya betul yang hakim, betul-betul
yang lainnya diam-diam saja, padahal yang lainnya juga ada. Jadi alasannya
karena mungkin dari Tim Hukum yang adil, jadi bukan masalah yang prinsipil
sekali tapi harus ada, tapi tidak perlu dicantumkan..." (Buku Kedua, Jilid 3A,
Risalah Panitia Ad Hoc 1 Badan Perkeja MPR RI, Tahun 2001, him., 340).
2. Atas saran Tim Ahli tersebut anggota PAH 1 Mayjend TNI Afandy
(TNI/POLRI), memberikan apresiasinya, dalam Rapat Pleno PAH 1 tanggal
5 Juli 2001, dengan mengatakan :
"... saran tim ahli bahwa tidak perlu dicantumkan dewan kehormatan hakim
dalam UUD dan cukup dalam UU, FTNI/POLRI berpendapat saran-saran ini
perlu menjadi masukan untuk dipertimbangkan lebih lanjut,.." (Buku Kedua
Jilid 4A, Risalah Panitia Ad Hoc 1 Badan Perkeja MPR RI, Tahun 2001, hlm.,
280).
 
 
3. Dalam Pembahasan Bab mengenai Kekuasaan Kehakiman pada Sidang
Pleno PAH 1 tanggal 25 September 2001, beberap anggota PAH 1
menyinggung mengenai komisi yudisial yang pada. umumnya setuju dengan
keberadaan komisi yudisial yang akan mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian hakim agung serta keberadaan dan kedudukannya.
Khususnya mengenai kewenangan ini beberapa anggota memberikan
pandangan secara khusus antara lain:
a. H. Zein Badjeber, yang mengemukakan :
 
"... komisi yudisial ini nantinya bisa diberi wewenang oleh UU misalnya
untuk persetujuan Jaksa Agung. Kalau itu harus diangkat oleh DPR
Jaksa Agungnya itu dicalonkan dari Komisi Yudisial, begitu juga kalau
mengangkat komisi pemberantasan tindak pidana korupsi tidak perlu
proper test oleh DPR, dilakukan oleh komisi yang ahli. Jadi komisi ini
berinti di pengangkatan Mahkamah Agung tapi akan melebar diberi
kewenangan oleh UU lainnya dalam rangka membantu DPR di dalam
membrikan persetujuan maupun pengawasan.." (Buku Kedua Jilid 7A,
Risalah Rapat Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR, 2001, hlm., 254).
 
 
b. Patrialis Akbar, mengemukakan.:
"... didalam fungsi khusus misalnya mengenai pengawasan itu juga
mahkamah agung selain daripada berfungsi melakukan peradilan-
peradilan tadi sekaligus melaksanakan semua kegiatan-kegiatan
peradilan itu juga berfungsi sekaligus untuk melakukan pengawasan
terhadap pelanggaran-pelanggaran peradilan, jadi pelanggaran-
pelanggaran peradilan pun juga mahkamah agung mempunyai fungsi.
Kemudian tentang pengawasan terhadap tingkah laku para hakim,
 
kemudian pengawasan terhadap peradilan ini tanpa mengurangi
kebebasan hakim didalam melaksanakan tugas-tugasnya..." (Ibid., hlm.,
259).
 
Selanjutnya mengenai komisi yudisial Patrialis Akbar, menyatakan bahwa
"...untuk sementara ini belum sependapat tetapi mari kita coba. evaluasi
tentang masalah komisi yudisial ini..." Ibid., hlm. 261).
 
Alasan Patrialis Akbar atas Komisi Yudisial, karena " ... pertama, kalau
kita lihat fungsinya itu satu-satunya sebagai lembaga negara hanya
mengusulkan seorang untuk bisa diproses menjadi mahkamah hakim
konstitusi, di mahkamah konstitusi, hanya itu satu lembaga yang kita
bentuk untuk itu, berarti kerjanya hanya satu ini tentu mubazir. Yang
kedua, ini sangat birokrasi kenapa? Kita mengangkat hakim-hakim
konstitusi terlebih dahulu mengangkat anggota-anggota komisi yudisial,
kalau persoalan komisi yudisial tidak selesai maka pengangkatan hakim
konstitusi juga terbengkalai .." (Ibid., him., 292).
 
 
c. Agun Gunanjar, mengemukakan :
"... kami tetap menganggap dewan kehormatan hakim ini tetap kami
mengusulkan tetap ada, karena berbeda dengan tugas-tugas yang
harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Kalau komisi yudisial itu pada
aspek pertanggungjawaban, lebih pada aspek bagaimana dia
melakukan tugas-tugas yang bisa mewakili representatif katakanlah
masyarakat yang sangat kompeten yang bisa sangat amat bisa kita
pertanggungjawabkan, yang memang mereka harus memproses dan
menseleksi para hakim agung.
 
��. adapun masalah dewan kehormatan itu adalah memang orang-
orang yang memang terdiri dari katakanlah para hakim-hakim yang ada
dilingkungan hakimnya itu sendiri, itulah yang dimaksud dengan dewan
kehormatan hakim yang berkewajiban menegakkan peraturan disiplin dan
kode etik daripada para hakim itu sendiri..." (Ibid., hlm., 278).
 
 
d. Zein Badjeber, mengemukakan :
"... Kemudian yang ingin saya komentari juga masalah tadi saya katakan
dewan kehormatan tidak perlu dicantumkan dalam konstitusi bukan tidak
perlu adanya dewan kehormatan setiap propinsi (profesi, cat. Pen.)
memerlukan dewan kehormatan kecuali yang diperdebatkan anggota
DPR itu propinsi atau tidak pada waktu kita mau membuat kode etik,
namun ada negara yang punya kode etik ada yang tidak punya kode etik
tetapi dewan kehormatan ini dalam rangka intern daripada institusi
tersebut, jadi perlu ..." (Ibid., hlm., 282).
 
Pandangan pak Zein agar dewan kehormatan ini juga didukung oleh Ketut
Astawa (TNI/POLRI), yang menyatakan bahwa "... mengenai dewan
kehormatan, kami berpendapat bahwa ini memang ini penting,sekali tetapi
meletakkannya cukup di UU tidak dalam UUD ..." (Ibid., hlm., 284).
Demikian juga Sutipto SH (FUG), yang mengemukakan bahwa "... lalu
saya juga sepakat bahwa dewan kehormatan itu perlu tetapi tidak usah
dimasukkan dalam UUD ..." (Ibid., hlm., 290). Demikian juga pandangan
dari Patrialis Akbar (Ibid.; him., 292).
 
 
e. Hamdan Zoelva, mengemukakan :
"... komisi yudisial ini kembali kita, diskusikan pada tahun lalu karena
kebutuhan praktis yang terjadi pada kenyataan-kenyataan konkrit bahwa
tidak ada satu lembaga atau institusi yang bisa mengawasi tingkah laku
hakim, baik hakim pengadilan negeri maupun hakim mahkamah agung,
dulu yang ada kode etik. Kemudian yang mengawasi selain kode etik itu
adalah hanya Irjen Kehakiman kalaupun sekarang dipindahkan semua
kepada Mahkamah Agung, mahkamah agung akan mengadakan satu
irjen, irjen mahkamah agung. Jadi kalau demikian maka pengawasan
yang dilakukan hanya semata-mata pengawasan internal yang kita
khawatirkan bahwa dia tidak bisa memberikan putusan yang tidak
memihak kepada yang dihukumnya itu yaitu hakim-hakim. Oleh karena itu
kita membutuhkan satu lembaga, satu komisi yang independen yang
keberadaannya tidak diinternal itu dan keanggotaannya benar-benar
independen dan dia dibentuk oleh UU, sehingga apa, sehingga kita
harapkan kewenangan dan kekuatan putusan yang dikeluarkan oleh
komisi ini akan lebih independen dan dia tidak pernah mempunyai
masalah internal dengan hakim-hakim yang ada itu. Jadi kewenangannya
jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari irjen dan juga jauh lebih kuat dari
dewan kehormatan hakim yang ada sekarang ini..." (Buku Kedua, Jilid 8A,
Risalah Rapat Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR RI Tahun 2001,
him., 38-39).
4. Rapat Lobi PAH I, tanggal 11 Oktober 2001, (Lihat Buku III Risalah Rapat
Tertutup PAH I Tahun 2001) secara khusus membicarakan masalah yang
terkait komisi yudisial. Pada umumnya perdebatan adalah berkaitan dengan
kewenangan komisi yudisial untuk usul pengangkatan hakim agung dan
pemberhentian hakim agung. Masalah pengangkatan hakim agung semua
setuju melalui komisi yudisial, sedangkan. mengenai pemberhentian terdapat
perbedaan dan penolakan. Beberapa hal yang mengemukan terkait dengan
kewenangan komisi yudisial dikemukakan oleh sbb:
a. Hatta Mustafa, menyatakan, "... pengangkatannya (hakim agung, pen.)
jelas melalui komisi yudisial, tapi kalau masalah pemberhentian itu kan
kasus berbeda pak ..."
b. Soewarno, menyatakan: "... kita harus berani menyatakan bahwa hakim
agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul komisi
yudisial ..".
c. Hamdan Zoelva, mengkatakan: ``... mungkin lebih tepat namanya komisi
yudisial ini lebih dekat kepada untuk membantu lembaga yudikatif.
Fungsinya samalah dengan BPK itu untuk membantu lembaga legislatif
dalam hal pengawasan
d. All Masykur, mengatakan "... jadi.hakim agung diangkat dan diberhentikan
oleh presiden atas usul komisi yudisial.." Selanjutnya Ali Masykur
mengatakan "... komisi yudisial sebagai bagian fungsional yang melekat
bagian dari mahkarnah agung dia menyeleksi untuk disulkan presiden
sebagai kepala negara yang menetapkan setelah prosesnya itu dengan
persetujuan DPR�.
e. A.M Lutfi, mengatakan "... Komisi yudisial dan mahkamah konstitusi ini
buat kita sesuatu yang baru yang ingin kita dalami, komisi yudisial yang
menyeleksi orang ...�
f. Pataniari, mengatakan "... kalau wewenangnya pak, saya itu, 24B sudah
jelas pak. Mengangkat, memberhentikan, kewenangan utamanya komisi
yudisial. Mengusulkan pengangkatan, pemberhentiannya.".
g. Soediarto, Komisi yudisial adalah komisi independen yang menampung
dan menghimpun masukan secara, terus mengikuti itu saja, mengenai
hakim dan calon hakim serta mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian, sudah itu saja..."
h. A.M. Lutfi, mengatakan "...Begini pak, kalau Wanjakti hanya pengusulan
kenaikan pangkat, tidak pernah mengusulkan ini .... tidak ada. Ini
bagaimana kita harus jelas, dari tadi itu kan soal pengangkatan dan
pemberhentiannya. Saya kira memberhentikan bukan dia. Oke, jadi.."
i. Agun Gunanjar, mengatakan "...sehingga, komisi yudisial ini kewenangan
lainnya, kalau menurut saya begitu, termasuk melakukan pengawasan
terhadap para hakim, sehingga didalam undang-undangnya nanti dia
secara periodik kepada DPR yang menangani masalah itu semua, tiap-
tiap kinerjanya disampaikan. Hakim agung ini yang jumlahnya sudah
sekian kinerjanya begini, ininya begini, sehingga saran kami, usulan kami
ya begini. Jadi ada kontrol terhadap kinerja.
j. Sudiarto, mengatakan "... inikan menjadi lembaga yang sangat, sangat
kuat begitu. Karena mengangkat, mengawasi semuanya itu ya Pak
Sutjipno tahu ada, dia fungsinya inspektur. Jadi ini too much sebenarnya,
sedangkan mula-mulanya supaya calon hakim agung atau hakim itu betul-
betul dipilih dengan baik..."
k. Soetjipno, mengatakan " ... tapi kalau tidak (kisruh di sini, makanya lebih
baik dibatasi saja itu yang tadi itu, pengawasan sudah tidak perlu lagi itu
pak, tidak perlu lagi, karena lewat technical authority mengawasi dia,
bagaiman tingkah laku behaver tadi dari pengadilan negeri, pengadilan
tinggi dan sebagainya. Berarti pengawasan di situ hilang. Memang
tekannya komisi ada menyiapkan calon-calon tadi itu kalau tidak salah
yang utama, kalau yang lainnya saya tidak bisa memberikan ..".
l. A.M. Lutfi, mengatakan: "...Ini tadi, masih keberatan kalau dia juga punya
wewenang untuk menurunkan, memberhentikan. Begini, jadi untuk
pengangkatan sajapun, dia mengumpulkan pendapat masyarakat, dia
usulkan ke DPR. DPR mesti itu kurang, bukan 9 orang menyampaikan itu
tadi.... kalau untuk memberhentikan ini saya khawatir kalau 9 orang itu
diberi wewenang untuk bisa memberhentikan, ini terlalu berbahaya, 9
orang itu bisa didatangkan untuk diajak ngomong-ngomong, iming-iming
macam-macam. ... salah kalau kita berikan dia wewenang terlalu besar,
sebab dia bukan supermen...". Lebih lanjut Pak Lutfi mengatakan " ...
karena waktu itu. kalau terlalu besar kekuasaan diberikan sehingga dia
tidak bisa memikul, berbahaya dia, .."
m. Pataniari, mengatakan: ".:. menurut� kita pak, hakim agung itu inikan
menyangkut hakim agung boleh tidak diberhentikan? Itu dulu, ok berarti
itu sependapat hakim harus diberhentikan, sekarang baru kita tanya apa
sebab menurut dia karena ini prosedurnya pak, itukan biasa di undang-
undang pak, jadi misalnya Pak Harun katakan pendekatan komisi yudisial
di sini tapi bukan berarti langsung dia memberhentikan ada tata cara
prosedurnya, persyaratan di UU menjelaskan bagaimana pemberhentian
begitu maksudnya, maksudnya kira-kira begini kalau kita sepakat ..".
n. Harun Kamil, mempertanyakan: "... jadi begini kita sepakat tidak bahwa
hakim agung sejajar dulu dengan DPR dengan Presiden, untuk
pemberhentian di UUD, tidak di UU, jadi kalau kita mau konsekwen dan
konsisten terhadap sikap ini berarti untuk cara pemberhentian komisi
yudisial musti di UUD bukan di UU begitu juga sebaliknya DPR
pemberhentiannya harus di UUD ..."
 
 
KESIMPULAN
1. Pada awalnya ide dasar pembentukan komisi yudisial dilatarbelakangi oleh
berbagai permasalahan yang timbul di dunia peradilan yang menjadi sorotan
masyarakat, apalagi dengan sistem satu atap di Mahkamah Agung dan
pemberian kemandirian dan kemerdekaan kepada institusi kekuasaan
kehakiman ini. Demikian juga dirasakan perlunya membangun sistem checks
and balances dimana masing-masing lembaga negara saling mengontrol.
Sampai pada pertanyaan siapa yang mengimbangi kekuasaan Mahkamah
Agung itu?
2. Semula ada usulan dia harus menyampaikan laporan kinerjanya kepada MPR,
tetapi MPR ini diposisikan tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, karena itu
menjadi tidak relevan. Kemudian muncul ide dibentuknya Dewan Kehormatan
Hakim, yang telah masuk pada rancangan TAP MPR tahun 2000 mengenai draft
perubahan Pasal 25 UUD 1945.
3. Pada saat menerima masukan dari masyarakat; pihak Mahkamah Agung
mengusulkan adanya Dewan Kehormatan Hakim ini dalam UUD, yang posisinya
independen dan anggotanya orang-orang independen di luar para hakim yang
aktif. Lembaga inilah yang mengawasi hakim semacam Judicial Committe. Inilah
untuk pertama kalinya diperkenalkan istilah komisi yudisial (judicial committe);
 
Saksi Patrialis Akbar, SH.
 
 
1. Bahwa hasil perubahan ketiga terhadap UUD 1945 pada Tahun 2001 antara
lain adalah Pasal 24B ayat (1). Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi:
"Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
Kehakiman";
2. Sebagai mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR berkewajiban
meluruskan pembacaan dan menulis UUD 1945 oleh masyarakat, diantaranya
dari Pemohon yang dalam permohonannya halaman 5 angka II butir 1 antara
lain menyatakan "bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam satu nafas
dan konteksnya satu sama lain maka bermakna bahwa Komisi Yudisial
mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran dan martabat serta perilaku hakim adalah dalam
rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung;
3. Pendapat para Pemohon tersebut tidaklah tepat sebab dengan menulis dan
membaca seperti yang dilakukan oleh para Pemohon dalam permohonannya
memberi makna dan arti yang lain dari isi UUD 45 yang telah menjadi putusan
MPR RI tentang Perubahan UUD 1945. Keberadaan Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 tidaklah seperti yang dimaksudkan oleh para Pemohon sebab
pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bukanlah dalam rangka
melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung, akan tetapi merupakan salah satu kewenangan
yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yakni wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat , serta perilaku hakim;
4. Bahwa asal usul materi Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 sewaktu pembahasan
oleh Badan Pekerja MPR RI tidaklah dalam satu nafas antara kewenangan
Komisi Yudisal dalam hal mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dengan
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, akan tetapi pembahasannya
terpisah antara dua kewenangan tersebut sebagaimana terlihat dibawah ini:
 
4.1. Bahwa dalam Risalah rapat ke-5 Badan Pekerja masa Sidang Tahunan
MPR RI Tahun 2001 pada hari selasa tanggal 23 Oktober 2001 dalam
acara laporan Panitia Ad Hoc BP MPR dan pengesahan Rancangan
Putusan MPR hasil BP MPR serta Penutupan Rapat Badan Pekerja MPR
masa Sidang Tahunan MPR 2001 yang dicatat dalam BUKU KESATU
JILID 1 yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2001,
halaman 251 dan 252 terlihat bahwa: semula tentang Hakim Agung
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dan
dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
ditempatkan dalam Pasal 24B ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
"Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Komisl Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat";
 
Kemudian dirumuskan lagi dalam rancangan tersebut pada halaman 252
alinea pertama dalam Pasal 24C ayat (1) dengan redaksi yang berbeda
sebagai berikut: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta
hakim lain dengan memperhatikan masukan dari masyarakat
berdasarkan masukan dari masyarakat)
 
Dalam halaman 252 alinea ke empat, baris keempat dari bawah berbunyi
antara lain "Pasal 25 dalam bracket untuk menegakkan kehormatan dan
menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh
Komisi Yudisial".
 
4.2. Konsep dari rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial
dalam bahan rancangan perubahan UUD 1945 tersebut dimana masih
terjadi perbedaan pendapat diantara anggota PAH I, maka Badan
Pekerja MPR bersepakat membawa rumusan Perubahan UUD 1945
dalam perubahan ketiga yang telah disusun dalam bentuk altematif-
altematif termasuk didalamnya tentang Komisi Yudisial sebagaimana
terdapat dalam BUKU KESATU JILID 2 yang diterbitkan oleh
SEKRETARIAT JENDERAL MPR RI tahun 2001 sebagai berikut:
 
 
Pasal 24C
(1). "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain
(dengan mernperhatikan masukan dari masyarakat berdasarkan
masukan dari masyarakat).
 
Alternatif 1 :
 
Dan seterusnya���..
 
Pasal (25A)
 
"Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluruhan martabat dan
perilaku para hakim, dilakukan oleh Komisi Yudisial".
 
5 Bahwa dengan rumusan tersebut maka keberadaan dan kewenangan Komisi
Yudisial sejak semula tidaklah dirumuskan dalam satu nafas sebab semula
tidaklah dirumuskan Pasal 24B ayat (1), Pasal 24C, dan Pasal 24C ayat (1)
serta Pasal 25A sebagaimana yang diuraikan dalam angka 4.1 dan 4.2 diatas;
 
6 Bahwa setelah Perubahan UUD 1945 maka keberadaan Komisi Yudisial
terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Pasal
24A ayat (3) merupakan mekanisme pencalonan hakim agung yang diusulkan
oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden,
sedangkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah tentang kemandirian serta
kewenangan Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
 
7 Khusus berkenaan dengan kalimat "perilaku hakim" dalam kalimat terakhir
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut dimaksudkan kepada perilaku hakim
secara menyeluruh dengan tidak terbatas pada hakim tertentu saja akan
tetapi kepada seluruh Hakim sebagaimana ditegaskan dalam buku PANDUAN
DALAM MEMASYARAKATKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK TAHUN 1945 yang memuat antara lain tentang latar belakang,
proses dan hasil UUD 1945 yang dibuat bersama oleh Pimpinan MPR
bersama Anggota PAH I yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI
tahun 2004. Dalam halaman 195 dan 196 buku tersebut menuntun para
anggota MPR dalam memasyarakatkan Pasal 24B yang saksi kutip antara lain
sebagai berikut:
"Adanya ketentuan ini didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di
Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat
menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi
hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan
peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari
keadilan�
 
Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat,
serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk
mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi faham
Indonesia adalah negara hukum;
 
Untuk itu Perubahan UUD 1945 memuat ketentuan mengenai
pembentukan lembaga dibidang kekuasaan kehakiman bernama Komisi
Yudisial (KY) yang merupakan lembaga yang bersifat mandiri. Menurut
ketentuan Pasal 24B ayat (1), KY berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
 
Melalui lembaga KY tersebut diharapkan dapat diwujudkan lembaga
peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan
penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang
terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya;
 
Saksi Baharuddin Aritonang.
 
Terbentuknya Komisi Yudisial ini sebenarnya merupakan sebuah
pengorbanan perasaan. Dalam rapat PAH I BP. MPR saksi pernah bertanya,
apakah Komisi Yudisial perlu kita masukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
waktu itu seingat saksi, juga ada anggota PAH I sebagai salah satu Tim Ahli, dan
yang menjawab pertanyaan saksi bernama Prof. Ramlan Surbakti, mungkin karena
memang kami bukan orang-orang hukum atau orang terhukum, jadi agak jernih
melihatnya. Ketika Komisi Yudisial diusulkan ke dalam meteri Undang-Undang
Dasar 1945, saksi terpikir betapa lembaga negara yang masuk dalam ranah
kekuasaan kehakiman perlu sampai 3, karena sebelumnya sudah ada Mahkamah
Agung kemudian dilengkapi dengan Mahkamah Konstitusi. Dalam usulan awal kami,
Mahkamah Konstitusi sesungguhnya cukup salah satu kamar di Mahkamah Agung.
 
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dalam bukunya yang terbaru, �Lembaga Negara
Pasca Reformasi;
 
Bahwa organ pendukung yang secara struktural memang lembaga negara
tetapi dalam protokolernya bukan lembaga negara, dalam prakteknya bagaimana
mungkin hal tersebut dapat diterapkan waktu itu juga. Yang lebih tidak proporsional
lagi antara kedudukan dan kewenangannya berdasar pada Pasal 24B mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam menjaga dan
menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim bagaimana
mungkin hanya untuk kedua tugas tersebut perlu membentuk sebuah lembaga atau
lembaga tinggi negara tersendiri, mungkin pada saat itu, memang menuntut kita
untuk melakukan hal seperti itu;
 
Sesungguhnya masuknya berbagai auxiliary bodies (yang kemudian kita
kenal sebagai lembaga kuasi negara, seperti komisi-komisi) bermula pada
masuknya masa reformasi dimulai dari tudingan tidak berfungsinya lembaga-
lembaga negara yang formal sehingga di perlukan adanya lembaga-lembaga yang
dibentuk oleh masyarakat sebagai pelengkap. Hemat saksi di sinilah letak kesalah-
kaprahan kita, cara berpikir yang seolah-olah stereotip Indonesia mari kita bentuk
panitia, tidak berpikir sebaliknya, kembali ke pangkal jalan jika memang lembaga-
lembaga negara formal tidak berfungsi optimal justru yang harus diperbaiki dan
disempurnakan agar dapat berfungsi optimal, hal inilah yang merupakan prinsip
dasar dalam maksud saksi untuk menyusun kelembagaan negara. Dalam pikiran
dan benak saksi waktu itu, bukan dengan membentuk lembaga-lembaga lain yang
kelak pada saatnya akan tumpang tindih, bahkan pada sisi lain khususnya dari
perhitungan anggaran negara akan menjadi beban yang besar dan ditanggung oleh
negara. Kini jumlah lembaga-lembaga kuasi ini jumlahnya lebih dari 40-an di
Undang-undang ada dua, salah satu diantaranya adalah KPU yang kemudian
berdasar undang-undang menjadi bentuk KPU, kemudian adalah Komisi Yudisial;
 
Dengan segala pengorbanan khususnya yang saksi lihat, lahirnya Komisi
Yudisial apapun yang saksi pikirkan faktanya sudah menjadi bagian dari Undang-
Undang Dasar 1945, permasalahannya adalah bagaimana merumuskan
pengawasan hakim;
 
Saksi Mayor Jenderal Polisi (Purn). Drs. Sutjipno
 
Komisi Yudisial selanjutnya disingkat KY perlu diadakan atau dibangun untuk
menjamin adanya checks and balances dalam keseluruhan proses
penyelenggaraan ketatanegaraan Republik Indonesia seperti halnya cabang-cabang
kekuasaan negara yang sudah ada yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif;
 
Namun bukan berarti bahwa KY adalah merupakan cabang kekuasaan
tersendiri seperti ketika jenis kekuasaan yang ada, melainkan bahwa KY adalah
sebagai suatu suporting element belaka dari keseluruhan jajaran Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi dengan maksud dan tujuan untuk menjamin adanya
objektifitas dari suatu fungsi pengawasan atau fungsi kontrol;
 
Komisi Yudisial dalam rangka checks and balances adalah untuk mengontrol
perilaku para hakim dalam seluruh jajajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Demi menjaga martabat dan kehormatan hakim keseluruhannya, maka
yang menjadi sasaran utama KY adalah aspek administratif personil hakim yaitu
para hakim dalam seluruh jajaran kekuasaan yudikatif dan bukan aspek operasional
yudikatif;
 
Apabila pada suatu ketika misalnya terjadi suatu perbuatan kriminal yang
dilakukan oleh salah satu, seorang hakim baik dari jajaran Mahkamah Agung
maupun Mahkamah Konstitusi maka KY tidak berwenang melakukan langkah-
langkah seperti yang harus dilakukan oleh aparat criminal justice system. Mengapa
karena KY dibangun dalam ketatanegaraan RI bukan sebagai aparat penegak
hukum atau law enforcement agency, dan KY pun juga bukan aparat yudikatif, KY
tidak lain adalah semata-mata sebagai aparat pengawas atau aparat kontrol dan
penjaga perilaku para hakim, yang berarti aspek-aspek administratif personil
yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif dengan maksud dan tujuan untuk
terpeliharanya martabat dan kehormatan hakim;
 
KY sengaja dibangun secara ekstra struktural dengan maksud dan tujuan
pula untuk menjamin adanya objektifitas pengawasan atau kontrol terhadap para
hakim;
 
Untuk mencegah timbulnya unsur subjektifitas yaitu penilaian terhadap diri
sendiri oleh diri sendiri, dan yang diputuskan oleh diri sendiri yang berada dalam
satu tangan pasti sangat subjektif sehingga perlu dibangun secara ekstra struktural
agar terwujud adanya check and balances yang baik dalam pelaksanaannya;
 
Posisi KY dalam rumpun jajaran yudikatif adalah sekali lagi bukan sebagai
aparat operasional yudikatif dan tidak menjalankan Recht Sprekende Functie
melainkan hanyalah sebagai aparat administratif dalam rangka pembinaan personil
hakim dalam pelaksaan code of conduct para hakim dalam seluruh jajaran yudikatif;
 
Posisi KY sengaja dikelompokkan kepada rumpun yudikatif dengan maksud
dan tujuan untuk memudahkan dan melancarkan kerja sama dalam rangka proses
administratif pembinaan personil hakim dalam seluruh jajaran yudikatif;
 
Dalam sistem ketatanegaraan RI maka KY bukanlah merupakan salah satu
cabang kekuasaan negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif yang posisinya
duduk dan berdiri side by side, leiben ein under. Namun juga bukan unter get orned,
nacht ein under, melainkan benar-benar berposisi sebagai suporting element dari
salah satu cabang kekuasaan negara dalam hal ini cabang kekuasaan yudikatif;
 
Dalam tugas-tugas dan fungsinya serta peranan yang seperti itulah maka
sangat diperlukan adanya satu peraturan pelaksana berupa undang-undang
ataupun peraturan perundangan lainnya yang mengatur prosedur dan tatanan kerja
tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan tugas-tugas, fungsi dan peranan KY
sebagai transformasi dari yang telah dipesankan dan diperintahkan oleh Undang-
undang Dasar 1945. Dengan maksud dan tujuan agar pelaksanaannya menjadi
lancar, benar, tertib dan objektif yang tidak dicampuri oleh siapapun dan tidak
memihak pada siapa pun;
 
Saksi Sutjipto, SH.
 
Keterangan yang dapat diberikan adalah berdasarkan risalah-risalah rapat
Badan Pekerja baik rapat Pleno, rapat-rapat tim lobi atau rapat rumusan dan juga
dengar pendapat dengan Tim Ahli, serta rapat-rapat Pleno Badan Pekerja MPR
serta rapat-rapat komisi pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
Periode 1999 sampai, khususnya sampai 2001 sampai diputuskannya amandemen
ketiga tentang Pasal 24 dan 25 yaitu tentang kekuasaan kehakiman;
 
Oleh karena itu, Saksi akan memberikan dalam bentuk beragam risalah rapat
kerja tersebut yang berupa kutipan-kutipan secara singkat;
 
Adapun kutipan-kutipan, baik dari pendapat dari beberapa anggota PAH I maupun
Tim Ahli, sebagai berikut:
 
Petama adalah pendapat dari Saudara Hamdan Zoelva yang mengatakan bahwa
�Kekuasaan Mahkamah Agung termasuk Hakim Agung dan hakim-hakim di
bawahnya tidak boleh dibiarkan tidak terkontrol dan terawasi sehingga dapat
 
 
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim sebagaimana terasa sampai
pada saat ini.� Pengawasan atau kontrol itu tidak boleh diserahkan pada lembaga
tinggi maupun lembaga tertinggi negara yang sarat dengan muatan politik;
 
Kami berpendapat bahwa untuk melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap Mahkamah Agung termasuk kepada para hakim-hakim khususnya terkait
dengan pelaksanaan tugas-tugas yudisial perlu dibentuk sebuah komisi independen
yang anggotanya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan oleh Presiden
selaku kepala negara dari mantan-mantan Hakim, mantan Jaksa, pengacara-
pengacara senior, maupun profesor di bidang hukum dari perguruan tinggi ditambah
dengan tokoh-tokoh masyarakat yang kesemuanya di kenal memiliki intergritas yang
sangat tinggi serta tidak pernah memiliki cacat moral sedikitpun;
 
Komisi ini diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap
hakim-hakim yang diduga melakukan penyimpangan termasuk keanehan dalam
produk yang dihasilkannya. Hasil pemeriksaan komisi harus dijadikan pertimbangan
dalam penentuan karir seorang hakim dan termasuk hukuman penurunan pangkat
atau pemberhentian jika seandainya komisi merekomendasikannya. Hal inilah yang
menyangkut komisi perlu diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
 
Pendapat dari Bapak Hakim Agung Iskandar Kamil yang menyatakan, bahwa
dalam ayat (4) ini juga menyerap aspirasi masyarakat bahwa perlu adanya
perwujudan check and balances yang lebih konkrit. Begitu sebab kadang-kadang
dikatakan jajaran kekuasaan kehakiman seperti tirani yudisial katanya. Dengan doa
restu Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, mudah-mudahan kami tidak menjadi tirani
dan memang kami tidak ingin menjadi tirani. Oleh sebab itu, keinginan kami itu
memang perlu di wujudkan dalam satu ketentuan perundang-undangan;
 
Dewan Kehormatan Hakim yang mandiri itu yang dimaksud adalah
independen. Oleh beberapa kalangan di sebut judicial committe. Jadi semacam
itulah kira-kira, Pak, yang melakukan pengawasan eksternal yang dimaksudkan
adalah idenya, yang dipersonil dari dewan kehormatan itu bukan dari personil dari
jajaran peradilan sendiri, bisa terdiri dari para pakar, para tokoh-tokoh yang lain.
Hanya memang yang menjadi suatu masalah yang barangkali bisa kita
pertimbangkan, apakah lembaga semacam itu partisan atau tidak, ini satu-satunya
masalah barangkali. Tugasnya melakukan pengawasan atau perilaku hakim dalam
menyelenggarakan peradilan sehingga dengan adanya lembaga ini maka para
hakim tidak bisa berprilaku semuanya, begitu kira-kira;
 
Pendapat dari Prof. Dr. Maria S.W Sumarjono, mengenai siapa yang melakukan
pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Karena dua-duanya
wewenangnya berbeda walaupun dalam satu habitat. Memang di dalam perubahan
kedua, di situ ada disebut dewan kehormatan. Tetapi mungkin Bapak-bapak melihat
malah justru di hilangkan oleh tim ahli, apakah ini tidak perlu. Kami berpikir memang
perlu tetapi kalau di dalam Undang Undang Dasar, kasihan hakim saja yang ada
dewan kehormatan, yang lembaga-lembaga lain bagaimana? Padahal yang kami
tahu, kalau DPR itu ada kode etiknya, di dalam Tatib dan sebagainya. Jadi dewan
kehormatan tidak perlu dicantumkan dalam Undang Undang Dasar sepertinya betul-
betul yang lainnya diam saja. Padahal yang lainnya juga ada, jadi alasan karena
mungkin tim hukum yang adil. Jadi bukan masalah yang prinsipil sekali lagi harus
ada, tapi tidak perlu dicantumkan;
 
Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu perubahan ketiga Undang
Undang Dasar Tahun 1945 pada persidangan Tahun 2001 adalah Pasal 24B ayat
(1) yang berbunyi �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.� Adapun
hasil keputusan tersebut setelah melalui berbagai proses antara lain bahwa
pembahasan Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman dilakukan secara mendalam.
Jadi sejak masa persidangan tahun 1999 dan baru diputuskan pada Sidang
Tahunan tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga;
 
Bahwa materi pada Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar Indonesia
Tahun 1945, pada waktu dilakukan pembahasan oleh Badan Pekerja MPR terdiri
dari kewenangan Komisi Yudisial dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim
dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan
keluhuran martabat serta perilaku hakim. Akan tetapi pembahasannya terpisah
antara dua kewenangan tersebut sebagaimana yang terlihat di bawah ini;
 
Bahwa dalam risalah rapat kelima Badan Pekerja MPR-RI masa sidang
tahunan MPR-RI tahun 2001 pada Tanggal 23 Oktober 2001. Dalam acara laporan
Panitia Ad hoc Badan Pekerja MPR dan pengesahan Rancangan Putusan MPR
hasil Badan Pekerja MPR serta penutupan rapat Badan Pekerja MPR masa sidang
tahunan MPR 2001 yang dicatat dalam Buku I, Jilid I yang diterbitkan oleh
Sekretariat Jenderal MPR-RI, semula Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Komisi Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan DPR
ditempatkan pada Pasal 24D ayat(1) yang berbunyi sebagai berikut:
 
�Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial
dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.� Konsep dari
rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial dalam bahan rancangan
perubahan Undang Undang Dasar 1945 tersebut dimana masih terjadi perbedaan
pendapat diantara anggota Panitia Ad hoc I, maka Badan Pekerja MPR bersepakat
membawa rumusan perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam perubahan ketiga yang telah susun dalam alternatif yang
termasuk di dalamnya tentang Komisi Yudisial;
 
Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka keberadaan
Komisi Yudisial terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 
Pasal 24A ayat (3) merupakan mekanisme pencalonan Hakim Agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan
ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden;
 
Sedangkan Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 adalah tentang
kemandirian serta kewenangan Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta
perilaku hakim;
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 22 Mei 2006, Pihak Terkait
Langsung Komisi Yudisial, telah menyampaikan tanggapan tertulis yang dibacakan
di persidangan, sebagai berikut:
 
 
I. Ketidakjelasan Dasar dan Alasan Konstruksi Hukum Permohonan
Pada bagian ini hendak dikaji dasar dan alasan-alasan yang menjadi
kontruksi hukum permohonan seperti yang dikemukakan para Pemohon di
dalam permohonannya. Hal ini perlu dilakukan untuk menganalisis sejauhmana
keutuhan dan kaitan antara alasan dan pernyataan lain yang dikemukakan
para Pemohon untuk sampai pada kesimpulannya sendiri. Setidaknya ada
sekitar 4 (empat) alasan yang digunakan oleh para Pemohon untuk sampai
pada interpretasinya sendiri yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial tidak
mempunyai kewenangan pengawasan terhadap hakim agung, yaitu sebagai
berikut:
 
 
1. Kewenangan lain KY adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan
Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung;
2. Kata hakim dimaksud dalam Pasal 24B UUD 1945 bukan terhadap seluruh
hakim sehingga kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim
agung dan hakim konstitusi karena hanya ditujukan bagi hakim yang akan
menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung serta hakim...;
3. Secara universal kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim
agung pada Mahkamah Agung karena Komisi Yudisial adalah mitra MA
dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan
di semua lingkungan peradilan di bawah MA;
4. Pemberhentian hakim agung memiliki mekanisme tersendiri yang didahului
dengan pemberian kesempatan pada yang bersangkutan untuk membela
diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.
 
 
Bila alasan dan interpretasi di atas dikaji secara seksama maka dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu: kesatu, alasan yang diajukan sangat
interpretatif; kedua, alasan didasarkan atas konstruksi logika berpikir yang tidak
sistematis; ketiga, alasan yang diajukan sangat prematur dan berlebihan.
1. Alasan sangat interpretatif.
Para Pemohon mengintroduksi suatu interpretasi baru di dalam
memaknai suatu pasal dengan metode pembacaan pasal dengan
menyatakan �...kalimat dibaca dalam satu nafas dan diberi konteks satu
sama lain maka akan bermakna �Komisi Yudisial mempunyai kewenangan
lain dalam rangka melaksanakan kewenangan lain KY untuk mengusulkan
pengangkatan hakim agung� (lihat butir II.1., di halaman 5 Permohonan).
Interpretasi ini ingin menekankan bahwa kewenangan lain dari Komisi
Yudisial haruslah kewenangan yang berkenaan dan berkaitan dengan
pengangkatan hakim agung saja.
 
Tindakan interpretasi para Pemohon tidak dapat dikualifikasi
sebagai interpretasi gramatikal dan atau interpretasi sistimatik yang lazim
digunakan di dalam menafsirkan dan mengkonstruksi suatu makna
substantif dari hukum atau pasal perundangan. Kendati ketidaklaziman ini
tidak dapat sepenuhnya disalahkan tetapi metode ini dapatlah dikualifikasi
sebagai �interpretable� karena dapat mengaburkan makna substantif yang
original. Lebih dari itu, interpretasi tersebut juga potensial menyebabkan
ketidakpastian dan ketidakpastian itu sendiri dapat mengakibatkan
munculnya kekeliruan dalam memaknai suatu pasal sesuai dengan original
intend dan maksud teleologis pembuatan suatu pasal tertentu di dalam
suatu undang-undang.
 
Tindakan interpretasi yang dikemukakan dalam permohonan diatas
juga bertentangan secara diametral dengan pendapat Mahkamah Agung
sendiri. Mahkamah Agung di dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah
Agung RI menyatakan:
 
�...berdasarkan Pasal 24B. Amandemen Ketiga UUD 1945 akan dibentuk
lembaga baru yang akan berfungsi-salah satunya-melakukan pengawasan
dan (mungkin) pendisiplinan bagi hakim dan hakim agung, yaitu: Komisi
Yudisial�.
 
Demikianpun halnya pendapat Mahkamah Agung di dalam Naskah
Akademis dan Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial juga
menyatakan:
 
�...kami memandang ada 5 (lima) tugas yang bisa ditafsirkan dari fungsi
diatas, yaitu...pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim
agung)�. (lihat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Cetak Biru
Pembaruan mahkamah Agung RI, MA-RI 2003, hlm. 91 dan Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-
Undang tentang Komisi Yudisial, MA-RI 2003, hlm. 45)
 
Dengan demikian, bagaimana mungkin pendapat resmi dari lembaga
Mahkamah Agung dapat diingkari secara sepihak oleh alasan yang
dirumuskan secara interpretatif dengan metode penafsiran yang
interpretable di dalam suatu permohonan pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar.
 
 
2. Alasan didasarkan atas konstruksi logika berpikir yang tidak utuh dan
tidak sistematis.
Pada butir II.2., di halaman 5 permohonan, para Pemohon
mengutip Pasal 25 UUD 1945 yang mengemukakan �syarat-syarat untuk
menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-
undang�. Lalu, para Pemohon mengaitkannya dengan menyebutkan
beberapa undang-undang yang berbeda-beda yang mengatur tentang
hakim tingkat pertama dan banding seperti tersebut di dalam UU No. 8
Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer), hakim agung dan
hakim konstitusi (UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2003) .
Setelah itu, para Pemohon membuat beberapa kesimpulan:
 
 
a) Kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung dan hakim
konstitusi karena untuk menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi
tidak seluruhnya berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding;
b) Yang dimaksud kata hakim di dalam Pasal 24B bukan terhadap seluruh
hakim;
c) Yang dimaksud Pasal 24B tentang kewenangan lain dalam rangka
menjaga kehormatan, keluhuran dan martabat hakim adalah hakim yang
akan menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung.
 
 
Uraian di atas jelas memperlihatkan suatu konstruksi berpikir yang tidak
utuh dan tidak sistematis karena dengan hanya menyebut Pasal 24B UUD
1945 dan mengaitkannya dengan beberapa UU yang mengatur hakim,
hakim agung dan hakim konstitusi, tetapi kemudian, permohonan telah
berani membuat pernyataan berupa interpretasi sepihak dan
menyimpulkannya sendiri tanpa menjelaskan dasar argumentasi, konstruksi
logika berpikir dan keterkaitan satu alasan dengan pernyataan lainnya serta
menguraikan dan menganalisisnya secara menyeluruh. Tindakan
sedemikian patutlah dikualifikasi sebagai kekacauan dalam merumuskan
konstruksi berpikir. Berdasarkan uraian tersebut maka sudilah kiranya bila
rumusan alasan yang tersebut di dalam permohonan dimaksud,
disimpulkan sebagai telah memuat suatu konstruksi logika berpikir yang
tidak utuh dan tidak sistematis.
3. Alasan yang diajukan sangat prematur dan berlebihan.
Pada butir II.5., di halaman 6 permohonan, para Pemohon
langsung menyimpulkan �secara universal kewenangan Komisi Yudisial
tidak menjangkau hakim agung pada Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial adalah mitra MA dalam melakukan pengawasan terhadap para
hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan di bawah MA�.
Kesimpulan tersebut dilakukan dengan menunjuk pada Pasal 32 dari UU
No. 5 Tahun 2004 tentang MA. Bagaimana mungkin suatu kesimpulan
dimaknai sebagai universalitas berkaitan dengan kewenangan Komisi
Yudisial yang tidak menjangkau hakim agung jika hanya didasarkan pada
satu pasal di atas saja. Dimana letak universalitas dari kesimpulan
permohonan dimaksud?, para Pemohon tidak mengemukakan dan
menguraikannya secara elaboratif. Lihat dan bandingkan dengan suatu
hasil studi yang menyimpulkan:
 
�...dibentuknya Komisi Yudisial ...mempunyai alasan yang strategis dalam
rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pertama,
dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring
secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman...Keempat, ...untuk menjaga
kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan...diharapkan
inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi karena setiap
putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat oleh
Komisi Yudisial...�.
 
Sebagian kesimpulan mengenai tujuan pembentukan Komisi Yudisial
seperti telah dikemukakan di atas itu ditelaah dari 197 (seratus sembilan
puluh tujuh) konstitusi negara anggota PBB (lihat A. Ahsin Thohari, Komisi
Yudisial: Reformasi Peradilan, hlm. 105, 147-150). Berpijak pada uraian
seperti tersebut diatas maka cukuplah alasan dan sudilah kiranya untuk
menyatakan bahwa permohonan sebagai sangat prematur.
 
Pada butir II.5 dan 6., di halaman 6 dan 7 permohonan, para Pemohon
merujuk pada Pasal 32 juncto Pasal 12 UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung yang mengatur mengenai kewenangan pengawasan dan
pemberian kesempatan membela diri pada hakim agung yang diusulkan
untuk diberhentikan dihadapan Majelis Kehormatan Hakim Agung. Berpijak
pada pasal-pasal tersebut, para Pemohon di dalam permohonannya
kemudian membuat suatu kesimpulan bahwa Pasal 21 juncto Pasal 23 ayat
(2), (3) dan (5) juncto Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan (4) dari
Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan
dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945.
 
Berdasarkan uraian di atas tentu patut dipertanyakan metode konklusi yang
digunakan untuk menghubungkan antara suatu pernyataan atau fakta
dengan perumusan suatu kesimpulan. Bagaimana mungkin
ketidaksesuaian atau ketidakharmonisan pasal-pasal yang terjadi pada
suatu perundangan dengan pasal-pasal perundangan lainnya, kemudian
disimpulkan sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Tindakan
sedemikian tidak hanya memperlihatkan kerapuhan dasar metodologi
konklusif yang digunakan tetapi kesimpulan yang sedemikian juga dapat
dikualifikasi sebagai kesimpulan yang didasarkan atas interpretasi yang
prematur dan berlebihan.
 
II. Kelemahan Dasar dan Alasan dari Permohonan.
Ada beberapa hal penting yang harus dikemukakan secara limitatif di
dalam mengajukan suatu permohonan pengujian undang-undang terhadap
undang-undang dasar, yaitu antara lain: kesatu, Pemohon memiliki Hak
Konstutsional untuk mengajukan permohonan; kedua, adanya kerugian karena
hak konstitusional Pemohon dilanggar; ketiga, kerugian konstitusional itu
bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan
terjadi; keempat, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dengan UU
yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; kelima, adanya kemungkinan
kerugian konstitusional tidak akan terjadi jika permohonan dikabulkan. Uraian
dibawah ini akan mengemukakan beberapa alasan penting tersebut.
 
1. Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan
badan peradilan dibawahnya.
 
Pada bagian ini hendak dijelaskan mengenai, siapakah yang
memiliki hak atau kewenangan konstitusional dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman. Penjelasan ini menjadi penting untuk menentukan
dan menegaskan pihak yang mempunyai legal standing di dalam
mengajukan suatu permohonan hak menguji perundangan, khususnya
berkaitan dengan hal kekuasaan kehakiman.
 
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya, pada Pasal 24
dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman telah dikemukakan secara limitatif
sebagai berikut:
 
 
1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
 
 
Untuk melaksanakan Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar dimaksud
telah dikeluarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, merupakan perubahan dari Undang-undang No. 14 Tahun
1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun
1999. Undang-undang No. 4 Tahun 2004 haruslah dimaknai sebagai
undang-undang payung terhadap undang-undang lainnya yang mengatur
tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu antara lain:
1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2) Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer;
3) Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
4) Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum;
5) Undang-undang No .9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
6) Undang-undang No. 24 Tahun 2005 tentang Mahkamah Konstitusi;
 
 
Di dalam Pasal 1, Bab I dari Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman telah dikemukakan secara tegas:
�Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia�;
 
dan pada Pasal 2 Undang-undang dimaksud juga telah dikemukakan hal
sebagai berikut:
 
�Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�.
 
Bila ketentuan yang tersebut di dalam Pasal-pasal Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman dikaitkan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (2)
UUD 1945 maka dapatlah disimpulkan bahwa pasal-pasal dalam UU Pokok
Kekuasaan Kehakiman di atas merupakan penjabaran dari Pasal 24 ayat
(1) dan (2) Undang Undang Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut maka
dapatlah disimpulkan bahwa hak dan kewenangan sebagai penyelenggara
kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
 
Uraian di atas juga menegaskan bahwa hakim bukanlah sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman tetapi hanya sebagai pejabat
kekuasaan kehakiman, sedangkan yang melakukan kekuasaan kehakiman
adalah Mahkamah Agung, badan-badan peradilan yang berada dibawah
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sesuai yang ditentukan di
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Hal ini dikemukakan secara tegas di
dalam Pasal 31, Bab V Kedudukan Hakim dan Pejabat Peradilan dari
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan �Hakim adalah
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-
undang�.
 
Berpijak pada ketentuan dan uraian tersebut, kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan adalah merupakan hak
konstitusional dari lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman bukan
hak dari Hakim yang hanya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman. Oleh
karena itu undang-undang memberikan kewajiban kepada Hakim untuk
menjaga kemandirian peradilan dan untuk itu hakim diharuskan untuk
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
 
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Bagir Manan, SH, dalam
makalahnya �Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan
Mahkamah Konstitusi) dengan Komisi Yudisial; Suatu Pertanyaan�,
disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di
MPR tanggal 9 Maret 2006 dalam halaman 4, nomor 4 (empat) mengenai
Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
 
�Baik dalam doktrin maupun menurut hukum, kekuasaan kehakiman
dipegang dan dijalankan badan peradilan. Di Indonesia badan peradilan
yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan pengadilan-pengadilan tingkat lebih rendah yang
dibawah Mahkamah Agung�.
 
Bertolak dari uraian yang dikemukakan oleh Ketua MA tersebut di atas
maka dapatlah dikemukakan bahwa �hak dan kewenangan melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka itu ada pada lembaga peradilan�.
 
Berdasarkan atas dan dengan segenap hal seperti telah dikemukakan di
dalam uraian seperti tersebut di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa
pihak yang mempunyai hak konstitusional dalam mengajukan permohonan
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah
lembaga yang melakukan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Dasar 1945 juncto Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2004,
yaitu dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya.
 
 
2. Perseorangan Tidak Dapat Mewakili Kepentingan Kekuasaan
Kehakiman.
Ketentuan Pasal 31 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman a quo menyatakan bahwa hakim adalah pejabat
yang melakukan kekuasaan kehakiman. Pasal ini menegaskan, kekuasaan
kehakiman hanya dapat dilakukan oleh hakim bila yang bersangkutan
dalam kapasitas sebagai pejabat negara. Jika yang bersangkutan
melepaskan kapasitasnya sebagai pejabat negara maka yang
bersangkutan tidak dapat melakukan tindakan untuk dan atas nama
kekuasaan kehakiman sehingga tidaklah tepat jika pihak dimaksud
menempatkan dirinya sama dan sebanding dengan pihak yang mempunyai
kewajiban jabatan, yakni wajib menjaga kemandirian peradilan.
 
Oleh karena itu, status perseorangan para Pemohon dalam
mengajukan pengujian undang-undang terhadap undang undang dasar
dengan alasan untuk menjaga kemandirian peradilan adalah alasan yang
tidak benar dan tidak tepat. Kekuasaan kehakiman adalah merupakan
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan dimana sebagai pelaku dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman dimaksud bukanlah orang
perorangan tetapi mereka adalah orang yang diangkat oleh negara sebagai
hakim yang merupakan pejabat negara yang menjalankan kewenangan-
kewenangan atau kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang.
Dengan demikian, hakim itu adalah jabatan yang mempunyai kewenangan
mengadili suatu perkara dalam proses peradilan dan atau menjalankan
kewenangan lainnya yang secara tegas dikemukakan di dalam
perundangan dan bukan tindakan orang perorangan atau kelompok yang di
luar kewenangan yang telah ditentukan secara limitatif dan eksplisit di
dalam perundangan.
 
Jika terjadi perselisihan dimana pejabat yang bersangkutan dalam
menjalankan kewenangan negara �diintervensi kemandiriannya� oleh
kewenangan lembaga negara lainnya, baik oleh lembaga penyelenggara
kekuasaan kehakiman atau dengan lembaga lain diluar pelaksana
kekuasaan kehakiman maka sengketa yang terjadi tersebut adalah
perselisihan antar lembaga, bukan perselisihan pribadi atau orang-
perorangan yang mengatasnamakan kepentingan kemandirian kehakiman.
 
Bilamana terjadi perselisihan yang menyangkut kepentingan
kelembagaan tentang kemandirian kekuasaan kehakiman seperti diuraikan
di atas maka yang mempunyai legal standing sebagai Pemohon adalah
penyelenggara kekuasaan kehakiman atau pejabat penyelenggara
kekuasaan kehakiman yang memiliki kapasitas hukum di dalam mewakili
lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut, dalam hal ini, Ketua
Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan dibawahnya.
 
Uraian tersebut di atas menegaskan bahwa karena kewenangan
kekuasaan kehakiman hanya dapat dijalankan oleh pelaksana kekuasaan
kehakiman tersebut, dalam hal ini, Ketua Mahkamah Agung atau Ketua
Pengadilan dibawahnya maka perseorangan yang tidak dalam kapasitas
mewakili pengadilan dalam menjalankan kepentingan kekuasaan
kehakiman tidak memiliki kapasitas hukum untuk mengatasnamakan
kepentingan kekuasaan kehakiman.
 
Uraian di atas juga telah memperlihatkan dan menegaskan bahwa
permohonan yang diajukan oleh para Pemohon tidak dapat menjelaskan,
apa yang menjadi dasar konstitusionalitas diajukannya permohonan. Para
Pemohon bersikap ambigu. Di satu sisi menempatkan dirinya sebagai
orang perorangan dan atau kelompok orang yang berjumlah sebanyak 31
(tiga puluh satu) orang yang secara bersama-sama mengajukan
permohonan hak uji materil; disisi lainnya, para Pemohon menyebutkan
jabatan dari pekerjaannya sebagai hakim agung yang kesemuanya
menggunakan alamat kantor Mahkamah Agung, yaitu di Jl. Merdeka Utara
Kav. 9-13, Jakarta Pusat sebagai alamat dari para Pemohon. Penyebutan
identitas jabatan yang ditopang oleh alamat kantor di Mahkamah Agung
hendak mengindikasikan bahwa seolah-olah para Pemohon adalah
representasi hukum dari suatu lembaga yang mempunyai kewenangan
sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang mempunyai hak
konstitusional mengajukan pengujian undang-undang terhadap undang
undang dasar.
 
Secara faktual uraian diatas telah menegaskan, para Pemohon
adalah orang perorangan; dan pada prinsipnya, kepentingan orang
perorangan atau sekelompok orang atau kepentingan para Pemohon
seperti tersebut di dalam permohonannya, tidak serta merta dapat
dikualifikasi sebagai kepentingan dari lembaga dimana mereka bekerja atau
demi kepentingan dari Mahkamah Agung sebagai penyelenggara
kekuasaan kehakiman. Hakim itu adalah jabatan yang mempunyai
kewenangan mengadili suatu perkara dalam proses peradilan dan atau
menjalankan kewenangan lainnya yang secara tegas dikemukakan di
dalam perundangan dan bukan tindakan orang perorangan atau kelompok
yang di luar kewenangan yang telah ditentukan secara limitatif dan eksplisit
di dalam perundangan. Lebih-lebih tidak ada pelimpahan kewenangan yang
secara tegas, patut dan sah diberikan dari lembaga dimaksud kepada para
Pemohon. Ketua MA di dalam pernyataannya justru mengemukakan bahwa
para Pemohon bertindak dalam kapasitas individualnya sendiri di dalam
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-
undang dasar (Lihat Detik Com tanggal 17 Maret 2006 dan Tempo Interaktif
tanggal 17 Maret 2006 dan 21 Maret 2006).
 
Keadaan dan tindakan sedemikian ini mengakibatkan para
Pemohon kehilangan dasar legalitasnya sehingga tidak mempunyai legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar. Dengan demikian, dimohonkan pada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sudilah kiranya untuk menyatakan
Para Pemohon tidak mempunyai kapasitas hukum dan tidak memiliki dasar
konstitusional sebagai Pemohon serta tidak dapat mengidentifikasi dirinya
sama dan sebangun dengan jabatan hakim yang sedang menjalankan
kekuasaan kehakiman yang harus menjaga kemandirian peradilan, di
dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
undang-undang dasar dengan menyatakan bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal
20, Pasal 21, Pasal 22 ayat 1(1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3)
dan (5), Pasal 24 ayat (1) serta Pasal 25 ayat (3) dan (4) dari UU No. 22
Tahun 2004 dan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 bertentangan
dengan Pasal 24B dan 25 Undang Undang Dasar 1945.
 
 
3. Permohonan Para Pemohon Telah Keliru Menyimpulkan Bahwa Hak
Konstitusionalnya telah Dilanggar.
Para Pemohon di dalam permohonannya menyatakan �Pemohon
adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai Hakim Agung pada
Mahkamah Agung yang mempunyai kepentingan hukum dalam
permohonan ini karena para Pemohon menganggap hak dan kewenangan
konstitusional para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang
No. 22 Tahun 2004, khususnya atas pasal-pasal yang berkaitan dengan
pengawasan hakim serta yang berkaitan dengan usul penjatuhan sanksi�.
 
Lebih jauh, para Pemohon juga mengemukakan beberapa Pasal
tertentu, yaitu: Pasal 20, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 21,
Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5) serta Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3)
dan (4) yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 5 dari UU No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, menimbulkan kerugian pada para Pemohon
karena menjadi atau sebagai objek pengawasan serta dapat diusulkan
sebagai objek penjatuhan sanksi. Pasal-pasal tersebut juga berkaitan
dengan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
 
Di dalam bagian lain permohonan juga dikemukakan bahwa
pengawasan Komisi Yudisial telah memanggil beberapa hakim agung,
yaitu: Bagir Manan, Marianna Sutadi, Paulus Effendi Lotulung, Parman
Suparman, Usman Karim, Harifin A Tumpa dalam hubungan dengan
perkara yang diadilinya telah mengakibatkan terganggunya hak
konstitusional hakim agung yang dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945.
Pemanggilan tersebut juga berpotensi dan akan membawa makna, semua
hakim agung dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus perkara
sehingga akan menghancurkan independensi hakim agung yang dijamin
UUD 1945.
 
Uraian di atas telah memperlihatkan konstruksi berpikir
permohonan, dimana pasal-pasal tertentu di dalam UU Komisi Yudisial
dikualifikasi menimbulkan kerugian bagi para Pemohon karena mereka
menjadi objek pengawasan dan penjatuhan sanksi serta kemudian
disimpulkan secara sepihak bahwa tindakan pengawasan dan penjatuhan
sanksi tersebut akan menghancurkan independensi hakim agung. Di dalam
bahasa lain dapat dikemukakan bahwa independensi mengalami proses
absolutisme dan dijadikan �tameng� untuk menghindari penerapan prinsip
akuntabilitas yang sebagiannya dimanifestasikan dalam bentuk
pengawasan dan pemberian sanksi bila memang terbukti ada tindak
pelanggaran.
 
Di dalam Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung telah
dikemukakan dengan sangat jelas beberapa hal penting yang berkaitan
dengan pengawasan dan pendisiplinan hakim, yaitu antara lain:
 
 
a. MA tidak mampu menjalankan pengawasan atas dirinya sendiri. Hal ini
dikemukakan secara jujur oleh MA dengan menyatakan:
�...pengawasan yang dilakukan MA bisa dikatakan tidak berjalan
sebagaimana diharapkan. Hal ini dapat diindikasikan dari masih
banyaknya dugaan penyimpangan prilaku yang dilakukan oleh hakim
dan pegawai pengadilan...�
 
�Dalam prakteknya, pengawasan oleh lembaga pengawas MA...tidak
berjalan efektif. Hal tersebut disebabkan karena kelemahan yang sama
sebagaimana...pengawasan prilaku hakim...� (lihat Buku Cetak Biru
Pembaruan Mahkamah Agung, 2003, hlm. 93 dan hlm. 99).
 
 
b. MA juga tidak mampu menegakkan kedisiplinan secara konsisten. Hal
ini dikemukan oleh MA dengan menyatakan:
�Penjatuhan sanksi disiplin berupa pemberhentian hakim agung dan
pemberhentian hakim selama ini tidak berjalan optimal. Jarang sekali
ada hakim yang diberhentikan walau banyak hakim yang diduga
melakukan pelanggaran�
�Kelemahan pendisiplinan oleh MA...disebabkan...karena adanya
keengganan/kesulitan bertindak tegas kepada sesama hakim (kolega)
karena majelis kehormatan hakim/hakim agung hanya terdiri dari
kalangan hakim�
 
�Tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pemeriksaan oleh majelis
kehormatan hakim. Hal diantaranya tergambarkan dari ketentuan dalam
SKB yang menegaskan bahwa pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan
Hakim bersifat tertutup; dan tidak adanya pedoman dalam penjatuhan
sanksi�. (lihat Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, 2003,
hlm. 105-106)
 
Uraian di atas memperlihatkan bahwa MA tidak memiliki kemampuan
menjalankan pengawasan secara efektif dan tidak mampu menegakkan
kedisiplinan. Disisi lainnya juga ada pernyataan yang diajukan oleh
hakim agung Gunanto Suryono, Ketua Muda Pengawasan MA yang
mengemukakan �30% hakim termasuk hakim agung di MA bermasalah�
(Koran Tempo dan Republika tanggal 21 Januari 2006).
 
Selain itu, Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Tahun 2003
juga mengajukan dan merumuskan rekomendasi untuk mengatasi
problem pengawasan dan pendisiplinan yang dihadapi oleh MA. Lebih
lanjut buku dimaksud menyatakan beberapa hal sebagai berikut:
 
 
a. MA perlu mendorong terbentuknya Komisi Yudisial sebagaimana
yang diamanatkan dalam amandemen ketiga UUD 1945. Berkenaan
dengan pengawasan Komisi Yudisial telah dirumuskan:
�Pada prinsipnya yurisdiksi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial adalah pengawasan terhadap prilaku hakim di dalam dan di
luar pengadilan, sedangkan Tuada Wasbin adalah pengawasan
terhadap teknis yudisial dan administrasi pengadilan�.
 
�...mendorong...Komisi Yudisial mengatur kewenangannya untuk
mengadili hakim yang diduga melakukan penyimpangan serta
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tertentu pada hakim yang
melakukan penyimpangan perilaku� (Buku Cetak Biru Pembaruan
Mahkamah Agung,2003, hlm. 96 dan hlm. 106).
 
 
b. MA perlu memperbaiki kelemahan lembaga pengawas dan sekaligus
memperbarui aturan mengenai eksaminasi terhadap putusan hakim
tingkat pertama dan banding (Buku Cetak Biru Pembaruan
Mahkamah Agung, hlm. 100).
 
 
Uraian di atas menegaskan bahwa MA sangat mendukung keberadaan
Komisi Yudisial dan bahkan menyetujui yurisdiksi pengawasan menjadi
bagian tak terpisahkan dari kewenangan Komisi Yudisial. Jika demikian
halnya, bagaimana mungkin para Pemohon dapat mendalilkan bahwa
independensinya menjadi hancur dengan adanya kewenangan
pengawasan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial padahal lembaga
Mahkamah Agung secara tegas mengakui dan memerlukan keberadaan
Komisi Yudisial yang salah satu kewenangannya justru berkaitan
dengan pengawasan.
Selain itu, para Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas
dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dilanggar, yaitu hak yang diatur di dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Dengan demikian para Pemohon tidak dapat
menjelaskan pasal-pasal yang berupa hak konstitusionalnya seperti diatur
di dalam UUD 1945 yang telah dilanggar oleh suatu undang-undang
tertentu. Permohonan yang tidak dapat menguraikan dengan jelas tentang
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar dapat
dikualifikasi sebagai permohonan yang kurang cermat dan bertentangan
dengan ketentuan hukum acara tentang pengajuan permohonan
pengujian undang undang terhadap UUD yang telah diatur dalam Undang
Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dalam
Pasal 51 ayat (2) menyatakan antara lain: �Pemohon wajib menguraikan
dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan kewenangan
konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)�.
 
Tindakan para Pemohon dengan mengajukan permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD dengan mengedepankan prinsip
independensi justru mengindikasikan bahwa para Pemohon tidak saja
melakukan tindakan diskriminatif tetapi juga telah melanggar prinsip
penting yang harus dikedepankan oleh kekuasaan kehakiman, yaitu:
prinsip equality before the law. Oleh karena permohonan para Pemohon
dalam melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar tidak mampu menguraikan secara tegas dan jelas tentang hak dan
kewenangan konstitusional yang dilanggar dan/atau telah keliru
menyimpulkan hak konstitusionalnya telah dilanggar serta tindakannya
potensial melanggar prinsip equality before the law dan bersifat
diskriminatif.
 
Berdasarkan segenap hal yang telah diuraikan diatas maka dapatlah
diperlihatkan berbagai kelemahan dasar dari permohonan para Pemohon tidak
memiliki dan tidak dapat menjelaskan Hak Konstitusional untuk dapat
mengajukan permohonan serta para Pemohon juga tidak mampu menjelaskan
adanya pelanggaran terhadap hak konstitusional dan karenanya menimbulkan
kerugian. Dengan demikian kewajiban selebihnya dari para Pemohon, seperti:
menjelaskan kerugian konstitusional itu bersifat spesifik dan aktual atau
setidaknya potensial yang dapat dipastikan terjadi, adanya hubungan sebab
akibat antara kerugian dengan UU yang dimohonkan untuk dilakukan
pengujian dan adanya kemungkinan kerugian konstitusional tidak akan terjadi
jika permohonan dikabulkan, niscaya tidak dapat dikemukakan oleh para
Pemohon. Berkenaan alasan-alasan tersebut maka sudilah kiranya agar
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak atau setidak-tidaknya tidak
menerima permohonan para Pemohon.
 
III. Tanggapan atas Alasan�alasan yang Dikemukakan dalam Permohonan.
Ada beberapa hal penting yang diajukan oleh para Pemohon di dalam
permohonannya, yaitu meliputi: kesatu, hakim yang dimaksud pada Pasal 24B
Undang Undang Dasar 1945 bukanlah termasuk hakim agung; kedua, Komisi
Yudisial tidak mempunyai otoritas untuk melakukan pengawasan terhadap
hakim agung; ketiga, sesuai prinsip universalitas, kewenangan Komisi Yudisial
tidak menjangkau hakim agung. Hal-hal penting dimaksudlah yang akan dikaji
di dalam uraian yang akan dirumuskan dibawah ini oleh Pihak Terkait.
 
 
1. Inkonsistensi Alasan Permohonan dari Para Pemohon
Para Pemohon menggunakan prinsip hukum yang berlaku secara
universal yakni prinsip Lex Certa untuk memberikan tafsiran atas makna
�Hakim� yang tersebut pada Pasal 24B UUD 1945. Pada prinsip Lex Certa,
suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas
atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan atau
 
perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan
secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan.
 
Berpijak dari rumusan Pasal 24B UUD 1945 maka kewenangan
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim yang dimiliki oleh Komisi Yudisial menurut
para Pemohon adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi
Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Pasal 1 angka 5
UU No. 22 Tahun 2004 telah memperluas makna �hakim� pada Pasal 24B
UUD 1945.
 
Disisi lainnya, tindakan para Pemohon dapat dikualifikasi sebagai
tidak konsisten karena de facto para Pemohon sendiri telah melanggar
prinsip Lex Certa yaitu telah menafsirkan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945
tidak seperti yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan tetapi
secara a contrario seolah-olah Komisi Yudisial hanya mempunyai
kewenangan pengawasan terhadap hakim, bukan pengawasan atas hakim
agung atau hakim mahkamah konstitusi. Bukankah Pasal 24B ayat (1)
Undang Undang Dasar 1945 hanya menyatakan tentang:
 
�...wewenang Komisi Yudisial yaitu mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim�.
 
Kata �hakim� di dalam Pasal dimaksud tidak menunjuk secara tegas dan
karenanya dapat dikatakan sebagai hakim agung dan hakim konstitusi.
 
2. �hakim� dalam Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945
Untuk memberi makna kata �hakim� seperti yang tersebut di dalam
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 akan digunakan 4 (empat)
metode penafsiran suatu perundangan, yaitu: penafsiran sistematik,
penafsiran gramatikal, penafsiran otentik untuk melihat original intend-nya
dan penafsiran sosiologis atau teleologis.
 
Jika mengkaji Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 maka akan ditemukan kata-kata �hakim�,
�hakim agung� dan �hakim konstitusi�. Jika dielaborasi lebih jauh, kata-kata
tersebut dapat ditemukan sebagai berikut:
 
a. Kata �hakim agung� disebutkan sebanyak 4 (empat) buah serta tersebut
di dalam Pasal 24A ayat (1) (2) dan (3) dan Pasal 24B ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945;
b. Kata �hakim� disebutkan sebanyak 2 (dua) buah serta tersebut di dalam
Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
c. Kata �hakim konstitusi� disebutkan sebanyak 4 (empat) buah serta
tersebut di dalam Pasal 24C ayat (3) (4) (5) dan (6) Undang-Undang
Dasar 1945.
 
Pada uraian di atas sudah dikemukakan bahwa kata �hakim agung� ada di
dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945.
Di dalam Pasal 24A ayat (5) dikemukakan bahwa hal-hal yang berkaitan
dengan �susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah
Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang�.
Berpijak pada Pasal ini maka secara a contrario dapatlah dikemukakan
bahwa hal-hal selain susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara
Mahkamah Agung yang berkaitan dengan hakim agung didasarkan oleh
Pasal lainnya di dalam Undang-Undang Dasar.
Bila dikaitkan dengan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat
kata �hakim� tetapi secara limitatif hanya mengatur mengenai �syarat-syarat
untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim� maka dapatlah di
interpretasikan bahwa ketentuan mengenai syarat untuk menjadi hakim dan
untuk diperhentikan sebagai hakim agung akan bersumber dari Pasal 25
Undang-Undang dasar 1945. Berdasarkan uraian di atas maka juga dapat
disimpulkan bahwa hal-hal lain selain mengenai �susunan, kedudukan,
keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta syarat-syarat untuk
menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim agung�, seperti antara lain:
pengawasan dan pengaturan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat hakim agung akan
didasarkan oleh ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945.
 
Berdasarkan uraian di atas dengan menggunakan penafsiran sistematik
maka dapatlah disimpulkan bahwa pengaturan kewenangan lain termasuk
di dalamnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran dan martabat hakim agung dan atau hal lainnya yang bukan
 
mengenai hal-hal �susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara
Mahkamah Agung serta syarat-syarat untuk menjadi dan untuk
diberhentikan sebagai hakim agung� didasarkan dan bersumber dari Pasal
24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
 
Bila dilakukan pengkajian berdasarkan penafsiran gramatikal
terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
 
�Komisi Yudisial...berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim�.
 
maka dapatlah dikemukakan makna penafsiran dimaksud, yaitu hal-hal
sebagai berikut:
 
 
1. Kalimat �mengusulkan pengangkatan hakim agung� dan kalimat
�mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan...� dihubungkan
oleh kata �dan�. Kata �dan� dimaksud adalah kata penghubung satuan
ajaran (kata, frase, klausa dan kalimat) yang setara, memiliki tipe yang
sama dan mempunyai fungsi yang sama (Balai Pustaka, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Dengan demikian kalimat
�mengusulkan pengangkatan hakim agung� mempunyai posisi yang
setara dengan kalimat �mempunyai wewenang lain dalam rangka
menegakkan...�. Berpijak pada penafsiran ini maka ada beberapa
wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial, yaitu: kesatu, kewenangan
untuk mengusulkan hakim agung; kedua, kewenangan lainnya yang
berkaitan dengan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim;
2. Kata-kata �wewenang lain� di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
justru merupakan suatu penekanan atas beberapa hal, yaitu: kesatu,
ada beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial; kedua,
ada kewenangan yang bersifat khusus yaitu hanya ditujukan kepada
hakim agung saja dalam proses rekruitmen dan ada kewenangan lain
yang bersifat tertentu yang ditujukan pada �hakim� termasuk hakim
agung, yaitu untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim�.
3. Kata �hakim� harus dimaknai bersifat �genus� dan kata �hakim agung�
bersifat sebagai �species�. Di dalam bahasa yang lain juga dapat
ditafsirkan bahwa kata �hakim� ini dimaknai sebagai suatu kategori,
sedangkan kata �hakim agung� adalah sesuatu yang bersifat pangkat
atau jabatan.
 
 
Di dalam konteks penafsiran otentik untuk memberikan penafsiran original
intend suatu pasal maka hal tersebut dapat dilacak pada perdebatan ketika
Pasal dimaksud dirumuskan. Pada Rapat Pleno ke-41 Panitia Ad Hoc I,
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 8 Juni 2000, diajukan suatu
usulan bahwa:
�Komisi Yudisial berfungsi untuk...melakukan pengawasan terhadap hakim
agung�
 
�...pengawas yudisial yang mengawasi segala tingkah laku hakim dalam
bidang yudisial yang dilakukan oleh para hakim disemua tingkatan...�
 
(Buku Kedua, Jilid 3C, Risalah Rapat PAH I MPR, Sekertariat Jenderal
MPR-RI, hlm. 433 dan hlm. 442).
 
Di dalam Rapat Pleno ke-36 Panitia Ad Hoc dari Badan Pekerja MPR
tanggal 26 September 2001, juga diajukan suatu gagasan yang berkaitan
dengan cakupan pihak yang perlu diawasi oleh Komisi Yudisial, yaitu:
 
�...Komisi Yudisial sebenarnya adalah bukan hanya menyangkut hakim
agung tetapi menyangkut seluruhnya hakim tinggi dan hakim pengadilan
negeri...mengusulkan supaya para hakim ini di filter oleh suatu komisi yang
sifatnya permanen...�.
 
(Buku ke-2, Jilid 8A, Risalah Rapat PAH I, Sekertariat Jenderal MPR-RI,
2001, hlm. 26).
 
Di dalam Naskah Akademis mengenai Rancangan UU Komisi Yudisial
menurut versi Mahkamah Agung juga dapat ditemukan hal-hal yang
berkaitan penafsiran kata �hakim�, seperti antara lain:
 
�...kata hakim disini harus diartikan sebagai seluruh hakim, baik hakim
tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi�
 
(Naskah Akademis Rancangan UU Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung,
hlm. 26 dan 58).
 
�...kami memandang...tugas yang ditafsirkan dari fungsi diatas...
pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung)�.
 
(Naskah Akademis dan Rancangan UU tentang Komisi Yudisial versi
Mahkamah Agung RI, 2003, hlm. 45).
 
Bilamana dikaji berdasarkan penafsiran sosiologis atau teleologis maka ada
cukup banyak pihak yang mendukung kehadiran Komisi Yudisial untuk
menjaga kehormatan keluhuran dan martabat hakim dan mereka secara
eksplisit menyatakan bahwa cakupan pihak yang diawasinya bukan hanya
hakim di pengadilan pertama dan banding saja. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa pendapat, seperti antara lain:
 
�...Komisi Yudisial ini tidak hanya ,,, untuk mengawasi para hakim agung
saja, tetapi juga ... dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal
terhadap tugas pengadilan di semua tingkatan� (Prof. DR. Jimly
Asshiddiqie, Makalah, Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan, Seminar
yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, 13
Juli 2000)
 
�...kata hakim yang terdapat di dalam Pasal 24B ayat (1)...diartikan sesuai
pembahasan...adalah hanya hakim agung bukan hakim yang lain� (Ahsin.
A Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004, hlm.
175).
 
Berdasarkan seluruh uraian di atas yang mengkaji makna kata �hakim�
seperti yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang dasar
1945 dengan menggunakan metode penafsiran suatu perundangan yang
bersifat penafsiran sistematik, penafsiran otentik untuk melihat original
intend-nya dan penafsiran sosiologis atau teleologis maka dapatlah
disimpulkan bahwa hakim seperti tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya hakim pertama dan banding tetapi
juga termasuk hakim agung.
 
 
3. Komisi Yudisial Mengawasi Hakim Termasuk Hakim Agung.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan �Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan�. Ketentuan lebih lanjut dan
pelaksanaan atas pasal konstitusi a quo lahirlah beberapa Undang-undang,
yaitu: Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Undang-
undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang
No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang-undang No. 9 Tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-undang No. 24 Tahun
2005 tentang Mahkamah Konstitusi.
 
Dengan demikian pelaksanaan Pasal 25 UUD 1945 mengenai syarat-syarat
untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-
undang bukan merupakan undang-undang yang mengatur khusus tentang
hal tersebut, tetapi merupakan bagian dari undang-undang yang mengatur
tentang struktur organisasi, tugas dan fungsi lembaga yang melakukan
kekuasaan kehakiman. Jadi tidak tepat alasan para Pemohon, karena
syarat-syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditentukan oleh
undang-undang yang berlainan tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak
mampu menjangkau hakim agung, karena memang undang-undang
pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut tidak mengatur tentang
kedudukan hakim dengan pejabat peradilan tetapi karena menyangkut
hubungan antara lembaga kekuasaan kehakiman maka hal tersebut diatur
di dalam undang-undang payung, yaitu: UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
 
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
merupakan undang-undang payung bagi seluruh peraturan perundangan
yang mengatur tentang pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Bab V,
Kedudukan Hakim Dan Pejabat Peradilan di dalam Pasal 34 ayat (3)
menyebutkan secara tegas kedudukan hakim dan hubungannya dengan
Komisi Yudisial, yaitu Komisi Yudisial mempunyai kewenangan
pengawasan terhadap hakim agung. Penafsiran para Pemohon yang
menyatakan kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim
Mahkamah Agung karena untuk menjadi hakim agung tidak seluruhnya
berasal dari hakim tingkat I dan hakim banding, adalah merupakan
penafsiran yang mengada-ada karena yang diawasi oleh Komisi Yudisial
adalah para hakim agung termasuk hakim agung dengan tidak perlu
dibeda-bedakan antara hakim karier atau hakim non karier.
 
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Bagir Manan, SH, menyatakan �Menurut
undang-undang, Komisi Yudisial mengawasi hakim�. Dengan demikian,
secara a contrario, pejabat atau pegawai dilingkungan badan peradilan
yang tidak bertugas sebagai hakim tidak berada dalam lingkup pengawasan
Komisi Yudisial. Siapakah yang dimaksud hakim? Hakim dalam konteks
pengawasan Komisi Yudisial adalah hakim yang menjalankan tugas yudisial
(bertugas sebagai hakim). Hakim yang tidak sedang menjalankan tugas
sebagai hakim melainkan dalam jabatan lain, misalnya sebagai pejabat
administrasi di badan peradilan tidak termasuk yang diawasi Komisi
Yudisial�. Berdasarkan pendapat Ketua Mahkamah Agung tersebut, maka
amatlah jelas bahwa pendapat para Pemohon yang menyatakan hakim
agung tidak terjangkau pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
adalah merupakan pendapat yang keliru.
 
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan
bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial ditujukan dan
meliputi keseluruhan hakim, mulai dari hakim tingkat pertama, banding dan
hakim agung di seluruh lingkungan peradilan;
 
Menimbang bahwa terhadap tanggapan Pihak Terkait Langsung Komisi
Yudisial, para Pemohon pada pokoknya menyatakan keberatan terhadap tanggapan
tersebut;
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 6 Juni 2006, telah di dengar
keterangan di bawah sumpah, Ahli dari para Pemohon dan Saksi serta Ahli dari
Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, masing-masing menerangkan, yang pada
pokoknya sebagai berikut:
 
Ahli dari para Pemohon Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH.
 
I. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
 
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
 
Ketentuan Pasal 24B ayat (1) menyangkut mengusulkan pengangkatan
hakim agung berkaitan dengan ketentuan Pasal 24A ayat (3):
 
�Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden�.
 
II. Isu Hukum
 
Apakah makna hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 termasuk juga
hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi?
 
Ill. Analisis
 
Analisis dilakukan dengan pendekatan contextualism terhadap ketentuan
Pasal 24B ayat(1) UUD 1945.
 
Pendekatan Contextualism
 
Pendekatan yang dilakukan dalam interpretasi adalah contextualism
or purposivism or Englihtened Literalism sebagaimana yang dipaparkan
oleh Jan McLeod dalam bukunya Legal Method chapter 21: Modern
Interpretation in practice. Pendekatan contextualism mendasarkan pada tiga
asas, yaitu: asas noscitur a sociis, asas ejusdem generis dan asas
expressio unius exclusio alterius.
 
 
a. Asas Noscitur a Sociis
Asas ini mengandung makna: a thing is known by its associates
(h.279). Hal itu mengandung makna bahwa arti sebuah kata ditentukan
oleh konteksnya. Berdasarkan asas ini, makna hakim dalam Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 digunakan dalam konteks: ........dan mempunyai
wewenang lain dalam menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim.
 
Dengan demikian istilah hakim digunakan untuk wewenang Komisi
Yudisial yang lain, yaitu selain mengusulkan pengangkatan hakim agung.
 
 
b. Asas Ejusdem Generis
Asas ini mengandung makna of the same class. Dengan asas ini
pertanyaan terkait adalah apakah dalam konteks Pasal 24B ayat (1) UUD
1945, hakim agung termasuk dalam kelompok hakim yang terkait
wewenang Komisi Yudisial yang kedua?
 
Dalam konteks ini hakim agung tidak termasuk kelompok hakim
(of the same class) terkait wewenang lain (wewenang kedua) Komisi
Yudisial. Andaikata wewenang lain itu termasuk hakim agung dalam
konteks Pasal 24B ayat (1) haruslah secara tegas dinyatakan.
 
Ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 yang
menambah rumusan: menjaga kehormatan hakim agung dan hakim
adalah inkonstitusional karena Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya
merumuskan perilaku hakim. Selanjutnya Pasal 1 butir 5 UU No. 22
Tahun. 2004 tentang Komisi Yudisial memperluas lagi sehingga
menjangkau juga hakim Mahkamah Konstitusi.
 
 
c. Asas Expressio Unius Exclusio Alterius.
Asas ini mengandung makna bahwa: the expression (or the
inclusion) of one thing implies the exclusion of another.
 
Dengan asas ini berarti dengan berpegang pada makna hakim
dalam konteks Pasal 24B ayat (1) tidaklah termasuk hakim agung maka
haruslah ditolak ketentuan dalam undang-undang menyangkut
kewenangan Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim dengan
mengartikan hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi termasuk
pengertian hakim dalam konteks Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. UU
dimaksud saat ini adalah UU No. 4 Tahun 2004 (Pasal 34 ayat (3)) dan
UU No. 22 Tahun 2004 (Pasal 1 butir 5).
 
 
IV. Kesimpulan
Dengan pendekatan contextualism konsep hakim dalam konteks
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 tidaklah termasuk Hakim Agung dan Hakim pada
Mahkamah Konstitusi.
 
Ahli dari para Pemohon Hobbes Sinaga, SH., MH.
 
TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945 (UUD 1945)
 
Kedudukan, fungsi dan kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi.
 
Sebelum UUD 1945 mengalami perubahan, satu-satunya Lembaga Negara yang
menjalankan Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang membawahi lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang.
 
Setelah UUD 1945 mengalami perubahan maka dikenal adanya dua Lembaga
Negara yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
 
Menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 :
 
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
 
Dari rumusan Pasal 24 ayat (1) di atas jelaslah bahwa Kekuasaan Kehakiman
adalah kekuasaan untuk menyelengarakan peradilan. Selanjutnya penyelenggaraan
peradilan itu dilakukan adalah dalam rangka penegakan hukum dan keadilan oleh
karena itu lembaga yang menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman sering disebut
Lembaga Penegak Hukum dan Lembaga Keadilan. Namun demikian tidak semua
Lembaga Penegak Hukum dan Lembaga Penegak Keadilan yang menjalankan
Kekuasaan Kehakiman. Hanya lembaga yang menyelenggarakan peradilan yang
dengan tepat disebut Lembaga Negara yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman.
 
Menurut ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 :
 
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dan lingkungan peradiIan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
 
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) di atas, ada dua Lembaga Negara yang
menjalankan Kekuasaan Kehakiman dan berkedudukan sederajat satu dengan yang
lain, tidak mengatasi dan tidak membawahi satu dengan yang lain yaitu Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi,
 
Mahkamah Agung, sesuai dengan kedudukan, fungsi dan kewenangannya
membawahi badan peradilan lainnya yaitu peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. UUD 1945 membatasi secara
limitatif jenis dan lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Pada masing-
masing lingkungan peradilan ini secara bertingkat dikenal pengadilan tingkat
pertama dan pengadilan tingkat banding.
 
Menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 :
 
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang undang terhadap undang
undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang
undang.
 
Sesuai dengan bunyi Pasal 24A ayat (1) di atas, jelaslah bahwa Mahkamah Agung
menyelenggarakan peradilan tingkat kasasi dan menjadi puncak dari pengadilan
tingkat pertama dan tingkat banding.
 
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan kedudukan, fungsi dan kewenangannya tidak
membawahi badan peradilan lainnya karena tidak ada tingkatan peradilan seperti
peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding dalam lingkungan peradilan
Mahkamah Konstitusi.
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 :
 
Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
 
Dilihat dari sudut fungsi dan kewenangannya ada perbedaan antara Mahkamah
Agung dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memutus pada tingkat
kasasi segala perkara dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara serta menguji peraturan perundang-undang
dibawah undang-undang terhadap undang-undang, sedangkan Mahkamah
Konstitusi hanya memutuskan 5 (lima) hal yaitu menguji undang-undang terhadap
undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kesederajatan
kedua lembaga negara ini ditandai dengan fungsi dan kewenangan yang berbeda
dan tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
 
Cara Pengisian Keanggotaan Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi.
 
Menurut UUD 1945 ada perbedaan tentang cara pengisian keanggotaan Hakim
Agung dengan Hakim Konstitusi.
 
Mengenai cara pengisian anggota Hakim Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (3)
yang berbunyi:
 
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan tiga orang
oleh Presiden.
 
Dari ketentuan di atas sudah jelas bahwa cara pengisian keanggotaan hakim
konstitusi sudah ditentukan secara limitatif dan tidak ada penafsiran lain selain yang
ditentukan dalam Pasal 24C ayat (3). Sebagai catatan tidak ada peranan Komisi
Yudisial dalam rangka. pencalonan Hakim Konstitusi.
 
Dengan demikian tidak ada hubungan kelembagaan atau hubungan kerja antara
Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Yudisial.
 
Tentang cara pengisian keanggotaan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A
ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi :
 
Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
Hakim Agung oleh Presiden.
 
Berdasarkan ketentuan Pasal 24A ayat (3) di atas, pencalonan seorang calon
Hakim Agung dilakukan oleh suatu badan yang disebut Komisi Yudisial. Badan ini
mempunyai tugas pokok yaitu mengusulkan calon-calon Hakim Agung. Tentang
bagaimana tata cara rekruitmen calon-calon Hakim Agung diatur dengan undang
undang.
 
Mengenai pencalonan Hakim Agung timbul pertanyaan; mengapa harus ada suatu
badan yaitu Komisi Yudisial yang melakukan tugas rekruitmen calon-calon Hakim
Agung?
 
Sebelum perubahan UUD 1945 dan sebelum Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan
UUD 1945 yang melakukan fit and propertest untuk calon-calon Hakim Agung
adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam menentukan siapa calon Hakim Agung
yang lulus pada fit and propertest dan yang akan disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat sering didasarkan pada pertimbangan politik dan kepentingan politik dari
masing-masing fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Akibatnya beberapa
Hakim Agung yang terpilih dan kemudian keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden,
kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat karena keanggotaannya sebagai
Hakim Agung lebih ditentukan oleh pertimbangan politik dan kepentingan politik.
 
Berdasarkan pengalaman Ahli sebagai anggota PAH I BP MPR yang
mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945 ide dan keinginan untuk
membentuk suatu badan yang secara khusus bertugas untuk merekrut calon-calon
Hakim Agung itu di dasarkan pada sistem recruitment yang lama yang dianggap
tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Justru ide ini muncul pada saat PAH I
sedang membahas Kekuasaan Kehakiman. Jelaslah bahwa munculnya suatu badan
yang bernama Komisi Yudisial tidak lahir dari atau menjadi bagian dari Kekuasaan
Kehakiman tetapi sesuatu badan yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan
Kehakiman.
 
Sehubungan dengan hal di atas Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menegaskan :
 
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang.
 
Dengan demikian jelaslah bahwa kedudukan Komisi Yudisial tidak menjalankan
Kekuasaan Kehakiman tetapi suatu badan yang fungsinya berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman khususnya dengan Mahkamah Agung.
 
KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL
 
Ketentuan UUD 1945 mengenai Komisi Yudisial tercantum dalam Pasal 24B
ayat (1):
 
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
 
Ayat (2) ������.
 
Ayat(3) ...................
 
Ayat (4) :
 
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
Undang-undang.
 
Jika ketentuan Pasal 24A ayat (3) dihubungkan dengan ketentuan Pasal 24B ayat
(1) maka. kewenangan Komisi Yudisial adalah merekrut calon-calon Hakim Agung
dan setelah mengalami penyelidikan dan penelitian serta memenuhi syarat
kemudian calon-calon tersebut diusulkan kepada DPR untuk memperoleh
persetujuan dan kemudian calon-calon yang mendapat persertujuan diusulkan
pengangkatannya kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung.
 
Sesuai dengan ketentuan di atas jelaslah bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak
nyata-nyata ditentukan dalam UUD 1945. Kewenangannya hanya terbatas untuk
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Kewenangan yang demikian tidak
"penuh" karena pengangkatan dilakukan oleh Presiden setelah mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 24A Ayat 3).
 
Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial tidak ditentukan didalam UUD 1945
melainkan didalam UU sebagaimana ditentukan dalam Ayat 4 diatas.
 
Dilihat dari sudut teori kewenangan maka setiap kewenangan yang diberikan harus
mempunyai "kekuatan mengikat" oleh karena itu kewenangan juga mempunyai
"akibat hukum".
 
Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial tidak mempunyai kekuatan mengikat
karena sifatnya hanya "mengusulkan pengangkatan calon Hakim Agung" dan tidak
mempunyai akibat hukum karena jika calon yang diusulkan tidak mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak mendapat penetapan dari Presiden
alias usulan ditolak, tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh Komisi
Yudisial.
 
Dalam hubungan ini kewenangan yang bersifat penuh justru ada pada DPR yaitu
memberikan persetujuan dan pada Presiden yaitu memberi penetapan kedua
bentuk kewenangan ini mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai akibat
hukum.
 
Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial bersifat tidak penuh, tidak
mempunyai kekuatan mengikat dan tidak mempunyai akibat hukum.
 
Pengertian Wewenang Lain
 
Dalam ketentuan Pasal 24B Ayat (1) pada anak kalimat yang mengatakan :
 
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hukum.
 
Pada waktu pembahasan Pasal-pasal yang mengenai Komisi Yudisial timbul
pertanyaan :
 
1. Bagaimana cara Komisi Yudisial untuk merekrut calon-calon Hakim Agung?
 
2. Calon yang bagaimana yang layak diusulkan menjadi Hakim Agung?
 
3. Dari mana calon-calon Hakim Agung ini diperoleh?
 
Untuk menjawab pertanyaan No.1, para anggota PAH I BP MPR sepakat untuk
memberikan wewenang lain kepada Komisi Yudisial. Dengan kewenangan ini
Komisi Yudisial dapat mengadakan hubungan-hubungan. dengan cara tertentu
untuk memperoleh calon-calon yang diharapkan.
 
Dengan demikian pengertian wewenang lain bukanlah pemberian wewenang yang
bersifat penuh kepada Komisi Yudisial tetapi hanya sekedar menunjukan cara
bagaimana memperoleh calon-calon yang layak diusulkan menjadi Hakim Agung.
Jadi wewenang ini bersifat teknis/mekanistis.
 
Untuk menjawab pertanyaan No. 2, yaitu calon yang layak diusulkan menjadi Hakim
Agung terkait dengan ketentuan Pasal 24A ayat (2) yang berbunyi :
 
Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, profesional dan berpengalaman dibidang hukum.
 
Mencari calon hakim Agung seperti dimaksud dalam Pasal 24A ayat (2) di atas
sangat tidak mudah dan sangat sulit. Dalam hubungan inilah diberikan kewenangan
lain kepada Komisi Yudisial yang tujuannya adalah dalam .rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Menurut pendapat ahli, pengertian wewenang lain tidak berarti memberikan
kekuasaan kepada Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, akan tetapi wewenang ini diberikan dalam
rangka memperoleh calon Hakim Agung yang memiliki kualifikasi tersebut dalam
Pasal 24A ayat (2) dan jika calon yang demikian diperoleh maka calon Hakim
Agung yang diusulkan kepada DPR untuk disetujui dan kepada Presiden untuk
ditetapkan menjadi Hakim Agung adalah orang-orang yang mampu menjaga
kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku yang baik.
 
Dengan demikian kata-kata dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim justru ditujukan kepada
calon-caion Hakim Agung yang akan diusulkan pengangkatannya.
 
Untuk menjawab pertanyaan No. 3, yaitu dari mana calon-calon Hakim Agung ini
diperoleh, juga menjadi bahan pembahasan di dalam rapat-rapat PAH I BP MPR.
 
Seperti diketahui yang dicalonkan menjadi calon Hakim Agung tidak termasuk
anggota Hakim Agung yang sudah ditetapkan oleh Presiden. Seorang Hakim Agung
hanya mengalami sekali pencalonan dan jika sudah terpilih dan ditetapkan menjadi
Hakim Agung mereka terikat dengan masa jabatan yang dikaitkan dengan batas
umur pensiun.
 
Bertitik tolak dari aturan ini maka Komisi Yudisial harus mencari calon-calon Hakim
Agung dari hakim-hakim yang berada dibawah Mahkamah Agung yaitu hakim-hakim
yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional dan
.berpengalaman dibidang hukum dan hakim-hakim yang mampu menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
 
Dengan demikian menurut pendapat ahli, calon-calon Hakim Agung tersebut
direkrut oleh Komisi Yudisial dari hakim-hakim di bawah Mahkamah Agung. Hal ini
juga berarti yang dimaksud dengan "Hakim" adalah hakim dibawah Mahkamah
Agung dan tidak termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
 
PENDAPAT AHLI TERHADAP BEBERAPA PASAL DALAM UNDANG-
UNDANG NO. 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL
 
Pada BAB I KETENTUAN UMUM yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (5) berbunyi :
 
Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan disemua
lingkungan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah
Konstitusi sebagai mana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Di dalam lampiran Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan terdapat penjelasan mengenai apa materi muatan
atau isi dari suatu KETENTUAN UMUM. Menurut Undang-Undang ini ketentuan
umum berisi :
 
 
a. Batasan pengertian atau defenisi
b. Singkatan atau akronim yang .digunakan dalam peraturan
c. Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (pasal) berikutnya
antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
 
 
Menurut pendapat ahli, ketentuan dalam Pasal 1 ayat (5) UU No. 22 Tahun 2004 di
atas mestinya tidak mendefinisikan Hakim seperti dimaksud dalam UUD 1945,
karena pengertiaannya menjadi sangat luas hingga mencakup Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi.
Apabila pencantuman Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sengaja dimasukkan
untuk mencerminkan asas, maksud, dan tujuan dibentuknya Undang-undang
yang akan mengatur kedudukan, tugas/fungsi, dan 'wewenang Komisi Yudisial maka
sejak awal sudah ada maksud dan tujuan yang menempatkan Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi sejajar atau sederajat dan atau berada di bawah Komisi Yudisial.
 
Pencantuman kata-kata: seperti dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, adalah kurang tepat karena meng-generalisir
maksud UUD 1945 untuk tujuan tertentu adalah tidak baik.
 
Berdasarkan uraian yang Ahli sampaikan di atas sudah jelas bahwa maksud dan
tujuan di bentuknya Komisi Yudisial demikian juga pembahasan tentang tugas dan
wewenang Komisi Yudisial yang dibatasi maka pencantuman kata-kata "seperti
dimaksud dalam UUD 1945" Ahli menganggap berlebihan dan punya maksud serta
tujuan tertentu.
 
Menurut pendapat ahli, yang di maksud dengan Hakim adalah hakim-hakim pada
badan peradilan disemua peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Tegasnya tidak mencakup Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
 
Tentang Ketentuan BAB III WEWENANG DAN TUGAS-TUGAS, Pasal 13 yang
berbunyi :
 
Komisi Yudisial mempunyai wewenang :
 
 
a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim
 
 
Seperti sudah dijelaskan di atas tentang wewenang lain Komisi Yudisial, ahli
berpendapat bahwa kata-kata Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim tidak memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial
untuk bertindak sebagai Penegak kehormatan dan keluhuran martabat dan tidak-
memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk bertindak sebagai Penjaga
perilaku hakim.
Ketentuan Pasal 13 huruf b, menjadi dasar pengaturan lebih lanjut dalam Pasal 20
yang berbunyi :
 
Dalam melaksanakan wewenang sebagai di maksud dalam Pasal 13 huruf b,
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap prilaku
hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim.
 
Menurut pendapat ahli, ketentuan Pasal 20 di atas telah melampaui batas
wewenang Komisi Yudisial. Tugas pengawasan adalah suatu kekuasaan yang
penuh dan mempunyai akibat hukum. Misalnya jika dibandingkan dengan fungsi
DPR seperti diatur dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan, ketentuan ini menunjukkan adanya tiga fungsi pokok DPR.
Pengawasan adalah suatu fungsi pokok yang melahirkan kewenangan untuk
bertindak dan hasil dari pengawasan tersebut mempunyai akibat hukum terhadap
orang atau badan atau lembaga yang diawasi. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 20
yang memberi tugas pengawasan kepada Komisi Yudisial melampaui batas
kewenangan seperti dimaksud dalam UUD 1945.
 
Selanjutnya, tidak lazim dan tidak layak tugas tambahan lebih besar dari tugas
pokok. Berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Komisi Yudisial.
hanya berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, sebagai
kelanjutan dari tugas Komisi Yudisial dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, yaitu
calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial. Sifat dari wewenang Komisi Yudisial
ini tidak penuh dan tidak mempunyai akibat hukum. Karena yang menyetujui
pengangkatan Hakim Agung adalah DPR dan yang menetapkan keanggotaan
Hakim Agung adalah Presiden. Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang
mengatur akibat hukum jika usulan Komisi Yudisial tidak disetujui DPR dan tidak
ditetapkan Presiden. Dengan demikian tugas tambahan Komisi Yudisial yaitu
mempunyai wewenang lain yang kemudian di artikan sebagai tugas melakukan
pengawasan dalam Pasal 20 UU No. 22 Tahun 2004 lebih besar dari tugas pokok
dan oleh karena itu tidak sesuai dengan maksud yang terkandung dalam UUD 1945.
 
Pendapat ahli terhadap ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004
 
Pasal 21 berbunyi :
 
Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagai mama dimaksud dalam
Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sangsi
terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi.
 
Sebelum memberikan pendapat terhadap ketentuan Pasal 21 di atas, perlu
disampaikan kembali pendapat ahli tentang ketentuan Pasal 1 ayat (5) dan
ketentuan Pasal 13 huruf b.
 
Mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (5) seperti telah dikemukakan di atas, Ahli
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah hakim-hakim pada
badan peradilan di semua peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Dengan demikian ketentuan Pasal 1 ayat (5) tidak mencakup Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi. Selain itu kata-kata seperti di maksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, adalah keliru dan justru
bertentangan karena pada dasarnya tidak ada hubungan Komisi Yudisial dengan
Mahkamah Konstitusi.
 
Mengenai ketentuan Pasal 13 huruf b, Ahli telah mengemukakan pendapat bahwa
pengertian wewenang lain yang dihubungkan dengan kata-kata menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim tidak memberi
kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk bertindak sebagai Penegak kehormatan
dan keluhuran martabat dan tidak memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial
untuk bertindak sebagai Penjaga perilaku hakim. Selain itu Ahli juga berpendapat
bahwa fungsi tambahan tidak boleh lebih besar dari fungsi pokok.
 
Sehubungan dengan pendapat-pendapat Ahli di atas jika dihubungkan ketentuan
Pasal 21 maka Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan atau bertugas untuk
mengusulkan usul penjatuhan sangsi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah
Agung atau Mahkamah Konstitusi. Ketentuan Pasal 21 telah melebihi batas
wewenang dan lebih jauh lagi dapat melahirkan kekuasaan baru bagi Komisi
Yudisial dan jika dijalankan akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Sekerdar mengingatkan sidang yang terhormat tentang ketentuan dalam Undang-
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang ditetapkan
lebih dahulu, dalam Pasal 32 berbunyi :
 
 
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasan kehakiman;
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku para hakim di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan tugasnya;
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkuatan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan
peradilan;
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan
yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan;
(5) Pengawasan dan kewenagan sebagai mana dimaksud ayat (1) sampai
dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara
 
 
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan kewenangan antar Lembaga Negara
dan hanya sekedar mengingatkan bahwa tugas pengawasan terhadap hakim-hakim
di bawah Mahkamah Agung sudah diatur terlebih dahulu di dalam UU No. 4 Tahun
2004.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 21 UU No. 22 Tahun 2004, Ahli berpendapat
bahwa ketentuan ini tidak sesuai dengan maksud dan bertentangan dengan UUD
1945.
 
Sehubungan dengan pendapat-pendapat yang sudah ahli kemukakan di atas, maka
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 22 seluruhnya dan ketentuan Pasal 23 seluruhnya
serta ketentuan Pasal 25 ayat (3), khususnya kata-kata yang berbunyi dan
pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi dengan di
hadiri seluruh anggota Komisi Yudisial, tidak diperlukan dan mohon dicabut.
 
Saksi dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial Drs. Agun Gunandjar
 
Bahwa Komisi Yudisial muncul dalam pembicaraan-pembicaraan di Panitia
Ad Hoc I, namun secara khusus dibicarakan menjelang menghadapi masa sidang
pada tahun dua ribuan;
 
Bahwa pembahasan tentang pengawasan para hakim sudah muncul pada
tahun 1999 dengan menyoroti secara khusus keberadaan Mahkamah Agung yang
sepertinya menjadi sebuah lembaga yang tidak tersentuh, terlebih-lebih pada saat
DPR telah menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman berpucuk dan berpuncak di
Mahkamah Agung yaitu dengan direvisinya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999. Pada pembahasan tahun 1999
tersebut Hamdan Zoelva menyatakan pentingnya sebuah pengawasan bahkan
secara eksplisit menyebut sebuah dewan kehormatan;
 
Bahwa Fraksi Partai Golkar pada tanggal 8 Juni 2000 mengusulkan pada
Pasal 25 ayat (3), bahwa pada Mahkamah Agung dibentuk Komisi Yudisial yang
berfungsi melakukan recruitment, memberikan rekomendasi kepada MPR untuk
mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung. Pemikiran yang ada pada saat itu,
adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka lepas dari cabang eksekutif, yudikatif,
dan legislatif;
 
Bahwa pada tanggal 29 Juli 2000 dalam rapat pleno Panitia Ad Hoc I pada
akhirnya membedakan, Komisi Yudisial khusus menangani masalah pengangkatan
dan pemberhentian Hakim Agung, sedangkan Dewan Kehormatan bertugas untuk
mengontrol, dengan demikian usulan, gagasan, pemikiran tentang Komisi Yudisial
bersamaan dengan dewan kehormatan. Namun dalam perjalanannya draft
rancangan perubahan tersebut, tidak disetujui oleh Tim Ahli dalam hal ini Prof. Dr.
Maria S.W Sumarjono posisi menempatkan dewan kehormatan pada Undang-
Undang Dasar, tetapi lebih baik ditempatkan pada Undang-undang. Namun pada
akhirnya mengenai Komisi Yudisial dengan Dewan Kehormatan tidak dapat
diputuskan pada perubahan kedua tersebut, sehingga kemudian keluarlah Tap MPR
Nomor 9 Tahun 2000 yang menugaskan kepada Badan Pekerja MPR untuk
mempersiapkan rancangan perubahan berikutnya dengan melampirkan beberapa
pasal yang tidak terselesaikan untuk dikerjakan kembali, yang hasilnya adalah Pasal
24B ayat (1) �Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh MPR atas usul Komisi
Yudisial� ayat (2) � Komisi Yudisial bersifat mandiri yang susunan, kedudukan dan
keanggotaannya yang diatur dengan Undang-undang� ayat (3) �ketua dan wakil
ketua Mahkamah Agung dipilih oleh Hakim Agung�. Kemudian Pasal 25A �untuk
menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim
dibentuk Dewan Kehormatan Hakim�;
 
Bahwa ide pemikiran yang berkembang pada saat itu, mengenai
pengawasan, adalah berangkat dari ide pemikiran yang sama yaitu sebuah dewan
kehormatan;
 
Bahwa proses pengambilan keputusan untuk pasal Kekuasaan Kehakiman
diputuskan dalam proses lobi, dan sidang paripurna diputuskan secara aklamasi,
namun mengenai proses pengambilan keputusan tidak dapat dibuktikan dengan
dokumen-dokumen seperti risalah rapat, mengingat pengambilan keputusan
dilakukan dalam proses lobi yang dihadiri oleh pimpinan-pimpinan fraksi dan
pimpinan majelis;
 
Bahwa Saksi menerangkan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan
mengenai pasal-pasal tersebut, tetapi Saksi mengikuti detik demi detik perubahan
tersebut, karena Saksi adalah Sekretaris Koordinator Panitia Ad Hoc I untuk Fraksi
Partai Golkar;
 
Bahwa kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan pengawasan, termasuk
pengawasan para hakim, bukan hanya kepada para Hakim Agung semata;
Sehingga yang dimaksud dengan hakim adalah seluruh hakim sebagaimana
dimaksud Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945, oleh karena itu Dewan
Kehormatan ditempatkan dalam Pasal 25A draft rancangan perubahan Undang-
Undang Dasar 1945, hal tersebut juga didasarkan pada alasan, bahwa Pasal 25
menentukan syarat-syarat untuk diangkat dan diberhentikan sebagai hakim diatur
dalam undang-undang;
 
Bahwa hakim agung harus tertera secara eksplisit dalam Pasal 24B, oleh
karena sistem pengangkatannya adalah sistem terbuka, sebab jika dirumuskan
menjadi hakim, maka akan berbenturan dengan proses pengangkatan hakim di
tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang sistemnya adalah sistem
tertutup. Sehingga rumusan hakim yang dimaksud dalam Pasal 24B Undang-
Undang Dasar 1945, adalah hakim menjadi sebuah genus, dan dalam sejarahnya
pun dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah seluruh hakim;
 
Bahwa Komisi Yudisial ditempatkan pada Pasal 24B, oleh karena Komisi
Yudisial telah disebutkan dalam Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945;
 
Bahwa perdebatan masalah Komisi Yudisial sangat erat kuat dengan
keberadaan Mahkamah Agung pada saat itu, sedangkan pembicaraan mengenai
keberadaan para hakim di Mahkamah Konstitusi, belum muncul dalam
pembicaraan-pembicaraan, bahkan Fraksi Partai Golkar masih tetap konsisten
dalam usulannya menempatkan Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Agung;
 
Bahwa penempatan kata hakim pada posisi Pasal 24B, adalah tetap
konsisten dan berangkat dari ide pemikiran tentang pentingnya pengawasan
terhadap para hakim termasuk Hakim Agung yang sudah amat membutuhkan
perhatian, yang seluruhnya diserahkan dalam bentuk undang-undang;
 
Bahwa wewenang lain yang dimaksud dalam rumusan Pasal 24B adalah
bukan pada posisi wewenang lain yang terkait dengan pengangkatan, tetapi
wewenang lain yang dimaksud tersebut adalah sebagai bentuk dari draft yang
memang sudah sejak dari awal yaitu melakukan menegakkan kehormatan perilaku
hakim yang ada di Pasal 25A, yang akhirnya dimasukan ke dalam Pasal 24B di
ayat (2);
 
Bahwa seluruh putusan-putusan di sidang majelis, diambil melalui aklamasi,
termasuk Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
 
Bahwa kata �dan� dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar adalah
menyatakan sesuatu yang memang berbeda, antara wewenang yang satu dengan
wewenang yang lain.
 
Bahwa pentingnya Komisi Yudisial dihadirkan adalah dalam rangka
berlangsungnya mekanisme check and balances, bagaimana menciptakan sebuah
Mahkamah Agung sebagai sebuah kekuasaan kehakiman yang benar-benar
merdeka lepas dari intervensi pengaruh pihak manapun;
 
Bahwa berdasarkan fakta yang ada, perdebatan masalah Komisi Yudisial
bukan hanya soal pengusulan, tetapi juga soal pemberhentian, bahkan berbicara
juga soal pengawasan, hal tersebut secara faktual dapat dilihat dalam draft-draft
rancangan perubahan, yaitu dalam rumusan yang dimaksud dengan pengangkatan
dan pemberhentian dilakukan oleh Komisi Yudisial, tetapi kontrol untuk mengawasi
dilakukan oleh sebuah dewan kehormatan hakim. Namun pada putusan akhir
melalui proses lobi kedua masalah dimaksud digabungkan dalam satu pasal yakni
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
 
Bahwa berdasarkan fakta, wewenang lain dimaksud terlepas dan tidak
concordant dengan recruitment hakim agung sebagai satu kesatuan, tetapi muncul
sebagai akibat dari Pasal 25A mengenai dewan kehormatan yang pada saat itu ada,
yang akhirnya menjadi kewenangan Komisi Yudisial;
 
 
Ahli dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial Dr. Denny Indrayana, SH.,
LL.M., Ph.D.
 
Pendapat hukum ini terutama akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar
berikut:
 
 
1. Bagaimanakah sebaiknya metode interpretasi konstitusi dari sisi hukum tata
negara? Apakah tepat interpretasi Pemohon atas Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 bahwa yang dapat diawasi Komisi Yudisial hanyalah hakim tingkat
pertama dan hakim tingkat banding semata; sedangkan hakim agung, hakim
konstitusi dan hakim ad hoc tidak dapat diawasi oleh Komisi Yudisial?
2. Mengapa tidak hanya hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding yang
penting diawasi tetapi juga hakim agung, hakim konstitusi dan hakim ad hoc?
3. Apakah tepat pendapat yang mengatakan bahwa pengawasan atas hakim akan
melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman?
4. Bagaimanakah perbandingan fungsi Komisi Yudisial di negara-negara lain,
terutama dalam hal pengawasan hakim?
 
 
Berikut adalah penjelasan satu persatu dari keempat persoalan di atas.
I. TENTANG METODE PENAFSIRAN KONSTITUSI (CONSTITUTIONAL
INTERPRETATION)
 
1. Ada banyak cara untuk menafsirkan konstitusi (constitutional
interpretation). Diantaranya adalah metode literal dan legalistik; kaku
dan dangkal; progressif; mengacu pada pengertian sebelumnya (stare
decisis); mengacu pada niat pembuat konstitusi (purposive); dan umum
atau liberal.
 
2. Berdasarkan keenam metode tersebut, tidak ada satupun metode yang
dapat dikatakan mendukung dalil pemohon bahwa kata "hakim" pada ujung
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mencakup pengertian: hakim agung,
hakim konstitusi dan hakim ad hoc.
 
 
� Jikalaupun dipaksakan, mungkin hanya metode yang kaku dan dangkal
(strict and narrow) yang seakan-akan membenarkan argumen bahwa
kata "hakim" di ujung Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mencakup
"hakim agung", "hakim konstitusi" maupun "hakim ad hoc". Namun, itu
berarti sama sekali tidak terjadi perluasan (ekstensifikasi) pengertian
atas kata "hakim" dalam Undang-undang Komisi Yudisial, sebagaimana
selalu didalilkan oleh para Pemohon. Alih-alih terjadi perluasan, dengan
mengartikan kata "hakim" sangat terbatas demikian, yang terjadi justru
sebaliknya adalah penyempitan makna dari kata "hakim".
� Berdasarkan metode literal dan legalistik - terkadang disebut textualism,
"hakim" harus dilihat sebagai kata pengertian "umum". Sedangkan
"hakim agung", "hakim konstitusi", "hakim ad hoc", "hakim kepailitan",
"hakim tindak pidana korupsi" dan jenis hakim lainnya adalah pengertian
"khusus". Artinya, kata "hakim" akan mencakup semua jenis hakim
sebagai profesi, tidak terkecuali hakim agung, hakim konstitusi, hakim
ad hoc danlatau hakim apapun yang di masa datang akan muncul
berdasarkan peraturan perundangan.
� Berdasarkan metode purposive (kadang disebut metode original intent
atau original meaning), sudah tegas-jelas dikatakan oleh para the
second founding parents dalam sidang sebelumnya bahwa: arti kata
"hakim" dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah mencakup seluruh
hakim, tidak terkecuali hakim agung. Harun Kamil dalam persidangan
sebelumnya tegas menyimpulkan original intent Pasal 24B ayat (1)
adalah:
Pada akhirnya kami sampaikan bahwa ... kewenangan Komisi Yudisial
untuk menjaga kehormatan daripada hakim, apa yang disimpulkan dari
seluruh rangkaian pembicaraan yang ada pada kewenangan Komisi
Yudisial adalah telah sampai pada tingkat Mahkamah Agung. (cetak
tebal oleh Ahli).
 
Sedangkan "hakim konstitusi" kata mereka memang tidak secara jelas
dibahas. Namun bukan berarti bahwa hakim konstitusi tidak termasuk
kata "hakim" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24B ayat (1) UUD
1945. Menurut Ahli, tidak dibahasnya hakim konstitusi itu lebih pada
persoalan sistematika pembahasan amandemen UUD 1945 yang tidak
runtut serta tidak pula terencana secara rapi.
 
3. Meskipun ada banyak metode mengartikan konstitusi, pengartian
demikian harus tidak boleh bertentangan dengan konsep moralitas
konstitusional (constitutional morality). Karena, "Constitution is a
reflection of larger moral truths". Yang artinya "Constitution cannot be
properly understood without reference to those moral truths."
� Padahal, salah satu pesan moral utama yang ada di dalam Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 berkait erat dengan "masalah kehormatan dan
keluhuran martabat, serta perilaku seluruh hakim...untuk mendukung
upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham
Indonesia adalah negara hukum".
� Ditegaskan pula bahwa adanya ketentuan konstitusi tentang Komisi
Yudisial didasarkan pada pesan moral konstitusional bahwa, "hakim
agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan
figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan
hukum dan keadilan".
 
 
4. Selain bertentangan dengan moralitas konstitusional, interpretasi bahwa
Komisi Yudisial hanya berhak mengawasi hakim tingkat pertama dan
banding adalah interpretasi yang tidak tepat karena bersifat diskriminatif
dan kolutif. Diskriminatif karena hanya memberlakukan pengawasan
eksternal kepada hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi
tidak kepada hakim yang lain, termasuk tidak pada Pemohon (hakim
agung). Serta kolutif, karena pengawasan hakim agung oleh Mahkamah
Agung sendiri akan lebih mengundang potensi penyimpangan, ketimbang
pengawasan dari Komisi Yudisial yang lebih konsisten dengan pnnsip
dasar konstitusionalisme: sistem saling kontrol saling imbang (checks and
balances system).
5. Apalagi, dengan mengartikan bahwa pengawasan Komisi Yudisial tidak
berhak mengawasi hakim agung, Pemohon nyata-nyata tidak konsisten.
Cetak Biru Mahkamah Agung dan Rancangan Undang-Undang Komisi
Yudisial - yang dibuat sendiri oleh Mahkamah Agung - nyata-nyata
menyatakan Komisi Yudisial berhak mengawasi hakim agung. Berikut
adalah beberapa argumen utama yang menunjukkan hal tersebut.
� Ketika mengartikan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, cetak biru Mahkamah
Agung menegaskan bahwa, "memperhatikan pilihan kalimat dan
penjelasan dari PAH I MPR, maksud dan fungsi tersebut adalah
pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim Agung).
 
� Berbicara urgensi pengawasan dalam Rancangan Undang-Undang
Komisi Yudisial, Mahkamah Agung berpendapat:
 
 
Melihat fungsi dan tugas Komisi Yudisial dan menyadari permasalahan
di pengadilan, Komisi Yudisial harus memprioritaskan pada tugas
pengawasan dan pendisiplinan hakim. Lebih jauh, skala priotitas lanjutan
dalam pelaksanaan tugas tersebut adalah pengawasan dan
pendisiplinan terhadap hakim-hakim yang menduduki posisi penting dan
yang berada di tingkat pengadilan yang paling menentukan. Mereka
adalah pimpinan pengadilan di semua tingkat, hakim yang memegang
jabatan struktural tertentu dan hakim agung.
Berkait dengan hakim konstitusi, blue print Mahkamah Konstitusi juga
secara tegas menyatakan bahwa, "menjadi penting bagi MK, untuk
memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada
pihak ekstemal yang memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial,
secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di
lingkungan peradilan umum maupun MK."
 
 
II. TENTANG URGENSI KONSTITUSIONALITAS (CONSTITUTIONAL
IMPORTANCE) KOMISI YUDISIAL MENGAWASI SEMUA HAKIM
Urgensi konstitusionalitas (constitutional importance) dari pengawasan
hakim tidak dapat dinyatakan hanya berlaku pada hakim pengadilan pertama
dan hakim banding, tetapi tidak berlaku pada hakim agung, hakim konstitusi
dan hakim ad hoc. Sewajibnya semua hakim haruslah diawasi. Hal itu karena
beberapa alasan berikut:
 
1. Bahwa alasan pengawasan adalah untuk mengurangi potensi terjadinya
korupsi peradilan. Padahal sudah menjadi pendapat umum bahwa seluruh
proses peradilan relatif terjangkiti potensi judicial corruption - tidak
terkecuali di Mahkamah Agung. Beberapa contoh pendapat yang dapat
dikutip pada kesempatan ini, yang berkait dengan perlunya hakim agung
di awasi, adalah:
 
 
a. Corruption has been institutionalised in the judiciary, especially in the
Supreme Court, an institution notorious in this regard.
 
b. Menurut polling di Kompas:
 
 
"Penilaian negatif publik dalam memandang sosok lembaga MA kini
cenderung membesar. Sebanyak 62 persen responden memandang
citra MA buruk, dan hanya 29 persen menilai baik".
"Publik pun kini sangat percaya bahwa keputusan hukum bisa dibeli
dengan uang, termasuk di tingkat MA, sebagaimana disuarakan
hampir seluruh responden (90 persen)".
 
"Bercermin dari penanganan berbagai kasus kasasi, hampir 90 persen
responden percaya para hakim agung tidak bebas suap atau KKN.
Selain tidak percaya MA bersih dari korupsi, kepercayaan pada
kemampuan MA memperbaiki dan membersihkan diri dari mafia
peradilan pun kian diragukan publik".
 
2. Bahwa alasan untuk mengecualikan hakim agung dan Komisi Yudisial dan
menyerahkan pengawasan mereka kepada Mahkamah Agung sendin
tidak tepat karena: Mahkamah Agung sendiri dalam Naskah Akademis
dan Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial mengakui bahwa
pengawas eksternal dibutuhkan karena pengawasan internal mempunyai
permasalahan-permasalahan berikut:
 
 
a. kurangnya transparansi dan akuntabilitas;
b. adanya dugaan semangat membela korps;
c. kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankannya
metode pengawasan yang ada secara efektif;
d. kelemahan sumber daya manusia;
e. pelaksanaan pengawasan selama ini kurang melibatkan partisipasi
masyarakat.
f. rumitnya birokasi yang harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan
perilaku hakim yang menyimpang.
 
 
3. Bahwa alasan public distrust dan bermasalahnya pengawasan internal
Mahkamah Agung itulah yang sebenarnya menjadi salah satu dasar
utama lahirnya Komisi Yudisial, terutama pada bagian, "wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim". Alasan mana tidak akan terlaksana jika
kemudian pengawasan tidak pula dilakukan kepada Pemohon (hakim
agung).
 
 
III. TENTANG PENGAWASAN TIDAK MELANGGAR PRINSIP KEMANDIRIAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN
 
Ada pendapat bahwa pengawasan atas hakim akan melanggar prinsip
kemandirian kekuasaan kehakiman. Pendapat demikian keliru karena
argumentasi-argumentasi berikut:
 
 
1. Pemohon (hakim agung) tidak tepat berargumen bahwa pengawasan
Komisi Yudisial melanggar kemandirian kekuasaan kehakiman, karena
akan terkesan kuat tidak konsisten. Sebab, kemandinan kekuasaan
kehakiman tidak hanya dimiliki para Pemohon (hakim agung), tetapi oleh
semua hakim. Artinya kalau memang pengawasan Komisi Yudisial
dianggap melanggar prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman, maka
pengawasan itupun - quod non - tidak dapat dilakukan pada hakim tingkat
pertama maupun hakim tingkat banding.
2. Terlebih, prinsip kemandinan kekuasaan kehakiman bukanlah prinsip
hukum yang berdiri sendiri. Prinsip tersebut harus berjalan seiring dengan
prinsip hukum transparansi dan akuntabilitas. Kedua prinsip transparansi
dan akuntabilitas itulah yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan para
hakim oleh Komisi Yudisial. Mengenai pentingnya prinsip kemandirian
bersama-sama dengan transparansi dan akuntabilitas tersebut, Warwick
Soden seorang Kepala Panitera Pengadilan Federal Australia
berpendapat:
"If the issues of transparency, accountability and judicial independence
operate effectively in the administration of justice, the risk of corruption is
greatly reduced."
 
Lebih jauh Warwick Soden berargumentasi:
 
"Transparency, accountability and independence are the ingredients of a
successful judicial system and one that is capable of fighting corruption.
Maintaining these elements are essential for supplying the judicial system
with the public confidence it needs to remain legitimate. Each of the
ingredients are like gears in a machine. By themselves they are important
but, together, they make the machine work."
 
 
3. Khusus tentang pentingnya transparansi sebagai bentuk pengawasan
proses peradilan, Rifki Assegaf dan Josi Katarina secara tepat mengutip
 
 
 
 
pendapat Jeremy Bentham yang menegaskan:
"dalam gelapnya ketertutupan, segala jenis kepentingan jahat berada di
puncak kekuatannya. Hanya dengan keterbukaanlah pengawasan
terhadap segala bentuk ketidakadilan di lembaga peradilan dapat
dilakukan. Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan.
Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari
ketidakjujuran. Keterbukaan membuat hakim 'diadili' saat ia mengadili
(perkara)."
 
 
4. Sebagai perbandingan Pasal 3 ayat 1 Konstitusi Amerika Serikat amat
jelas mengawinkan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman dengan
prinsip akuntabilitas:
The judicial Power of the United States, shall be vested in one Supreme
Court, and in such inferior Courts as the Congress may from time to time
ordain and establish. The Judges, both of the supreme and inferior
Courts, shall hold their Offices during good Behaviour, and shall, at
stated Times, receive for their Services a Compensation, which shall not
be diminished during their Continuance in Office.
 
Tergambar bahwa kemandirian hakim yang tercermin dari proses
pemberhentiannya yang tidak bisa sembarangan, serta gaji hakim yang
tidak dapat diturunkan selama masa jabatannya, disandingkan dengan
prinsip akuntabilitas (good behaviour). Jelas bahwa independence of
judiciary harus dilaksanakan dengan moralitas dan integritas perilaku
hakim yang terjaga, dan karenanya seluruh hakim penting untuk diawasi.
 
 
5. Secara hukum internasional pun banyak konvensi yang menegaskan
kemandirian kekuasaan kehakiman harus berjalan seiring dengan prinsip
akuntabilitas atau integritas. Misalnya, dalam The Bangalore Principles of
Judicial Conduct 2002, prinsip independensi bersanding dengan
imparsialitas dan integritas - di samping masih banyak lagi prinsip-prinsip
hukum lainnya.
 
 
6. Berdasarkan argumen-argumen di atas maka, nyatalah bahwa prinsip
kemandirian kekuasaan kehakiman tidaklah berjalan sendirian, tetapi
harus dikawal dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas (integritas)
 
 
yang dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan terhadap perilaku
para hakim agar tidak menyimpang dari asas good behaviour.
Berkait dengan keberadaan Komisi Yudisial yang melakukan pengawasan
terhadap kinerja hakim, penelitian Wim Vormans menyimpulkan bahwa:
keberadaan Komisi Yudisial di beberapa Negara Eropa justru berdampak
positif atas independensi peradilan.
 
IV. PERBANDINGAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DI BEBERAPA
NEGARA
 
Sebagai perbandingan ketatanegaraan dapat disampaikan bahwa
keberadaan Komisi Yudisial mulai menjadi trend di negara yang bercirikan
demokrasi modern. Ahsin Thohari mencatat hingga tahun 2004, ada 43
negara yang telah membentuk Komisi Yudisial, meski dengan penamaan
yang beraneka ragam.
 
1. Di banyak negara, fungsi pengawasan atau pendisiplinan Komisi Yudisial
sudah jamak dan tidak pernah terbatas berlaku hanya untuk level hakim
tertentu - sebaliknya berlaku untuk semua hakim. Di antara fungsi-fungsi
tersebut beberapa di antaranya justru lebih kuat dibandingkan fungsi
pengawasan Komisi Yudisial yang ada di Indonesia, misalnya:
 
 
� Pasal 174 (3) dan 6, serta Pasal 177 (3) Konstitusi Afrika Selatan
menegaskan bahwa Judicial Service Commission berhak memberikan
rekomendasi dalam pemberhentian hakim; mengajukan calon Ketua
Mahkamah Agung; memberikan masukan dalam hal pengangkatan
Ketua serta Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
� Pasal 99 (4), 114 (1) dan 114 (3) Konstitusi Argentina mengatur bahwa
Council of Magistracy berhak:
1. Mengajukan calon hakim agung;
2. Bertanggungjawab atas seleksi hakim dan administrasi kekuasaan
kehakiman;
3. Mengembangkan pemilihan hakim tingkat bawah melalui kompetisi
publik;
4. Mengeluarkan usulan tiga nama hakim tingkat bawah;
5. Mengurus sumber daya untuk administrasi pengadilan;
 
 
 
 
 
 
6. Melakukan tindakan pendisiplinan terhadap hakim;
7. Memutuskan pemberhentian hakim; dan
8. Mengeluarkan peraturan tentang organisasi pengadilan untuk
menjamin independensi hakim dan efisiensi administrasi pengadilan.
 
 
� Pasal 123 Konstitusi Kroasia menegaskan bahwa National Judicial
Council berfungsi, "mengangkat dan memberhentikan hakim dan
memutuskan segala hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
kedisiplinannya."
� Pasal 64 (1) (2) dan 65 (5) dan (6) Konstitusi Perancis mengatur bahwa
Counseil/Superieur de la Magistrature (High Council of the Judiciary)
berwenang, membantu Presiden dalam menegakkan kemerdekaan
kekuasaan kehakiman; mengusulkan pengangkatan hakim agung,
merekrut hakim banding dan hakim pada pengadilan tingkat pertama;
serta bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim.
� Pasal 273 Konstitusi Thailand mengatur bahwa Judicial Commission of the
Court of Justice berhak, memberikan persetujuan dan pengangkatan
hakim agung; memberikan persetujuan tentang promosi, kenaikan gaji
dan menghukum hakim agung.
 
 
2. Dari perbandingan ketatanegaraan di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan:
� Komisi Yudisial jamak mempunyai kewenangan konstitusional untuk
mengawasi dan mendisiplinkan hakim. Bahkan Komisi Yudisial berhak
menghukum dan memberhentikan hakim, yang di Indonesia
kewenangan langsung menghukum dan memberhentikan tersebut justru
tidak diadopsi.
� Komisi Yudisial justru lebih fokus untuk menghukum hakim agung, bukan
berkonsentrasi pada pengawasan hakim banding dan hakim tingkat
pertama sebagaimana didalilkan Pemohon (hakim agung).
� Tidak ada satu negarapun yang membatasi fungsi pengawasannya
untuk tidak mengawasi hakim agung.
 
 
 
 
 
V. KESIMPULAN
 
 
1. Berdasarkan constitutional interpretation hakim menurut Pasal 24B
adalah seluruh hakim, tidak terkecuali hakim agung, hakim konstitusi dan
hakim ad hoc.
2. Berdasarkan constitutional importance untuk mengurangi potensi
korupsi peradilan pengawasan Komisi Yudisial perlu dilaksanakan
kepada seluruh hakim, tidak terkecuali hakim agung, hakim konstitusi dan
hakim ad hoc.
3. Berdasarkan constitutional morality interpretasi yang membatasi
pengawasan Komisi Yudisial tidak konsisten dengan moralitas
konstitusional karena cenderung diskriminatif dan kolutif.
4. Pengawasan oleh Komisi Yudisial tidak melanggar prinsip kemandirian
kekuasaan kehakiman (independence of the judiciary), karena prinsip
itu wajib berjalan seiring dengan transparansi, akuntabilitas dan/atau
integritas.
5. Berdasarkan comparative constitutional law pengawasan dan
pendisiplinan kepada seluruh hakim oleh Komisi Yudisial adalah hal yang
jamak, bahkan - berbeda dengan dalil Pemohon (hakim agung) - titik
beratnya justru ada pada pengawasan hakim-hakim agung.
 
 
Ahli dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial Prof. Dr. Mahfud MD.
Bahwa pertama, dari sudut pengertian politik hukum adalah arah yang
dikehendaki oleh hukum atau arah tentang hukum yang akan diberlakukan, dalam
konteks Komisi Yudisial maka keinginan pembentuk undang-undang atau
pembentuk Undang-Undang Dasar tentang Komisi Yudisial dan segala
kewenangannya adalah politik hukum.
 
Politik hukum dapat dipahami dari kalimat yang ada, sejauh kalimat tersebut
jelas dan tidak diperdebatkan, kalau ternyata menimbulkan perdebatan, maka politik
hukum dapat dicari dari latar belakang historis munculnya gagasan tentang
pembentukan Komisi Yudisial, apa sebenarnya yang dikehendaki oleh pembuat
Undang-Undang Dasar mengenai Komisi Yudisial;
 
Kedua, bahwa hukum yang berlaku di suatu negara atau hukum tata negara
Indonesia, tidak harus mengikuti teori-teori atau hukum yang berlaku di negara lain.
Oleh sebab itu, maka yang dipakai adalah apa yang sebenarnya tertulis di dalam
 
 
 
 
Konstitusi oleh negara atau bangsa yang bersangkutan, hal itulah yang dinamakan
politik hukum.
 
Bahwa berkait dengan itu semua, maka lahirnya Komisi Yudisial, sejauh yang
Ahli baca dari risalah MPR, adalah dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa
pengawasan terhadap Mahkamah Agung, hakim-hakim agung, dan semua hakim
secara internal lemah, serta tidak ada lagi lembaga pengawasan internal yang bisa
dipercaya;
 
Bahwa di dalam risalah tanggal 8 Juni 2000, dalam buku kedua jilid tiga
halaman 434, dikatakan �Komisi Yudisial mengawasi Hakim Agung dan hakim pada
semua tingkatan�, dan Ahli juga ingin mengatakan bahwa sampai berakhirnya
perumusan Pasal 24B tersebut tidak ada satu pun yang membantah di dalam
sidang Panitia Ad hoc tersebut. Kemudian tanggal 26 September 2000, Zein
Badjeber mengatakan bahwa �Komisi Yudisial bukan hanya menyangkut Hakim
Agung, tapi seluruh hakim�. Selanjutnya Hamdan Zoelva mengatakan, �tidak ada
lembaga yang bisa mengawasi tingkah laku Hakim Agung, sehingga diperlukan
lembaga seperti lembaga yudisial. Kemudian Agun Gunanjar mengatakan, �Komisi
Yudisial bukan hanya mengurus pengangkatan Hakim Agung, tetapi juga
mengawasi dan mengontrolnya�. Pernyataan-pernyataan tersebut muncul dan
tertulis di dalam risalah, dan sampai akhir persidangan tidak ada yang membantah.
Hal tersebut berarti pikiran-pikiran seperti dimaksud kemudian disetujui, oleh karena
itu rumusan-rumusan tersebut dikristalisasikan yang pada akhirnya memang meng-
cover hal dimaksud. Melihat latar belakangnya, maka dapat ditafsirkan politik hukum
dari Komisi Yudisial adalah mengawasi Mahkamah Agung;
 
Bahwa mengenai Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung, disebutkan
dalam buku Cetak Biru Mahkamah Agung halaman 93, 99, 105, dan 238, bahkan di
halaman 238 tersebut merupakan program kerja Mahkamah Agung, yaitu
Mahkamah Agung akan mendorong lahirnya Komisi Yudisial yang mengawasi
hakim termasuk Hakim Agung. Kemudian naskah akademik Rancangan Undang-
undang Komisi Yudisial yang dibuat oleh Mahkamah Agung, halaman 26, 45, dan
58 menyebut Hakim Agung, dan yang tertulis di dalam naskah akademik dan cetak
biru bukanlah merupakan politik hukum, tetapi memberikan konfirmasi, terhadap
Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial;
 
Bahwa ada politik hukum lain yang belum disebut, yaitu Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang membedakan antara
 
 
 
 
hakim karier dan hakim non karier untuk Hakim Agung, sedangkan hakim tinggi dan
hakim tingkat pertama adalah hakim karir. Oleh sebab itu harus disebutkan secara
terpisah, karena cara rekruitmennya berbeda, politik hukum tersebut kemudian
diabstraksi masuk di dalam perumusan Pasal 24 dimaksud. Hal tersebut juga
pernah dilakukan terhadap Pemerintahan Daerah;
 
Bahwa Hakim Agung rekruitmennya melewati seleksi oleh Komisi Yudisial,
sedangkan hakim termasuk Hakim Agung pengawasannya dilakukan oleh Komisi
Yudisial;
 
Ahli dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial Prof. Dr. Amran Halim
 
Bahwa dari sudut ilmu bahasa Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 merupakan
sebuah kalimat yang mempunyai dua anak kalimat yang setara, karena ada kata
�dan�. Itu berarti bahwa yang terdapat di sebelah kiri kata �dan� dengan yang
terdapat di sebelah kanan kata �dan� yang pertama mempunyai kedudukan yang
sama dan setara artinya. Artinya, kedua bagian ini mempunyai kedudukan yang
sama dan mempunyai fungsi yang sama.
 
Bahwa kalimat yang pertama tidak mengatasi yang kedua, yang kedua
tidak mengatasi yang pertama, karena keduanya betul-betul setara.
Kesetaraannya itu berbentuk anak kalimat. Anak kalimat yang pertama �Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung�. Anak kalimat yang kedua dibaca �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga ...�. Dari sudut bahasa, Pasal
24B ayat (1) UUD 1945 bagian pertama hanya mengenai Hakim Agung,
sedangkan bagian keduanya mencakup semua hakim;
 
Bahwa dalam anak kalimat yang kedua, terdapat dua kata �dan�, namun agar
jangan membosankan �dan� yang kedua diganti dengan �serta�, yaitu wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
 
Bahwa dalam kalimat pertama yang menjadi tujuan atau sasarannya adalah
pengangkatan Hakim Agung, sedangkan kalimat kedua yang menjadi tujuan atau
sasarannya pengawasan hakim. Dari sudut bahasa kata hakim dimaksud adalah
seluruh hakim. Sehingga Komisi Yudisial mempunyai wewenang pengangkatan
Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, dalam hal ini seluruh hakim;
 
 
 
 
Kata �lain� berfungsi memperkeras makna kalimat tersebut, yang
menunjukkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai dua wewenang. Wewenang yang
pertama mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Di samping itu ada wewenang
lain yaitu dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku hakim. Dengan demikian dalam kalimat tersebut tidak terdapat
benturan antara Hakim Agung dan hakim;
 
Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung, Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia
Corruption Watch (ICW), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(Kontras), telah menyerahkan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah pada hari Kamis, tanggal 8 Juni 2006, yang menguraikan sebagai
berikut:
 
I. Tentang Kedudukan Pihak Terkait Tidak Langsung.
 
Bahwa berdasarkan Pasal 14 ayat (5) dan ayat (1) jo. Pasal 13 ayat (1) huruf g
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang disebutkan bahwa Pihak Terkait
yang berkepentingan tidak langsung dapat mengajukan permohonan untuk
didengar pendapatnya. Bahwa untuk dapat diterimanya permohonan ini, maka
akan dijelaskan kepentingan tidak langsung kami.
 
Bahwa kami adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh dan
berkembang secara swadaya, atas kehendak dan keinginan kami sendiri di
tengah masyarakat, baik secara sendiri ataupun bersama-sama, bergerak dan
berminat atas dasar kepedulian untuk dapat mendorong terwujudnya peradilan
yang bersih di Indonesia.
 
Bahwa tugas dan peranan pihak terkait tidak Iangsung dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan advokasi dan pemantauan sebagai sarana untuk
memperjuangkan peradilan yang bersih, profesional, berwibawa dan mandiri
(independen), tercermin dan atau ditentukan di dalam Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga lembaga kami.
 
Bahwa dalam menjalankan tugas dan peranannya tersebut, baik secara
tersendiri atau bersama-sama, Pihak Terkait Tidak Langsung secara nyata dan
terus menerus membuktikan dirinya peduli dan berperan aktif dalam
mendorong terwujudnya dunia peradilan yang bersih dan berwibawa. Dalam
 
 
 
 
rangka itu kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing Pihak Terkait
Tidak Langsung adalah sebagai berikut;
 
 
� KRHN telah aktif mendorong dan melakukan pemantauan perubahan
konstitusi, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan bersama-sama
Mahkamah Konstitusi dalam menyusun Cetak Biru Mahkamah Konstitusi;
dan saat ini juga sedang aktif melakukan pemantauan terhadap pengadilan
tindak pidana korupsi.
� ICW telah aktif dalam melakukan pemantauan putusan-putusan pengadilan
khususnya dalam putusan korupsi dengan melakukan Eksaminasi-
Eksaminasi Publik atas putusan-putusan pengadilan dan telah dibukukan
dalam beberapa buku. Selain itu ICW saat ini juga sedang aktif menyusun
track record hakim-hakim khususnya di Jakarta (judicial tracking), serta
aktifitas-aktifitas lainnya.
� LBH Jakarta telah aktif dalam melakukan bantuan hukum terhadap kaum
marjinal sejak tahun 1970 an, advokasi berbagai kasus dan saat ini tengah
aktif melakukan advokasi terhadap pemberantasan mafia peradilan dengan
melibatkan komponen masyarakat.
� Kontras, telah aktif melakukan Advokasi dan Pemantauan Persidangan
kasus-kasus Pelanggaran berat HAM (adhoc) kasus Timor-Timur (2002-
2006), Tanjung Priok. (2003-2006) dan Abepura (2004-2005), Advokasi dan
Pemantauan Penyusunan Undang-undang, selain itu Kontras juga terlibat
secara aktif dalam upaya advokasi pemenuhan hak-hak korban diwilayah
konflik.
 
 
Bahwa selain aktifitas-aktifitas di atas, secara bersama-sama dalam Koalisi
Pemantau Peradilan (KPP), selama ini juga aktif dalam upaya-upaya Iainnya
dalam rangka mendorong terwujudnya peradilan Indonesia yang bersih dan
berwibawa, baik dalam bentuk konfrensi pers, pernyataan-pernyataan sikap,
maupun tindakan-tindakan Iainnya: Khusus mengenai Komisi Yudisial, KPP
pun berperan aktif dalam menyikapi kondisi terakhir berkaitan dengan
hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Bahwa aktivitas-aktivitas tersebut baik secara kelembagaan maupun koalisi
menunjukkan bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung merupakan pihak yang
memiliki kepedulian serta komitmen yang tinggi terhadap terwujudnya dunia
 
 
 
 
peradilan Indonesia yang bersih dan berwibawa seperti yang disyaratkan
dalam Pasal 14 ayat (4) huruf b PMK No. 06/PMK/2005.
 
Bahwa keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga/institusi negara yang
memiliki kewenangan yang sah secara konstitusional sangatlah sejalan
dengan tujuan kami sebagai Pihak Terkait Tidak Langsung. Selain sejalan
Keberadaan Komisi Yudisial dengan kewenangannya tersebut juga sangat
membantu kami dalam melakukan aktivitas-aktivitas kami dalam melakukan
advokasi dan pemantauan terhadap dunia peradilan di Indonesia:
 
Bahwa berdasarkan aktivitas-aktivitas yang telah Pihak Terkait Tidak Langsung
lakukan serta berdasarkan hasil evaluasi atas aktivitas-aktivitas tersebut kami
telah mencapai suatu kesimpulan bahwa pembenahan dunia peradilan
khususnya kekuasaan kehakiman hanya akan efektif jika pada puncak-puncak
institusi Kekuasaan Kehakiman tersebut yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi berisi Hakim-Hakim Agung serta Hakim-Hakim Konstitusi
yang bersih dan berwibawa. Bahwa untuk menjamin hal tersebut maka
terhadap para hakim yang berada pada puncak Kekuasaan Kehakiman
tersebut perlu untuk dilakukan pengawasan.
 
Komisi Yudisial setidaknya hingga detik ini secara yuridis konstitusional memiki
kewenangan pengawasan terhadap para hakim yang berada dalam puncak
Kekuasaan Kehakiman tersebut. Permohonan para Pemohon yang intinya
adalah menghendaki agar Mahkamah Konstitusi yang terhormat menyatakan
bahwa beberapa Pasal dalam 2 (dua) undang-undang in casu bertentangan
dengan konstitusi memiliki konsekuensi hilangnya kewenangan pengawasan
Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi (serta hakim
ad hoc). Hilangnya kewenangan tersebut tentunya sangat berdampak baik
secara langsung terhadap kepentingan kami sebagai Pihak Terkait Tidak
Langsung yang selama ini mendambakan hadirnya dunia peradilan yang
bersih dan berwibawa di Indonesia.
 
Bahwa dengan kemungkinan hilangnya kewenangan Komisi Yudisial untuk
melakukan pengawasan terhadap para hakim agung dan hakim konstitusi juga
berdampak terhadap hilangnya hak dan kesempatan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif melakukan pengawasan. Sekaligus akan menghambat
proses pembaruan dan perubahan peradilan yang senantiasa harus diawasi
dari kemungkinan keterpurukan yang lebih buruk.
 
 
 
 
Il. TANGGAPAN ATAS POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON
 
Bahwa pada pokoknya para Pemohon memohonkan agar
 
 
� Pasal 1 angka 5, Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23
ayat (2) dan (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) UU
No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 24, 24B, 24C dan 25 UUD 1945 sepanjang yang menyangkut
Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi.
� Menyatakan Pasal-pasal tersebut di atas tidak mempunyai kekuatan
mengikat bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung Rl dan Hakim
Mahkamah Konstitusi.
 
 
Bahwa pada intinya para Pemohon beralasan bahwa makna kata �hakim�
dalam Pasal 24B (1) UUD 1945 tidak dimaksudkan untuk Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi. Ketentuan dalam UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan
Kehakiman yang mengatur bahwa Komisi Yudisial berwenang melakukan
pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi dipandang para
Pemohon bertentangan dengan Pasal 24B (1) UUD 1945. Oleh karena itu,
Komisi Yudisial tidak berwenang melakukan pengawasan terhadap Hakim
Agung dan Hakim Konstitusi. Dan sebagai konsekwensi lebih lanjut Komisi
Yudisial juga tidak berwenang memberikan usul pemberian sanksi kepada
Hakim Agung karena hal itu akan menghancurkan independensi Hakim Agung
yang dijamin UUD 1945.
Sehubungan dengan hal itu, Pihak Terkait Tidak Langsung tidak sependapat
dengan para Pemohon dengan alasan-alasan sebagai berikut :
 
1. Penafsiran Sistematik Pengertian Hakim dalam Bab IX UUD 1945
 
Apakah benar bahwa kata Hakim dalam kalimat terakhir Pasal 24B ayat
(1) hanya merujuk pada Hakim pada Hakim Karir pada Pengadilan
Tingkat I/Negeri dan Pengadilan Banding.
 
Jika ditinjau secara sistematik Bab IX UUD 1945 yang mengatur
mengenai Kekuasaan Kehakiman istilah hakim semata � seperti hakim
agung atau hakim konstitusi hanya terdapat dalam 2 Pasal, yaitu dalam
Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945.
 
 
 
 
Jika para Pemohon berpendapat bahwa makna kata Hakim berarti
hanyalah Hakim (karir) yang berada pada Pengadilan Tingkat I dan
Banding hal ini menjadi sangat janggal. Oleh karena seakan yang
diperintahkan oleh UUD untuk diatur mengenai syarat untuk menjadi dan
untuk diberhentikan sebagai hakim seperti yang diperintahan dalam Pasal
25 UUD 1945 hanyalah hakim tingkat I dan Banding semata, dan Hakim
Konsitusi (Pasal 24C ayat (5)), mengingat dalam Bab IX UUD 1945 tak
ada satu Pasal atau ayat pun yang memerintahkan secara tegas bentuk
peraturan yang harus dibuat untuk mengatur syarat pengangkatan dan
pemberhentian Hakim Agung. Padahal kita semua mengetahui bahwa
Hakim Agung merupakan hakim yang secara kedudukan berada di atas
hakim tingkat I dan banding.
 
Atas dasar hal di atas maka tidaklah berlebihan jika yang dimaksud
dengan kata Hakim yang terdapat dalam Pasal 25 yang selengkapnya
berbunyi: �Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan Undang-undang�, adalah meliputi semua hakim
yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman. Berarti kata �hakim� yang
terdapat dalam Pasal 24 B ayat (1) khususnya pada akhir ayat tersebut
juga berarti meliputi seluruh hakim yang menjalankan Kekuasaan
Kehakiman yang terdiri dari Hakim Agung, Hakim Konstitusi, Hakim
Tingkat I, Banding, serta semua Hakim Ad Hoc.
 
2. Penafsiran Historis Istilah Hakim
 
Bahwa telah menjadi pengetahuan umum bahwa yang dimaksud adalah
hakim adalah keseluruhan hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan
kehakiman; pembedaan jenisjenis hakim hanyalah berfungsi untuk
membedakan fungsi dari dari masing-masing jenis hakim tersebut. Untuk
Hakim Agung fungsinya adalah untuk menjalankan Kekuasaan
Kehakiman ditingkat Mahkamah Agung, Hakim Konstitusi menjalankan
Kekuasasan Kehakiman yang merupakan ruang lingkup Mahkamah
Konstitusi, Hakim Tinggi menjalankan Kekuasaan Kehakiman di tingkat
Pengadilan Tinggi, Hakim Negeri di tingkat Pengadilan Tingkat I, dan
Hakim Ad Hoc menjalankan Kekuasaan Kehakiman pada bidang-bidang
tertentu.
 
 
 
 
Yang Pihak Terkait Tidak Langsung maksudkan sebagai pengetahuan
umum tersebut bukanlah sesuatu yang tak berdasar.
 
Pertama jika kita tinjau secara historis bahkan dalam naskah asli UUD
1945 atau UUD 1945 yang belum diamandemen dalam Bab IX yang
mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman memang tidak dibedakan
secara spesifik antara Hakim Agung dengan Hakim Iainnya yang
kedudukannya Iebih rendah dari Hakim Agung. Pasal 25 naskah asli UUD
1945 tidaklah diubah sama sekali dalam amandemen UUD 1945 baik
amandemen pertama, kedua, ketiga maupun keempat. Dengan demikian
seperti pendapat Pihak Terkait Tidak Langsung sebelumnya, UUD 1945
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah kesemua
Hakim yang menjalankan Kekuasaan Kehakiman tanpa terkecuali.
 
Kedua, Bahwa dalam pembahasan amademen UUD 1945 yang dilakukan
PAH I MPR dan kemudian disetujui dalam Sidang Tahunan MPR, telah
berkembang usul dan pandangan serta rumusan mengenai Komisi
Yudisial. Dalam pembahasan yang Iebih banyak menyangkut soal
independensi kekuasaan kehakiman serta Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, para anggota PAH I MPR tetap mengingatkan akan
perlunya keberadaan sebuah komisi yang independen yang bertugas
mengawasi semua hakim. Setidaknya hal itu terungkap dalam
persidangan yang dilakukan PAH I MPR;
 
Bahwa dalam Rapat Pleno ke-41 PAH I MPR tanggal 8 Juni 2000,
sebagai persiapan materi perubahan kedua UUD 1945, Drs. Agun
Gunanjar (F-PG) menyampaikan usulannya bahwa;
 
"Komisi Yudisial berfungsi untuk memberikan rekomendasi mengenai
pengangkatan dan pemberhentian, termasuk melakukan pengawasan
terhadap hakim agung" (Buku Kedua Jilid 3C Risalah Rapat PAH I MPR,
Sekretariat Jendral MPR-RI, 2000. hlm. 433)
 
Sedangkan Hamdan Zoelva, SH anggota PAH I MPR dari F-PBB
menyampaikan pandangannya sebagai berikut;
 
�...Untuk mengawasi tugas-tugas yudisial dari hakim, dibentuk sebuah
dewan pengawas yudisial yang independen dan diangkat dari ahli hukum
yang memiliki moral dan integritas yang tidak diragukan. Di sini perlu kami
perjelas, bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dan independen,
 
 
 
 
bebas dari pengaruh lembaga-lembaga yang lain, tidak sepenuhnya
bebas. Akan tetapi, dia hanya dibatasi oleh dua hal yaitu aturan hukum
dan juga diawasi oleh dewan pengawas yudisial yang mengawasi segala
tingkah laku hakim dalam bidang judisial yang dilakukan oleh para hakim
disemua tingkatan...� Buku Kedua Jilid 3C Risalah Rapat PAH I MPR,
Sekretariat Jendral MPR-RI, 2000. hlm. 442).
 
Bahwa dari pandangan-pandangan tersebut di atas, telah terlihat spirit
yang mendasari perlunya keberadaan Komisi Yudisial sebagai pengawas
badan pelaksana kekuasan kehakiman yang akan mengawasi hakim
disemua tingkatan.
 
Bahwa meskipun dalam Sidang Tahunan 2000, materi perubahan
kekuasaan kehakiman, termasuk tentang Komisi Yudisial tidak berhasil
diputuskan, namun pembahasan mengenai Komisi Yudisial tetap
diteruskan pada masa sidang berikutnya. Dan. spirit yang muncul tentang
wewenang Komisi Yudisial tetap terpelihara sebagaimana pembahasan
sebelumnya. Ini dapat terlihat dari usul dan pandangan yang
dikemukakan oleh para anggota PAH I MPR.
 
Bahwa dalam Rapat Pleno ke � 36 PAH I BP MPR tanggal 26 September
2001, anggota PAH I MPR, Drs. Jacob Tobing (F-PDIP) menyampaikan
pandangannya;
 
"...oleh karena itu kami sarankan tentang Komisi Judicial sebenarnya
adatah bukan hanya menyangkut Hakim Agung, tetapi menyangkut
seluruhnya Hakim Tinggi dan Hakim Pengadilan Negeri. Mereka semua
adalah Hakim yang tidak bisa setiap tahun dimintai pertanggungjawaban
kepada MPR, kepada siapa mereka harus bertanggungjawab? Maka kami
mengusulkan supaya para hakim ini difilter oleh suatu komisi yang
sifatnya permanen..." (Buku Kedua Jilid 8A Risalah Rapat PAH 1,
Sekretariat Jenderal MPR-R1, 2001. hlm. 26).
 
Sedangkan anggota PAH I MPR dari F-PBB, Hamdan Zoelva, S.H, dalam
pandangan yang disampaikannya menyatakan.bahwa;
 
�...Komisi Judicial karena kebutuhan praktis yang terjadi pada kenyataan-
kenyataan konkret bahwa tidak ada satu lembaga atau institusi yang' bisa
mengawasi tingkah taku hakim, baik hakim pengadilan negeri maupun
hakim Mahkamah Agung. Pengawasan yang dilakukan hanya semata-
 
 
 
 
mata pengawasan internal yang kita khawatirkan bahwa dia tidak bisa
memberikan putusan yang tidak memihak kepada yang dihukum yaitu
hakim-hakim. Oleh karena itu, kita membutuhkan satu lembaga, satu
komisi yang independen yang keberadaannya tidak di internal dan
keanggotaannya benar-benar independen dan dia dibentuk oleh Undang-
Undang. Dia tidak mempunyai masalah-masalah internal dengan hakim-
hakim yang ada. Jadi, kewenangannya lebih kuat dari Irjen atau Dewan
Kehormatan Hakim yang ada sekarang..� (Buku Kedua Jilid 8A Risalah
Rapat PAH I, Sekretariat Jenderal MPR-Rl, 2001. hlm. 39).
 
Bahwa sebagai kristalisasi dari usul dan pandangan yang berkembang
dalam sidang-sidang PAH I MPR dirumuskan Pasal-Pasal tentang Komisi
Yudisial sebagai bagian dari Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945
yang akan diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR 2001. Dalam
rancangan itu, Komisi Judicial dirumuskan sebagai berikut;
 
(Rancangan Putusan Sidang Tahunan MPR-Rl Tahun 2001, Sekretariat
Jenderal MPR-RI, 2001, hlm. 46).
 
Pasal 24C
 
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain
(dengan memperhatikan masukan dari masyarakat) berdasarkan
masukan dari masyarakat.
 
Alternatif 1;
 
(1) Anggota Komisi Judicial dipilih dari mantan Hakim Agung, unsur
praktisi hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi.
 
Altematif 2;
 
(2) Anggota Komisi Judicial berasal dari. pengacara, jaksa, guru besar
ilmu hukum anggota DPR dan wakil daerah.
 
Alternatif 3;
 
(2) Anggota Komisi Judicial harus berpengalaman dalam profesi hukum,
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
 
(3) Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Judicial diatur dengan
undang-undang.
 
Pada akhirnya hasil Sidang Tahunan MPR 2001 memutuskan, khususnya
menyangkut kewenangan Komisi Judicial adalah sebagai berikut ;
 
 
 
 
�Komisi Judicial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam,
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim�
 
Meskipun rumusan yang dihasilkan berbeda dari rancangan putusan yang
telah disiapkan sebelumnya, pada intinya maksud dari rumusan tersebut,
khususnya menyangkut wewenang Komisi Yudisial sama dengan usul
dan pandangan yang berkembang dalam pembahasan-pembahasan
amandemen UUD 1945. Setidaknya hal ini dapat diketahui dari
keterangan Drs. Zein Badjeber (mantan Anggota PAH 1 MPR) yang
menerangkan bahwa;
 
�...Konsensus yang berkembang di wacana, maksud dari fungsi tersebut
lebih mengarah pada tugas pengawasan dan pendisplinan hakim
(termasuk hakim agung) serta tugas lain yang Iangsung dimaksudkan
untuk mendukung kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Tidak tepat kalau kita menafsirkan secara gramatikal. Redaksional yang
digunakan Pasal 24B Amandemen Ketiga UUD 1945 adalah�...perilaku
hakim. Kata 'hakim' di sini harus diartikan sebagai seluruh hakim, baik
hakim tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi (hakim
agung)..� (Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial versi MA, hal 26 dan
58)
 
Ketiga, sebagaimana telah disampaikan dalam persidangan sebelumnya
dalam perkara ini, keterangan dari Pemerintah/Kepala BPHN (11 April
2006), DPR dan mantan anggota PAH I MPR (2 Mei 2006), yang pada
intinya menyatakan hal yang sama bahwa makna kata �hakim� dalam
Pasal 24B (1) UUD 1945 mencakup untuk semua hakim. Dengan
demikian fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah
juga diperuntukkan bagi kalangan hakim agung.
 
3. Perbandingan Istilah Hakim dalam Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman
 
Bahwa ditinjau dari undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan
Kehakiman, baik dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan
Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan Kejaksaan, UU No. 19 Tahun
1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU
 
 
 
 
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, dan yang terakhir UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman terlihat jelas bahwa yang dimaksud dengan Hakim adalah
seluruh hakim mulai dari hakim pada tingkat pertama hingga Hakim
Agung.
 
a. Istilah Hakim dalam UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan
Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan
 
Dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 19 Tahun 1948 yang disahkan tanggal
8 Juni 1948 (tanpa Nomor Lembaran Negara) disebutkan:
 
�Para Hakim merdeka dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman
dan hanya tunduk pada Undang-Undang�.
 
Dalam pasal-pasal selanjutnya tidak dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan hakim tersebut adalah hanyalah Hakim yang bukan Hakim
Agung, Seandainya pun yang dimaksud jika UU ini pun membedakan
makna Hakim dengan Hakim Agung hal tersebut pun menjadi tidak
masuk akal karena seakan hakim yang merdeka dalam melaksanakan
kekuasaan kehakiman hanyalah Hakim di tingkat Pertama dan
Banding, sementara Hakim Agung tidak, mengingat prinsip
kemerdekaan tersebut tidak dinyatakan khusus untuk Hakim (dalam
Mahkamah) Agung.
 
b. Istilah Hakim dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
 
Dalam UU No. 19 Tahun 1964 (LN. No. 107 Tahun 1964) memang
tidak disebutkan adanya prinsip . indpendensi hakim seperti dalam UU
sebelumnya. Namun seperti halnya UU sebelumnya juga tidak
menyebutkan secara khusus mengenai Hakim Agung. Istilah Hakim
pun baru muncul dalam Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi:
 
�Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan tiga prang
hakim�
 
Sementara itu dalam Pasal 7 ayat (2) nya disebutkan bahwa
 
�Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang
merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan.�
 
Yang dengan demikian jika dibaca secara sistematis maka kata Hakim
dalam Pasal 8 ayat (2) termasuk juga Hakim Agung, mengingat
 
 
 
 
Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi yang juga tunduk
dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) tersebut.
 
c. Istilah Hakim dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang telah diubah
dengan UU No. 35 Tahun 1999)
 
Pertama perlu Pihak Terkait Tidak Langsung sampaikan terlebih
dahulu bahwa dalam UU ini pun tidak dibedakan antara hakim dengan
Hakim Agung, bahkan dalam UU ini sama sekali tidak menggunakan
istilah Hakim Agung.
 
Dalam Pasal 27 UU No. 14 Tahun 1970 disebutkan:
 
 
1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim
wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat
dari tertuduh.
 
 
Dengan tidak disebutkannya istilah Hakim Agung secara spesifik
dalam UU ini maka pengertian Hakim dalam kedua ayat dalam
Pasal di atas tentunya juga mencakup Hakim dalam Pengertian
Hakim Agung serta Hakim-Hakim Iainnya yang menjalankan
fungsi Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena sangatlah tidak
masuk akal jika kedua ayat tersebut hanya mengikat bagi Hakim
Tingkat Pertama dan Banding saja. Janggal rasanya jika Hakim
Agung tidak. memiliki kewajiban untuk menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dimasyarakat, atau
memperhatikan sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh
(terdakwa) dalam perkara pidana.
Selain itu, Pasal 27 tersebut terdapat dalam Bab IV yang berjudul
�Hakim dan Kewajibannya� yang terdiri dari 3 (tiga) Pasal. Dilihat
dari judul bab itu sendiri, tanpa ada bab yang khusus yang
mengatur mengenai Hakim Agung dan Kewajibannya, dapat
disimpulkan bahwa istilah Hakim yang dimaksud meliputi
kesemua Hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan Kehakiman
mulai dari Hakim Tingkat Pertama hingga Hakim Agung.
 
 
 
 
d. Istilah Hakim dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
 
Seperti juga dalam UU No. 14 Tahun 1970, dalam UU ini terdapat
bab khusus yang mengatur mengenai Hakim dan Kewajibannya,
yaitu dalam Bab IV Hakim dan Kewajibannya. Bab ini pun terdiri
juga dari 3 (tiga) Pasal yang intinya sama dengan Bab IV UU
No. 14 Tahun 1970 namun dengan beberapa tambahan prinsip
khususnya mengenai konflik kepentingan dan konsekuensi
hukumnya.
 
Pada Undang-undang Kekuasaan Kehakiman kali ini telah dikenal
satu institusi peradilan baru yaitu Mahkamah Konstitusi. Dalam
Mahkamah Konstitusi terdapat Hakim Konstitusi. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah pengertian Hakim seperti yang terdapat
dalam Bab IV tersebut mencakup juga Hakim Konstitusi atau
tidak?
 
Jika dilihat dari judul Undang-undang ini jelas bahwa undang-
undang ini mengatur mengenai kekuasaan kehakiman serta
mencoba meletakkan prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan Kehakiman pada dasamya merupakan suatu cabang
kekuasaan negara yang dibedakan dengan cabang kekuasaan
negara lainnya, yaitu eksekutif dan legislatif. Dalam kekuasaan
kehakiman, Hakim merupakan komponen utama yang diperlukan
untuk dapat menjalankan kekuasaan ini. Istilah Hakim merupakan
istilah yang khas dalam kekuasaan ini yang membedakannya
dengan lembaga-lembaga penyelesaian sengketa lainnya, seperti
mediasi, arbitrase maupun yang lainnya. Meskipun hakim terbagi
dalam beberapa lingkungan peradilan maupun mahkamah, namun
ditinjau dari sudut fungsi, hingga simbol-simbol, seperti
penggunaan toga, palu, posisi ruang sidang dan lain sebagainya
pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar antara
hakim pada Mahkamah Agung serta peradilan dibawahnya
dengan hakim pada Mahkamah Konstitusi.
 
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam Undang-undang ini
terdapat bab khusus yang mengatur mengenai hakim dan
 
 
 
 
kewajibannya. Berdasarkan penjelasan kami di atas serta
mengingat bahwa dalam undang-undang ini tidak terdapat bab
khusus yang mengatur mengenai Hakim Konstitusi dan
Kewajibannya maka tentulah harus dibaca bahwa Bab IV tersebut
mengikat juga terdapat Hakim Konstitusi, yang dengan demikian
maka berarti bahwa istilah hakim baik yang terdapat dalam judul
bab tersebut maupun dalam Pasal-Pasalnya mencakup juga
Hakim Konstitusi.
 
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas maka terlihat dengan jelas
bahwa secara historis pengertian hakim menurut keempat
undang-undang yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman
adalah kesemua hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan
Kehakiman yang mencakup Hakim Tingkat Pertama hingga
Mahkamah Agung serta Hakim Konstitusi pada Mahkamah
Konstitusi.
 
e. Istilah Hakim dalam Undang-Undang Mahkamah Agung
 
Bahwa hingga sejak Indonesia merdeka hingga saat ini sepanjang
sejarah telah ada beberapa undang-undang yang pernah
mengatur atau mengatur mengenai Mahkamah Agung, yaitu UU
No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Jalan
Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, UU No. 13 Tahun 1965
tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan
Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung dan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.
2 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
 
i. Istilah Hakim dalam UU No. 1 Tahun 1950
 
Dalam. Pasal 3 ayat (1) disebutkan:
 
�Mahkamah Agung memutus dengan tiga orang Hakim�
 
Dari Pasal ini terlihat jelas bahwa makna dari kata Hakim
semata tanpa diikuti kata Agung tidaklah bermakna seperti
yang dimaksud oleh para Pemohon bahwa kata Hakim semata
hanya merujuk pada hakim yang berada pada tingkat Pertama
atau Banding, oleh karena jika seandainya demikian maka
 
 
 
 
undang-undang ini akan sangat janggal, bagaimana mungkin
perkara di Mahkamah Agung diperiksa dan diputus bukan oleh
Hakim Agung melainkan oleh Hakim tingkat Pertama atau
Banding. Dari Pasal di atas terlihat jelas bahwa kata Hakim
mengacu kepada suatu pranata yang memiliki fungsi
kehakiman, bukan tingkatan jabatan kehakimannya.
 
ii. Istilah Hakim dalam UU No. 13 Tahun 1965
 
Ditinjau secara sistematik Undang-undang ini terdiri dari 7
(tujuh) bab. Bab I tentang Ketentuan Umum, Bab II tentang
Pengadilan Negeri, Bab III Pengadilan Tinggi, Bab IV tentang
Mahkamah Agung, Bab V tentang Panitera, Bab VI tentang
Juru Sita dan Bab VII tentang Ketentuan Penutup.
 
Dalam Pasal 7 UU ini disebutkan mengenai larangan rangkap
jabatan bagi hakim atas jabatan-jabatan tertentu seperti
menjadi penasihat hukum, pelaksana putusan pengadilan dll.
Pasal ini sendiri terdapat dalam Bab I tentang Ketentuan
Umum. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ketentuan
umum dalam suatu peraturan perundang-undangan umumnya
mengatur mengenai prinsip-prinsip. Dan kita ketahui bersama
bahwa prinsip larangan rangkap jabatan merupakan prinsip
yang melekat bagi hakim dalam semua tingkatan. Dari Pasal
tersebut terlihat dengan jelas bahwa kata Hakim dalam Pasal
ini memang ditujukan untuk semua hakim dalam semua
tingkatan termasuk Hakim Mahkamah Agung, oieh karena
aturan serupa tidak terdapat dalam Bab IV yang mengatur
mengenai Mahkamah Agung, dan sangatlah tidak masuk akal
jika khusus untuk Hakim Mahkamah Agung tidak terikat oieh
prinsip larangan rangkap jabatan dimaksud.
 
Atas dasar tersebut maka terlihat jelas bahwa kata hakim
semata dalam UU ini tidak dibatasi hanya untuk hakim pada
tingkat pertama atau banding saja, tapi untuk semua tingkatan
pengadilan.
 
 
 
 
 
 
iii. Istilah Hakim dalam UU No. 14 Tahun 1985
Dalam Pasal 40 Undang-undang ini disebutkan:
 
�Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) orang Hakim�
 
Seperti halnya argumentasi Pihak Terkait Tidak Langsung pada
bagian sebelumnya mengenai istilah hakim dalam UU No. 1
Tahun 1950, mengingat secara essensial isi Pasal tersebut
sama dengan Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1950 tersebut.
 
 
iv. Istilah Hakim dalam UU No. 5 Tahun 2004
Penggunaan kata Hakim semata tanpa kata Agung dalam UU
ini memang tidak banyak. Istilah Hakim semata hanya terdapat
dalam Pasal 1 huruf 6 yang mengubah Pasal 9 UU No. 14
Tahun 1985. Pasal ini mengatur mengenai sumpah jabatan
Hakim Agung. Selengkapnya berbunyi:
 
�Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi
kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-Iurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.'
 
Janji:
 
�Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan
memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.�
 
Dari sumpah dan janji jabatan tersebut terlihat jelas bahwa
Hakim Agung pun termasuk dalam kategori Hakim, atau dengan
kata lain kata hakim tidaklah benar seperti argumentasi
 
 
 
 
 
 
Pemohon bahwa istilah hakim hanya mencakup hakim (karir)
pengadilan tingkat pertama dan banding.
 
 
 
 
Kesimpulan
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas Pihak Terkait Tidak Langsung
berkesimpulan bahwa ditinjau dari sudut sejarah perundang-undangan
baik undang-undang yang mengatur mengenai Kekuasaan Kehakiman
maupun Mahkamah Agung terlihat jelas bahwa istilah hakim
mencakup kesemua hakim yang menjalankan fungsi Kekuasaan
Kehakiman, tanpa terkecuali khususnya Hakim Agung.
 
Kuatnya pemaknaan mengenai hakim seperti di atas tentulah sangat
dipahami oleh para penyusun Amandemen UUD 1945 kita, dan
dengan demikian jika sekalipun maksud dari penyusun amandemen
UUD 1945 tersebut seperti yang dimaksud oleh para Pemohon maka
sudah barang tentu penyusun amandemen UUD 1945 tersebut akan
menyatakan secara tegas.
 
4. Hakim Agung Termasuk Objek Pengawasan Komisi Yudisial
 
Bahwa pendapat para Pemohon dalam halaman 6 paragraf 5 yang
menyatakan �Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud oleh
Pasal 24B ayat (1) UUD RI judul Komisi Yudisial dan Reformasi
Peradilan, dimana Ketua MK sendiri merupakan pembimbing tesis
tersebut. Dalam hal. 175 A. Ahsin Thohari menyatakan Tahun 1945
tentang kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran dan martabat, serta perilaku Hakim adalah
Hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung.�
adalah tidak berdasar sama sekali. Hal ini jika dilihat dari �suasana
kebatinan� dalam pembahasan amandemen UUD 1945 tentang Komisi
Yudisial di sidang-sidang PAH I MPR (2000-2001) dan pendapat, usul
dan pandangan serta penelitian.dari berbagai kalangan tentang
Komisi Yudisial.
 
Bahwa dari penelusuran pembahasan di sidang-sidang PAH I MPR
telah dapat diketahui dengan jelas, terang dan gamblang kewenangan
yang diberikan untuk Komisi Yudisial tidak hanya dimaksudkan untuk
hakim tingkat banding atau tingkat pertama. Akan tetapi kewenangan
 
 
 
 
tersebut dimaksudkan pula untuk seluruh hakim di semua badan
peradilan sebagai pengemban fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman.
 
Bahwa sangatlah tepat dan bijaksana apa yang telah dilakukan para
anggota PAH I MPR dalam merumuskan perubahan UUD 1945,
khususnya tentang kewenangan Komisi Yudisial. Rumusan tersebut
pada akhirnya dapat memberikan kesempatan bagi pembuat undang-
undang (DPR-Pemerintah) untuk menentukan lebih lanjut sesuai
dinamika dan perkembangan yang ada dan maksud dari undang-
undang yang akan dibuat: Hal ini merupakan hak, kewenangan dan
kewajiban konstitusional dari pembuat undangundang untuk
memperjelas, merinci dan menegaskan rumusan dari UUD.
 
Bahwa pandangan yang berkembang dalam pembahasan
amandemen UUD 1945, tidak jauh berbeda dari pandangan serta usul
yang berkembang dari berbagai kalangan. Sebagaimana terlihat pula
dalam tesis A. Ahsin Thohari yang telah dibukukan.
 
Apabila kata "hakim" yang terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) tersebut
diartikan sesuai dengan konteks pembahasannya, maka yang
dimaksud adalah hanya Hakim Agung, dan bukan hakim yang lain.
(Ahsin, A Thohari, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Jakarta:
Elsam 2004. hal. 175 ).
 
Pendapat tersebut bukanlah tidak berdasar, oleh karena berdasarkan
Rumusan Hasil Seminar Hukum Dalam Konteks Perubahan Undang-
Undang Dasar 1945, Bandar Lampung 24-26 Maret 2000, Kerja Sama
Badan Pekerja MPR RI dengan Universitas Indonesia salah satu
pointer mengenai 'Kekuasaan Kehakiman dalam halaman 7 poin 8.7
huruf h berbunyi : "Kedudukan Komisi Yudicial untuk mengawasi para
Hakim Agung".
 
Tak hanya itu saja, penekanan bahwa kewenangan Komisi Yudisial
untuk mengawasi (justru) Hakim Agung pada saat-saat penyusunan
Amandemen Ketiga UUD 1945 pun terlihat dari masukan-masukan
masyarakat. Dalam Naskah Akademis Amandemen UUD 1945 yang
diajukan oleh The Habibie Center dalam halaman 45 disebutkan
"Akan tetapi, khusus berkenaan dengan usul pengangkatan dan
 
 
 
 
pemberhentian hakim agung ini, dibentuk Komisi Yudisial yang
bersifat independen. Komisi inilah yang bertugas mencalonkan
hakim, mengusulkan pengangkatan . dan pemberhentian hakim
konstitusi pada Mahkamah Konstitusi dan hakim agung pada
Mahkamah Agung. (�Naskah Akademis .dan Draft Rancangan
Naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Rangkuman dan
Kompilasi Pemikiran dari Warga Masyarakat melalui Semiloka
�Rancangan perubahan UUD 1945� Jakarta, 1-4 Oktober 2001. The
Habibie Center)
 
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka terlihat jelas bahwa secara
historis, justru semangat dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 adalah memberi kewenangan kepada Komisi
Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung.
 
Sangat gamblangnya semangat dan jiwa yang terkandung dalam
Pasal 24B tersebut terlihat juga dengan fakta-fakta yang terjadi pasca
disahkannya hasil amandemen UUD 1945. Tak ayal, salah satu
puncak Kekuasaan Kehakiman telah menyatakannya secara eksplisit
bahwa makna kata �hakim� dalam Pasal 24B ayat (1) adalah
termasuk Hakim Agung.
 
Dalam Cetak Biru-nya Mahkamah Agung menyatakan Selain itu
berdasarkan Pasal 24 B Amandemen Ketiga UUD 1945 akan dibentuk
lembaga baru yang akan berfungsi �salah satunya- untuk melakukan
pengawasan dan (mungkin) pendisiplinan bagi hakim dan .Hakim Agung
yaitu Komisi Yudisial. Mahkamah Agung Republik Indonesia, (Cetak Biru
Pembaruan Mahkamah Agung RI, MA-RI 2003, hal. 91).
 
Tak hanya itu saja, bahkan dalam Naskah Akademis dan Rancangan
Undang-undang Komisi Yudisial-nya sendiri Mahkamah Agung sekali
lagi secara eksplisit telah mengakui bahwa pengertian 'hakim' dalam
Pasal 24 B ayat (1) adalah termasuk Hakim Agung.
 
"...Kami memandang ada 5 (lima) tugas yang bisa ditafsirkan dari
fungsi di atas, yaitu: Pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk
hakim agung)" (Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah
 
 
 
 
Akademis Dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial,
MA-RI 2003. hal. 45.)
 
Perlu ditambahkan, bahwa dalam susunan organisasi penelitinya
Pemohon Hak Uji Materil atas UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan
Kehakiman ini yaitu Hakim Agung Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung,
SH merupakan salah satu penanggung jawab Naskah Akademis di
atas. Selain itu Pemohon Iainnya, yaitu Hakim Agung Drs. H. Andi
Syamsu Alam, SH, Hakim Agung Iskandar Kami, SH merupakan
anggota unit kerjanya berdasarkan SK Ketua MA RI No. KMA/052/
SK/IX/2001.
 
5. Hakim Konstitusi Termasuk Objek Pengawasan Komisi Yudisial
 
Walaupun secara sekilas telah dikemukakan pendapat Pihak Terkait
Tidak Langsung yang menyatakan bahwa Hakim Konstitusi termasuk
objek pengawasan Komisi Yudisial berdasarkan penafsiran istilah
�Hakim�, tidaklah berlebihan jika kami pada bagian ini akan
menambahkan beberapa argumentasi Iainnya khusus mengenai
kewenangan Komisi Yudisial terhadap Hakim Konstitusi.
 
Bahwa pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi merupakan suatu
lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengawal
konstitusi (the guardian of constitution). Bahwa sebagai lembaga
pengawal konstitusi tersebut maka Mahkamah Konstitusi merupakan
suatu lembaga yang memiliki kedaulatan mutlak untuk menafsirkan
Konstitusi (the interpreter of constitution). Yang dengan demikian
berarti dalam hal terjadinya ketidakjelasan atau terjadinya multi-tafsir
atas suatu pasal, ayat atau kata dalam konstitusi maka Mahkamah
Konsitusi merupakan lembaga yang berwenang untuk menetapkan
tafsir apa yang harus berlaku. Hal ini juga diakui oleh Mahkamah
Konstitusi dalam Cetak Biru Mahkamah Konstitusi untuk periode 2005
- 2009 dengan judul Cetak Biro Membangun Mahkamah Konstitusi
Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya
yang diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada
akhir tahun 2004 yang lalu pada halaman 5 dan 6 nya.
 
Berkaitan dengan cetak biru Mahkamah Konstitusi tersebut secara
 
eksplisit Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah mengakui bahwa
Hakim Konstitusi pun juga merupakan hakim yang menjadi objek
pengawasan Komisi Yudisial. Dalam Bab IV Mewujudkan Akuntabilitas
dan Transparansi Mahkamah Konstitusi bagian B Tujuan Strategis
pada halaman 121 Mahkamah Konstitusi menyatakan:
 
�MK memiliki peran strategis dalam sistem ketatanegaraan, yang
tercermin pada kewenangan-kewenangan yang dimilikinya. Untuk
mengimbangi dan menjaga agar MK tetap menjalankan fungsinya
secara bertanggung jawab, perlu ada mekanisme pengawasan
terpadu terhadap MK. Menjadi penting bagi MK, untuk memberikan
pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak
eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial,
secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, balk di
Iingkungan peradilan umum maupun MK.�(Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi
Sebagai Institusi Peradilan Konstitusi Yang Modern Dan Terpercaya,
Jakarta, 2005. hat. 121).
 
Dari cetak biru yang disusun oleh Mahkamah Konstitusi yang
merupakan the interpreter of constitution sendiri terlihat secara tegas
bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengakui bahwa Komisi Yudisial
pun memiliki kewenangan pengawasan terhadap Hakim Konstitusi.
 
Selain itu dalam makalahnya yang berjudul Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Setelah. Perubahan Keempat UUD 1945 yang disampaikan
pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang
diselenggarakan oleh BPHN 14-18 Juli 2003 dalam halaman 20, Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, SH menyatakan:
 
�Dari ketetentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa
jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan
kehormatan yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh
suatu lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial.
Pembentukan lembaga baru ini dapat dikatakan merupakan
pengembangan Iebih lanjut ide pembentukan Majelis Kehormatan
Hakim Agung yang sudah berkembang selama ini. Akan tetapi, jika
majelis semacam ini dibentuk di Iingkungan internal Mahkamah
Agung, maka sulit diharapkan akan efektif menjalankan fungsi
pengawasan atas kehormatan hakim agung itu sendiri, karena
kedudukannya yang tidak independen terhadap subjek yang akan
diawasi. Di samping itu, jika lembaga ini dibentuk di dalam struktur
Mahkamah Agung, maka subjek yang diawasinya hanya terbatas pada
hakim agung saja. Oleh karena itu, keberadaan lembaga Komisi
Yudisial ini dibentuk tersendiri di luar Mahkamah Agung, sehingga
subjek yang diawasinya dapat diperluas ke semua hakim, termasuk
hakim konstitusi dan hakim di seluruh Indonesia. (Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie SH,. Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah
Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam
Era Pembangunan Berkelanjutan, BPHN Depkeh & HAM, Denpasar,
14-18 Juli 2003).
 
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas Pihak Terkait Tidak Langsung
berkesimpulan bahwa telah terlihat jelas Hakim Konstitusi termasuk
dalam objek pengawasan Komisi Yudisial.
 
Kesimpulan:
 
Bahwa dari penelusuran sejarah (original intent) maksud pembuat
UUD, dari perbandingan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan kekuasaan kehakiman/peradilan serta pendapat/pandangan
yang muncul dari berbagai kalangan, telah jelas, terang benderang
dan merupakan fakta-fakta yang sulit untuk dibantah lagi bahwasanya
tugas, fungsi dan kewenangan Komisi Yudisial tidak hanya
dimaksudkan untuk hakim di Iingkungan Mahkamah Agung. Tetapi
tugas, fungsi dan wewenang pengawasan dalam rangka menjaga
harkat, martabat dan perilaku para hakim, mencakup seluruh Hakim,
dalam hal ini termasuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
 
6. Tanggapan Atas Penjatuhan Sanksi Oleh Komisi Yudisial
 
Bahwa pada intinya para Pemohon menyatakan bahwa usul
penjatuhan sanksi terhadap Hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial
yang hasilnya diserahkan kepada MA dan kepada Hakim yang dijatuhi
sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri
dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Sedangkan usul
pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh. Ketua MA dan
kepada Hakim Agung diberi kesempatan untuk membela diri dulu
dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung. Demikian halnya
usul pemberhentian bagi Hakim Konstitusi dilakukan oleh Ketua MK
dan kepada Hakim Konstitusi diberi kesempatan untuk membela diri
dihadapan Majelis Kehormatan MK.
 
Bahwa dengan adanya perbedaan tersebut, para Pemohon
berpendapat bahwa Pasal 21, Pasal 23 (2 & 3 serta 5) Pasal 24 (1)
dan Pasal 25 (3 & 4) yang mengatur usul penjatuhan sanksi terhadap
Hakim Agung dan/atau Hakim Konstitusi oleh Komisi Yudisial
bertentangan dengan Pasal 24 B dan Pasal 25 UUD 1945 yang
memberi kewenangan kepada MA dan MK untuk membentuk Majelis
Kehormatan MA dan/atau Majelis Kehormatan MK.
 
Bahwa atas pendapat tersebut, Pihak Terkait Tidak Langsung
berpandangan bahwa ;
 
 
o Usul pemberian sanksi oleh Komisi Yudisial merupakan
konsekuensi logis dari peran pengawasan yang sudah jelas dan
terang menjadi kewenangannya.
o secara sekilas dari penelusuran yang telah dikemukakan di atas
dari pandangan dan pendapat yang muncul dari berbagai
kalangan, tugas dan peran Komisi Yudisial dapat memberikan usul
sanksi pemberhentian terhadap semua hakim.
o Usul pemberhentian tersebut, merupakan penegasan terhadap
prinsip independensi yang sudah ditegaskan dalam konstitusi.
o Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial bisa memberikan
usul sanksi pemberhentian kepada Hakim, sama sekali tidak
bertentangan dengan Konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh
para Pemohon.
7. Tanggapan Atas Universalitas Kewenangan Komisi Yudisial tidak
Menjangkau Hakim Agung.
 
Demikian halnya dengan pendapat para Pemohon (point 5) bahwa
secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak
menjangkau Hakim Agung adalah pendapat yang tidak berdasar sama
sekali.
 
Bahwa jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kewenangan
yang diberikan konstitusi terhadap Komisi Yudisial Indonesia masih
sangat terbatas. Di banyak negara fungsi dan peranan dari Komisi
Yudisial sangat Iuas, tidak hanya sebatas merekomendasikan dan
pengawasan hakim, akan tetapi sampai memberhentikan dan
mengangkat para hakim termasuk dalam hal ini adalah Hakim Agung.
Misalnya ; di � Bulgaria, Etiopia, Fiji, Ghana, Kroasia, Lesotho, Papua
New Guini, Prancis, Samoa Thailand, Trinidad & Tobago, Zambia.
 
Bahwa jika dilihat dari perbandingan negara-negara tersebut,
wewenang Komisi Yudisial (judisial commission) bisa menjangkau
Hakim Agung adalah karena konteks sosial politik yang menghendaki
adanya reformasi peradilan yang significant hingga Mahkamah Agung.
Konteks tersebut setidaknya hampir sama dengan Indonesia, yang
membutuhkan peradilan yang bersih diseluruh tingkatan mulai dari MA
dan peradilan di bawahnya. Oleh karena itu, menjadi sangat logis
bahwa Komisi Yudisial memang sudah seharusnya bisa menjangkau
Hakim Agung.
 
8. Tanggapan Atas Upaya Pemanggilan KY Menghancurkan
Independensi Hakim Agung Yang dijamin UUD 1945
 
Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon juga
menyatakan bahwa pengawasan Komisi Yudisial yang telah
memanggil beberapa Hakim Agung Bagir Manan, Marianna Sutadi,
Paulus Effendy Lotulung, Parman Suparman, Usman Karim, Harifin A.
Tumpa telah mengakibatkan terganggunya hak konstitusional Hakim
Agung, yang dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945. Pemanggilan
tersebut, berpotensi dan akan membawa makna bahwa semua Hakim
Agung dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus perkara. Hal
 
ini akan menghancurkan independensi Hakim Agung yang dijamin
UUD 1945.
 
Bahwa alasan yang dikemukakan oleh para Pemohon tidak
berdasar dan terlalu berlebihan. Kami berpendapat bahwa
pemanggilan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sebagai bagian dari
pelaksanaan kewenangan pengawasaan yang telah dijamin oleh
Konstitusi dan peraturan perundang-undangan Iainnya. Komisi
Yudisial hanyalah melaksanakan mandat yang sudah diberikan oleh
UUD 1945 dan UU KY serta UU KK.
 
Bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Komisi Yudisial justru
sebaliknya, pengawasan dengan pemanggilan tersebut dalam rangka
menjaga dan menegaskan prinsip independensi para hakim.
 
Bahwa justru Pihak Terkait Tidak Langsung berpandangan jika
pemanggilan tidak dipenuhi oleh para hakim agung sebagaimana
disebutkan di atas, merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan
pelanggaran konstitusi yang ancamannya bisa sampai pada
pemberhentian. Karena apa yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
hingga detik ini merupakan mandat yang sudah sangat jelas diatur
dalam konstitusi.
 
Kesimpulan;
 
Bahwa perluasan pengertian seperti yang telah dirumuskan
oleh pembuat undang-undang dalam UU Komisi Yudisial dan UU
Kekuasaan Kehakiman tentang kewenangan Komisi Yudisial untuk
mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi, sudah merupakan
Mak, tugas dan kewajiban konstitusionalnya untuk merumuskan
undang-undang secara Iebih jelas, rinci, tegas sebagaimana
dimaksud UUD. Apalagi jika ditinjau dari segi historis, sistematika,
perbandingan serta fakta-fakta Iainnya, sangatlah jelas bahwa apa
yang dirumuskan dalam kedua undang-undang tersebut sudah sesuai
dengan maksud UUD.
 
Bahwa dengan demikian sangat jelas bahwa rumusan Pasal 1
angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22..dst, UU Komisi Yudisial dan
UU Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dipersoalkan para Pemohon,
tidak cukup beralasan jika dinyatakan harus bertentangan dengan
UUD 1945. ,bahwa Pasal-pasal tersebut sudah sesuai dengan
konstitusi baik dari segi normatif, historis, sosiologis maupun politis.
 
Bahwa penafsiran yang disampaikan para Pemohon dalam
permohonannya adalah penafsiran yang tidak berdasar, mengada-ada
.dan sangat manipulatif. Dan tidak lepas dari kepentingan bahwa para
hakim agung di MA resistensi terhadap pengawasan yang memang
sudah seharusnya dilakukan bagi pemegang kekuasaan. Setidaknya
hal ini terkait dengan beberapa peristiwa terakhir yang muncul dan
terungkap di MA.
 
Bahwa tugas, fungsi dan wewenang dalam rangka
pengawasan semua hakim oleh Komisi Yudisial dapat diartikan agar
tidak terjadi adanya pengawasan yang berbeda-beda atau berstandar
ganda terhadap para hakim. Pengawasan yang berbeda-beda atau
berstandar ganda, tidak hanya akan membingungkan dan membuat
pengawasan menjadi tidak efektif, akan tetapi juga bisa berdampak
terjadinya diskriminasi dan rasa keadilan masyarakat makin
terabaikan.
 
IV. KESIMPULAN AKHIR
 
1. bahwa kondisi peradilan di Indonesia saat ini, khususnya bagi Mahkamah
Agung dan peradilan di bawahnya masih jauh dari dambaan dan harapan
masyarakat. Dari penelitian, opini dan polling yang dilakukan berbagai
kalangan setidaknya menunjukkan bahwa kondisi peradilan dalam keadaan
buruk karena mafia peradilan (korupsi).
 
 
2. bahwa kenyatan tersebut telah lama disadari. Berbagai upaya perbaikan
memang telah dilakukan secara bertahap, sejak reformasi 1998 hingga
puncaknya pada perubahan ketiga UUD 1945 yang menegaskan prinsip
independensi dalam konstitusi. Selain penegasan prinsip independensi
tersebut, ditentukan pula mekanisme pengawasan terhadap para hakim
oleh Komisis Yudisial. Pengawasan ini sebagai bagian dari akuntabilitas
yang mesti dilakukan badan pelaksana kekuasaan kehakiman, agar
independensi bisa dibatasi tidak tidak menimbulkan tirani kekuasaan.
Keberadaan Komisi Yudisial menjadi prasyarat mutlak bahwa setiap
kekuasaan, termasuk kekuasaan kehakiman, harus diawasi sebagaimana
adagium yang menyatakan the power tend to corrupt.
3. bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan kebutuhan dan konsekuensi
logis dari tuntutan kearah pemerintahan yang lebih menjamin prinsip cheks
and balances, transparans dan akuntabel serta partisipatif. Tidak saja
antara cabang-cabang kekuasaan (legeslatif, eksekutif dan yudisial), akan
tetapi, di dalam masing-masing cabang kekuasaan tersebut. Terbentuknya
Komisi Yudisial ditujukan untuk menjamin prinsip-prinsip tersebut dapat
terlaksana di Iingkungan kekuasaan judicial (peradilan).
4. bahwa keberadaan Komisi Yudisial merupakan satu-satunya lembaga
komisi yang dibentuk melalui UUD secara jelas, tegas dan tanpa ragu-ragu
(menggunakan huruf kapital). Hal ini berarti Komisi Yudisial adalah lembaga
negara dan kedudukannya setara dengan lembaga-lembaga negara lain
yang diatur dalam UUD, dalam hal ini MA, MK, Presiden, DPR, BPK, MPR,
DPD. Selain itu, meskipun terbatas jika dibandingkan dengan negara-
negara lain, kewenangan Komisi Yudisial juga diatur dalam konstitusi
sehingga memiliki legitimasi yang sangat kuat.
5. bahwa permohonan yang diajukan para Pemohon, memiliki konsekuensi
tidak hanya mengeliminasi kewenangan Komisi Yudisial akan tetapi juga
berdampak terhadap eksistensi terhadap kelembagaan Komisi Yudisial. Di
samping itu, dari permohonan tersebut dapat dibaca sebagai upaya
perlawanan dan penolakan (resistensi) terhadap peran pengawasan yang
dilakukan Komisi Yudisial. Resistensi yang tentunya berlawanan dengan
spirit perubahan dan konsitusi. Dari permohonan itu pula patut
dipertanyakan konsistensi dan motif para Pemohon.
6. bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas, sebelum Komisi Yudisial
terbentuk dan melaksanakan kewenangannya, MA secara kelembagaan
turut mendorong dan mendesain keberadaan dan peran Komisi Yudisial
(bukti dari blue print MA dan Naskah Akademis RUU KY versi MA), dan
menyadari betapa perlunya keberadaan dan peran pengawasan (termasuk
untuk hakim agung) Komisi Yudisial bagi pembaruan di MA. MA mengakui
bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam pengawasan terhadap hakim.
Antara lain, pertama adanya dugaan semangat membela korps dalam
pendisiplinan hakim. Hal ini tidak terlepas dari keberadaan Majelis
Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim Agung yang
komposisinya hanya terdiri dari kalangan hakim. Kondisi ini mengakibatkan
proses pendisiplinan kurang dapat berjalan optimal. Tidak banyak hakim
yang dijatuhi sanksi, walau jumlah hakim yang diduga melakukan
pelanggaran tidak sedikit. Kedua, hukum acara dalam proses pemeriksaan
di majelis kehormatan hakim dan hakim agung terlalu sederhana. Ketiga,
kurangnya transparansi dan akuntabilitas dari proses majelis kehormatan
dan hakim agung. Hal ini terlihat dari ketentuan yang menegaskan bahwa
pemeriksaan dilakukan secara tertutup.
MA berkesimpulan mengenai pentingnya keberadan lembaga pengawas
eksternal (di luar MA). Karena sejumlah alat kelengkapan MA yang dibentuk
untuk mengawasi hakim seperti Ketua Muda MA bidang pengawasan dan
pembinaan (Tuada Wasbin), hanya mengurusi teknis peradilan,
administrasi peradilan, perbuatan dan tingkah laku (conduct) hakim dan
pejabat kepaniteraan pengadilan. MA pun menyadari. tentang adanya
overlapping antara Tuada Wasbin dengan KY. MA menganggap perlu
adanya pengaturan yang lebih jelas mengenai lingkup tugas antara kedua
organ pengawasan itu. (naskah akademis hal 46-55)
 
Dengan diajukannya permohonan ini, MA tidak konsisten dan menjilat
Iudahnya sendiri. Meskipun 31 orang hakim agung menjadi para Pemohon
atas dasar perseorangan, namun melihat jumlah tersebut menunjukkan
suara mayoritas hakim agung, dan sulit diterima akal sehat jika hal ini tidak
diketahui atau 'dikontrol' pimpinan MA dan dianggap sebagai cerminan dari
sikap kelembagaan.
 
 
7. bahwa disadari permohonan ini akan terjadi conflict of interest para hakim
konsitusi dalam memeriksa, menyidangkan dan memutus permohonan
karena apa yang diminta para Pemohon menyangkut pengawasan Komisi
Yudisial terhadap hakim konstitusi. Disadari pula bahwa hakim konstitusi
tidak mungkin menarik diri dari permohonan ini. Oleh karena itu, Pihak
Terkait Tidak Langsung berharap agar hakim konstitusi bisa menunjukkan
sikap independensi dan kenegarawanannya dalam memutus perkara ini.
Sikap yang sangat diperlukan untuk memutus perkara ini secara tepat, adil
dan objektif. Putusan yang dapat meletakkan dan menegaskan kembali
pentingnya akuntabilitas bagi kekuasaan kehakiman. Akuntabilitas yang
dapat memperteguh prinsip independensi semua hakim, menjaga
ke'agung'an para hakim agung dan ke'negarawan'an para hakim konstitusi.
8. bahwa dari berkas permohonan yang telah diajukan para Pemohon, Pihak
Terkait Tidak Langsung berpandangan bahwa status para Pemohon tidak
jelas. Hal ini kami dasarkan atas fakta-fakta sebagai berikut;
1. bahwa sebagaimana pernyataan para Pemohon (di media massa
maupun dalam persidangan pendahuluan), permohonan diajukan atas
dasar perseorangan. Namun dalam berkas permohonan, seluruh
Pemohon (hakim agung) mencantumkan jabatannya sebagai hakim
agung.
 
 
2. bahwa dalam berkas permohonan, para Pemohon tidak menggunakan
alamat pribadi/rumah/tempat tinggal masing-masing, akan tetapi
para Pemohon menggunakan alamat kantor lembaga Mahkamah
Agung yakni di JIn. Medan Merdeka Utara Kav. 9-3 Jakarta Pusat.
 
 
9. bahwa selain fakta-fakta tersebut di atas, permohonan yang diajukan atas
dasar perseorangan, namun para Pemohon mempersoalkan berlakunya
sejumlah Pasal dalam UU Komisi Yudisial dan UU Kekuasaan Kehakiman
yang terkait dengan posisi/jabatan para Pemohon sebagai hakim agung.
Pasal-pasal tersebut dipandang para Pemohon potensial merugikan hak
dan kewenangan konstitusional para Pemohon. Permohonan yang diajukan
atas dasar perseorangan namun mempersoalkan pemberlakuan undang-
undang yang memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk
melakukan pengawasan terhadap hakim agung dan ini menyangkut jabatan
para Pemohon, menurut pendapat Pihak Terkait Tidak Langsung sangatlah
aneh dan janggal serta terlalu mengada-ada.
10. bahwa kewenangan konstitusional yang telah diberikan kepada Komisi
Yudisial untuk melakukan pengawasan adalah kewenangan yang
menyangkut pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang suatu jabatan,
dalam hal ini jabatan tersebut adalah Hakim. Oleh karena itu, sangatlah
tidak tepat jika permohonan atas dasar perseorangan mempersoalkan hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai hakim agung yang
khawatir akan dirugikan dengan pelaksanaan wewenang Komisi Yudisial
yang telah diberikan undang-undang. Pihak Terkait Tidak Langsung
berpandangan, tidak terdapat korelasi yang sangat kuat antara posisi
subjek Pemohon dengan objek/materi yang dimohonkan;
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 27 Juni 2006, telah didengar
keterangan dari para pihak prinsipal baik para Pemohon maupun Komisi Yudisial,
yang masing-masing menerangkan sebagai berikut:
 
Keterangan Para Pemohon Prinsipal
 
 
1. Tentang perubahan UUD 1945.
2. Tentang kewenangan Komisi Yudisial versus kewenangan Mahkamah Agung.
3. Tentang kondisi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka setelah beradanya Komisi
Yudisial.
Ad. 1. Tentang perubahan UUD 1945, khususnya Bab IX, tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang di dalam perubahan ketiga telah disisipkan Pasal-pasal
24A, 24B dan 24C, tetapi kemudian karena munculnya Pasal 24B, tentang
Komisi Yudisial, belum ada cantolannya (dasar pembentukannya), baru
kemudian dicarikan cantolan/dasar di dalam perubahan yang ke empat,
dengan menyisipkan ayat (3) (Pasal 24) yang dirumuskan sebagai berikut :
 
"Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan
Kehakiman di diatur dalam Undang-Undang ".
 
Cara perubahan yang demikian tidak sesuai dengan "cara berfikir yang
tertib dan tidak taat azas" dengan terlebih dahulu menempatkan
"lembaganya" baru kemudian mencarikan dasar hukumnya, yang menurut
hemat para Pemohon penempatan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B,
adalah cacat hukum di dalam pembuatannya, karena dasarnya baru dibuat
kemudian.
 
Oleh karena itu tidak tepat dan bertentangan dengan prinsip Kemerdekaan
Kekuasaan Kehakiman yang bersifat universal.
 
Untuk menghindarkan salah tafsir seolah-olah Komisi Yudisial menjadi
bagian dari institusi Kekuasaan kehakiman, maka akan lebih tepat jika
ketentuan tentang Komisi Yudisial sebagaimana disebut di dalam Pasal
24B, dikeluarkan dari Bab ke IX UUD 1945.
 
 
 
 
Ad. 2. Tentang Kewenangan Komisi Yudisial versus kewenangan Mahkamah
Agung :
a. Bahwa sesuai dengan Pasal 24B (1) UUD 1945 mengatur bahwa
"Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan :
Pengangkatan Hakim Agung dan "mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku Hakim" ayat tersebut kemudian dimuat kembali dalam
Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang Komisi
Yudisial, dan tidak satupun kata dari ayat itu menyebut tentang
"pengawasan", tetapi kemudian muncul di dalam Pasal 20, yang
berbunyi " dalam melaksanakan wewenang "sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas pengawasan
tugas pengawasan terhadap" perilaku Hakim "dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku Hakim". Menurut pendapat para Pemohon "pengawasan
terhadap perilaku Hakim " hanyalah merupakan media dengan tujuan
pokoknya adalah "dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim". Namun
kenyataannya pengawasan Komisi Yudisial terhadap para Hakim,
dengan rnempergunakan pendekatan kekuasaan, yang tidak
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat para Hakim, tetapi
sebaliknya justru merusak kehormatan dan keluhuran martabat Hakim,
bahkan beberapa kasus diantaranya Komisi Yudisial telah memasuki
wilayah "terlarang" lingkup tehnis penyelesaian perkara yang menjadi
wewenang Mahkamah Agung (beberapa Hakim telah
direkomendasikan untuk diberhentikan sementara).
 
Para Pemohon tetap berpendapat bahwa "objek pengawasan perilaku
hakim", tidak termasuk Hakim Agung, selain karena antara Hakim
Tingkat Pertama dan Tingkat Banding berbeda aturan dan
persyaratannya dengan Hakim Agung, lagi pula di Mahkamah Agung
terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Agung yang pembentukannya
didasarkan pada Pasal 12 (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004,
tentang Mahkamah Agung. Alasan lain karena secara tehnis,
persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung dan Hakim
Mahkamah Konstitusi, jauh lebih berat dibandingkan dengan
persyaratan untuk menjadi Anggota Komisi Yudisial (S.O.R), jadi
secara tehnis akan mengalami hambatan psikologis.
 
b. Menurut Pasal 32 (1 s/d 4) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
menggariskan "Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
 
 
 
 
terhadap penyelenggaraan Peradilan disemua Iingkungan peradilan
dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman�.
 
Demikian pula menurut Pasal 11 ayat (4) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004, mengatur bahwa Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang-
undang. Oleh karena Mahkamah Agung, berperan sebagai pengawas
tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan disemua Iingkungan
peradilan, artinya tidak ada institusi yang Iebih tinggi di dalam
melakukan pengawasan selain Mahkamah Agung, maka tidaklah
mungkin Komisi Yudisial mengawasi Mahkamah Agung, dan Hakim
Agung tidak mungkin berada di bawah pengawasan Komisi Yudisial
fungsi pengawasan yang tertinggi yang dimiliki oleh Mahkamah Agung,
semakin menjadi strategi dan sangat relevan setelah Mahkamah Agung
melaksanakan sistim satu atap (one roof sistem).
 
Ad. 3. Kondisi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka setelah adanya Komisi
Yudisial, telah disinggung bahwa selama ini pengawasan yang dilakukan
oleh Komisi Yudisial, dengan mempergunakan pendekataan "kekuasaan"
dengan semata-mata mempergunakan kekuasaannya yang diatur di dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tanpa mau melihat Peraturan
Perundang-undangan yang lain, itupun tidak dilakukan secara benar.
Karena pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial tidak
mengindahkan undang-undang lain yang seharusnya juga menjadi acuan
dan pedoman kerja bagi jajaran Komisi Yudisial, maka akibatnya tidak
jarang sepak terjangnya telah melampaui batas wewenangnya, sehingga
sangat meresahkan serta mengganggu, kinerja para Hakim. Di dalam
melaksanakan pengawasan semestinya "media pengawasan" haruslah
dilakukan dan didasarkan atas semangat itikad baik (good faith), dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku Hakim tetapi sebaliknya justru "media pengawasan"
dijadikan media untuk memasuki substansi/wilayah tehnis penyelesaian
perkara, yang bukan menjadi tugasnya, dan kemudian merekomendasikan
pemberhentian Hakim, adalah merupakan bentuk perbuatan bukan saja
intervensi dan intimidasi bahkan cenderung telah merusak sistem (lembaga
peradilan yang memiliki kemerdekaan yang dijamin oleh konstitusi dan
bersifat universal).
 
Melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, para Hakim dalam wadah
IKAHI telah berupaya untuk membangun " lembaga peradilan yang benar-
benar bebas dari intervensi Pemerintah" kemudian diwujudkan dalam
sistim satu atap, yang ketika itu ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan
jika satu atap nanti Mahkamah Agung, akan melakukan tirani judisiel, dan
ketika itu pembentuk undang-undang yang tergabung di dalam Panitia
Ad Hoc, dalam suasana pemikiran yang penuh kekhawatiran itu, dengan
alasan checks and balances berupaya meletakkan batu pertama untuk
semakin mengintervensi melalui konstitusi. Kini Mahkamah Agung yang
telah menginjak tahun kedua dalam sistim satu atap, tidak ada tanda dua
melakukan tirani, akan tetapi diubah issunya dengan "mafia peradilan"
seperti yang digembar-gemborkan oleh Komisi Yudisial dan Sdr. Denny
Indrayana (seorang doktor) ahli Tata Negara, walaupun secara tidak
langsung mengakui bahwa Lembaga Yudikatif mengalami perbaikan
khususnya terkait dengan korupsi, yang benar Mahkamah Agung juga
berupaya untuk memperbaiki diri tetapi tentu perlu waktu. Sekarang Komisi
Yudisial apabila kita perhatikan sepak terjangnya cenderung menjurus
keperbuatan tirani ala Komisi Yudisial, terhadap para Hakim yang
memutus bebas, atau sebab lain yang menurut Komisi Yudisial perlu
diusulkan untuk diberhentikan sementara. Sikap demikian bukanlah dalam
kerangka "menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku Hakim. Apabila hal ini dibiarkan maka cepat atau lambat
Kekuasaan Kehakiman akan menjadi bagian dari Komisi Yudisial dan pada
akhirnya akan mengakibatkarr hancurnya sebuah sistim ketatanegaraan
khususnya Lembaga Yudikatif sebagai penyelenggara Negara dibidang
Kekuasaan Kehakiman.
 
Dalam pada itu Komisi Yudisial telah masuk ke wilayah terlarang (bukan
wewenangnya) sebelum dikatakan Komisi Yudisial intervensi, justru oknum
Komisi Yudisial mengatakan Mahkamah Agung telah melakukan intervensi
tatkala Mahkamah Agung melakukan fungsi dan tugas pengawasan dalam
kasus perkara Tipikor di mana tiga orang Hakim Ad Hoc telah ke luar dari
ruang sidang, sehingga persidangan sampai mengalami pengunduran
 
 
 
 
sidang hingga enam kali. Kini Mahkamah Agung dan para Hakim merasa
khawatir dan resah terhadap Komisi Yudisial yang cenderung melakukan
"intervensi" dan menjurus ke "penghancuran sebuah sistim peradilan" yang
selama Iebih dari setengah abad kita bangun guna mencapai cita-cita
Negara Hukum, dalam mewujudkan tatanan kehidupan demokrasi".
Eksitensi Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan adalah merupakan
sebuah keniscayaan di dalam negara Hukum.
 
Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, Komisi Yudisial
telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
 
Bidang Teknis Yustisial
 
 
1. Komisi Yudisial telah menempatkan dirinya pada posisi yang tidak boleh
dilakukan dalam hal ini bertindak dibidang teknis dan administrasi peradilan;
2. Hakim PN Denpasar memutus terdakwa hukuman 3 (tiga) bulan, kemudian oleh
Komisi Yudisial Hakim yang memutus tersebut dipanggil, mengapa memutus
demikian;
3. Ketua Pengadilan Negeri Selatan dipanggil oleh Komisi Yudisial mengenai
pelaksanaan eksekusi;
4. Harifin A. Tumpa, (Pemohon) juga pernah dipanggil mengenai memberi petunjuk
masalah eksekusi;
 
 
Bidang Administrasi
1. Komisi Yudisial merekomendasikan Hakim Tipikor untuk diberhentikan
sementara karena walkout;
2. Ketua Pengadilan Negeri dipanggil oleh Komisi Yudisial berkait dengan
pergantian Majelis Hakim Tipikor yang merupakan kewenangan Ketua
Pengadilan;
3. Ketua Mahkamah Agung dipanggil oleh Komisi Yudisial berkait dengan
memindahkan persidangan dari Medan ke Jakarta;
 
 
Keterangan Prinsipal Komisi Yudisial
Beberapa ekses yang dilakukan oleh beberapa Hakim Agung yang mendorong
diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 serta beberapa ekses yang
mengakibatkan kurang efektifnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut
sebagai berikut :
 
 
 
 
1. Ekses-ekses yang mendorong diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004:
 
Kegagalan sistem yang ada.
 
Salah satu alasan yang mendorong keberadaan Komisi Yudisial adalah ekses
praktek peradilan yang berakibat kegagalan sistim yang ada dalam menciptakan
pengadilan yang lebih baik. Kegagalan tersebut disebabkan ketidakmampuan
aparat interen mengawasi perilaku hakim. Oleh sebab itu timbullah pemikiran
untuk menciptakan pengawasan ekstern dengan tugas pokok disamping
mengusulkan Hakim Agung juga mengawasi perilaku, sehingga diharapkan
ekses dari perilaku hakim itu dapat diminimalisir.
 
Kekhawatiran akan monopoli kekuasaan pada Mahkamah Agung (MA).
 
Terbitnya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (kemudian diganti dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004) yang mengganti Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, memperluas kekuasaan Mahkamah Agung dibidang organisasi,
administrasi dan finansial, menimbulkan kekhawatiran bahwa Mahkamah Agung
akan memonopoli kekuasaan kehakiman. Di samping itu penyerahan kekuasaan
tersebut ke Mahkamah Agung juga dipandang tidak akan mampu menyelesaikan
persoalan yang dihadapi, bahkan dinilai dapat menimbulkan akibat atau ekses
yang lebih buruk lagi. Oleh sebab itulah timbul pemikiran ke arah pembentukan
lembaga baru yang diberi wewenang mengawasi dan saling menyeimbangkan
(checks and balances) pelaksanaan kekuasaan kehakiman sehingga ekses-
ekses yang timbul atau yang potensial menimbulkan ekses dapat diantisipasi
dan diminimalisir.
 
2. Ekses-ekses yang mengakibatkan kurang efektifnya pelaksanaan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 :
 
Perilaku yang tidak tunduk pada undang-undang.
 
Sebagaimana diketahui menurut ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf c bahwa
Komisi Yudisial dalam rangka melaksanakan pengawasan, dapat memanggil
dan meminta keterangan hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku
hakim. Pemanggilan terhadap beberapa Hakim Agung yang diduga terkait dalam
kasus suap adalah murni menjalankan perintah undang-undang. Namun
demikian apa yang terjadi? Dua kali surat panggilan Komisi Yudisial tidak di
indahkan oleh Hakim Agung Bagir Manan yang kebetulan menjabat sebagai
Ketua Mahkamah Agung, padahal sebagai petinggi hukum di negeri ini,
 
 
 
 
keteladanan yang bersangkutan sangat dibutuhkan dalam rangka melaksanakan
prinsip Equality Before The Law serta memberi suri teladan pada hakim
lainnya.
 
Rekomendasi Komisi Yudisial tidak dilaksanakan.
 
Pemeriksaan terhadap beberapa hakim yang diduga melanggar kode etik dan
oleh Komisi Yudisial telah direkomendasikan beberapa hakim kepada
Mahkamah Agung untuk dilaksanakan atau paling tidak untuk dipertimbangkan.
Menanggapi hal itu Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menyatakan di
Jakarta yang dikutip oleh beberapa koran, "bukankah rekomendasi Komisi
Yudisial itu terserah kami, apa kami mau masukan ke kotak sampah, terserah
kami". Dapatlah dibayangkan betapa ucapan seorang Hakim Agung yang
melecehkan undang-undang, padahal ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa usul penjatuhan
sanksi sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 23 ayat (1) beserta alasannya
bersifat mengikat disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
 
Konspirasi Hakim Agung dan Advokat untuk bubarkan Komisi Yudisial
 
Beberapa orang hakim agung bersama advokat para hakim agung tersebut
membuat rencana untuk membubarkan Komisi Yudisial di Hotel Danau Sunter
Jakarta Utara tanggal 02 Febuari 2006 yang lalu. Jalan yang akan ditempuh dari
rencana itu, melaporkan anggota Komisi Yudisial ke Polisi kemudian mereka
akan mengatur penyidik POLRI yang memeriksa anggota Komisi Yudisial
tersebut. Terlepas benar atau salah isi dokumen tersebut, namum satu hal telah
terlihat bahwa pertemuan tersebut memberikan salah satu bukti bahwa mafia
peradilan di lingkungan peradilan tertinggi tersebut memang ada.
 
Majelis Hakim yang terhormat, beberapa ekses yang ditunjukkan diatas
memperlihatkan bahwa Hakim Agung telah melanggar sumpah jabatan dan
melanggar konstitusi, dimana pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan
secara terencana dan sistematis. Bahwa Hakim Agung adalah figur-figur atau
pejabat negara yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menegakkan hukum
tapi justru berbuat sebaliknya.
 
Upaya untuk menyelesaikan "kecurigaan" terhadap Komisi Yudisial ini adalah
dengan cara duduk bersama antara Komisi Yudisial, Mahkamah Agung dan juga
 
 
 
 
Mahkamah Konstitusi untuk membicarakan tugas-tugas pengawasan hakim
tersebut termasuk kode etik/code of conduct para hakim.
 
Atas dasar tersebut, mohon agar Majelis Hakim untuk mempertimbangkan
ekses-ekses yang terjadi yang dilakukan secara sistematis dan terencana yang
dilakukan oleh Hakim-hakim Agung, yang mengakibatkan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 menjadi tidak efektif;
 
Menimbang bahwa Pihak Terkait Tidak Langsung Konsorsium Reformasi
Hukum Nasional (KRHN), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia
Corruption Watch (ICW), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan
(Kontras), telah menyerahkan dokumen-dokumen berupa:
 
 
1. Guidelines for Action on Children the Criminal Justice System;
2. Basic Principles on the Independence of the Judiciary;
3. Basic Principles on the Rule of Lawyers;
4. Code of Conduct fo Law Enforcement Officials;
5. United Nations Rules for the Protection on Juveniles Deprived of their Liberty;
6. Pedoman tentang Peranan Jaksa;
7. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The
Riyadh Guidelines);
8. Basic Principles for the Treatment of Prisoners;
9. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice (�The Beijing Rules�);
 
 
10. Guidelines on the Rule of Prosecutors;
11. Prinsip-prinsip Banglore Tentang Perilaku Pengadilan;
12. Safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death
penalty;
13. United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The
Tokyo Rules);
14. Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement
Officials;
Menimbang bahwa para Pemohon baik prinsipal maupun Kuasa Hukum-nya
telah menyerahkan Kesimpulan, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada
tanggal 4 Juli 2006, yang isi selengkapnya ditunjuk dalam Berkas Perkara;
 
 
 
 
 
 
Menimbang bahwa Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, telah
menyerahkan Keterangan Tambahan dan Kesimpulan, yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 6 Juli 2006, yang isi selengkapnya ditunjuk
dalam Berkas Perkara;
 
Menimbang bahwa Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, telah
menyerahkan bukti di luar persidangan, yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal
14 Juli 2006, dan diberi tanda T-1 sampai dengan T-11, sebagai berikut:
 
 
 
 
Bukti T-1 : Fotokopi Cetak Biru Pembaharuan Mahkamah Konsitusi R.I.,
(halaman 91 - 107);
Bukti T-2 : Fotokopi Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang
Komisi Yudisial, (halaman 45);
 
Bukti T-3 : Fotokopi Tulisan A. Ahsin Thohari berjudul �Komisi Yudisial: Reformasi
Peradilan�, (halaman 105 dan 107);
 
Bukti T-4 : Fotokopi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
 
Bukti T-5 : Fotokopi Makalah Prof. Dr. Bagir Manan, SH., MC.L., berjudul
�Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan Mahkamah
Konstitusi) Dengan Komisi Yudisial (Suatu Pertanyaan);
 
Bukti T-6 : Fotokopi Rasalah Rapat Lobi Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR,
tanggal 11 April 2001;
 
Bukti T-7 : Fotokopi www.detik.com tanggal 17 Maret 2006;
 
Bukti T-8 : Fotokopi Tempo Interaktif tanggal 17 Maret 2006;
 
Bukti T-9 : Fotokopi Tempo Interaktif tanggal 21 Maret 2006;
 
Bukti T-10 : Fotokopi Koran Tempo tanggal 21 Januari 2006;
 
Bukti T-11 : Fotokopi Republika Online tanggal 21 Januari 2006;
 
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu
yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini;
 
 
 
 
 
 
 
 
PERTIMBANGAN HUKUM
 
 
 
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan adalah sebagaimana
telah diuraikan tersebut di atas;
 
Menimbang bahwa ada 3 (tiga) hal yang harus dipertimbangkan oleh
Mahkamah Konstitusi, yakni:
 
 
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan yang diajukan oleh para Pemohon;
2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
3. Pokok permohonan mengenai konstitusionalitas undang-undang yang
dimohonkan pengujian oleh para Pemohon;
 
 
 
Menimbang bahwa terhadap ketiga hal tersebut di atas Mahkamah Konstitusi
berpendapat sebagai berikut:
 
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
 
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945), Mahkamah Konstitusi berwenang �mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum�. Ketentuan
tersebut dimuat kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UUMK) dan Pasal 12 ayat (1) Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4358, selanjutnya disebut UUKK);
 
 
 
 
Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415, selanjutnya disebut UUKY) dan
UUKK terhadap UUD 1945, sehingga permohonan a quo berada dalam lingkup
kewenangan Mahkamah Konstitusi;
 
Menimbang bahwa, meskipun Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo, akan tetapi untuk
menghilangkan adanya keragu-raguan akan objektivitas, netralitas, dan
imparsialitas Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya yang
diberikan oleh UUD 1945, perlu lebih dahulu mempertimbangkan permohonan
kuasa hukum Komisi Yudisial (KY), selaku Pihak Terkait Langsung, yang secara
khusus disampaikan pada persidangan tanggal 11 April 2006 agar Mahkamah
Konstitusi membuat pernyataan (deklarasi). Deklarasi dimaksud, oleh Pihak Terkait
KY, agar Mahkamah Konstitusi mengesampingkan atau menganggap dan
menyatakan tidak akan melakukan pengujian terhadap ketentuan-ketentuan dalam
UUKY yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo sepanjang
menyangkut Hakim Konstitusi, baik secara eksplisit maupun implisit. Atas
permohonan pernyataan deklarasi tersebut Mahkamah Konstitusi memandang perlu
dan penting untuk menyatakan pendiriannya sebagai berikut:
 
 
a. Bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang oleh
UUD 1945 diberi kewenangan untuk mengadili dan memutus pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap persoalan-
persoalan ketatanegaraan, adalah konsekuensi logis dari sistem ketatanegaraan
baru yang hendak dibangun oleh UUD 1945 setelah melalui serangkaian
perubahan. Sistem ketatanegaraan baru dimaksud adalah sistem yang gagasan
dasarnya bertujuan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang
demokratis (democratische rechtsstaat) yaitu negara demokrasi yang berdasar
atas hukum (constitutional democracy), sebagaimana tercermin dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang merupakan penjabaran dari
Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat. Sehingga, seluruh
ketentuan dalam UUD 1945, sebagai satu kesatuan sistem, merupakan
penjabaran lebih lanjut dari gagasan dasar dimaksud dan karenanya juga dapat
dijelaskan berdasarkan gagasan dasar tersebut;
 
 
 
 
b. Bahwa syarat pertama setiap negara yang menganut paham rule of law dan
constitutional democracy adalah prinsip konstitusionalisme (constitutionalism),
yaitu prinsip yang menempatkan undang-undang dasar atau konstitusi sebagai
hukum tertinggi, yang substansinya terkandung dalam Alinea Keempat
Pembukaan UUD 1945, sebagai perwujudan dari pernyataan kemerdekaan
bangsa, sebagaimana tercermin antara lain dalam kalimat, ��. maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia�. Sehingga undang-undang dasar adalah pernyataan
mendasar tentang hal-hal yang oleh sekelompok orang yang mengikatkan diri
sebagai suatu bangsa dipandang sebagai ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai
dasar di mana terhadap ketentuan-ketentuan dan nilai-nilai dasar itulah yang
mereka anut bersama dan kepadanya pula mereka sepakat untuk terikat (the
fundamental statement of what a group of people gathered together as citizens
of a particular nation view as the basic rules and values which they share and to
which they agree to bind themselves, vide Barry M. Hager, Rule of Law, A
Lexicon for Policy Makers, 2000). Oleh sebab itulah di negara-negara yang
menganut paham rule of law dan constitutional democracy �konstitusi haruslah
bekerja sebagai perwujudan hukum tertinggi yang kepadanya segala hukum dan
tindakan pemerintahan harus menundukkan diri ... konstitusi harus mewujudkan
aturan-aturan mendasar dari suatu masyarakat yang demokratis daripada
sekadar memasukkan ketentuan-ketentuan hukum yang senantiasa berubah-
ubah yang lebih tepat diatur oleh undang-undang. Demikian pula, struktur dan
tindakan pemerintahan harus sungguh-sungguh tunduk pada norma-norma
konstitusi, serta konstitusi tidak boleh semata-mata sebagai sekadar dokumen
seremonial atau aspirasional belaka� (�constitutions should serve as the highest
form of law to which all other laws and governmental actions must conform. As
such, constitutions should embody the fundamental precepts of a democratic
society rather than serving to incorporate ever-changing laws more appropriately
dealt with by statute. Similarly, govermental structures and actions should
seriously conform with constitutional norms, and constitutions should not mere
ceremonial or aspirational documents�, vide John Norton More, 1990). Oleh
karena itu harus terdapat mekanisme yang menjamin bahwa ketentuan-
ketentuan konstitusi dimaksud benar-benar dilaksanakan dalam praktik
kehidupan bernegara. Guna menjamin tegak dan dilaksanakannya konstitusi
 
 
 
 
itulah keberadaan Mahkamah Konstitusi menjadi keniscayaan yaitu sebagai
lembaga yang berfungsi mengawal konstitusi atau undang-undang dasar (the
guardian of the constitution) yang karena fungsinya itu dengan sendirinya
Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir tunggal undang-undang dasar (the
sole judicial interpreter of the constitution). Pada kerangka pemikiran itulah
seluruh kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
bersumber dan mendapatkan landasan konstitusionalnya;
c. Bahwa dalam melaksanakan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal
konstitusi, Hakim Konstitusi telah bersumpah �akan memenuhi kewajiban
sebagai Hakim Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-
lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa�, sesuai dengan ketentuan Pasal
21 ayat (1) UUMK. Sumpah tersebut membawa konsekuensi bahwa adalah
bertentangan dengan undang-undang dasar apabila Hakim Konstitusi
membiarkan tanpa ada penyelesaian suatu persoalan konstitusional yang
dimohonkan kepadanya untuk diputus, padahal persoalan tersebut, menurut
konstitusi, nyata-nyata merupakan kewenangannya. Lebih-lebih persoalan
tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan kepentingan pribadi Hakim
Konstitusi, melainkan merupakan persoalan konstitusi;
d. Bahwa permohonan a quo adalah permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi sangat menyadari bahwa, dalam
melaksanakan kewenangannya menguji undang-undang terhadap UUD 1945,
Mahkamah Konstitusi harus senantiasa mempertimbangkan secara cermat dua
hal. Pertama, bahwa undang-undang adalah hasil kerja dari dua lembaga
negara yang dipilih secara demokratis, sehingga setiap undang-undang dilihat
dari sudut pandang procedural democracy adalah cerminan dari kehendak
mayoritas rakyat. Kedua, namun demikian, kehendak mayoritas rakyat itu tidak
boleh mengabaikan substantial democracy sebagaimana tertuang dalam
ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dalam setiap negara yang menganut
paham rule of law dan constitutional democracy merupakan hukum tertinggi (the
supreme law). Acapkali muncul pandangan yang keliru bahwa, dalam
 
 
 
 
melaksanakan kewenangannya untuk menguji undang-undang terhadap
undang-undang dasar, seakan-akan tugas Mahkamah Konstitusi adalah untuk
membatalkan undang-undang. Oleh karena itu sangat penting bagi Mahkamah
Konstitusi untuk menegaskan, sebagaimana dikemukakan oleh Justice Robert
dalam perkara U.S. v. Butler, bahwa, �Kekuasaan yang dimiliki oleh Mahkamah
... adalah kekuasaan untuk mengadili. Mahkamah ini tidak memiliki kekuasaan
untuk menyetujui atau mengecam kebijakan legislatif apa pun. Tugas berat dan
sulit Mahkamah adalah memastikan dan menyatakan apakah undang-undang ini
sesuai atau bertentangan dengan Konstitusi; dan, setelah itu, maka berakhirlah
tugasnya� (�All the power it has ... is the power of judgment. This court neither
approves nor condemns any legislative policy. Its delicate and difficult office is to
ascertain and declare whether the legislation is in accordance with, or in
contravention of, the provisions of the Constitution; and, having done that, its
duty ends�, vide Craig R. Ducat, Constitutional Interpretation, 2000);
e. Bahwa selain berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dalam
permohonan KY tersebut, meskipun yang dimohonkan adalah deklarasi tetapi
esensinya adalah memohon putusan sela, sedangkan dalam hukum acara
pengujian undang-undang, Pasal 58 UUMK menyatakan, �Undang-undang yang
diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang
menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�. Sehingga, pada
dasarnya dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 tidak dikenal
adanya putusan sela. Satu-satunya kemungkinan Mahkamah Konstitusi
menjatuhkan semacam putusan sela dalam pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945, baik atas permohonan Pemohon maupun atas pertimbangan
Mahkamah Konstitusi sendiri, adalah apabila pengujian tersebut berkenaan
dengan proses pembentukan suatu undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal
16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Permohonan
Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang, yaitu:
(1) Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam
pembentukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannnya, Mahkamah
Konstitusi dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau
menunda putusan;
 
 
 
 
 
 
 
 
(2) Dalam hal dalil mengenai dugaan perbuatan pidana yang dimaksud pada
butir (1) disertai dengan bukti-bukti, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan
menunda pemeriksaan dan memberitahukan kepada pejabat yang
berwenang untuk menindaklanjuti adanya persangkaan tindak pidana yang
diajukan oleh Pemohon;
 
(3) Dalam hal dugaan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud butir (1) telah
diproses secara hukum oleh pejabat yang berwenang, untuk kepentingan
pemeriksaan dan pengambilan keputusan, Mahkamah Konstitusi dapat
meminta keterangan kepada pihak-pihak berwenang yang melakukan
penyidikan dan/atau penuntutan;
 
(4) Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan
sebagaimana dimaksud butir (1) ditetapkan dengan Ketetapan Mahkamah
Konstitusi yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
 
Sementara itu, permohonan deklarasi yang diajukan oleh KY tidak berada dalam
lingkup pengaturan Pasal 16 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 di atas;
 
 
f. Bahwa meskipun permohonan deklarasi oleh KY tersebut dimaksudkan untuk
mencegah Mahkamah Konstitusi menjadi hakim dalam perkaranya sendiri dan
agar Mahkamah Konstitusi terhindar dari sikap memihak karena dipandang
memiliki kepentingan yang menjadikan dirinya tidak imparsial, yang memang
merupakan prinsip-prinsip hukum acara dalam peradilan yang baik, tetapi
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal tersebut tidak boleh menegasikan
ketentuan hukum yang lebih tinggi, yaitu konstitusi (UUD 1945) yang telah
memberikan kewenangan konstitusional kepada Mahkamah untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi secara independen,
termasuk salah satunya adalah untuk menguji undang-undang terhadap UUD
1945;
g. Imparsialitas sebagai prinsip etik yang bersifat universal untuk menghindari
konflik kepentingan (conflict of interest) sesungguhnya titik beratnya adalah
dalam proses pemeriksaan perkara biasa, seperti yang menyangkut perkara
perdata atau pidana, dalam hal mana faktor konflik kepentingan individual
merupakan obyek sengketa (objectum litis) yang diperiksa dan diadili hakim.
Proses peradilan kasus a quo di Mahkamah Konstitusi objectum litis-nya adalah
masalah konstitusionalitas undang-undang yang lebih menyangkut kepentingan
 
 
 
 
publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (supreme law),
bukan semata-mata kepentingan individual. Oleh karena itu, dalam kasus a quo,
penerapan prinsip imparsialitas tidak dapat dijadikan alasan untuk mengesam-
pingkan kewajiban konstitusional yang lebih utama untuk memeriksa dan
memutus permohonan a quo, sehingga Mahkamah Konstitusi lebih menekankan
pada fungsi dan tugasnya mengawal dan mempertahankan konstitusi dengan
tetap menjaga prinsip imparsialitas dalam keseluruhan proses. Oleh karena itu
asas nemo judex idoneus in propria causa (niemand is geschikt om als rechter in
zijn eigen zaak op te treden), yaitu bahwa tidak seorang pun dapat menjadi
hakim dalam perkaranya sendiri, tidak dapat diterapkan dalam kasus ini;
Menimbang berdasarkan seluruh alasan tersebut di atas, sebagai penjaga
konstitusi (the guardian of the constitution), Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak
terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan deklarasi sebagaimana
dimohonkan Pihak Terkait Langsung (KY). Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan
a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga
independensi, imparsialitas, dan integritasnya, guna menegakkan konstitusi;
 
 
 
 
2. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon
Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menentukan pemohon dalam
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu
undang-undang, yaitu a) perorangan Warga Negara Indonesia, termasuk kelompok
orang yang mempunyai kepentingan sama; b) kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c) badan
hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara.
 
Menimbang bahwa sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, Mahkamah
Konstitusi telah menentukan 5 (lima) syarat adanya kerugian konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK, sebagai berikut:
 
 
a. harus ada hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya suatu undang-
undang;
 
 
 
 
c. kerugian hak konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-
tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional
dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
Menimbang bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo adalah 31
orang Hakim Agung yang mendalilkan dirinya sebagai perorangan Warga Negara
Indonesia yang menjabat sebagai Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik
Indonesia (selanjutnya disebut MA). Para Pemohon mendalilkan bahwa hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh Pasal 24 ayat (1) UUD
1945, yaitu hak akan kebebasannya sebagai Hakim Agung telah terganggu
dan/atau dirugikan oleh berlakunya Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e
dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal
25 ayat (3) dan ayat (4) terkait semuanya (jis) dengan Pasal 1 angka 5 UUKY
sepanjang mengenai perkataan �Hakim Agung� dan �Hakim Konstitusi�, serta Pasal
34 ayat (3) UUKK sepanjang mengenai perkataan �hakim agung�;
 
Menimbang bahwa Pihak Terkait KY dalam persidangan berpendapat para
Pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo,
karena tidak jelas hak konstitusionalnya yang dirugikan oleh UUKY dan UUKK, yaitu
bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah mengenai kemerdekaan pelaku
kekuasaan kehakiman, yakni MA dan badan-badan peradilan di bawah MA serta
Mahkamah Konstitusi, bukan para hakimnya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman
yang tidak dapat mewakili kepentingan pelaku kekuasaan kehakiman. Selain itu, KY
juga berpendapat bahwa para Pemohon keliru menyimpulkan bahwa hak
konstitusionalnya dirugikan hanya karena menjadi obyek pengawasan, yang berarti
mengabsolutkan independensi hakim agung;
 
Menimbang bahwa terhadap persoalan legal standing tersebut Mahkamah
Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
 
 
a. Bahwa para Pemohon memenuhi kualifikasi pemohon perorangan Warga
Negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama;
 
 
 
 
b. Bahwa sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang berprofesi dan
menduduki jabatan (ambt) sebagai hakim agung, para Pemohon memiliki hak
konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, yakni hak kebebasannya sebagai
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
ditanganinya. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, �Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan�, sedangkan ayat (2)-nya
berbunyi, �Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�. Hal tersebut
kemudian dijabarkan dalam ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 UUKK. Pasal 31
UUKK berbunyi, �Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman
yang diatur dalam undang-undang�, sedangkan Pasal 33 UUKK berbunyi,
�Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan�.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UUKK di atas, kebebasan atau
kemerdekaan diberikan kepada institusi pelaku kekuasaan kehakiman � yaitu
MA, beserta badan-badan peradilan di bawah MA, dan Mahkamah Konstitusi �
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Namun, kebebasan/kemerdekaan institusional lembaga peradilan dengan
sendirinya tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman dimaksud. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi bahwa hakim
adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman (rechters als uitvoerder
van rechterlijke macht) (Pasal 31 UUKK), hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan (Pasal 33 UUKK) yang secara inheren hakim juga secara individual
menyandang kemandiriannya sebagai hakim, sehingga seorang ketua
pengadilan pun tidak boleh mengintervensi hakim yang sedang menangani
perkara. Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa MA adalah pengadilan
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya
terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, dan MA
memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim.
 
 
 
 
 
 
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa MA sebagai institusi hanya dapat
melaksanakan kewenangannya melalui para hakimnya. Dengan demikian, MA
sebagai suatu lingkungan kerja (ambt) untuk bertindak dipersonifikasikan oleh
Hakim Agung sebagai pemangku jabatan (ambtsdrager) [De werkkring, die het
ambt is, moet door een mens worden vervuld; de persoon, die het ambt is, door
een mens worden vertegenwoordigd. Dit is de ambtsdrager]. Oleh karenanya,
independensi peradilan sebagai institusi yang diartikan sebagai terlepas dari
pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya, memiliki aspek individual
perorangan para hakim, sebagai hak dan kewajiban yang dijamin oleh UUD
1945, sehingga aspek institusional independensi peradilan paralel dengan aspek
individual independensi hakim. Kebebasan hakim agung melakukan
kewenangan justisialnya, sebagaimana kewenangan justisial institusi MA, harus
dijamin dan dijaga dari paksaan, direktiva atau intervensi, maupun intimidasi dari
pihak ekstra-yudisial;
 
 
c. Bahwa para Pemohon menganggap kebebasan dalam menjalankan
kewenangan justisial yang merupakan hak konstitusional hakim agung yang
dijamin UUD 1945 telah dirugikan oleh berlakunya UUKY dan UUKK, khususnya
pasal-pasal mengenai pengawasan � yang akan dibahas dalam pertimbangan
mengenai pokok perkara. Padahal, kemandirian peradilan tidak boleh
dipertaruhkan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan dengan berkedok
sebagai mendisiplinkan hakim yang nakal (Sandra Day O�Connor, Mantan
Hakim Agung AS, 2005, �Pentingnya Kemandirian Yudisial�, dalam Jurnal USA:
�Isu-isu Demokrasi�);
d. Bahwa ada hubungan kausal (causal verband) antara kerugian hak
konstitusional para Pemohon dengan ketentuan mengenai pengaturan
pengawasan yang tercantum dalam UUKY dan UUKK beserta cara-cara
pelaksanaannya oleh KY yang dianggap oleh para Pemohon telah memasuki
ranah kewenangan justisial para Pemohon sebagai hakim agung karena
kekaburan pengkaidahannya dalam UUKY dan UUKK, dan apabila permohonan
para Pemohon dikabulkan, diyakini bahwa hak konstitusional Para Pemohon,
yakni kemandiriannya sebagai hakim agung, tidak akan atau tidak dirugikan lagi;
e. Bahwa para Pemohon mempunyai kaitan kepentingan langsung dengan
pengawasan KY terhadap para Hakim Agung, tetapi terhadap Hakim Konstitusi
kepentingan para Pemohon terdapat titik singgung bersifat tidak langsung, sebab
 
 
 
 
sama-sama sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman yang
merdeka yang kedudukannya sederajat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24
ayat (2) UUD 1945. Bahkan pada hakikatnya, kebebasan peradilan dan
kebebasan para hakim adalah kepentingan seluruh warga negara pencari
keadilan (justitiabelen);
Menimbang bahwa dengan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah
Konstitusi berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing,
legitima persona standi in judicio) untuk mengajukan permohonan a quo, dengan
seorang Hakim Konstitusi berpendapat lain bahwa, sepanjang menyangkut
ketentuan yang berkaitan dengan Hakim Konstitusi, para Pemohon tidak
mempunyai legal standing karena tidak ada kerugian hak atau kewenangan
konstitusional yang bersifat spesifik yang dialami oleh para Pemohon, selaku Hakim
Agung, sebagai akibat dari berlakunya ketentuan yang mengatur tentang
Mahkamah Konstitusi dan Hakim Konstitusi dalam UUKY;
 
Menimbang selanjutnya, oleh karena Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo dan para Pemohon
memiliki legal standing, maka lebih lanjut Mahkamah Konstitusi akan
mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon;
 
 
 
 
3. Pokok Permohonan
Menimbang bahwa, dalam pokok permohonannya, para Pemohon telah
mendalilkan inkonstitusionalitas beberapa pasal UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK
yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
 
 
1) Pasal 1 Angka 5 UUKY: �Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan
peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�.
2) Pasal 20 UUKY: �Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan
dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim�.
3) Pasal 21 UUKY: �Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, komisi Yudisial bertugas mengajukan usul
 
 
 
 
penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/
atau Mahkamah Konstitusi�.
4) Pasal 22 ayat (1) UUKY: �Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
a. �;
b. �;
c. �;
d. �;
e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi,
serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR�.
 
 
5) Pasal 22 ayat (5) UUKY: �Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan
kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data
yang diminta�.
6) Pasal 23 ayat (2) UUKY: �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan
oleh Komisi Yudisial kepada Pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah
Konstitusi�.
7) Pasal 23 ayat (3) UUKY: �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�.
8) Pasal 23 ayat (5) UUKY: �Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian
hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada
Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh
Majelis Kehormatan Hakim�.
9) Pasal 24 ayat (1) UUKY: �Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan
penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim�.
10) Pasal 25 ayat (3) UUKY: �Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang
Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon Hakim
 
 
 
 
Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim
Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh Anggota Komisi Yudisial�.
11) Pasal 25 ayat (4) UUKY: �Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-
turut atas keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan
pengusulan pemberhentian hakim agung dan/atau hakim Mahkamah Konstitusi
maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima) orang anggota�.
12) Pasal 34 ayat (3) UUKK: �Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh
Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang�.
Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan alasan inkonstitusionalitas
Pasal-pasal UUKY dan UUKK tersebut di atas sebagai berikut:
 
 
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
�Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�, yang
apabila dibaca dalam satu nafas dan konteksnya satu sama lain, maka menurut
para Pemohon, bermakna bahwa KY mempunyai kewenangan lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan KY untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung;
b. bahwa, menurut para Pemohon, kewenangan lain KY tidak menjangkau hakim
agung dan hakim Mahkamah Konstitusi, melainkan hanya para hakim dari
lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA, karena untuk menjadi hakim
agung dan hakim Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya berasal dari Hakim
Tingkat I dan Hakim Banding, bahkan juga tidak menjangkau hakim ad hoc. Hal
mana diperkuat oleh ketentuan Pasal 25 UUD 1945 yang berbunyi, �Syarat-
syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang�;
c. bahwa, menurut para Pemohon, perluasan makna �hakim� dalam Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 oleh Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal UUKY lainnya yang terkait,
serta Pasal 34 ayat (3) UUKK bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku
secara universal, yaitu lex certa, lex stricta, dan lex superiori derogat legi
inferiori;
 
 
 
 
d. bahwa, menurut para Pemohon, pengawasan oleh KY terhadap para hakim
agung, dengan memanggil mereka atas beberapa kasus yang telah diadilinya,
bertentangan dengan prinsip independensi peradilan dan para hakim agung
yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) UUD 1945;
e. bahwa secara universal kewenangan pengawasan oleh KY tidak menjangkau
hakim agung, karena KY adalah mitra MA dalam pengawasan terhadap para
hakim pada lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA, sehingga menurut
para Pemohon, Pasal 20 UUKY bertentangan dengan UUD 1945;
f. bahwa usul pemberhentian para hakim agung telah diatur dalam UUMA dan usul
pemberhentian para hakim Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam UUMK yang
tidak memerlukan campur tangan KY, sehingga menurut para Pemohon, Pasal
21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25
ayat (3) dan ayat (4) UUKY bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal
25 UUD 1945;
g. bahwa oleh karena itu para Pemohon dalam petitumnya mohon Mahkamah
Konstitusi menyatakan pasal-pasal UUKY dan UUKK di atas bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, para Pemohon telah
mengajukan alat bukti tertulis P-1 sampai dengan P-28, dan 2 (dua) orang ahli, yaitu
Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. (Guru Besar Universitas Airlangga di Surabaya)
dan Hobbes Sinaga, S.H., M.H. (Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen
Indonesia di Jakarta yang juga mantan Anggota PAH I BP MPR) yang memberikan
keterangan secara lisan dan tertulis yang selengkapnya dimuat dalam uraian
mengenai Duduk Perkara, yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:
 
 
 
 
1) Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., dengan menggunakan pendekatan
kontekstual dalam menganalisis Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berpendapat bahwa
pengertian hakim dalam pasal tersebut tidak termasuk pengertian hakim agung dan
hakim Mahkamah Konstitusi. Dengan mendasarkan diri pada pendapat Jan McLeod
dalam bukunya �Legal Method�, dalam pendekatan contextual tersebut, menurut
Ahli, terdapat 3 (tiga) asas yang penting, yaitu (1) asas noscitur a sociis, yang
berarti suatu kata ditentukan dari konteks pengertian yang berhubungan dengannya
(a thing is known by its associates); (2) asas ejusdem generis, yang mengandung
makna of the same class; dan (3) asas expressio unius exclusio alterius yang berarti
the expression (or the inclusion) of one thing implies the exclusion of another.
 
 
Berdasarkan pendekatan kontekstual tersebut, menurut Ahli, Hakim Agung dan
Hakim Konstitusi memiliki konsep yang berbeda dengan hakim;
Berdasarkan asas pertama noscitur a sociis, dalam konteksnya bahwa di
bagian depannya itu adalah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, dan
kemudian tugas lain itu �menjaga dan menegakkan kehormatan serta � dan
seterusnya perilaku hakim�. Oleh karenanya, mengingat bahwa Indonesia tidak
memiliki istilah yang spesifik untuk Hakim Agung, tidak seperti Amerika Serikat
memiliki judge dan justice serta Belanda memiliki rechter dan de leden van den
Hoge Raad der Nederlanden ataupun Philipina yang mengenal konsep Member of
the Supreme Court sehingga Indonesia hanya mengenal istilah Hakim Agung. Oleh
karenanya makna kata hakim tersebut tidak termasuk Hakim Agung, juga hakim
pada Mahkamah Konstitusi. Asas yang kedua yaitu asas ejusdem generis, artinya
mengandung makna of the same class, pada genus yang sama, pada kelompok
yang sama. Bahwa yang dimaksud dengan kelompok yang sama, pada genus yang
sama, yaitu Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Menurut Ahli, terdapat
perbedaan konsep antara Hakim Agung dan hakim. Asas yang ketiga yaitu asas
expressio unius exclusio alterius, mengandung makna hakim dalam konteks Pasal
24B ayat (1) tidaklah termasuk hakim agung, oleh karena itu, haruslah ditolak
ketentuan dalam undang-undang menyangkut kewenangan Komisi Yudisial
mengawasi perilaku hakim dengan mengartikan hakim agung dan hakim
Mahkamah Konstitusi termasuk pengertian hakim dalam konteks Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945.
 
 
2) Hobbes Sinaga, S.H., M.H.
Ahli Hobbes Sinaga, Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia,
dan mantan Anggota PAH I BP MPR-RI yang terlibat dalam perubahan UUD 1945,
memberikan keterangan berdasarkan keahliannya menyatakan bahwa pada saat ini,
Indonesia memiliki dua badan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pengisian hakim pada kedua lembaga
ini berbeda. Hakim Konstitusi diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden,
sedangkan Hakim Agung dipilih melalui proses fit and proper test di DPR. Untuk
menjaga kemandirian dari Mahkamah Agung tersebut, dibentuklah Komisi Yudisial
yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Artinya, Komisi
Yudisial hanya merekrut calon sedangkan kewenangan penuh untuk memilih calon
 
 
 
 
 
 
tetap berada di tangan DPR. Dengan demikian, kedudukan Komisi Yudisial tidak
sama dengan DPR yang menyetujui, juga tidak sama dengan Presiden yang
menetapkan. Tugas utama dari Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan,
sedangkan kewenangan lain itu merupakan kewenangan tambahan yang
seharusnya tidak boleh lebih besar dari kewenangan pokok. Yang menegakkan
keluhuran martabat dan kehormatan hakim bukanlah Komisi Yudisial, melainkan
hakim itu sendiri.
 
Komisi Yudisial tidak memiliki hubungan dengan Mahkamah Konstitusi
sehingga tidak relevan apabila Komisi Yudisial juga mengawasi hakim pada
Mahkamah Konstitusi.
 
Menimbang bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah
memberikan keterangan di persidangan, yang selengkapnya termuat dalam uraian
mengenai duduk perkara, pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
 
 
1. Pemerintah
KY adalah lembaga negara yang tugas dan fungsinya bukan sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman, walaupun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman. KY memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
 
Bahwa hal ini sebagai kehendak kuat dari pembuat undang-undang agar dapat
terwujud mekanisme checks and balances terhadap pelaksanaan independensi
kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan lainnya.
 
KY tidak melakukan intervensi terhadap pelaksanaan tugas memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara yang dilakukan pengadilan dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan.
 
 
 
 
 
2. DPR
Bahwa Pasal 1 angka 5 UUKY berkaitan dengan perluasan pengertian hakim
termasuk hakim agung, awalnya diusulkan oleh Pemerintah dalam Daftar Inventaris
Masalah (DIM)-nya, sedang dalam RUU yang menjadi inisiatif dewan sebenarnya
tidak seperti itu, sehingga kemudian perubahannya berbunyi, �hakim adalah hakim
agung pada Mahkamah Agung dan hakim pada semua badan peradilan di
bawahnya�;
 
 
 
 
 
 
Dalam rapat dengar pendapat umum antara lain dari LSM, memberikan
masukkan yang intinya adalah bahwa KY itu adalah lembaga independen yang
sifatnya pengawasan eksternal, sedangkan pengawasan internal dilakukan oleh
Mahkamah Agung sendiri, hal mana berkaitan dengan semangat dan kehendak kita
bersama untuk menghadirkan dan menciptakan kehormatan, keluhuran martabat
para hakim;
 
Kata menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim dalam Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 diwujudkan dalam pengawasan, sedangkan kata �menegakkan�
diwujudkan dalam tugas pendisiplinan atau menjatuhkan sanksi disiplin. Hal itu
didasarkan pada semangat terjadinya checks and balances, saling mengimbangi
dan saling kontrol di antara lembaga negara yang ada, termasuk terhadap MA.
 
Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi telah pula memanggil sejumlah
mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat
(PAH I BP MPR), yang terlibat dalam pembahasan perubahan UUD 1945, untuk
didengar keterangannya selaku saksi, yang pada pokoknya masing-masing telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
 
 
 
 
1. Harun Kamil, SH.
Bahwa munculnya Komisi Yudisial pada awalnya bertugas untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung, sedangkan yang bertugas untuk
menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim diserahkan
kepada Dewan Kehormatan Hakim. Namun gagasan pembentukan Dewan
Kehormatan Hakim tidak disepakati sehingga kewenangan dimaksud
ditambahkan menjadi kewenangan KY;
 
 
2. Drs. Baharuddin Aritonang, M.Hum.
Pada pokoknya saksi menerangkan bahwa pada saat pembahasan
perubahan UUD 1945, saksi tidak sependapat jika Komisi Yudisial yang hanya
memiliki dua kewenangan dimasukan dalam UUD 1945. Namun oleh karena
Komisi Yudisial sudah menjadi bagian dari UUD 1945, maka permasalahan yang
harus dipecahkan adalah bagaimana merumuskan pengawasan hakim. Dalam
pikiran dan benak saksi waktu itu, bukan dengan membentuk lembaga-lembaga
lain yang kelak pada saatnya akan tumpang tindih, bahkan pada sisi lain
khususnya dari perhitungan anggaran negara akan menjadi beban yang besar
dan ditanggung oleh negara. Kini jumlah lembaga-lembaga kuasi ini jumlahnya
 
 
 
 
 
 
lebih dari 40-an, di undang-undang dasar ada dua, salah satu di antaranya
adalah komisi pemilihan umum yang kemudian berdasar undang-undang
menjadi bentuk KPU, dan yang kedua adalah Komisi Yudisial. Menurut saksi, KY
tidak perlu masuk dalam UUD, mengingat KY hanya memiliki 2
tugas/kewenangan yaitu, mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan
wewenang lain dalam menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran,
martabat serta perilaku hakim membentuk lembaga baru;
 
 
3. Patrialis Akbar, SH.
Bahwa maksud dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah Komisi Yudisial
selain berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, juga mempunyai
wewenang lain yaitu dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, dan wewenang lain tersebut, tidak
berkait dengan wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, karena hal
tersebut merupakan dua wewenang yang dibahas secara terpisah;
 
 
4. Mayjen. Pol. (Purn.) Drs. Sutjipno
Komisi Yudisial diadakan atau dibangun untuk menjamin adanya checks
and balances dalam keseluruhan proses penyelenggaraan ketatanegaraan
Republik Indonesia. Namun bukan berarti bahwa KY adalah merupakan cabang
kekuasaan tersendiri melainkan bahwa KY adalah sebagai suatu supporting
element belaka;
 
Komisi Yudisial dalam rangka checks and balances adalah untuk
mengontrol perilaku para hakim demi menjaga martabat dan kehormatan hakim
keseluruhannya. Maka yang menjadi sasaran utama KY adalah aspek
administratif personil hakim yaitu para hakim dalam seluruh jajaran kekuasaan
yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif;
 
Komisi Yudisial tidak lain adalah semata-mata sebagai aparat pengawas
atau aparat kontrol dan penjaga perilaku para hakim, yang berarti aspek-aspek
administratif personil yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif dengan
maksud dan tujuan untuk terpeliharanya martabat dan kehormatan hakim;
 
Komisi Yudisial hanyalah sebagai aparat administratif dalam rangka
pembinaan personil hakim dalam pelaksaan code of conduct para hakim dalam
seluruh jajaran yudikatif;
 
 
 
 
 
 
 
5. Sutjipto, S.H.
Bahwa pada intinya keterangan Saksi sama dengan Saksi-saksi lain yang
sudah memberi keterangan sebelumnya, yaitu berdasarkan risalah-risalah
sidang, yakni bahwa dalam pembahasan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Komisi
Yudisial memiliki dua kewenangan yaitu mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
 
Menimbang bahwa dalam persidangan Mahkamah Konstitusi telah pula
mendengar keterangan Pihak Terkait KY, sebagai pihak terkait langsung, dengan
didampingi kuasa hukumnya, yang juga mengajukan beberapa orang Ahli yaitu Prof.
Dr. Mahfud M.D., Prof. Dr. Amran Halim, Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., serta
saksi Drs. Agun Gunanjar. Keterangan Pihak Terkait KY beserta ahli dan saksi yang
diajukan selengkapnya telah dimuat dalam uraian mengenai duduk perkara, yang
pada pokoknya sebagai berikut:
 
 
 
 
1. Keterangan KY
Bahwa pemohon kurang memahami substansi judicial review. Bahwa dalam
judicial review yang menjadi inti (core) adalah konsistensi undang-undang dalam hal
ini UUKY dan UUKK terhadap UUD 1945, khususnya pasal 24B ayat (1), bukan
mempersoalkan atau menguji isi dan cara atau prosedur amandemen UUD 1945;
 
Bahwa para Pemohon maupun sidang majelis ini tidak memiliki kewenangan
untuk menilai atau mengoreksi cara perubahan dan isi/materi pasal-pasal UUD
1945, sebab semuanya adalah kewenangan MPR dan para Pemohon telah
melangkah jauh melampaui batas kewenangan sidang Majelis Mahkamah
Konstitusi;
 
Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap hakim sudah barang tentu
haruslah berlandaskan kekuasaan yang diberikan oleh Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 yang dijabarkan dalam Pasal 22 ayat (1) UUKY. Jika dalam melakukan
pengawasan tersebut KY tidak berlandaskan kepada kekuasaan sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 ayat (1) di atas, tentulah pengawasan itu tidak sah dan
sewenang-wenang. Apa yang dilakukan KY menggunakan pendekatan kekuasaan
atau berlandaskan kekuasaan yang diberikan kepadanya adalah sesuai dengan
konsep negara hukum (rechtsstaat) yang dianut oleh UUD 1945;
 
 
 
 
Bahwa semua pemeriksaan yang dilakukan KY didasarkan pada UU KY dan
Peraturan yang dibuat dan dibentuk KY berdasarkan delegasi atau atribusi
kekuasaan. Jika dikatakan KY memasuki wilayah teknis-yudisial peradilan dengan
membaca dan mengkaji putusan hakim yang bersangkutan, itu hanyalah sebagai
pintu masuk (entry point). Sebab secara universal telah diterima oleh masyarakat
beradab bahwa kehormatan dan keluhuran martabat seorang hakim dapat dilihat
dari putusan yang dibuatnya. KY bukan saja mengawasi perilaku hakim di luar
pengadilan tapi juga mengawasi perilaku hakim dalam melaksanakan tugas
peradilan agar tidak terjadi korupsi (judicial corruption) yang saat ini menjadi
masalah nasional yang perlu diberantas;
 
Bahwa KY berpendapat objek pengawasan meliputi seluruh hakim.Tidak
terkecuali Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 20 dan Pasal 1 angka 5 UUKY;
 
2. Prof. Dr. H. Mahfud., M.D. (Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta)
 
Bahwa ahli berpendapat, pada prinsipnya politik hukum itu adalah arah yang
dikehendaki oleh hukum atau arah tentang hukum yang akan diberlakukan. Politik
hukum itu bisa dipahami dari kalimat yang ada sejauh kalimat itu jelas dan tidak
diperdebatkan, kalau ternyata menimbulkan perdebatan, maka politik hukum itu bisa
dicari dari latar belakang historis munculnya gagasan tentang pembentukan Komisi
Yudisial ini. Ahli juga berpendapat bahwa tidak relevan membandingkan dengan
teori-terori atau hukum yang berlaku di negara lain karena politik hukum dari setiap
negara itu berbeda. Politik Hukum di Indonesia adalah yang tertulis di konstitusi.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan dalam risalah serta Cetak Biru Mahkamah
Agung, jelas terdapat keinginan agar Komisi Yudisial tidak saja bertugas untuk
mengangkat Hakim Agung, tetapi juga mengawasi dan mengontrol.
 
3. Prof. DR. Amran Halim (Ahli Bahasa Indonesia)
 
Ahli pada prinsipnya menyatakan bahwa dari sudut ilmu bahasa Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 merupakan sebuah kalimat yang mempunyai dua anak kalimat
yang setara, karena ada kata �dan�. Itu berarti bahwa yang terdapat di sebelah kiri
kata �dan� dengan yang terdapat di sebelah kanan kata �dan� yang pertama
mempunyai kedudukan yang sama dan setara artinya. Artinya, kedua bagian ini
mempunyai kedudukan yang sama dan mempunyai fungsi yang sama. Yang
pertama tidak mengatasi yang kedua, yang kedua tidak mengatasi yang pertama,
 
 
 
 
karena keduanya betul-betul setara. Kesetaraannya itu berbentuk anak kalimat.
Anak kalimat yang pertama �Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung�. Anak kalimat yang kedua dibaca
�Komisi Yudisial bersifat mandiri yang mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga ...�. Dari sudut bahasa, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 bagian pertama
hanya mengenai Hakim Agung, sedangkan bagian keduanya mencakup semua
hakim;
 
 
4. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. (Dosen HTN UGM di Yogyakarta)
Ahli Denny Indrayana pada prinsipnya menyatakan salah satu pesan moral
utama yang ada dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan masalah
kehormatan dan martabat perilaku seluruh hakim untuk mendukung upaya
menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham Indonesia adalah negara
hukum. Ditegaskan pula, adanya ketentuan konstitusi tentang Komisi Yudisial
didasarkan pada pesan moral konstitusional bahwa Hakim Agung yang duduk di
Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan
dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Suatu interpretasi bahwa
Komisi Yudisial hanya berhak mengawasi hakim tingkat pertama dan banding
adalah interpretasi yang tidak tepat, karena bersifat diskriminatif dan kolutif.
Diskriminatif karena hanya memberlakukan pengawasan kepada Hakim Pengadilan
Negeri dan pengadilan tinggi tetapi tidak kepada hakim yang lain;
 
 
 
 
Ahli berpendapat bahwa alasan public distrust dan bermasalahnya
pengawasan internal Mahkamah Agung yang sebenarnya menjadi salah satu dasar
utama lahirnya Komisi Yudisial, terutama pada bagian wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan dan martabat seluruh hakim;
Ahli berpendapat bahwa pengawasan atas Hakim Agung tidak melanggar
prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Prinsip kemandirian kekuasaan
kehakiman bukanlah prinsip hukum yang berdiri sendiri. Prinsip tersebut harus
berjalan seiring dengan prinsip hukum transparansi dan akuntabilitas. Kedua prinsip
itulah yang diwujudkan dalam bentuk pengawasan para hakim oleh Komisi Yudisial.
Mengenai pentingnya prinsip kemandirian bersama-sama dengan transparansi dan
akuntabilitas itu, independensi bersanding dengan imparsialitas dan integritas yang
dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan terhadap perilaku para hakim,
agar tidak menyimpang dari asas good behavior;
 
 
 
 
Ahli juga memberikan pemaparan tentang bagaimana praktik dari komisi
yudisial di negara lain yang lebih menitikberatkan pada pengawasan hakim dan
bukan pada pemilihan dari Hakim Agung itu sendiri.
 
5. Saksi Drs. Agun Gunanjar (Anggota DPR, mantan Anggota PAH I MPR)
 
Bahwa pada awalnya Komisi Yudisial hanya memiliki wewenang untuk
mengusulkan pengangkatan, sedangkan pengasawan dilakukan oleh Dewan
Kehormatan, yang pada akhirnya dua wewenang tersebut dipegang oleh Komisi
Yudisial, oleh karena Dewan Kehormatan tidak dirumuskan dalam UUD 1945 dan
kewenangan Komisi Yudisial terkait dengan pengawasan hakim, termasuk hakim
agung;
 
Bahwa alasan adanya perbedaan Hakim Agung dan hakim dalam Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945, adalah karena memang yang dimaksudkan adalah Hakim
Agung dalam hal pengusulan pengangkatan untuk menghindari intervensi politik dan
dalam rangka checks and balances, hal ini disebabkan proses atau cara
pengangkatan hakim agung dengan hakim tingkat pertama dan banding berbeda.
Untuk Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sistem tertutup, sedangkan untuk
Mahkamah Agung sistem terbuka. Selanjutnya mengenai kata hakim, adalah
terhadap seluruh hakim termasuk hakim agung;
 
Bahwa fokus pembahasan dalam perubahan ketiga UUD 1945, khususnya
yang berkait dengan pembicaraan tentang keberadaan Komisi Yudisial adalah
mengenai Mahkamah Agung;
 
Menimbang bahwa Komisi Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Masyarakat
Transparansi Indonesia (MTI), dan Kontras, yang masing-masing mengajukan
permohonan sebagai Pihak Terkait Tidak Langsung, telah pula didengar
keterangannya dalam persidangan. Keterangan lisan maupun tertulis Pihak Terkait
Tidak Langsung tersebut selengkapnya telah dimuat dalam uraian mengenai duduk
perkara, yang pada pokoknya mendukung dalil-dalil KY;
 
 
 
PENDAPAT MAHKAMAH
 
Menimbang bahwa setelah mendengarkan keterangan dan kesimpulan para
Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan DPR, keterangan KY sebagai Pihak
Terkait Langsung, dan keterangan Pihak Terkait Tidak Langsung, serta memeriksa
alat bukti tertulis yang diajukan para Pemohon dan mendengarkan keterangan para
 
 
 
 
ahli, baik yang diajukan para Pemohon maupun KY, serta keterangan saksi-saksi,
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dalam mempertimbangkan permohonan
para Pemohon a quo, terdapat beberapa hal substansial yang harus
dipertimbangkan yang menyangkut pengertian pengertian sebagai berikut:
 
 
1. Pengertian Hakim, apakah termasuk Hakim Konstitusi dan Hakim Agung;
2. Hubungan Antar Lembaga Negara dan Konsep Pengawasan; dan
3. Perilaku Hakim;
Menimbang bahwa oleh karena ketiga persoalan pokok di atas terkait dengan
independensi peradilan dan hakim, maka Mahkamah Konstitusi memandang perlu
untuk terlebih dahulu menguraikan pendapatnya tentang kemerdekaan (inde-
pendensi) hakim sebagai kerangka konseptual (conceptual framework) dalam
memahami ketiga persoalan tersebut di atas;
 
 
 
 
Independensi Peradilan dan Independensi Hakim
Menimbang bahwa dalam suatu negara demokrasi yang berdasarkan atas
hukum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi,
�Negara Indonesia adalah negara hukum�, independensi peradilan dan
independensi hakim merupakan unsur esensial dari negara hukum atau rechtsstaat
(rule of law) tersebut. Oleh karena pentingnya prinsip ini, maka konsepsi
pemisahan kekuasaan di antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta
konsepsi independensi peradilan, telah dipandang sebagai konsepsi yang
fundamental sehingga diangkat sebagai salah satu unsur utama dari konstitusi, dan
merupakan jiwa dari konstitusi itu sendiri. Bahkan, ketika UUD 1945 belum diubah
pun, di mana ajaran pemisahan kekuasaan tidak dianut, prinsip pemisahan dan
independensi kekuasaan kehakiman sudah ditegaskan, dan hal itu sudah tercermin
dalam Pasal 24 dan Penjelasan Pasal 24 tersebut. Sekarang setelah UUD 1945
diubah dari perubahan pertama hingga keempat, di mana cabang-cabang
kekuasaan negara dipisahkan berdasarkan prinsip checks and balances, terutama
dalam hubungan antara legislatif dengan eksekutif, maka pemisahan kekuasaan
yudikatif dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya semakin dipertegas
sehingga independensi kekuasaan kehakiman di samping bersifat fungsional juga
bersifat struktural yaitu dengan diadopsinya kebijakan satu atap sebagaimana diatur
dalam Pasal 13 ayat (1) UUKK.
 
 
 
 
Menimbang dengan uraian di atas maka, menurut UUD 1945, independensi
peradilan itu sendiri merupakan benteng (safeguard) dari rule of law. Prinsip
tersebut juga dianut secara universal sebagaimana tercermin dalam Basic Principles
on the Independence of the Judiciary yang diadopsi oleh the Seventh United
Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di
Milan dari 26 Agustus sampai dengan 6 September 1985, dan disahkan dengan
Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 40/32 tanggal 29 November 1985 dan Nomor
40/146 tanggal 13 Desember 1985, yang antara lain dalam butir 1, 4, 7, 14, dan 15
berbunyi sebagai berikut:
 
1. The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and
enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all
governmental and other institutions to respect and observe the independence of
the judiciary;
 
2. �
 
3. �
 
4. There shall not be any inappropriate or unwarranted interference with the judicial
process, nor shall judicial decisions by the courts be subject to revision. This
principle is without prejudice to judicial review or to mitigation or commutation by
competent authorities of sentences imposed by the judiciary, in accordance with
the law;
 
5. �
 
6. �
 
7. It is the duty of each Member State to provide adequate resources to enable the
judiciary to properly perform its functions;
 
8. �
 
9. �
 
10. �
 
11. �
 
12. �
 
13. �
 
14. The assignment of cases to judges within the court to which they belong is an
internal matter of judicial administration.
 
15. The judiciary shall be bound by professional secrecy with regard to their
deliberations and to confidential information acquired in the course of their duties
 
 
 
 
other than in public proceedings, and shall not be compelled to testify on such
matters.
 
Oleh karena itu, independensi peradilan harus dijaga dari segala tekanan,
pengaruh, dan campur tangan dari siapa pun. Independensi peradilan merupakan
prasyarat yang pokok bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan
bagi tegaknya hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus
tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap
perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan
yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan
terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi,
dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang
bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan,
ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu
dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan
tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan
ekonomi, atau bentuk lainnya;
 
Menimbang bahwa kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap
tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam
pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan
bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga
peradilan yang tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu
mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral
dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang
berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan
yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas
justisialnya. Tetapi kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat
yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan. Kemerdekaan dimaksud
juga diartikan bahwa hakim bebas memutus sesuai dengan nilai yang diyakininya
melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan
keyakinan demikian mungkin berlawanan dengan mereka yang mempunyai
kekuasaan politik dan administrasi. Jika putusannya tidak sesuai dengan keinginan
pihak yang berkuasa, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan
pembalasan terhadap hakim baik secara pribadi maupun terhadap kewenangan
 
 
 
 
lembaga peradilan [�.�when a decision adverse to the beliefs or desires of those
with political power, can not affect retribution on the judges personally or on the
power of the court� (Theodore L. Becker dalam Herman Schwartz, Struggle for
Constitutional Justice, 2003 hal 261)];
 
Menimbang bahwa oleh karena kemerdekaan tersebut berkaitan dengan
pemeriksaan dan pengambilan putusan dalam perkara yang dihadapi oleh hakim,
agar diperoleh satu putusan yang bebas dari tekanan, pengaruh, baik yang bersifat
fisik, psikis, dan korupsi karena KKN, maka sesungguhnya kemerdekaan hakim
tersebut bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan
merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim
dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk
memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial). Dengan demikian,
secara timbal balik, adalah kewajiban hakim untuk bersikap independen dan
imparsial guna memenuhi tuntutan hak asasi pencari keadilan (justitiabelen, justice
seekers). Hal itu dengan sendirinya mengandung pula hak pada hakim untuk
diperlakukan bebas dari tekanan, pengaruh, dan ancaman di atas. UUD 1945
memberi jaminan tersebut, yang kemudian dijabarkan dalam UUKK dan undang-
undang lainnya. Kemerdekaan harus dimaknai tetap dalam batas-batas yang
ditentukan oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil (fair),
sebagaimana telah diutarakan di atas. Kemerdekaan juga berjalan seiring dengan
akuntabilitas yang diwujudkan dengan pengawasan. Tetapi tingkat sensitivitas
kemerdekaan hakim tersebut sangat tinggi karena adanya dua pihak yang secara
berlawanan membela hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa.
Sehingga oleh karenanya kemerdekaan hakim di samping merupakan hak yang
melekat pada hakim sekaligus juga merupakan prasyarat untuk terciptanya sikap
tidak berpihak (impartial) hakim dalam menjalankan tugas peradilan. Bentuk
akuntabilitas yang dituntut dari hakim memerlukan format yang dapat menyerap
kepekaan tersebut. Suatu ketidakhati-hatian dalam menyusun mekanisme
akuntabilitas dalam bentuk pengawasan, maupun ketidakhati-hatian dalam
pelaksanaannya, dapat berdampak buruk terhadap proses peradilan yang sedang
berjalan. Kepercayaan yang diperlukan untuk menuntut kepatuhan dan penerimaan
terhadap apa yang diputuskan hakim, dewasa ini boleh dikatakan berada dalam
keadaan kritis. Tetapi seberapa tipisnya pun tingkat kepercayaan yang tersisa
sekarang, harus dijaga agar tidak sampai hilang sama sekali, sehingga maksud
 
 
 
 
untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, justru
menjadi kontra produktif dan pada gilirannya menimbulkan kekacauan hukum (legal
chaos);
 
Menimbang bahwa berdasarkan kerangka konseptual tentang kemerdekaan
(independensi) peradilan dan independensi hakim tersebut di atas, selanjutnya
Mahkamah Konstitusi akan menilai dan mempertimbangkan persoalan-persoalan
pokok sebagaimana diuraikan di atas, sebagai berikut:
 
1) Pengertian Hakim
 
Menimbang bahwa mengenai silang pendapat apakah pengertian hakim
dalam frasa ��. mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�, yang
tercantum dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, termasuk Hakim Konstitusi dan
Hakim Agung atau tidak, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:
 
1.a. Hakim Konstitusi
 
Menimbang, sebagaimana telah diuraikan pada bagian kewenangan
Mahkamah Konstitusi, bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon dalam
bentuk formalnya adalah permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-
undang dasar. Akan tetapi, pada hakikatnya, substansi permohonan dimaksud
mengandung nuansa sengketa kewenangan konstitusional antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial sebagai sesama lembaga negara yang kewenangannya
sama-sama ditentukan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi
akan mempertimbangkan hal-hal substantif yang dimohonkan oleh para Pemohon
dengan menilai materi norma yang terdapat dalam UUKY dan UUKK yang
dimohonkan pengujiannya terhadap UUD 1945 dan sekaligus dengan pendekatan
konstitusionalitas kewenangan.
 
Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan
�original intent� perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam
Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK
yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan
mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung
yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi
 
 
 
 
yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial
pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula
objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I
Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc
tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam
Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup
pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.
 
Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang
dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut
juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UUKK yang dibentuk sebelum
pembentukan UUKY. Dalam UUMK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku
Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur
secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UUKK
sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan
oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada
dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena
jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan
setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-
masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan
mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam
UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali;
 
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan pula alasan
substantif yang lebih serius dan mendasar untuk menolak segala upaya yang
menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh lembaga
negara lain. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek penga-
wasan oleh KY, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu
dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial,
khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara KY
dengan lembaga lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara MA dan KY
yang terkait dengan perkara a quo. Dengan demikian, ketentuan yang memperluas
pengertian perilaku hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup perilaku
Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan menghalang-halangi
 
 
 
 
pemenuhan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas
mekanisme hubungan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945
adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga
negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah
Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah untuk
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945;
 
Terhadap kewenangan MK dimaksud, undang-undang tidak boleh melakukan
pemandulan. Upaya pemandulan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut,
pertama, tercermin dengan ketentuan Pasal 65 UUMK yang berbunyi, �Mahkamah
Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi�; kedua, pemandulan itu juga
tercermin dalam ketentuan pasal-pasal UUKY yang memperluas pengertian perilaku
hakim sehingga mencakup Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY.
Dengan kedua ketentuan di atas, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara menjadi mandul,
khususnya dalam hal salah satu lembaga negara dimaksud adalah KY. Ketentuan
undang-undang yang demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, jelas bertentangan
dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ketentuan Pasal 65 UUMK tersebut telah
ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat
menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon, hanya dalam sengketa
kewenangan teknis peradilan (justisial) Mahkamah Agung. Dengan kata lain,
menurut Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dapat saja terlibat sebagai pihak
dalam perkara sengketa kewenangan, sepanjang sengketa demikian tidak berkait
dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung. Dengan
demikian, sengketa yang timbul antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang
tidak berkaitan dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 08/PMK/2006 tersebut di atas, dapat menjadi objek perkara di Mahkamah
Konstitusi. Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam penormaan undang-
 
 
 
 
undang dengan menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY
sebagaimana ditentukan dalam UUKY, maka ketentuan mengenai hakim konstitusi
yang terdapat dalam pasal-pasal UUKY harus dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945, dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak berlaku mengikat. Dengan
demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan lembaga negara antara MA dan KY
terjadi di masa-masa yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan
konstitusional antara KY dan lembaga negara yang lain, maka kedudukan
Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang dapat
menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat dalam rangka penyelesaian
sengketa semacam itu tidak akan terganggu lagi, sehingga konstitusionalitas pola
hubungan antarlembaga negara di masa depan dapat benar-benar ditata dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan amanat UUD 1945. Atas dasar pertimbangan-
pertimbangan yang demikian itulah, maka sejauh mengenai ketentuan Pasal 1
angka 5 dan pasal-pasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai Hakim
Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
 
1.b. Hakim Agung
 
Menimbang bahwa mempersoalkan apakah Hakim Agung masuk dalam
pengertian hakim, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 5 UUKY,
sesungguhnya bukanlah sekadar persoalan semantik. Siapa yang menjadi hakim,
kalau dilihat secara berdiri sendiri sebagaimana maksud UUKY adalah persoalan
legal policy, yang tidak selalu dipersoalkan dari segi konstitusionalitas. Akan tetapi
jika dilihat dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dan tidak melihatnya dalam arti yang
umum, menjadi penting untuk melihat perbedaan tersebut. Adanya dua kewenangan
yang diberikan kepada KY dalam pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang dipisahkan
oleh kata �dan�, yaitu kewenangan untuk merekrut hakim agung dan wewenang lain.
Dilihat dari peletakan urutan maupun keterangan saksi mantan anggota PAH I BP
MPR, maka kewenangan lain �dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim� tidak dapat dikatakan setara,
sebab pemberian wewenang lain tersebut dilakukan karena dipandang tidak cukup
alasan membentuk organ konstitusi hanya dengan tugas terbatas merekrut hakim
agung. Oleh karenanya, meskipun keberadaan kewenangan lain dihubungkan oleh
kata �dan� yang dapat diartikan setara, akan tetapi tidaklah logis untuk memandang
tugas lain itu diartikan setara, melainkan hanya tugas tambahan. Dalam perspektif
 
 
 
 
yang demikian maka Hakim Agung tidak termasuk dalam pengertian Hakim seperti
ditentukan dalam Pasal 1 angka 5 UUKY. Sebagaimana diutarakan ahli dari
Pemohon Prof Dr. Philippus M. Hadjon SH, makna sebuah kata ditentukan oleh
konteksnya. Dilihat secara demikian, makna hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 digunakan dalam konteks ��. dan mempunyai wewenang lain dalam menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim�, sehingga
istilah hakim digunakan untuk wewenang Komisi Yudisial yang lain, selain untuk
mengusulkan hakim agung. Sedang dilihat dari kelas yang sama (of the same class)
dari asas ejusdem generis, maka pertanyaan yang terkait dengan itu adalah apakah
konteks Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, Hakim Agung termasuk dalam kelompok
hakim yang terkait dengan wewenang KY yang kedua, maka jawabannya andaikata
dalam wewenang lain itu termasuk hakim agung dalam konteks Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945, hal itu harus secara tegas dinyatakan. Atas dasar alasan demikian,
Pasal 1 angka 5 UUKY dan Pasal 34 ayat (3) UUKK, menurut Ahli, bertentangan
dengan Pasal 24B ayat (1) UU D 1945;
 
Di pihak lain, keterangan Ahli Prof. Dr. Mahfud M.D., S.H. dan Ahli Denny
Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., telah menyatakan bahwa Hakim Agung, baik dari
segi legal policy pembuat UU maupun dari segi constitutional morality, termasuk
pengertian hakim yang menjadi objek pengawasan KY. Sementara itu, beberapa
orang mantan Anggota PAH I BP MPR yang telah didengar keterangannya dalam
persidangan, ternyata memberikan keterangan yang berbeda-beda, sehingga tidak
dapat disimpulkan sebagai cermin yang utuh dari original intent Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945;
 
Menimbang bahwa, jika dimaksudkan karena MA sebagai pengawas tertinggi
peradilan maupun tingkah laku dan perbuatan hakim, serta ketentuan yang
mengaturnya berbeda, demikian pula Hakim Agung tidak selalu berasal dari hakim,
maka penafsiran apakah hal itu bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
bukanlah hanya dari teks maupun konteksnya secara gramatikal melainkan juga
dari konteks sosial yang lebih luas, pengertian umum, dan terutama prinsip
konstitusi itu sendiri. Jika kewenangan KY untuk mengusulkan Hakim Agung yang
berkualitas dengan integritas yang tinggi dan perilaku tidak tercela, akan
menghasilkan Hakim Agung yang juga mempunyai martabat dan perilaku yang tidak
tercela sehingga secara moral memiliki legitimasi untuk tidak diawasi lagi dan
bahkan menjadi pengawas hakim di bawahnya, tidak dapat dijadikan alasan untuk
 
 
 
 
tidak menjadikan Hakim Agung termasuk ke dalam objek pengawasan. Prinsip
persamaan di depan hukum (equality before the law) dan non-diskriminasi tidak
mendukung pendirian tersebut. Tambahan pula, seseorang yang pada saat diangkat
sebagai Hakim Agung memiliki intergritas yang tinggi, dalam perjalanan karier
selanjutnya bisa saja berubah. Akan menjadi ganjil untuk menafsirkan bahwa Hakim
Agung tidak masuk dalam kategori Hakim dan karena posisinya yang berada di
puncak hierarki peradilan lalu menjadi tidak tunduk pada pengawasan.
Bagaimanapun tafsiran secara tekstual, kontekstual, teleologis, dan kategoris
dilakukan, Hakim Agung adalah Hakim. Di samping itu, faktanya Hakim Agung
sendiri merupakan anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan bahwa hakim
agung adalah hakim, tidak pernah dipersoalkan. Dari segi kewenangan pengawasan
apakah hakim agung itu diawasi, sesuai dengan prinsip akuntabilitas, tidak cukup
beralasan untuk mengecualikan hakim agung. Secara universal hal demikian telah
menjadi norma. Independensi harus berjalan seiring dengan akuntabilitas. Oleh
karena itu, adalah sesuatu yang ideal jika hakim agung memiliki integritas dan
kualitas yang sedemikian rupa sesuai dengan Pasal 24A ayat (2) UUD 1945, tetapi
bukan berarti hakim agung terbebas dari pengawasan dalam rangka mendukung
terciptanya peradilan yang bersih dan berwibawa bagi terwujudnya rule of law. Oleh
karena itu, sepanjang menyangkut hakim agung, menurut Mahkamah Konstitusi,
ketentuan Pasal 1 angka 5 UUKY dilihat dari perspektif spirit of the constitution,
tidak cukup beralasan untuk menyatakannya bertentangan dengan UUD 1945.
 
2) Hubungan Antarlembaga Negara dan Konsep Pengawasan
 
2.a. Hubungan antarlembaga negara
 
Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif,
dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan
Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state
organs, principal state organs). Lembaga-lembaga negara dimaksud itulah yang
secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara
yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh
karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga
negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state
 
 
 
 
institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip �checks
and balances�. Dengan demikian, prinsip �checks and balances� itu terkait erat
dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak
dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga
negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara
dalam perspektif �checks and balances� di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi
kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa
Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah
dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi
kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-
individu hakim;
 
Menimbang bahwa prinsip �checks and balances� itu sendiri dalam praktik
memang sering dipahami secara tidak tepat. Sebagaimana ternyata dari keterangan
dalam persidangan bahwa salah satu perspektif yang digunakan dalam
merumuskan ketentuan Pasal 24B dalam hubungannya dengan Pasal 24A UUD
1945 adalah prinsip �checks and balances�, yaitu dalam rangka mengimbangi dan
mengendalikan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Kenyataan ini menggambarkan bahwa �original intent� perumusan suatu norma
dalam undang-undang dasar pun dapat didasarkan atas pengertian yang keliru
tentang sesuatu pengertian tertentu. Kekeliruan serupa terulang kembali dalam
Penjelasan Umum UUKY yang berbunyi, �Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi
reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi
Yudisial untuk mewujudkan checks and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan
pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman�. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir
undang-undang dasar (the sole judicial interpreter of the constitution), tidak boleh
hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran �originalisme� dengan
mendasarkan diri hanya kepada �original intent� perumusan pasal UUD 1945,
terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya
ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan
dengan gagasan utama yang melandasi undang-undang dasar itu sendiri secara
 
 
 
 
keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan. Mahkamah Konstitusi
harus memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang
terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih
tepat dalam upaya mencapai cita negara (staatside�), yaitu mewujudkan negara
hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, yang
merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945;
 
Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat
utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di
atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat
konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional
Indonesia, bank sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden,
dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945,
tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang
disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami
dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs).
Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu fungsi
kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Sebagai komisi
negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman,
yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim. Oleh karena itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa
disebut sebagai �auxiliary state organs� atau �auxiliary agencies� yang menurut
istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP
MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi
Yudisial merupakan �supporting element� dalam sistem kekuasaan kehakiman (vide
Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006). Namun, oleh karena persoalan
pengangkatan hakim agung dan persoalan kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim itu dianggap sangat penting, maka ketentuan mengenai hal tersebut
dicantumkan dengan tegas dalam UUD 1945. Kedudukan Komisi Yudisial
ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang
susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang
tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak
berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh
 
 
 
 
cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti
tidak diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam
konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi
saling berkait (independent but interrelated);
 
Menimbang, di samping itu, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa
hal diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar juga
tidak boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat
konstitusional lembaga negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, diaturnya
lembaga kepolisian negara dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD
1945 dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan mengenai
Kejaksaan Agung dalam UUD 1945, tidak dapat diartikan bahwa UUD 1945
memandang Kepolisian Negara itu lebih penting ataupun lebih tinggi kedudukan
konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung. Demikian pula halnya dengan komisi-
komisi negara seperti Komisi Yudisial (KY) yang diatur secara rinci, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang diatur secara umum dalam UUD 1945, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang belaka, untuk
menentukan status hukum kelembagaannya maupun para anggota dan
pimpinannya di bidang protokoler dan lain-lain sebagainya, tergantung kepada
pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dalam undang-undang. Oleh karena
itu, agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antarlembaga negara,
pembentuk undang-undang harus berusaha dengan tepat merumuskan kebijakan
hukum yang rinci dan jelas dalam undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga
negara dimaksud;
 
Menimbang pula bahwa KY merupakan organ yang pengaturannya
ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA
diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK
diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa
menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman,
meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945
berbunyi, �Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim
agung oleh Presiden�. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY
 
 
 
 
dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana
kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state
auxiliary organ seperti yang ditegaskan oleh seorang mantan anggota PAH I BP
MPR yang telah diuraikan di atas yang tidak dibantah oleh para mantan anggota
PAH I BP MPR lainnya. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi
dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola
hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances
tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai
auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai
supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut,
KY sendiri pun bersifat mandiri;
 
Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY
sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan
perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan
(partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, sebagaimana akan
diuraikan di bawah ini;
 
2.b. Pengawasan
 
Menimbang Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Komisi
Yudisial bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung, juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan
frasa �dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim�, menurut Mahkamah Konstitusi, kewenangan KY
sebagaimana dimaksud oleh ketentuan tersebut, walaupun dalam batas-batas
tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk
melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu
fungsionaris hakim. Sebagai pelaku kekuasan kehakiman, baik Mahkamah Agung
dan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang
merdeka (Pasal 24 UUD 1945) sehingga dalam melaksanakan kewenangan
justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain.
Sebagaimana halnya dengan kebebasan hakim, kebebasan peradilan adalah pilar
 
 
 
 
dari negara hukum yang juga merupakan salah satu unsur bagi perlindungan hak
asasi manusia yaitu adanya peradilan yang bebas (independence of the judiciary).
UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa KY mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim�;
 
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa dengan digunakan frasa �dalam
rangka menjaga dan menegakkan� dan bukan �untuk menjaga dan
menegakkan�, maka sifat kewenangan yang dimiliki oleh KY adalah komplementer.
Artinya, tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim bukan merupakan kewenangan eksklusif yang hanya dimiliki oleh KY
saja. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan
peradilan di bawahnya juga mempunyai fungsi pengawasan yang meliputi
pengawasan terhadap teknis justisial, pengawasan administratif, maupun
pengawasan terhadap perilaku hakim, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945 yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 11 ayat (4) UUKK dan Pasal 32
UUMA, yang masing-masing berbunyi:
 
 
� Pasal 24 ayat (2) UUD 1945:
�Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi�;
 
 
� Pasal 11 ayat (4) UUKK:
�Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan
dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan
undang-undang�;
 
 
� Pasal 32 UUMA:
�(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
 
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
 
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan
Peradilan.
 
 
 
 
 
 
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan
yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.
 
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara�;
 
Menimbang bahwa berdasarkan frasa �badan peradilan yang berada di
bawahnya� dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam
Pasal 11 ayat (4) UUKK dan Pasal 32 UUMA, telah ternyata bahwa Mahkamah
Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang membawahkan badan
peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, ling-
kungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Oleh karena
itu, frasa dimaksud mengandung pengertian bahwa secara melekat (inherent) MA
mempunyai fungsi sebagai pengawas tertinggi dari seluruh badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Ruang lingkup fungsi
pengawasan dimaksud mencakup ruang lingkup bidang teknis justisial, administrasi,
maupun perilaku hakim yang berkaitan dengan kode etik dan perilaku;
 
Menimbang, berdasarkan uraian di atas, telah ternyata pula bahwa
seandainya pun yang dimaksud �kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim� dalam Pasal
24B ayat (1) UUD 1945 diartikan sepenuhnya sebagai pengawasan, maka hal itu
pun hanyalah sebagian saja dari ruang lingkup pengawasan, yakni yang
menyangkut perilaku hakim. Hakim dimaksud adalah dalam pengertian sebagai
individu di luar maupun di dalam kedinasan, agar hakim memiliki kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku yang baik. Pelaksanaan pengawasan yang
demikian itu selain tidak dalam pengertian mengawasi badan peradilan, juga tidak
meniadakan fungsi pengawasan yang sama yang dimiliki oleh MA. Fungsi demikian
adalah berkait dengan wewenang utama KY, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan
pengangkatan hakim agung, yang menurut Pasal 24A ayat (2) UUD 1945
dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Pengertian dalam rangka
sebagai bagian wewenang pengawasan menunjukkan adanya kewajiban lain yang
sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan yang menurut Mahkamah
Konstitusi mempunyai arti sebagai usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan
 
 
 
 
 
 
secara efisien dan efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang
menyangkut pelaksanaan kode etik. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, dengan
rumusan yang terkandung di dalamnya, seharusnya tidak semata-mata diartikan
sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk
memenuhi amanat Pasal 24A ayat (2) UUD 1945;
 
Menimbang bahwa dengan uraian dan alasan di atas, maka Pasal 24B ayat
(1) UUD 1945 tersebut sepanjang mengenai �kewenangan lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�,
di satu pihak tidak tepat diartikan hanya sebagai pengawasan etik eksternal saja,
dan di pihak lain juga tidak tepat diartikan terpisah dari konteks Pasal 24A ayat (3)
untuk mewujudkan hakim agung � dan hakim-hakim pada peradilan di bawah MA �
yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum. Dengan kata lain, yang dimaksud �kewenangan
lain� dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan kewenangan utama
KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung;
 
Menimbang bahwa selanjutnya apabila ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 diuraikan secara terperinci untuk kemudian diperbandingkan dengan pasal-
pasal yang terkait dengan pengawasan dalam UUKY maka akan tampak hal-hal
sebagai berikut:
 
 
� Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang bunyinya sebagaimana telah dikutip di atas,
dapat diuraikan menjadi:
(i) �wewenang lain dalam rangka� menjaga kehormatan, keluhuran martabat,
dan perilaku hakim;
(ii) �wewenang lain dalam rangka� menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, dan perilaku hakim.
 
 
Dengan demikian, maksud dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 di atas adalah
seluruhnya merujuk pada pelaksanaan kode etik dan kode perilaku hakim.
Bedanya adalah kata �menjaga� bersifat preventif, sedangkan kata
�menegakkan� bersifat korektif dalam bentuk kewenangan untuk mengajukan
rekomendasi kepada MA. Kewenangan korektif demikian dapat bermuara pada
dilakukannya tindakan represif yaitu apabila rekomendasi yang diajukan oleh KY
kepada MA ditindaklanjuti oleh MA dengan penjatuhan sanksi dalam hal MA
menilai rekomendasi tersebut beralasan;
 
 
 
 
� Pasal 20 UUKY sebagai penjabaran Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi,
�Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf
b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim� dapat diuraikan menjadi:
(i) Pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat;
(ii) Pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menjaga perilaku hakim.
Sementara itu, Pasal 13 huruf b yang dirujuk oleh Pasal 20 UUKY di atas,
berbunyi, �Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. ..., dan b. menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim�. Dengan
demikian, dari ketentuan Pasal 20 dan Pasal 13 huruf b UUKY di atas, tampak
bahwa:
 
 
(i) Rumusan Pasal 20 UUKY sangat jelas berbeda dengan rumusan Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945. Pasal 20 UUKY menentukan, �.... dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim�. Sedangkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan, �.... dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim�. Dengan demikian lingkup wewenang lain dalam rumusan
Pasal 20 UUKY berbeda dari rumusan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang
menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam
penerapannya. Karena, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 telah diartikan oleh
Pasal 20 UUKY hanya semata-mata sebagai pengawasan terhadap perilaku,
padahal Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa �wewenang lain�
KY adalah �dalam rangka menjaga dan menegakkan� yang dapat diartikan
bukan hanya tindakan preventif atau korektif, tetapi juga meningkatkan
pemahaman, kesadaran, kualitas, dan komitmen profesional yang bermuara
pada tingkat kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim yang
diharapkan. Hal tersebut bukan hanya timbul dari pengawasan, tetapi
terutama juga dari pembinaan dan pendidikan etik profesional bagi para
hakim, termasuk pendidikan tentang etika hakim kepada masyarakat. Dalam
konteks yang demikian itulah hubungan kemitraan (partnership) antara KY
dan MA mutlak diperlukan tanpa mempengaruhi kemandirian masing-masing;
 
 
 
 
 
 
(ii) Di lain pihak, penjabaran konsep pengawasan itu sendiri dalam UUKY
menimbulkan ketidakpastian karena yang seharusnya menjadi objek dari
�wewenang lain� KY menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah
pelaksanaan kode etik dan kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh
karena itu, harus ada kejelasan terlebih dahulu norma yang mengatur tentang
pengertian dan ruang lingkup perilaku hakim, terutama yang menyangkut
kaidah-kaidah materiilnya, termasuk kepastian siapa yang membuat kode etik
dan perilaku dimaksud. Hal-hal tersebut tidak diatur sama sekali dalam
UUKY. Yang diatur secara rinci dalam UUKY justru hanya menyangkut
pengawasan. Ketidakjelasan demikian mengakibatkan ketidakpastian karena
sementara pengawasan diatur sedemikian rinci, sedangkan perilaku hakim
sebagai objek yang hendak diawasi justru tidak jelas. Ketidakjelasan
dimaksud mengakibatkan tafsiran yang tidak tepat bahkan bertentangan
dengan UUD 1945, karena telah menimbulkan penafsiran yang kemudian
menjadi sikap resmi KY sendiri bahwa penilaian perilaku hakim dilakukan
melalui penilaian terhadap putusan. Hal tersebut terbukti baik dari keterangan
M. Thahir Saimima, S.H., Wakil Ketua KY dalam persidangan tanggal 27 Juni
2006, maupun dalam keterangan tertulis KY tanggal 6 Juli 2006. Sikap atau
pendirian resmi KY yang demikian telah pula dilaksanakan dalam praktik
sebagaimana tercermin dalam dua surat KY berikut:
1. Surat KY kepada Ketua MA Nomor 1284/P.KY/2006 bertanggal 8 Mei
2006, antara lain, telah meminta penjelasan atas keputusan MA RI Nomor
KMA/03/SK/2006 tentang penunjukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
untuk memeriksa dan mengadili perkara Terdakwa D.L. Sitorus (Bukti P-
23), karena KY berpendapat pertimbangan-pertimbangan atau
konsiderans keputusan yang diambil oleh Ketua MA tidak sejalan dengan
diktum putusan;
2. Surat KY kepada Ketua MA Nomor 143/P.KY/V/2006 bertanggal 17 Mei
2006 tentang rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap Majelis Hakim
perkara terdakwa Edward C.W. Neloe (Bukti P-24), setelah memeriksa
anggota dan ketua Majelis Hakim perkara tersebut karena adanya
informasi Majelis Hakim memutus perkara terdakwa-terdakwa dengan
putusan bebas. Temuan KY dalam pemeriksaan yang dilakukan dikatakan
 
 
 
 
 
 
 
 
telah terdapat perbedaan persepsi/pendapat tentang bunyi UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan �dapat�
menimbulkan kerugian negara/pererkonomian negara, yang diartikan
hakim sebagai delik materil, sehingga kerugian negara harus nyata,
berapa jumlahnya sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan tafsiran dan persepsi yang berbeda atas bunyi Pasal 2 ayat
(1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, khususnya
kata �dapat� di mana penjelasan telah menyatakan bahwa delik tersebut
adalah delik formil. Dikatakan lagi bahwa hakim mengikuti pendapat Saksi
Ahli yang mengatakan seyogianya kata �dapat� dihapus, padahal UU
menyebut dengan tegas, sehingga KY berpendapat bahwa majelis hakim
telah mengubah bunyi undang-undang yang menjadi ranah pembuat
undang-undang. Dalam analisis dan pendapat atas pemeriksaan terhadap
hakim yang bersangkutan, KY juga menegaskan bahwa majelis hakim
yang menerapkan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara sebagai dasar pertimbangan hukumnya adalah jelas sebagai
usaha mencari pembenaran bahwa kerugian negara harus nyata, apalagi
menambah pendapat bahwa UU Nomor 1 Tahun 2004 tersebut
mempunyai urgensi hanya terhadap pengelolaan keuangan pada otonomi
daerah dan pula kasus korupsi tersebut sudah terjadi (tempus delictie)
tahun 2002;
 
 
Menimbang, berdasarkan uraian di atas, telah ternyata bahwa frasa "dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim�, yang seharusnya hanya memberikan sebagian kewenangan pengawasan
etik kepada KY, secara sadar ataupun tidak, telah ditafsirkan dan dipraktikkan
sebagai pengawasan teknis justisial dengan cara memeriksa putusan. Norma
pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia
terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai
oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen) sesuai
dengan hukum acara. Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan
sebagai pengawasan di luar mekanisme hukum acara yang tersedia adalah
bertentangan dengan prinsip res judicata pro veritate habetur yang berarti apa
yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar (de inhoud van het
vonnis geld als waard). Sehingga, apabila suatu putusan hakim dianggap
 
 
 
 
 
 
mengandung sesuatu kekeliruan maka pengawasan yang dilakukan dengan cara
penilaian atau pun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum
(rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara yang berlaku. Prinsip
sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak warga negara, khususnya para
ahli hukum, untuk menilai putusan hakim melalui kegiatan ilmiah dalam forum atau
media ilmiah, seperti seminar, ulasan dalam jurnal hukum (law review), atau
kegiatan ilmiah lainnya;
 
 
 
 
Menimbang bahwa kebutuhan akan pengawasan eksternal yang terkandung
dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, menurut sejarah perumusannya, dipicu oleh
kondisi Hakim Agung dan Hakim pada umumnya yang pada masa itu dipandang
tidak tersentuh oleh pengawasan. Hal tersebut telah mengemuka selama proses
amandemen UUD 1945 berlangsung, yang disertai tuntutan dari berbagai lapisan
masyarakat dikarenakan tidak efektifnya pengawasan internal oleh MA.
Pengawasan internal selama ini juga dianggap bermasalah dan dipandang tidak
berhasil karena adanya semangat korps, kurangnya transparansi dan akuntabilitas
serta tidak adanya metode pengawasan yang efektif (Naskah Akademis RUUKY,
2004, hlm. 52). Pasal 20 UUKY menegaskan wewenang KY tersebut merupakan
pengawasan terhadap perilaku dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Konsep pengawasan yang
demikian dikatakan oleh Pihak Terkait Langsung dan beberapa Ahli, merupakan
penjabaran konsepsi checks and balances yang menjadi spirit konstitusi, sebagai
kelanjutan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang mendasari
perubahan atau Amandemen UUD 1945;
Menimbang bahwa akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
konsepsi checks and balances sebagai kelanjutan doktrin separation of powers
adalah menyangkut cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Oleh karenanya, konsepsi demikian tidaklah tepat diterapkan di antara kekuasaan
kehakiman, karena alasan berikut:
 
 
a. KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan hanya
sebagai supporting organ, yang secara tegas tidak berwenang melakukan
pengawasan yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis yustisial dan teknis
administratif, melainkan hanya meliputi penegakan kehormatan dan keluhuran
martabat serta perilaku hakim.
 
 
 
 
b. Apa yang menjadi ukuran dalam menilai kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim, seharusnya dirumuskan terlebih dahulu dalam UUKY sehingga
terdapat batasan yang jelas yang menjadi ruang lingkup tugasnya yang dapat
dijadikan pegangan yang pasti, baik oleh pihak yang mengawasi maupun yang
diawasi, dan dengan demikian dapat dihindari adanya kerancuan. Ketiadaan
rumusan yang jelas tentang kehormatan, keluhuran martabat, dan terutama
perilaku hakim, bukan hanya menimbulkan kerancuan melainkan lebih jauh lagi
yaitu ketidakpastian hukum yang dapat berimplikasi melumpuhkan jalannya
sistem peradilan. Sebab, ketidakpastian semacam itu mengakibatkan seorang
hakim menjadi ragu perihal mana yang secara etik boleh dilakukan, harus
dilakukan, atau dilarang untuk dilakukan, sehingga pada akhirnya menjadikan
hakim tidak merdeka dalam memutus suatu perkara yang bermuara pada
dirugikannya pencari keadilan (justitiabelen, justice seekers). Kecuali itu,
ketidakpastian demikian juga menjadi sebab dari timbulnya pola hubungan antar
lembaga negara, khususnya antara KY dengan MA, yang tidak sesuai dengan
mekanisme yang ditentukan oleh UUD 1945, yang berpotensi melahirkan
keadaan yang justru bertentangan dengan tujuan pembentukan KY;
c. Bahwa pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, boleh jadi, merupakan
indikator tentang adanya pelanggaran yang lebih besar yang hanya dapat
ditelusuri dengan baik kalau dilakukan dengan meneliti juga pelaksanaan tugas
teknis yustisial Hakim. Namun, meneliti atau mengawasi teknis justisial bukanlah
merupakan kewenangan KY. Pendirian bahwa putusan Hakim merupakan
mahkota kehormatan hakim, tidak dapat dijadikan sebagai justifikasi tindakan KY
untuk memeriksa pelaksanaan tugas justisial hakim termasuk putusan-
putusannya dengan alasan mengawasi perilaku hakim. Penilaian terhadap
putusan hakim, karena telah menyangkut teknis justisial, hanya dapat dilakukan
oleh MA. Jika hal itu terjadi maka KY telah melampaui batas yang diperkenankan
dan dapat menimbulkan tuduhan intervensi dan ancaman terhadap kebebasan
hakim. Bahkan, MA sendiri, sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan
pengawasan teknis justisial, dalam melaksanakan kewenangan itupun harus
melalui mekanisme upaya hukum (rechtsmiddelen) yang diatur dalam hukum
acara, bukan melalui penilaian dan campur tangan langsung terhadap putusan
maupun hakim yang memeriksa perkara;
 
 
 
 
d. Oleh karenanya penelusuran dan penyelidikan atas pelanggaran perilaku hakim,
tanpa harus berbenturan dengan independensi Hakim, membutuhkan
pemahaman dan pengalaman yang mendalam, yang tidak dapat dilakukan
sendirian oleh KY tanpa dukungan pengawasan internal di lingkungan MA
sendiri.
Menimbang bahwa berdasarkan hal-hal demikian, maka pelaksanaan
pengawasan secara eksternal dan internal harus dalam kerjasama yang erat,
sehingga konsepsi checks and balances tidak dapat diterapkan dalam lingkup
internal kekuasaan kehakiman. Selain itu, yang menjadi objek pengawasan
eksternal adalah perilaku hakim dan bukan pengawasan terhadap MA dan badan-
badan peradilan di bawahnya sebagai institusi. Justru antara MA dan KY, atas dasar
pemikiran dan fakta-fakta di atas, harus bekerja secara erat dalam konsep
kemitraan atau partnership. Konsepsi demikian hampir di seluruh dunia diwujudkan
dengan cara keikutsertaan mahkamah agung atau hakim pada umumnya dalam
komposisi kepemimpinan dan/atau keanggotaan komisi yudisial atau yang disebut
dengan nama lain, sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai hasil studi (vide Ahsin
Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, 2004, Wim Voermans, Komisi
Yudisial Di Beberapa Negara Eropa, 2002, Carlo Guarnieri, �Courts as an
Instrument of Horizontal Accountability: The Case of Latin Europe�, dalam Jos.
Mar.a Maravall dan Adam Przeworski, Democracy and the Rule of Law, 2003).
Dengan mekanisme kemitraan demikian akan dapat dihindari adanya konfrontasi,
sebaliknya akan terbangun koordinasi, antara KY dan MA.
 
Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan mempertim-
bangkan pengertian �mandiri� dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
�Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�. Pertanyaan
yang harus dijawab dalam hubungan ini, adalah bagaimana tafsiran yang harus
diberikan terhadap syarat bahwa KY bersifat mandiri yang kemudian oleh UUKY
diartikan sebagai keadaan bahwa KY dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari
campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain (vide Pasal 2 UUKY). Mahkamah
Konstitusi berpendapat, pengertian bahwa �KY dalam pelaksanaan wewenangnya
bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain� harus dimaknai sebagai
 
 
 
 
 
 
kemandirian kelembagaan dalam mengambil keputusan, bukan kemandirian yang
bersifat perorangan anggota KY. Artinya, kemandirian KY harus dimaknai sebagai
kebebasan dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan lain dalam pengambilan
keputusan dalam pelaksanaan wewenang pengusulan calon hakim agung maupun
dalam rangka pelaksanaan wewenang lain menurut UUD 1945. Oleh karena itu, KY
tidak dapat dikatakan tidak mandiri, atau dengan kata lain terdapat campur tangan
dari pihak luar atau kekuasaan lain, hanya karena alasan bahwa pengambilan
keputusan didasarkan pada fakta-fakta yang diperoleh melalui kerjasama atau
koordinasi dengan pelaku kekuasaan kehakiman sendiri, in casu MA. Sesuai
dengan kenyataan secara universal, susunan dari komisi yudisial bukan hanya
terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi, dan anggota masyarakat,
sebagaimana telah dikemukakan di atas, melainkan juga hakim agung duduk
bersama menjadi anggota komisi yudisial. Bahkan pada umumnya komisi yudisial
atau yang disebut dengan nama lain di dunia, secara ex-officio dipimpin oleh ketua
mahkamah agung.
 
Menimbang bahwa terlepas dari problem besar yang dihadapi MA, termasuk
di dalamnya masalah yang disebut oleh KY sebagai judicial corruption, maka
mekanisme pengawasan ekternal yang terpisah dari pengawasan internal tidak
akan dapat diterapkan di antara MA dengan KY, sepanjang didasarkan pada
konsepsi checks and balances, karena checks and balances tidak dapat diterapkan
oleh organ penunjang (auxiliary organ) terhadap organ utama (main organ)-nya
sendiri. Pendirian yang menyatakan bahwa KY melakukan fungsi checks and
balances terhadap MA, tidak sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi. KY sebagai
auxiliary organ kekuasaan yudikatif akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan
kewenangannya jika didasarkan pada pemikiran checks and balances demikian,
karena akan menimbulkan mekanisme yang mengandung cacat konstitusional
(constitutional defect) dan sekaligus tidak efektif, yang pada akhirnya akan
melahirkan krisis yang mencederai tingkat kepercayaan terhadap lembaga dan
proses peradilan. Tanpa komunikasi antara lembaga negara utama (main organ)
dan lembaga negara penunjang (auxiliary organ) yang didasarkan atas prinsip
saling menghormati dan saling mendengar, keberadaan lembaga negara penunjang
(auxiliary organ) demikian hanya akan dianggap sebagai kendala terhadap sistem
ketatanegaraan secara keseluruhan yang didasarkan atas paham constitutional
 
 
 
 
 
 
democracy dan democratische rechtsstaat sebagaimana termuat dalam Pasal 1
ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945;
 
Menimbang bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan yang lahir dari
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat tidak adanya norma yang
jelas tentang ruang lingkup pengertian perilaku hakim dan pengawasan teknis
justisial terkait dengan batas-batas akuntabilitas dari perspektif perilaku hakim
dengan kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya, secara kasat
mata merupakan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman berupa pressure atau
tekanan yang bersifat langsung atau tidak langsung, karena KY memposisikan
tafsiran KY sendiri sebagai tafsiran hukum yang benar dan tepat sebagaimana
ditunjukkan dalam bukti yang diajukan Pemohon (P-23, P-24, dan seterusnya).
Seandainyapun benar telah terjadi kekeliruan atau kesalahan pada hakim dalam
pelaksanaan tugas justisialnya, bukanlah menjadi fungsi KY melakukan
pengawasan terhadap hal itu, sehingga hal yang demikian membuat terang dan
jelas bahwa pelaksanaan fungsi menjaga martabat dan kehormatan serta
penegakan perilaku hakim, sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, telah bergeser
(functie verschuiving) menjadi pengawasan teknis justisial yang justru bukan
merupakan maksud UUD 1945. Dengan kata lain, tidak tepat, tidak jelas, dan tidak
rincinya ketentuan undang-undang mengenai teknis pengawasan atas perilaku
hakim, telah ternyata memberi peluang kepada lembaga pelaksana undang-undang,
dalam hal ini KY dan MA, untuk secara sendiri-sendiri mengatur dan
mengembangkan penafsiran yang bersifat egosentris yang pada gilirannya
menimbulkan saling pertentangan yang menyebabkan ketidakpastian hukum dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu pembentuk undang-undang haruslah mengatur
pengawasan itu secara jelas dan rinci dengan cara mengadakan perubahan dalam
rangka elaborasi, harmonisasi, dan sinkronisasi atas UUKK, UUKY, dan UUMA
dengan selalu merujuk pada UUD 1945;
 
Menimbang, berdasarkan fakta tersebut, tampak bahwa tiadanya satu
batasan dalam penormaan di dalam UUKY tentang apa yang diartikan sebagai
�pengawasan� dan apa yang diartikan sebagai �perilaku hakim� yang menjadi ruang
lingkup tugas KY sebagai pelaksanaan �kewenangan lain� telah menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Hal itu telah ternyata dari perumusan
dalam Pasal 20, 21, 22, 23, sepanjang mengenai pengawasan, Pasal 24 ayat (1)
 
 
 
 
 
 
sepanjang yang menyangkut hakim konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4)
UUKY;
 
Menimbang bahwa selanjutnya tentang Pasal 34 ayat (3) UUKK yang
berbunyi, �Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur
dalam undang-undang�, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pasal tersebut
tidak sesuai dengan rumusan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi, �Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim�. Dengan perumusan Pasal
34 ayat (3) UUKK di atas, kewenangan lain KY dalam rangka menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim menjadi tidak ada. Padahal,
sesuai dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada butir 2.b. di atas, KY juga
memiliki kewenangan demikian. Sehingga, peniadaan atau pengurangan
kewenangan KY dalam rumusan Pasal 34 ayat (3) UUKK harus dinyatakan
inkonstitusional. Inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 34 ayat (3) UUKK bukan
karena terkait dengan pengertian hakim agung, sebagaimana didalilkan para
Pemohon, melainkan karena perumusan pasal tersebut telah mereduksi sebagian
�kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim� yang seharusnya dimiliki oleh KY menurut Pasal
24B ayat (1) UUD 1945;
 
Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut dalam
pertimbangan di atas, jelas bahwa ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan
perilaku hakim sebagaimana diuraikan di atas merupakan pasal-pasal �inti� (core
provisions) yang mempengaruhi ketentuan-ketentuan lain yang berkait dengan
kedua hal itu. Sehingga, ketidakpastian mengenai kedua hal itu mengakibatkan
ketidakpastian terhadap pasal-pasal lainnya yang berkaitan dengan ketentuan
tentang pengawasan dan perilaku hakim tersebut. Oleh karena itu, Pasal 20, 21, 22,
23, sepanjang mengenai pengawasan, Pasal 24 ayat (1) sepanjang yang
menyangkut hakim konstitusi, dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) UUKY serta Pasal
34 ayat (3) UUKK bertentangan dengan Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24B UUD
1945;
 
 
 
 
 
 
 
 
3) Tentang Perilaku Hakim
Menimbang bahwa, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan di
atas, ruang lingkup kewenangan lain KY, yaitu dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sesungguhnya
merujuk kepada code of ethics dan/atau code of conduct. Dengan demikian, dalam
hubungan dengan permohonan a quo, berarti merujuk pada Kode Etik Hakim
Indonesia. Tetapi perlu terlebih dahulu dijawab pertanyaan, apakah ada perbedaan
antara kode etik dan kode perilaku. Secara umum, dikatakan bahwa suatu code of
conduct menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak
dapat diterima dan mana yang dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan
Hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of
conduct mungkin akan menimbulkan sanksi. Code of conduct merupakan satu
standar. Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah
standar yang ditetapkan. Etik berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan
dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai
yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-
pertimbangan etik yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut.
Dengan suatu code of conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat
untuk dapat mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan hakim. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode
etik yang akan memberi motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi,
lebih baik, lebih efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of
law. Jadi setelah dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat
yang lebih tinggi, mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun
benar bahwa code of conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi menurut
Mahkamah Konstitusi, code of ethics merupakan sumber nilai dan moralitas yang
akan membimbing hakim menjadi hakim yang baik, sebagaimana kemudian
dijabarkan ke dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian dirumuskan apa yang
boleh dan apa yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh hakim di dalam
maupun di luar dinas;
 
Menimbang bahwa Hakim Indonesia telah mempunyai pengalaman memiliki
kode etik, yang pertama dengan nama Panca Dharma Hakim Indonesia Tahun
1966, yang kedua Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI) tahun 2002, dan yang terakhir
Pedoman Perilaku Hakim yang disahkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada
 
 
 
 
tanggal 30 Mei 2006. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi mempunyai Kode Etik
dan Perilaku Hakim Konstitusi tersendiri yang terutama didasarkan pada The
Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002 dan ditambah dengan nilai-nilai
budaya Bangsa Indonesia. Kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi tersebut telah
dideklarasikan dengan nama Sapta Karsa Hutama pada tanggal 17 Oktober 2005
yang kemudian dituangkan ke dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
07/PMK/2005, yang merupakan penyempurnaan dari Kode Etik Hakim Konstitusi
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 02/PMK/2003.
Pedoman perilaku hakim tersebut dimaksudkan untuk mengatur perilaku hakim
yang diperkenankan, yang dilarang, yang diharuskan, maupun yang dianjurkan atau
yang tidak dianjurkan, baik di dalam maupun di luar kedinasan, untuk membentuk
hakim sebagai pejabat kekuasaan kehakiman (ambtsdrager van rechtelijkemacht)
yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela dan adil untuk dapat
menjadi benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan. Pedoman
perilaku tersebut merupakan penjabaran aturan-aturan kode etik yang secara
universal berlaku umum dan diterima sebagai nilai-nilai dan norma-norma moral
yang dianut orang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya, dengan
tujuan untuk mengenali apa yang baik dan yang buruk dalam tingkah laku di antara
sesama dalam kelompoknya. Kode etik profesi, sebagaimana dilihat dalam Kode
Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi maupun Pedoman Perilaku Hakim Indonesia
yang berlaku di lingkungan Mahkamah Agung, memuat serangkaian prinsip-prinsip
dasar sebagai nilai-nilai moralitas yang wajib dijunjung tinggi oleh hakim, baik di
dalam maupun di luar kedinasannya. Prinsip dan nilai tersebut kemudian dirinci
dalam bentuk bagaimana perilaku hakim yang dipandang sesuai dengan prinsip
atau nilai tersebut. Misalnya, nilai berperilaku adil yang diterjemahkan sebagai
prinsip berupa uraian apa yang dimaksud adil tersebut, dan kemudian dirinci
bagaimana hal itu digambarkan dalam perilaku Hakim ketika melakukan tugas
yustisial. Demikian juga ketika nilai atau prinsip integritas diadopsi sebagai bagian
dari kode etik profesi, maka prinsip integritas tersebut telah diberi batasan, yang
�merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan
kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam
menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia,
dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin
untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan,
 
 
 
 
popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Keseimbangan kepribadian mencakup
keseimbangan rohaniyah dan jasmaniyah, atau mental dan fisik, serta
keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
intelektual dalam pelaksanaan tugasnya�. Prinsip tersebut dalam penerapannya
dapat diketahui misalnya bahwa hakim menjamin agar perilakunya tidak tercela dari
sudut pandang pengamatan yang layak, atau tindak tanduk dan perilaku hakim
harus memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap citra dan wibawa peradilan.
Keadilan tidak hanya dilaksanakan tetapi juga harus tampak dilaksanakan;
 
Menimbang bahwa Kode Etik Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dalam pasal 2
memuat maksud dan tujuan Kode etik tersebut yaitu
 
 
(i) sebagai alat:
a) pembinaan dan pembentukan karakter hakim,
 
b) pengawasan tingkah laku hakim, dan juga
 
 
(ii) sebagai sarana:
a) kontrol sosial,
 
b) pencegah campur tangan ekstra judicial dan
 
c) pencegahan timbulnya kesalahpahaman antar sesama anggota dengan
masyarakat,
 
 
(iii) memberikan jaminan peningkatan moralitas hakim dan kemandirian fungsional
hakim, dan
(iv) menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan;
Menimbang bahwa, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Pasal 24B
ayat (1) UUD 1945 menentukan adanya �wewenang lain� dari KY dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,
sehingga oleh karenanya KY harus berpedoman pada kode etik dan pedoman
perilaku yang kongkret demikian, sebagaimana yang telah ditetapkan, untuk
dijadikan sebagai tolok ukur dalam melaksanakan tugasnya. Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 tersebut telah dijabarkan dalam UUKY sebagai pengawasan (control),
yang oleh para mantan Anggota PAH I BP MPR Tahun 1999-2004 ditafsirkan
sebagai pengawasan eksternal untuk melengkapi pengawasan internal yang
dilakukan oleh MA sendiri. Tetapi pengawasan eksternal yang disebut dalam Pasal
24B ayat (1) tersebut adalah dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Kalau kalimat ini ditafsirkan sebagai
 
 
 
 
 
 
pengawasan dan dijabarkan dalam Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 22, dan Pasal 23 UUKY, sebagai pengawasan dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY seharusnya
konsisten mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim,
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim. Dari Pasal 20 UUKY, tegas dapat diketahui bahwa objek
pengawasan yang dilakukan oleh KY adalah perilaku hakim. Pengawasan dan
penegakan perilaku hakim tersebut sudah tentu dilihat dari ukuran Code of Conduct
dan Code of Ethics yang sudah ada yang dijadikan sebagai ukuran, dengan contoh
prinsip dan penerapan yang telah diuraikan di atas, sehingga akan terhindar dari
tumpang tindih dengan pengawasan lain yang berada di luar wilayah etik atau
perilaku.
 
Benar bahwa acapkali suatu perbuatan diatur bukan hanya oleh satu macam
norma, tetapi oleh beberapa macam norma secara bersamaan, di mana suatu
perbuatan tercela dilarang baik oleh norma hukum, norma etik, dan norma agama.
Berlakunya norma secara bersamaan demikian, menambah urgensi tentang
perlunya pengaturan mengenai etik dan tingkah laku (ethics and conduct) hakim dan
tata cara penjagaan dan penegakannya dalam suatu Kode Etik dan Tingkah Laku
Hakim sebagai tolok ukur pengawasan. Kode etik itu dalam lingkungan profesi
dibuat dan disahkan oleh organisasi profesi itu sendiri, bukan oleh lembaga lain, in
casu oleh organisasi profesi hakim baik oleh Mahkamah Agung ataupun oleh IKAHI,
bukan oleh KY;
 
Penindakan atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik dan Perilaku
juga dilakukan oleh organisasi profesi. Sementara itu, pengawasan atas
pelaksanaan Kode Etik dan Perilaku selain dapat dilakukan oleh organisasi profesi,
juga dapat dilakukan oleh pihak di luar profesi. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
memenuhi tanggung jawab sosial (social responsibility), yang merupakan salah satu
unsur dari profesionalisme, melalui transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan
dapat dirinci dalam beberapa kegiatan, misalnya pemanggilan, pemeriksaan,
penilaian, yang berakhir dengan saran (rekomendasi) kepada organisasi profesi,
dalam hal ini Mahkamah Agung.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
KESIMPULAN
 
Menimbang berdasarkan keseluruhan uraian pertimbangan tersebut di atas,
akhirnya, Mahkamah Konstitusi sampai pada kesimpulan sebagai berikut:
 
Pertama, permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut perluasan
pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim
konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945 sehingga permohonan para
Pemohon harus dikabulkan. Dengan demikian, untuk selanjutnya, hakim konstitusi
tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi
Yudisial. Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik hakim konstitusi dilakukan
oleh Majelis Kehormatan yang tersendiri sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUMK
sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945. Untuk seterusnya, kedudukan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, termasuk
sengketa yang melibatkan KY dan MA, tidak lagi terganggu sebagai akibat
diperluasnya pengertian hakim yang meliputi hakim konstitusi dimaksud. Hal
demikian secara langsung berkaitan pula dengan kepentingan para Pemohon
sendiri untuk adanya penyelesaian konstitusional atas permasalahan yang dihadapi
dalam hubungan antara MA dan KY, yang sekiranya permohonan mengenai hakim
konstitusi ini tidak dikabulkan, niscaya kredibilitas dan legitimasi Mahkamah
Konstitusi sendiri dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo dapat
terus-menerus dipertanyakan.
 
Kedua, permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut pengertian
hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim agung, terbukti
tidak cukup beralasan. Persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hakim
menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 meliputi pengertian hakim agung atau tidak,
tidaklah dapat ditemukan dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. Pembentuk
undang-undang dapat saja menentukan bahwa untuk kepentingan pembinaan
bertahap dan untuk kepentingan jangka panjang berdasarkan pertimbangan
teleologis bahwa di masa depan apabila seluruh hakim agung sudah merupakan
produk rekruitmen oleh KY maka untuk pengawasan cukuplah bagi KY mengurusi
perilaku etik para hakim di bawah hakim agung. Sekiranya undang-undang
menentukan hal demikian, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu tidaklah
bertentangan dengan UUD 1945. Namun sebaliknya, jika undang-undang
menentukan bahwa hakim agung termasuk ke dalam pengertian hakim yang
 
 
 
 
perilaku etiknya diawasi oleh KY secara eksternal, sebagaimana telah dijelaskan
dalam uraian di atas, maka Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hal itu pun
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi, para hakim agung yang ada
sekarang juga tidak direkrut berdasarkan ketentuan baru yang melibatkan peran KY
sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Pilihan kebijakan hukum yang demikian,
menurut Mahkamah Konstitusi, juga tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan
demikian, terpulang kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR bersama
dengan Presiden, untuk menentukan kebijakan hukum yang akan dipilih dalam
rangka menjalankan perintah Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu,
permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak terdapat
cukup alasan untuk mengabulkannya;
 
Ketiga, hal yang justru lebih substansial atau mendasar untuk diputus adalah
permohonan para Pemohon yang berkaitan dengan pengaturan mengenai prosedur
pengawasan. Mengenai hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa:
 
 
(i) Perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UUKY mengenai wewenang
lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan
rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam
penormaannya dalam UUKY yang menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid);
(ii) UUKY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidak
jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang
diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses
pengawasan itu dilaksanakan. Hal tidak jelas dan tidak rincinya pengaturan
mengenai pengawasan dalam UUKY serta perbedaan dalam rumusan
kalimat seperti dimaksud pada butir (i) menyebabkan semua ketentuan
UUKY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya;
(iii) Konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UUKY didasarkan atas
paradigma konseptual yang tidak tepat, yaitu seolah-olah hubungan antara
MA dan KY berada dalam pola hubungan �checks and balances�
antarcabang kekuasaan dalam konteks ajaran pemisahan kekuasaan
(separation of powers), sehingga menimbulkan penafsiran yang juga tidak
tepat, terutama dalam pelaksanaannya. Jika hal ini dibiarkan tanpa
penyelesaian, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara KY
 
 
 
 
dan MA akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari
keadilan akan terus meningkat, yang pada gilirannya juga dapat
mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya
semakin tidak dipercaya;
Oleh karena itu, segala ketentuan UUKY yang menyangkut pengawasan
harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum
(rechtsonzekerheid). Untuk mengatasi akibat kekosongan hukum yang terlalu lama
berkaitan dengan tugas KY, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan mengenai
pengawasan perilaku hakim, UUKY segera harus disempurnakan melalui proses
perubahan undang-undang sebagaimana mestinya. Keinginan untuk mengadakan
perubahan undang-undang ini telah pula dikemukakan berkali-kali secara terbuka
baik oleh MA maupun oleh KY sendiri. Karena itu, Mahkamah Konstitusi juga
merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk segera mengambil langkah-
langkah penyempurnaan UUKY. Bahkan, DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk
melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan
perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UUKK, UUMA, UUMK,
dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu. Tugas
legislasi ini adalah tugas DPR bersama dengan pemerintah. MA, KY, dan juga MK
merupakan lembaga pelaksana undang-undang, sehingga oleh karenanya harus
menyerahkan segala urusan legislasi itu kepada pembentuk undang-undang.
Bahwa MA, KY, dan juga MK dapat diikutsertakan dalam proses pembuatan
sesuatu undang-undang yang akan mengatur dirinya, tentu saja merupakan sesuatu
yang logis dan tepat. Akan tetapi, bukanlah tugas konstitusional MA, KY, dan juga
MK untuk mengambil prakarsa yang bersifat terbuka untuk mengadakan perubahan
undang-undang seperti dimaksud. Setiap lembaga negara sudah seharusnya
membatasi dirinya masing-masing untuk tidak mengerjakan pekerjaan yang bukan
menjadi tugas pokoknya, kecuali apabila hal itu dimaksudkan hanya sebagai
pendukung;
 
Sementara itu, Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan
pengawasan terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik,
harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip kebebasan hakim oleh hakim
sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan
yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law. Oleh
 
 
 
 
 
 
karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi
hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman,
atau rasa takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau
ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok
atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan
jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya, serta tidak menyalahgunakan
prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk berlindung dari pengawasan;
 
Mengingat Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), serta Pasal 57 ayat (1)
dan ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4316);
 
 
 
MENGADILI
 
 
 
 
 
 
� Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian;
� Menyatakan:
o Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata �hakim Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 20, yang berbunyi, �Dalam melaksanakan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial
mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim�;
o Pasal 21, yang berbunyi, �Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial
bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada
pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�;
o Pasal 22 ayat (1) huruf e, yang berbunyi, �Dalam melaksanakan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
e. membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi,
serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR�;
o Pasal 22 ayat (5), yang berbunyi, �Dalam hal badan peradilan atau hakim
tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
 
 
 
 
 
 
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk
memberikan keterangan atau data yang diminta�;
o Pasal 23 ayat (2), yang berbunyi, �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat
mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�;
o Pasal 23 ayat (3), yang berbunyi, �Usul penjatuhan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi
Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi�,
dan;
o Pasal 23 ayat (5), yang berbunyi, �Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul
pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas)
hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim�;
o Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4415), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
 
 
o Pasal 34 ayat (3), yang berbunyi, �Dalam rangka menjaga kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan
dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang-undang�,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4358), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
 
 
 
 
 
 
� Menyatakan:
o Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata �hakim Mahkamah
Konstitusi�,
o Pasal 20,
o Pasal 21,
o Pasal 22 ayat (1) huruf e,
o Pasal 22 ayat (5),
o Pasal 23 ayat (2),
o Pasal 23 ayat (3), dan
o Pasal 23 ayat (5)
o Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
o Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata �dan/atau Mahkamah
Konstitusi�;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4415) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
 
o Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
 
� Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah untuk memuat amar putusan
ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
� Menolak permohonan untuk selebihnya.
 
 
 
*** *** ***
 
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri
oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua
merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H.
M.S., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Prof.
H. A. S. Natabaya, S.H., LL.M., Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Maruarar Siahaan, S.H.,
 
 
 
 
serta Soedarsono, S.H., pada hari Rabu, 16 Agustus 2006, dan diucapkan dalam
Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini
Rabu, 23 Agustus 2006, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua
merangkap Anggota, H. Achmad Roestandi, S.H., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H.
M.S., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., Prof. H. A. S. Natabaya, S.H., LL.M.,
Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Maruarar Siahaan, S.H., serta Soedarsono, S.H., masing-
masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Cholidin Nasir, S.H., sebagai
Panitera Pengganti serta dihadiri oleh para Pemohon dan Kuasanya,
Pemerintah/Kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat/Kuasanya, Pihak Terkait
Langsung/Kuasanya, serta Pihak Terkait Tidak Langsung;
 
KETUA,
 
 
 
TTD.
 
 
 
 
 
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
 
ANGGOTA-ANGGOTA,
 
 
 
TTD. TTD.
 
H. Achmad Roestandi, S.H. Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. ,M.S.
 
 
 
TTD. TTD.
 
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Prof. H. A. S. Natabaya, S.H. , LL.M.
 
 
 
TTD. TTD.
 
Dr. Harjono, S.H., MCL. Maruarar Siahaan, S.H.
 
 
 
TTD.
 
Soedarsono, S.H.
</center>
 
 
PANITERA PENGGANTI
 
TTD.
 
Cholidin Nasir, SH.
 
 
 
[[Kategori:Yurisprudensi]]
[[Kategori:Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia]]