Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
}}
 
</>P U T U S A N
 
Nomor 005/PUU-IV/2006
 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
P U T U S A N
 
Nomor 005/PUU-IV/2006
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU KY) dan Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(selanjutnya disebut UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh:
 
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
1. Nama : PROF. DR. PAULUS EFFENDI LOTULUNG, SH.
 
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat
pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan
Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU KY) dan Pengujian Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(selanjutnya disebut UU KK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang diajukan oleh:
 
1. Nama : PROF. DR. PAULUS EFFENDI LOTULUNG, SH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
2. Nama : DRS.H. ANDI SYAMSU ALAM, SH.MH.
 
2. Nama : DRS.H. ANDI SYAMSU ALAM, SH.MH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
3. Nama : DRS.H. AHMAD KAMIL, SH.M.HUM.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
4. Nama : H. ABDUL KADIR MAPPONG, SH.
 
4. Nama : H. ABDUL KADIR MAPPONG, SH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
5. Nama : ISKANDAR KAMIL, SH.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
5. Nama : ISKANDAR KAMIL, SH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
6. Nama : HARIFIN A. TUMPA, SH. MH.
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
6. Nama : HARIFIN A. TUMPA, SH. MH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
 
7. Nama : PROF. DR. H. MUCHSIN, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
8. Nama : PROF. DR. VALERINE J.L.K., SH.MA.
 
8. Nama : PROF. DR. VALERINE J.L.K., SH.MA.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
9. Nama : H. DIRWOTO, SH.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
9. Nama : H. DIRWOTO, SH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
10. Nama : DR. H. ABDURRAHMAN, SH.MH.
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
10. Nama : DR. H. ABDURRAHMAN, SH.MH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
11. Nama : PROF. DR. H. KAIMUDDIN SALLE, SH.MH.
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
11. Nama : PROF. DR. H. KAIMUDDIN SALLE, SH.MH.
 
12. Nama : MANSUR KARTAYASA, SH.MH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
1213. Nama : MANSURPROF. KARTAYASAREHNGENA PURBA, SH.MHMS.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
1314. Nama : PROF. REHNGENADR. PURBAH.M. HAKIM NYAK PHA, SH.MSDEA.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
15. Nama : DRS. H. HAMDAN, SH.MH.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
14. Nama : PROF. DR. H.M. HAKIM NYAK PHA, SH.DEA.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
16. Nama : H.M. IMRON ANWARI, SH.SpN.MH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
15. Nama : DRS. H. HAMDAN, SH.MH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
 
16. Nama : H.M. IMRON ANWARI, SH.SpN.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
 
 
 
17. Nama : TITI NURMALA SIAHAAN SIAGIAN, SH.MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
18. Nama : WIDAYATNO SASTRO HARDJONO, SH.MSc.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
19. Nama : MOEGIHARDJO, SH.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
19. Nama : MOEGIHARDJO, SH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
20. Nama : H. MUHAMMAD TAUFIQ, SH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
20. Nama : H. MUHAMMAD TAUFIQ, SH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
21. Nama : H. R. IMAM HARJADI, SH.
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
21. Nama : H. R. IMAM HARJADI, SH.
 
22. Nama : ABBAS SAID, SH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
22. Nama : ABBAS SAID, SH.
 
23. Nama : ANDAR PURBA, SH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
2324. Nama : ANDARDJOKO PURBASARWOKO, SH. MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
25. Nama : I MADE TARA, SH.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
24. Nama : DJOKO SARWOKO, SH.MH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
26. Nama : ATJA SONDJAJA, SH.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
25. Nama : I MADE TARA, SH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
26. Nama : ATJA SONDJAJA, SH.
 
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
 
 
27. Nama : H. IMAM SOEBECHI, SH. MH.
 
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
28. Nama : MARINA SIDABUTAR, SH.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
28. Nama : MARINA SIDABUTAR, SH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
29. Nama : H. USMAN KARIM, SH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
29. Nama : H. USMAN KARIM, SH.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
30. Nama : DRS. H. HABIBURRAHMAN, M.HUM.
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
30. Nama : DRS. H. HABIBURRAHMAN, M.HUM.
 
31. Nama : M. BAHAUDIN QUADRY, SH.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
31. Nama : M. BAHAUDIN QUADRY, SH.
 
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
 
Dalam hal ini memberi kuasa kepada 1. Prof. Dr. Indrianto Senoadji, SH.,
2. Wimboyono Senoadji, SH., MH., 3. Denny Kailimang, SH., MH., 4. O.C.
Kaligis, SH., MH., 5. Juan Felix Tampubolon, SH., MH., beralamat di Kompleks
Majapahit Permai Blok B-122, Jakarta Pusat Telp. (021) 3853250, HP. 0818935555,
berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 8 Maret 2006;
 
Telah membaca permohonan para Pemohon;
Jabatan : Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
 
Telah mendengar keterangan para Pemohon;
Alamat : Jl. Medan Merdeka Utara Kav.9-13, Jakarta Pusat;
 
Telah mendengar keterangan Pemerintah;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon;
 
Telah mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Dalam hal ini memberi kuasa kepada 1. Prof. Dr. Indrianto Senoadji, SH.,
Indonesia;
2. Wimboyono Senoadji, SH., MH., 3. Denny Kailimang, SH., MH., 4. O.C.
Kaligis, SH., MH., 5. Juan Felix Tampubolon, SH., MH., beralamat di Kompleks
Majapahit Permai Blok B-122, Jakarta Pusat Telp. (021) 3853250, HP. 0818935555,
berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 8 Maret 2006;
 
Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia;
 
Telah mendengar keterangan Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial;
Telah membaca permohonan para Pemohon;
 
Telah mendengarmembaca keterangan paratertulis Pemohon;Pihak Terkait Langsung Komisi
Yudisial;
 
Telah mendengarmembaca keterangan Pemerintah;tertulis dan mendengar keterangan Pihak
Terkait Tidak Langsung;
 
Telah mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia;
 
Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia;
 
 
Telah mendengar keterangan Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial;
 
Telah membaca keterangan tertulis Pihak Terkait Langsung Komisi
Yudisial;
 
Telah membaca keterangan tertulis dan mendengar keterangan Pihak
Terkait Tidak Langsung;
 
Telah mendengar keterangan Ahli dari para Pemohon dan Saksi serta Ahli
dari Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial;
 
Telah memeriksa bukti-bukti;
 
DUDUK PERKARA
 
Menimbang bahwa para Pemohon, telah mengajukan permohonan dengan
DUDUK PERKARA
surat permohonannya bertanggal 10 Maret 2006 yang diterima dan terdaftar di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 14 Oktober 2005, dengan registrasi Nomor
005/PUU-IV/2006, yang telah diperbaiki secara berturut-turut dengan perbaikan
permohonan bertanggal 17 Maret 2006, 27 Maret 2006 dan 29 Maret 2006, yang
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
 
I. Dasar Hukum Permohonan.
Menimbang bahwa para Pemohon, telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonannya bertanggal 10 Maret 2006 yang diterima dan terdaftar di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 14 Oktober 2005, dengan registrasi Nomor
005/PUU-IV/2006, yang telah diperbaiki secara berturut-turut dengan perbaikan
permohonan bertanggal 17 Maret 2006, 27 Maret 2006 dan 29 Maret 2006, yang
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
 
a. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan :
I. Dasar Hukum Permohonan.
 
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
a. Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan :
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum;
 
b. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai Hakim
 
Agung pada Mahkamah Agung yang mempunyai kepentingan hukum dalam
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
permohonan ini karena Pemohon menganggap hak dan kewenangan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang
konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan �pengawasan hakim� yang
Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar,
diatur dalam Bab. III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) serta
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil
yang berkaitan dengan �usul penjatuhan sanksi� yang diatur dalam Pasal 21,
Pemilihan Umum;
Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25
 
b. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai Hakim
Agung pada Mahkamah Agung yang mempunyai kepentingan hukum dalam
permohonan ini karena Pemohon menganggap hak dan kewenangan
konstitusional Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan ?pengawasan hakim? yang
diatur dalam Bab. III Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) serta
yang berkaitan dengan ?usul penjatuhan sanksi? yang diatur dalam Pasal 21,
Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25
ayat (3) dan ayat (4) dihubungkan dengan Bab. I Pasal 1 butir 5 Undang-
undang tersebut. Dengan berlakunya Pasal-pasal tersebut menimbulkan
kerugian pada para Pemohon sebagai Hakim Agung termasuk juga Hakim
Mahkamah Konstitusi menjadi atau sebagai objek pengawasan serta dapat
diusulkan sebagai objek penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial;
 
 
c. Bahwa ketentuan yang diuraikan pada huruf b di atas sangat berkaitan
dengan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa ?dalam�dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku Hakim Agung dan Hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi
Yudisial yang diatur dalam Undang-undang?undang�;
 
II. Alasan-alasan permohonan pengujian terhadap Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman :
 
1). - bahwa di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan sebagai
berikut : ?Komisi�Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku Hakim?Hakim�;
 
- bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam satu nafas dan konteknya
satu sama lain maka bermakna bahwa Komisi Yudisial mempunyai
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dalam rangka
melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung;
 
2). bahwa di dalam Pasal 25 UUD 1945 mengatur bahwa syarat-syarat untuk
- bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam satu nafas dan konteknya
satu sama lain maka bermakna bahwa Komisi Yudisial mempunyai
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dalam rangka
melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung;
 
2). bahwa di dalam Pasal 25 UUD 1945 mengatur bahwa syarat-syarat untuk
menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang-
undang;
 
Undang-undang yang mengatur tentang hal tersebut diatur oleh Undang-
undang yang berbeda untuk Hakim Tingkat I dan Tingkat Banding (Undang-
undang No. 8 Tahun 2004 untuk Peradilan Umum, Undang-undang No. 9
Tahun 2004 untuk Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-undang No. 7
Tahun 1989 untuk Peradilan Agama, Undang-undang No. 31 Tahun 1997
untuk Peradilan Militer) serta Hakim Agung (Undang-undang No. 5 Tahun
2004) dan Mahkamah Konstitusi (Undang-undang No. 24 Tahun 2003);
 
Dalam hal ini jelas bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau
 
Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, karena untuk
Dalam hal ini jelas bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau
menjadi Hakim Mahkamah Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, karena untuktidak seluruhnya
menjadiberasal dari Hakim AgungTingkat I dan Hakim Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya Banding;
berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding;
 
Lebih jelas lagi bahwa Komisi Yudisial tidak berwenang untuk mengadakan
pengawasan terhadap Hakim Ad Hoc;
 
Dari sini jelas terlihat bahwa yang dimaksud dengan kata ?Hakim?�Hakim� di dalam
Pasal 24B UUD 1945 bukan terhadap seluruh Hakim;
 
Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksudkan oleh Pasal 24B ayat (1)
UUD 1945 tentang kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim adalah
Hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung;
 
3). bahwa akan tetapi ternyata di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
yaitu:
 
a. Pasal 20 disebutkan bahwa:
3). bahwa akan tetapi ternyata di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
yaitu:
 
�Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
a. Pasal 20 disebutkan bahwa:
13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan
terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim�;
 
b. Pasal 1 butir 5 menentukan bahwa yang dimaksud dengan:
?Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan
terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim?;
 
�Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua
b. Pasal 1 butir 5 menentukan bahwa yang dimaksud dengan:
lingkungan peradilan yang barada dibawah Mahkamah Agung serta
 
 
?Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua
lingkungan peradilan yang barada dibawah Mahkamah Agung serta
Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?1945�;
 
Dengan demikian Pasal 1 butir 5 tersebut telah memperluas pengertian
Hakim yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 karena hanya
dimaksudkan terhadap Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung saja, tidak meliputi Hakim Agung
dan Hakim Mahkamah Konstitusi;
 
Dengan demikian Pasal 1 butir 5 tersebut telah memperluas pengertian
c. Di samping kedua Pasal yang disebut di dalam Undang-undang Nomor 22
Hakim yang diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 karena hanya
Tahun 2004 tersebut, hal yang sama juga disebut di dalam Pasal 34 ayat
dimaksudkan terhadap Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan
(3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
peradilan di bawah Mahkamah Agung saja, tidak meliputi Hakim Agung
yang memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan
dan Hakim Mahkamah Konstitusi;
pengawasan Hakim Agung adalah bertentangan dengan Pasal 24B UUD
1945;
 
c. Di samping kedua Pasal yang disebut di dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tersebut, hal yang sama juga disebut di dalam Pasal 34 ayat
(3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan
pengawasan Hakim Agung adalah bertentangan dengan Pasal 24B UUD
1945;
 
4). bahwa dalam rumusan pasal-pasal yang di sebut dalam angka 3 di atas
membawa makna bahwa pengawasan Komisi Yudisial terhadap para Hakim
pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan termasuk di dalamnya
Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Mahkamah Konstitusi
jelas bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945, karena yang dimaksud
?Hakim?�Hakim� dalam Pasal 24B tersebut tidak meliputi Hakim Mahkamah Agung
dan Hakim Mahkamah Konstitusi;
 
5). bahwa secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak
menjangkau Hakim Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial
adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan
pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung;
 
Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
yang berbunyi sebagai berikut :
 
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
Pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
yang berbunyi sebagai berikut :
menjalankan kekuasaan kehakiman;
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;
 
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman;
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;
 
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo
Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang
diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi
sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan
Majelis Kehormatan Hakim;
 
6). bahwa di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo
Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung
Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
diserahkan kepada Mahkamah Agung dan kepada Hakim yang akan dijatuhi
dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur
sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan
dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Majelis Kehormatan Hakim;
Agung, sedang bagi Hakim Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya
 
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi
 
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
6). bahwa di samping itu khusus mengenai usul pemberhentian terhadap Hakim
dihadapan Majelis Kohormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur
Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung sebagaimana diatur
dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah
Agung, sedang bagi Hakim Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi
yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
dihadapan Majelis Kohormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur
 
dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tanpa campur tangan dari Komisi
Yudisial. Hal ini berbeda dengan Hakim pada badan peradilan dibawah
Mahkamah Agung selain mensyaratkan usul penjatuhan sanksi dari Komisi
Yudisial, juga Hakim yang bersangkutan diberi kesempatan lebih dahulu
untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim;
 
Atas dasar tersebut maka Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat
(5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur
tentang usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim Agung dan/atau Hakim
Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B
dan Pasal 25 UUD 1945 yang memberi kewenangan kepada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis Kehormatan
Mahkamah Agung dan/atau Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;
 
7). bahwa oleh karena pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim
Atas dasar tersebut maka Pasal 21, Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat
Mahkamah Konstitusi serta usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial tidak
(5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) yang mengatur
tentang usul penjatuhan sanksi terhadaptermasuk Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi, maka
sepanjang mengenai �pengawasan dan usul penjatuhan sanksi� terhadap
Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B
Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal:
dan Pasal 25 UUD 1945 yang memberi kewenangan kepada Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi untuk membentuk Majelis Kehormatan
Mahkamah Agung dan/atau Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;
 
- 1 butir 5
7). bahwa oleh karena pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim
Mahkamah Konstitusi serta usul penjatuhan sanksi oleh Komisi Yudisial tidak
termasuk Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi, maka
sepanjang mengenai ?pengawasan dan usul penjatuhan sanksi? terhadap
Hakim Agung dan Hakim Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal:
 
- 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat
- 1 butir 5
(5), 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor
 
 
- 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat
(5), 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial serta Pasal 34 ayat (3) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman harus
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan selanjutnya
menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat bagi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah
Konstitusi;
 
Pengawasan Komisi Yudisial selama ini yang telah memanggil beberapa
Hakim Agung, dalam hubungan dengan perkara yang telah diadilinya. Pemanggilan
oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung Bagir Manan, Marianna Sutadi, Paulus
Effendi Lotulung, Parman Suparman, Usman Karim, Harifin A. Tumpa telah
mengakibatkan terganggunya hak konstitusional Hakim Agung, yang dijamin
 
Pengawasan Komisi Yudisial selama ini yang telah memanggil beberapa
Hakim Agung, dalam hubungan dengan perkara yang telah diadilinya. Pemanggilan
oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung Bagir Manan, Marianna Sutadi, Paulus
Effendi Lotulung, Parman Suparman, Usman Karim, Harifin A. Tumpa telah
mengakibatkan terganggunya hak konstitusional Hakim Agung, yang dijamin
 
kemerdekaannya oleh UUD 1945. Pemanggilan Komisi Yudisial kepada para Hakim
Agung tersebut, berpotensi dan akan membawa makna bahwa semua Hakim Agung
dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus suatu perkara. Hal ini akan
menghancurkan independensi Hakim Agung yang dijamin UUD 1945;
 
Bahwa pengawasan oleh Komisi Yudisial dengan cara memanggil Hakim
Agung karena memutus suatu perkara merupakan sebab-akibat (causal verband),
hilangnya atau terganggunya kebebasan Hakim yang dijamin oleh UUD 1945;
 
Bahwa memperluas makna ?Hakim? pada Pasal 24B UUD 1945
sebagaimana berdasarkan pada Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial adalah bertentangan dengan prinsip hukum yang
berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan
perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis
dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu
ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain
ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Selain
itu, perluasan makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi
Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan
?penjatuhan sanksi? pada Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2)
dan ayat (3) serta ayat (5), 24 ayat (1) dan 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, adalah bertentangan dengan asas
Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori;
 
Bahwa pengawasan oleh Komisi Yudisial dengan cara memanggil Hakim
Agung karena memutus suatu perkara merupakan sebab-akibat (causal verband),
hilangnya atau terganggunya kebebasan Hakim yang dijamin oleh UUD 1945;
 
Bahwa memperluas makna �Hakim� pada Pasal 24B UUD 1945
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka mohon kiranya Mahkamah
sebagaimana berdasarkan pada Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun
Konstitusi memutuskan:
2004 tentang Komisi Yudisial adalah bertentangan dengan prinsip hukum yang
berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, suatu materi dalam peraturan
perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis
dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu
ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain
ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Selain
itu, perluasan makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi
Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan
�penjatuhan sanksi� pada Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2)
dan ayat (3) serta ayat (5), 24 ayat (1) dan 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, adalah bertentangan dengan asas
Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori;
 
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka mohon kiranya Mahkamah
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon ;
Konstitusi memutuskan:
2. Menyatakan:
- Pasal 1 angka 5
- Pasal 20;
- Pasal 21;
- Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5);
- Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5);
- Pasal 24 ayat (1) dan;
 
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon ;
2. Menyatakan:
- Pasal 1 angka 5
- Pasal 20;
- Pasal 21;
- Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5);
- Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5);
- Pasal 24 ayat (1) dan;
 
 
Baris 569 ⟶ 530:
 
- Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, serta
Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, sepanjang yang
menyangkut Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi, bertentangan
dengan Pasal 24B dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
 
 
3. Menyatakan Pasal-pasal tersebut pada angka 2 di atas tidak mempunyai
kekuatan mengikat bagi Hakim Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim
Mahkamah Konstitusi;
 
 
Atau mohon putusan yang seadil-adilnya;
 
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, para
Atau mohon putusan yang seadil-adilnya;
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti, yang diberi tanda P-1 sampai dengan Bukti
P-28, sebagai berikut:
 
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, para
tentang Komisi Yudisial;
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti, yang diberi tanda P-1 sampai dengan Bukti
P-28, sebagai berikut:
 
Bukti P-12 : Fotokopi Undang-undangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004
1945;
tentang Komisi Yudisial;
 
Bukti P-23 : Fotokopi Undang-Undangundang DasarRepublik NegaraIndonesia RepublikNomor Indonesia24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi;
1945;
 
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman;
 
Bukti P-35 : Fotokopi Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2405 Tahun 2003 2004
tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor
tentang Mahkamah Konstitusi;
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
 
Bukti P-46 : Fotokopi Undang-undangKeputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2004 241/M
Tahun 2000, tanggal 2 September 2000;
tentang Kekuasaan Kehakiman;
 
Bukti P-57 : Fotokopi Undang-undangKeputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2004 273/M
Tahun 1998, tanggal 28 September 1998;
tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
 
Bukti P-68 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24183/M
Tahun 20002003, tanggal 228 SeptemberMei 20002003;
 
Bukti P-9 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/M
 
Tahun 2004, tanggal 5 Agustus 2004;
Bukti P-7 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 273/M
Tahun 1998, tanggal 28 September 1998;
 
Bukti P-8 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83/M
Tahun 2003, tanggal 28 Mei 2003;
 
Bukti P-9 : Fotokopi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/M
Tahun 2004, tanggal 5 Agustus 2004;
 
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Panggilan Komisi Yudisial No. 06/Pangg.KY/
06/2006, tanggal 11 Januari 2006;
 
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Panggilan Komisi Yudisial No. 19/Pangg.KY/
 
06/2006, tanggal 25 Januari 2006;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Panggilan Komisi Yudisial No. 19/Pangg.KY/
06/2006, tanggal 25 Januari 2006;
 
Bukti P-12 : Fotokopi Draft Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Republik Indonesia Nomor ???��� Tahun ??�� Tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Komisi Yudisial;
 
Bukti P-13 : Asli Buku Keempat Jilid 2A terbitan Sekretariat Jenderal Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001;
 
Bukti P-14 : Fotokopi Karya Tulis Zein Badjeber tentang Komisi Yudisial dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
 
Bukti P-15 : Fotokopi Karya Tulis Hobes Sinaga, SH., MH., mengenai Eksistensi
Komisi Yudisial menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
 
Bukti P-1516 : Fotokopi Karya Tulis Hobes Sinaga, SH., MH., mengenai Eksistensi Komisi
Yudisial;
Komisi Yudisial menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
 
Bukti P-1617 : Fotokopi KaryaKode TulisEtik, HobesAD Sinaga,dan SH.,ART MH.,Ikatan mengenaiHakim KomisiIndonesia (IKAHI);
Yudisial;
 
Bukti P-1718 : Fotokopi KodeKeputusan Etik,Mahkamah AD dan ART Ikatan HakimRepublik Indonesia (IKAHI); Nomor:
KMA/057/SK/VI/2006 tentang TATA KERJA MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH AGUNG tanggal 6 Juni 2006;
 
Bukti P-1819 : Fotokopi Keputusan Mahkamah Republik Indonesia Nomor:
KMA/057058/SK/VI/2006 tentang TATA KERJA MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH AGUNG tanggal 6 Juni 2006;
 
Bukti P-1920 : Fotokopi KeputusanPedoman MahkamahPerilaku RepublikHakim IndonesiaMahkamah Nomor:Agung Republik
Indonesia tanggal 30 Mei 2006;
KMA/058/SK/VI/2006 tentang TATA KERJA MAJELIS
KEHORMATAN MAHKAMAH AGUNG tanggal 6 Juni 2006;
 
Bukti P-21 : Fotokopi Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
KMA/041/SKB/XI/1992 Nomor M.05-PW.07.10 Tahun 1992, tanggal
18 Nopember 1992;
 
Bukti P-2022 : Fotokopi PedomanPeraturan PerilakuPemerintah HakimRepublik MahkamahIndonesia AgungNomor Republik26 Tahun
Indonesia1991 tanggal 305 MeiJuli 20061991;
 
Bukti P-21 : Fotokopi Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
KMA/041/SKB/XI/1992 Nomor M.05-PW.07.10 Tahun 1992, tanggal
18 Nopember 1992;
 
Bukti P-22 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
1991 tanggal 5 Juli 1991;
 
Bukti P-23 : Fotokopi surat dari Komisi Yudisial Republik Indonesia kepada Ketua
Mahkamah Agung Nomor 1284/P.KY/V/2006, tanggal 8 Mei 2006;
 
 
Bukti P-24 : Fotokopi surat dari Komisi Yudisial Republik Indonesia kepada Ketua
Mahkamah Agung Nomor 143/P.KY/V/2006, tanggal 17 Mei 2006;
 
Bukti P-25 : Fotokopi surat dari Komisi Yudisial Republik Indonesia kepada Ketua
Mahkamah Agung Nomor 147/P.KY/V/2006, tanggal 18 Mei 2006;
 
Bukti P-26 : Fotokopi surat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada
Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 27/WKMA-NJ/VI/2006,
tanggal 21 Juni 2006;
 
Bukti P-27 : 1 lembar dokumen yang berisi ?Beberapa Kasus Campur Tangan
Komisi Yudisial Di Dalam Pengadilan?, tanggal 27 Juni 2006;
 
 
Bukti P-28 : Kliping-kliping berita internet mengenai pertentangan Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan KomisiYudisial Republik Indonesia;
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 11 April 2006 dan tanggal 2
Mei 2006, Pemerintah telah memberi keterangan secara lisan dan tertulis, yang
menguraikan sebagai berikut:
 
I. UMUM
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip Negara hukum
adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
 
 
Bahwa perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan di Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman (judicative power). Berdasarkan Pasal 24 UUD 1945, ditegaskan
bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
 
Bahwa Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang lebih dipertegas
 
 
 
 
 
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, mempunyai
wewenang untuk mengadili pada tingkat kasasi, peninjauan kembali (PK)
terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
sengketa tentang kewenangan mengadili, menguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang, dan kewenangan-kewenangan lainnya
sebagai ditentukan dan diatur didalam undang-undang. Selain kewenangan
tersebut, Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk melakukan
pengawasan terhadap jalannya peradilan, tentang pelaksanaan tugas pengadilan
dan tingkah laku para hakim disemua lingkungan peradilan.
 
Mahkamah Konstitusi sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang dirinci
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, mempunyai wewenang menguji Undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
 
 
Selain perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, UUD 1945 telah mengintroduksi
suatu lembaga baru yang berkaitan erat dengan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman (judicative power) yaitu Komisi Yudisial.
 
Komisi Yudisial sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
bahwa: ?Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim?. Kewenangan Komisi Yudisial dipertegas dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, bahwa Komisi Yudisial tersebut
kemudian mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim.
 
 
Bahwa UUD 1945 telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi
dibidang peradilan yaitu dengan lebih mengefektifkan fungsi pengawasan baik
pengawasan internal maupun eksternal kepada Hakim Agung pada Mahkamah
Agung, Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, dan para Hakim pada
semua lingkungan badan peradilan di Indonesia.
 
 
 
 
Pengawasan internal dilaksanakan oleh organ/badan yang dibentuk oleh lembaga
itu sendiri yang diberikan tugas untuk melakukan pengawasan kepada Hakim.
Misalnya pada Mahkamah Agung terdapat Ketua Muda Bidang Pengawasan,
sedangkan pengawasan eksternal sesuai ketentuan UUD 1945 dilakukan oleh
Komisi Yudisial.
 
 
Bahkan Mahkamah Agung pada persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 24
Nopember 2005 yang diwakili oleh Direktur Hukum dan Peradilan Mahkamah
Agung R.I. sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006 berpendapat bahwa : ?apapun yang
dikemukakan oleh para Pemohon dalam kenyataannya sekarang, kewenangan
yang ada pada Mahkamah Agung didasarkan kepada Pasal 32 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 yang tidak dihapuskan atau tidak dirubah oleh Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004 dengan demikian tetap masih berlaku dimana
ditegaskan dan jelas disebutkan bahwa Mahkamah Agung melakukan
pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman dan Mahkamah Agung
mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan tugasnya.
 
Kemudian Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-
hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.
Mahkamah Agung juga berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan
yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Undang-undang menentukan pengawasan dan kewenangan sebagaimana
dimaksud, ayat (1) dan (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
 
 
Sedangkan kewenangan yang ada pada Komisi Yudisial sudah jelas dan kami
melihat bahwa kewenangan yang ada pada Mahkamah Agung adalah
pengawasan internal dan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
berdasarkan, baik Undang-Undang Dasar maupun ketentuan dari Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 adalah kewenangan eksternal yang diberikan
sepenuhnya kepada Komisi Yudisial dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim? (vide Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006, halaman 37 s/d 38).
 
 
 
 
Kenyataan juga pada akhir-akhir ini, kita bisa melihat kewenangan-kewenangan
Komisi Yudisial dijalankan tanpa ada satu halangan apapun dan para Hakim yang
dipanggil oleh Komisi Yudisial tidak pernah dilarang oleh Mahkamah Agung dan
para Hakim yang dinilai oleh Komisi Yudisial mungkin tidak menjalankan
profesinya dengan baik dan dinilai melakukan unprofesional conduct telah
diusulkan oleh Komisi Yudisial sesuai dengan kewenangan yang ada kepadanya.
 
 
Dari uraian tersebut di atas, nampak jelas adanya kehendak yang kuat untuk
menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka tanpa campur tangan
pihak manapun, yang pada gilirannya diharapkan harkat, martabat dan keluhuran
perilaku Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dapat terjaga, sehingga
kedepan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa hukum dapat terwujud dan
rasa keadilan pada masyarakat akan menjadi kenyataan.
 
 
 
 
II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON
 
 
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa para Pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakunya undang-undang, yaitu :
 
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
 
 
Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ?hak
konstitusional? adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945.
 
 
Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI, pengertian dan
batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu :
 
a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para
Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
 
 
c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
 
 
 
Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya
ketentuan Pasal 1 butir 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat
(5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat
(3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,
dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan.
 
Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon apakah sudah tepat
sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Juga
apakah kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab
akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji.
 
 
Bahwa hak konstitusional yang didasarkan pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
tidak menyangkut para Pemohon tetapi menyangkut Mahkamah Agung,
sehingga para Pemohon tidak dapat mendasarkan diri pada Pasal 24B ayat (1)
sebagai landasan untuk mengkonstruksikan adanya hak konstitusional para
Pemohon yang dirugikan baik secara faktual maupun potensial yang timbul
dalam hubungan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
Kemudian jika para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
 
Kehakiman, maka hal ini perlu dipertanyakan hak konstitusional para Pemohon
mana yang dirugikan?, apakah lembaga Mahkamah Agung sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman itu sendiri atau hakim secara keseluruhan baik dalam
lingkungan peradilan umum, tata usaha negara, agama maupun peradilan
militer.
 
 
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, ditegaskan bahwa: ?Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi?.
 
Dengan demikian, kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh lembaga
Mahkamah Agung dan lembaga badan peradilan dibawah Mahkamah Agung
dan oleh lembaga Mahkamah Konstitusi, dan bukan oleh Hakim Agung, bukan
oleh hakim pada badan peradilan dibawah Mahkamah Agung, dan bukan oleh
Hakim Mahkamah Konstitusi. Selain itu hak dan/atau kewenangan konstitusional
Hakim Agung yang mana yang dianggap dirugikan karena dalam UUD 1945
tidak satupun pasal yang mengatur baik secara langsung maupun tidak langsung
hak dan/atau kewenangan konstitusional Hakim Agung.
 
 
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa
nyata-nyata tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional para
Pemohon yang dirugikan atas keberlakuan kedua Undang-undang a quo, karena
pada kenyataannya para Pemohon dengan jabatan sebagai Hakim Agung tetap
dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk menyelenggarakan
peradilan.
 
Karena itu Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi agar memerintahkan para Pemohon untuk membuktikan secara sah
terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah berpendapat bahwa tidak
terdapat dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusional para Pemohon atas keberlakuan Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena itu kedudukan hukum (legal standing)
para Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak memenuhi persyaratan
 
 
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
 
Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para
Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian
apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini
disampaikan argumentasi Pemerintah tentang materi pengujian Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN
KEHAKIMAN
Sehubungan dengan pendapat para Pemohon dalam permohonannya yang
menyatakan bahwa :
 
 
 
A. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial, yaitu :
1. Pasal 1 butir 5: "Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan
peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945".
2. Pasal 20: "Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku Hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim".
3. Pasal 21: ?Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan
usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi?.
4. Pasal 22 ayat (1) huruf e: "Dalam melaksanakan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial : membuat
 
 
 
 
 
 
 
laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta
tindasannya disampaikan kepada Presden dan DPR".
Ayat (5): "Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa
paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan
keterangan atau data yang diminta".
 
 
 
5. Pasal 23 ayat (2): "Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat,
disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi".
Ayat (3): ?Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah
Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi?.
 
Ayat (5): ?Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim
diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada
Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak
oleh Majelis Kehormatan Hakim?.
 
 
 
6. Pasal 24 ayat (1): ?Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan
penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
Hakim?.
7. Pasal 25 ayat (3): ?Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang
Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon
Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung
dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh anggota
Komisi Yudisial?.
Ayat (4): ? Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-turut atas
keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan
pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Konstitusi maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima)
orang anggota?
 
 
 
 
 
B. Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman : "Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial
yang diatur dalam undang-undang"
bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945, sebagai
berikut :
 
Pasal 24B ayat (1): ?Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim?.
 
 
Pasal 25 : ?Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai
hakim ditetapkan dengan undang-undang".
 
Sehubungan dengan anggapan para Pemohon tersebut, Pemerintah dapat
menyampaikan penjelasan sebagai berikut :
 
1. Para Pemohon dalam permohonannya beralasan bahwa kalimat yang
terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, apabila dibaca dalam
satu napas dan konteknya satu sama lain maka bermakna bahwa
Komisi Yudisial ?mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim
adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung?,
 
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut :
 
a. Bahwa berdasarkan teknik penyusunan perundang-undangan maka
untuk memperjelas substansi suatu norma digunakan sistem tabulasi,
sehingga ketentuan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung
dua kewenangan Komisi Yudisial yang berbeda yaitu :
 
 
- kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan
- mempunyai kewewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
 
 
 
 
 
 
 
b. Bahwa frase "berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung"
dan frase "mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim"
dihubungkan oleh kata hubung "dan". Kata hubung "dan" dalam
konteks ini berfungsi sebagai penghubung satuan ujaran (kata, frase,
klausula, dan kalimat yang setara), yang termasuk tipe yang sama
serta memiliki fungsi yang tidak berbeda (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1995).
c. Bahwa secara gramatikal frase "berwenang mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung", dan frase "mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim" merupakan dua frase yang mempunyai
kedudukan yang setara. Sehingga tidak mungkin frase "mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim" sebagai sub-ordinasi dari
frase "berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung".
d. Bahwa dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 017/PUU-III/2005 tanggal 6 Januari 2006, juga telah
ditegaskan bahwa kewenangan pengawasan oleh Mahkamah Agung
bersifat internal, sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial baik berdasarkan UUD 1945, maupun Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, adalah kewenangan
eksternal dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim.
 
 
 
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah berpendapat alasan para
Pemohon yang menyatakan bahwa pengertian ?mempunyai kewenangan
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim" adalah dalam rangka melaksanakan
kewenangan Komisi Yudisial yaitu "mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung? tidak berkaitan dengan konstitusionalitas keberlakuan suatu
undang-undang.
2. Menurut para Pemohon ketentuan Pasal 25 UUD 1945 mengatur syarat-
syarat untuk menjadi hakim dan untuk diberhentikan sebagai hakim
 
 
 
 
 
 
 
ditetapkan dengan undang-undang, yaitu antara lain: Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2004 (untuk Hakim Tingkat I dan Banding); Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 (untuk Hakim Peradilan Tata Usaha
Negara); Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (untuk Hakim Peradilan
Agama); Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 (untuk Hakim Peradilan
Militer); Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 (untuk Hakim Agung); dan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 (untuk Hakim Mahkamah
Konstitusi).
 
 
Para Pemohon menyimpulkan bahwa kewenangan Komisi Yudisial tidak
menjangkau Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi karena untuk
menjadi Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi tidak seluruhnya
berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding. Juga Komisi Yudisial
tidak berwenang mengawasi hakim Ad Hoc.
 
Sehingga menurut para Pemohon bahwa yang dimaksud ?hakim? dalam
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bukan terhadap seluruh Hakim, melainkan
Hakim yang akan menjadi Hakim Agung pada Mahkamah Agung.
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut :
 
 
 
a. Bahwa kesimpulan para Pemohon yang didasarkan pada ketentuan-
ketentuan dalam : Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 (untuk Hakim
Tingkat I dan Banding), Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 (untuk
Hakim Peradilan Tata Usaha Negara), Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 (untuk Hakim Peradilan Agama), Undang-undang Nomor
31 Tahun 1997 (untuk Hakim Peradilan Militer), Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 (untuk Hakim Agung), dan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 (untuk Hakim Mahkamah Konstitusi),
merupakan kesimpulan sepihak para Pemohon yang dijadikan dasar
untuk menafsirkan kata ?hakim? seperti yang tercantum dalam Pasal
24B ayat (1) UUD 1945.
b. Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan untuk menguji
konsistensi antara undang-undang yang satu dengan undang-undang
yang lain, yaitu antara Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004, Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997, Undang-undang Nomor 5
 
 
 
 
 
 
 
Tahun 2004, dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 terhadap
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
c. Bahwa jika terjadi inkonsistensi antara undang-undang yang satu
dengan yang lain yang sifatnya sederajat, maka sesuai dengan asas
perundang-undangan yang menyatakan ?undang-undang yang
kemudian/belakangan mengenyampingkan undang-undang yang
berlaku terdahulu (lex posteriore derogat lex priori)?, sehingga
sepanjang mengatur tentang ketentuan yang sama dan dibuat oleh
lembaga yang sama pula, maka semua undang-undang yang dijadikan
acuan oleh para Pemohon tersebut di atas dikesampingkan oleh
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 karena undang-undang ini
diundangkan paling belakangan. Konsekuensinya semua pengertian
?hakim? di dalam undang-undang tersebut diatas, harus tunduk pada
pengertian hakim yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
d. Bahwa perbedaan perekrutan (rekruitmen) antara Hakim Agung
dengan Hakim, tidak dapat dijadikan alasan oleh para Pemohon untuk
membedakan antara Hakim Agung dengan Hakim, karena setelah
menjadi Hakim (Hakim Agung, Hakim Peradilan Umum, Hakim
Peradilan Agama dan Hakim Peradilan Militer) kewenangannya sama
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, karenanya tunduk pada
lembaga pengawasan eksternal sebagaimana diamanatkan Pasal 24
ayat (2) UUD 1945.
 
 
 
Berdasarkan uraian tersebut diatas , Pemerintah berpendapat keberatan
dan alasan para Pemohon tidak relevan.
3. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, Pemerintah
dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Bahwa Rancangan Undang-undang tentang Komisi Yudisial
merupakan salah satu rancangan undang-undang inisiatif Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), dalam rancangan
awal rumusan Pasal 1 angka 5 berbunyi: ?hakim adalah hakim pada
semua badan peradilan di lingkungan peradilan?.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
b. Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dibuat Pemerintah,
rumusan Pasal 1 angka 5 diusulkan perubahan yang berbunyi :
?hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada semua badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara,
serta pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan
tersebut?.
 
 
 
c. Bahwa untuk merumuskan ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut, antara
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah terjadi diskusi
dan perdebatan yang cukup alot, intensif, tajam dan dinamis (dibahas
selama tiga hari kerja dan tiga kali skorsing). Hal ini bertujuan agar
dalam merumuskan ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut jangan
sampai memperluas substansi dari ketetntuan Pasal 24 ayat (2) dan
Pasal 25 UUD 1945.
 
 
Berikut disampaikan kutipan beberapa pendapat anggota Panitia Kerja
(PANJA) pada rapat-rapat kerja antara lain :
a. Andi Mattalata, SH. M.Hum., (Fraksi Partai Golkar) menjelaskan
bahwa: ?Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, mengandung 2 (dua) pesan, yaitu pertama mengenai
pengangkatan Hakim Agung dan bukan Hakim Konstitusi dan juga
bukan pengangkatan hakim yang lain-lain. Kemudian yang kedua
adalah mempunyai kewenangan dalam rangka manjaga dan
menegakkan kehormatan Hakim, maksudnya seluruh hakim selaku
pelaksana kekuasaan kehakiman?. (Rapat ke-4 tanggal 21 Juni 2004).
b. M. Akil Mochtar, SH., MH., (Fraksi Partai Golkar) menjelaskan bahwa:
kita ingin memposisikan anggota Komisi Yudisial itu di berbagai
perspektif yang berhubungan dengan tugas Komisi, yang pertama,
tugas komisi adalah melakukan rekruitment terhadap calon Hakim
Agung, kemudian mengusulkannya kepada DPR, yang kedua tugas-
tugas lain yang berkaitan dengan pengawasan dan juga mengawasi
perilaku para hakim secara keseluruhan, bukan saja hanya Hakim
Agung?. (Rapat ke 3 tanggal 7 Juni 2004).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
c. Drs. H. Lukman Hakim S, (Fraksi Persatuan Pembangunan)
menjelaskan bahwa: kalau kita cermati betul tugas Komisi sebenarnya
melakukan pengawasan dalam konteks perilaku, bukan dalam istilah
pengawasan internal yang sebenarnya sudah dilakukan Mahkamah
Agung?. (Rapat ke 2 tanggal 2 Juni 2004).
 
 
 
Setelah melakukan diskusi dan perdebatan panjang dan melelahkan,
pada akhirnya rumusan Pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang
tentang Komisi Yudisial disetujui dalam rapat Panitia Kerja pada tanggal
21 Juni 2004, dengan rumusan: ?Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim
pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945?.
Dari uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 1
angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,
tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon,
dan tidak bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
 
 
 
4. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 ayat
(1) huruf e dan ayat (5) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial, utamanya yang berkaitan dengan ?pengawasan hakim?,
bahwa pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim pada badan
peradilan di semua lingkungan peradilan termasuk di dalamnya Hakim
Agung pada Mahkamah Agung dan Hakim pada Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945, karena yang dimaksud
"Hakim" dalam Pasal 24B tersebut tidak meliputi Hakim Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya para Pemohon beranggapan bahwa secara universal
kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim
Agung pada mahkamah Agung karena Komisi Yudisial merupakan mitra
Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim
pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada di bawah
Mahkamah Agung.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut :
 
 
 
a. Bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap
hakim di lingkungan pelaku kekuasaan kehakiman pada semua tingkat
termasuk Hakim Agung, adalah dalam rangka pengawasan yang
berkaitan dengan teknis yustisial, yaitu dalam rangka
pelaksanaan/menjalankan tugas untuk memeriksa, memutus dan
mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan (pengawasan
yang bersifat internal).
b. Bahwa sesuai ketentuan Pasal 13 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, kewenangan yang dimiliki oleh Komisi
Yudisial yaitu untuk melakukan pengawasan dalam rangka menjaga
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan
hakim (pengawasan yang bersifat ekstern), bukan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas Hakim Agung, Hakim Konstitusi dan
Hakim disemua lingkungan peradilan dalam memeriksa, memutus dan
mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan.
 
 
 
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa
ketentuan Pasal 20 dan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5) Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tidak merugikan
hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
5. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 21, Pasal 23 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3) dan ayat
(4) yang dihubungkan Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, utamanya yang berkaitan dengan "usul
penjatuhan sanksi". Menurut para Pemohon, usul penjatuhan sanksi
terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo. Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dilakukan
oleh Komisi Yudisial dengan memberikan rekomendasi kepada
Mahkamah Agung dan kepada hakim yang akan dijatuhi sanksi
pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis
Kehormatan Hakim.
 
 
 
 
 
 
 
Sedangkan pelaksanaan pemberhentian Hakim Agung dilakukan oleh
Ketua Mahkamah Agung dan kepada Hakim Agung yang bersangkutan
diberi kesempatan membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, sedangkan bagi Hakim
Mahkamah Konstitusi usul pemberhentiannya dilakukan oleh Ketua
Mahkamah Konstitusi dan kepada Hakim Konstitusi yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu di hadapan Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23
ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi.
 
 
Sehingga menurut para Pemohon Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3),
dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
bertentangan dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945.
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang tugas
dan fungsinya bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Komisi
Yudisial memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hal ini sebagai kehendak yang
kuat dari undang-undang agar dapat terwujud mekanisme checks and
balances terhadap pelaksanaan indepedensi kekuasaan kehakiman dan
cabang-cabang kekuasaan lainnya.
 
 
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemerintah berpendapat bahwa
ketentuan Pasal 21, Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24
ayat (1), dan Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tidak merugikan hak dan/atau
kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
 
 
6. Keberatan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
 
 
 
 
 
 
 
Terhadap alasan para Pemohon tersebut di atas, Pemerintah dapat
menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat lebih dipahami apabila
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: "Hakim adalah
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang-undang". Pengertian hakim mencakup keseluruhan pejabat yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan tugas dan
fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan.
 
 
Dari uraian tersebut di atas maka Pasal 34 ayat (3) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak merugikan
hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
 
 
 
 
 
 
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah
memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD
1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
 
 
 
1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum
(legal standing);
2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) seluruhnya atau
setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak
dapat diterima (niet onvankelijk verklaard);
3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
4. Menyatakan:
- Pasal 1 angka 5
- Pasal 20
- Pasal 21
- Pasal 22 ayat (1) huruf e, dan ayat (5)
- Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)
- Pasal 24 ayat (1)
- Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4)
 
 
 
 
 
 
 
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dan Pasal
34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman tidak bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 25
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Menyatakan Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e,
dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 24 ayat (1),
Pasal 25 ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tetap mempunyai kekuatan
hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
 
 
 
Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya
(ex aequo et bono);
Menimbang bahwa DPR RI, pada persidangan bertanggal 2 Mei 2006 telah
memberi keterangan secara lisan, dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis
yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Mei 2006, yang
menguraikan sebagai berikut:
 
MENGENAI POKOK MATERI PERMOHONAN
 
Di dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan:
 
 
 
1. Mengajukan permohonan putusan:
a. ketentuan Pasal 1 angka 5
b. ketentuan Pasal 20
c. ketentuan Pasal 21
d. ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5)
e. Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5)
f. Pasal 24 ayat (1)
g. Pasal 25 ayat (3) dan (4) Undang-undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) serta Pasal
34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358)
 
 
 
 
 
 
 
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, khususnya ketentuan Pasal 24B dan Pasal 25.
 
 
 
 
 
2. Materi muatan dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1)
huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25
ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Terhadap permohonan tersebut dapat disampaikan keterangan sebagai berikut:
 
 
1. Kronologis lahirnya Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial bermula dari
usul inisiatif sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada
November 2000 dan menjadi usul inisiatif Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna pada bulan Januari 2003.
Pembahasan RUU tersebut dimulai pada bulan Mei tahun 2004.
2. Sebelum dan selama pembahasan RUU, Pansus mendapat masukan dari
berbagai kalangan, antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat, masyarakat yang
mempunyai perhatian terhadap lembaga kekuasaan kehakiman, dan Mahkamah
Agung.
3. Bahwa pada intinya, semua masukan tentang Komisi Yudisial termasuk
didalamnya kewenangan yang dimilikinya, bertitik tolak dari kesadaran
berdasarkan pengalaman selama ini. Dalam praktek pengawasan hakim dan
hakim agung yang dijalankan oleh Mahkamah Agung memiliki kelemahan antara
lain: kurangnya transparansi dan akuntabilitas, semangat membela korps,
kurang lengkapnya metode pengawasan, kelemahan sumber daya manusia,
rumitnya birokrasi yang harus dilakukan dan berbagai kelemahan lainnya. Oleh
karena itu perlu ada institusi tersendiri yang independen dan mempunyai
kewenangan pengawasan terhadap seluruh hakim. Institusi itu adalah Komisi
Yudisial.
4. Bahwa berdasarkan pencermatan terhadap risalah Rapat PAH III dan PAH I
Badan Pekerja MPR RI sejak Sidang Umum I tahun 1999 hingga Sidang
Tahunan 2002 ada semangat saling mengimbangi dan saling kontrol diantara
lembaga negara, termasuk Mahkamah Agung. Dalam hal ini hakim agung,
meskipun memiliki kemerdekaan dalam menjatuhkan putusan, tetapi terhadap
perilaku di luar teknis yudisial perlu dilakukan pengawasan oleh institusi yang
independen. Sebelumnya ada usulan tentang pembentukan Dewan Kehormatan
 
 
 
 
 
Hakim, namun atas saran tim ahli PAH I Badan Pekerja MPR RI, istilah Dewan
Kehormatan tersebut tidak perlu masuk dalam UUD 1945 dan kemudian muncul
istilah Komisi Yudisial. Isitilah Komisi ini awal mulanya dikemukakan oleh Bapak
Iskandar Kamil, SH (hakim agung dari Mahkamah Agung) yang pada intinya
ingin agar keluhuran martabat para hakim benar-benar bisa terjaga. Jadi dengan
demikian, kewenangan Komisi Yudisial termasuk pengawasan terhadap hakim
agung, Hanya saja Komisi Yudisial tidak berwenang untuk memberikan usulan
pemberhentian karena pengawasan tersebut.
5. Bahwa di dalam pembahasan oleh Badan Pekerja MPR RI, mengenai asal usul
materi Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidaklah dalam satu nafas antara
kewenangan Komisi Yudisial dalam hal mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Akan tetapi
pembahasannya terpisah antara dua kewenangan tersebut. Dalam Risalah rapat
ke-5 Badan Pekerja masa sidang tahunan MPR RI Tahun 2001 pada hari selasa
tanggal 23 Oktober 2001 dalam acara laporan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja
MPR RI dan pengesahan Rancangan Putusan MPR RI hasil Badan Pekerja
MPR RI serta Penutupan Rapat Badan Pekerja MPR RI masa Sidang Tahunan
MPR 2001 dalam Buku Kesatu Jilid I yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal
MPR RI Tahun 2001, pada halaman 251 dan 252 tercantum bahwa: semula
tentang Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi
Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
ditempatkan dalam Pasal 24B ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: ?Hakim
Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dan
dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwaklan Rakyat?.
Kemudian dirumuskan lagi dalam rancangan tersebut pada halaman 252 alinea
pertama dalam Pasal 24C ayat (1) dengan redaksi yang berbeda sebagai
berikut: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain (dengan
memperhatikan masukan dari masyarakat berdasarkan masukan dari
masyarakat).
 
 
Dalam halaman 252 pada alinea keempat dari baris keempat dari bawah
berbunyi antara lain: ?Pasal 25 dalam bracket untuk menegakkan kehormatan
dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh Komisi
 
 
 
 
 
 
Yudisial?. Konsep dari rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial
dalam bahan rancangan perubahan UUD 1945 tersebut, masih terjadi
perbedaan pendapat diantara anggota PAH I, maka Badan Pekerja MPR RI
bersepakat membawa rumusan perubahan UUD dalam perubahan ketiga
sebagaimana yang terdapat pada buku kesatu jilid 2 Hasil Rapat Badan Pekerja
MPR RI tanggal 5 September 2000 s/d 23 Oktober 2001 Masa Sidang Tahunan
MPR RI Tahun 2001, mencantumkan bahwa Pasal 24B perubahan ketiga UUD
1945 berasal dari dua Pasal yang berbeda yaitu Pasal 24C yang berbunyi :
 
 
 
(1) Komisi Judisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain (dengan memperhatikan
masukan dari masyarakat) berdasarkan masukan dari masyarakat.
Alternatif 1 :
 
(2) Anggota Komisi Judisial dipilih dari mantan Hakim Agung, unsur praktisi
hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan akademisi.
 
 
 
 
 
Alternatif 2 :
(2) Anggota Komisi Judisial berasal dari pengacara, jaksa, guru besar ilmu
hukum, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan wakil daerah.
 
Alternatif 3 :
 
(2) Anggota Komisi Judisial harus berpengalaman dalam profesi hukum,
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
 
(3) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Judisial diatur dengan
undang-undang.
 
 
Adapun Pasal 25A berbunyi: ? Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga
keluhuran martabat dan perilaku para hakim, dilakukan oleh Komisi Judisial?.
Dari bunyi kedua Pasal tersebut disimpulkan bahwa Pasal tersebut tidak dapat
dibaca satu nafas, karena awalnya Pasal tersebut berdiri sendiri dan berasal dari
2 (dua) Pasal yang berbeda. Dirumuskan Pasal 24B ayat (1), Pasal 24C, dan
Pasal 24C ayat (1) serta Pasal 25A.
 
 
6. Bahwa pada buku Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan Hasil
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dibuat oleh anggota PAH I Badan Pekerja MPR RI Tahun 2003 yang terlibat
langsung dalam proses perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI Tahun
 
 
 
 
 
2003 pada halaman 195-196 intinya menyatakan bahwa hakim pada Pasal 24B
ayat (1) adalah temasuk hakim agung, adapun bunyi dari buku panduan tersebut
adalah: ?Ketentuan Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia mengenai pembentukan Komisi Yudisial, didasari pemikiran bahwa
hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-
figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan
keadilan. Apalagi hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam
susunan peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari
keadilan. Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat,
serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk
mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi paham
Negara Indonesia adalah negara hukum. Untuk itu perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 memuat ketentuan mengenai pembentukan lembaga di bidang
kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial (KY) yang merupakan lembaga
yang bersifat mandiri. Menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1), Komisi Yudisial
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Melalui lembaga Komisi Yudisial diharapkan
dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat
sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui
putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta
perilakunya?.
7. Bahwa dalam rangka terwujudnya checks and balances, transparansi, kontrol
terhadap perilaku hakim, masukan dari Mahkamah Agung yang terdapat dalam
Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial Halaman 45 berbunyi: ?????.bahwa
Komisi Yudisial berfungsi untuk ?menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.? ????kami memandang ada 5
(lima) tugas yang bisa ditafsirkan dari fungsi di atas yaitu :
? pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung);70 (keterangan
foot note: Kata ?menjaga? dalam Pasal 24B UUD 1945 diwujudkan dalam
tugas ?pengawasan? sedang kata ?menegakkan? diwujudkan dalam tugas
pendisiplinan atau menjatuhkan sanksi disiplin?).
 
 
 
8. Bahwa berdasarkan Naskah Akademis RUU Komisi Yudisial pada halaman 58
yang disusun oleh salah satu Tim Penangggung jawabnya yaitu Bapak Prof. Dr.
 
 
 
 
Paulus Effendi Lotulung, S.H. yang dalam hal ini juga sebagai Pemohon,
mencantumkan bahwa penerapan pembagian lingkup pengawasan berdasarkan
objek yang diawasi, tidak tepat jika kita menafsirkan UUD 1945 secara
gramatikal. Redaksional yang digunakan Pasal 24B Amandemen Ketiga UUD
1945 adalah : ?????perilaku hakim?. Kalimat hakim disini harus diartikan
sebagai seluruh hakim, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat
kasasi (hakim agung). Jika maksud pembuat UUD hanyalah hakim agung, maka
redaksi yang digunakan adalah ?hakim agung? sebagaimana digunakan dalam
menjelaskan dalam pasal yang sama yang membicarakan mengenai tugas
pengawasan yaitu?????.mengusulkan pengangkatan hakim agung??.
9. Bahwa pembagian lingkup pengawasan Komisi Yudisial dan pengawasan hakim
di lingkungan Mahkamah Agung, yaitu Ketua Muda Bidang Pengawasan dan
Pembinaan (TUADA WASBIN), yang paling tepat adalah berdasarkan aspek
yang diawasi. Pembagian lingkup berdasarkan aspek yang diawasi dapat
dilakukan dengan tegas berdasarkan amanat Perubahan Ketiga UUD 1945.
Aspek pengawasan selama ini di Mahkamah Agung yaitu aspek teknis yudisial,
administrasi peradilan serta tingkah laku dan perbuatan hakim, maka yang
menjadi ruang lingkup Komisi Yudisial adalah aspek tingkah laku dan perbuatan
hakim. Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan eksternal
tersebut diharapkan bukan hanya mengefektifkan pengawasan, namun juga
akan mengurangi tugas non yustisial bagi hakim dan hakim agung, sehingga
lebih dapat mencurahkan perhatian dan waktunya pada tugas pokok memeriksa
dan memutus perkara.
 
 
 
10. Bahwa dalam proses pembahasannya, pemerintah selalu didampingi oleh
Mahkamah Agung yang dalam hal ini diwakili oleh Abdul Rahman Saleh,SH.,MH
(hakim Agung) dan Prof.Dr. Paulus Effendi Lotulung,SH. Salah satu pendapat
mereka menyatakan bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga independen yang
melakukan pengawasan eksternal, sedangkan Mahkamah Agung melakukan
pengawasan secara internal. Mengenai pengertian hakim dalam rangka
semangat saling kontrol diantara lembaga pemegang kekuasaan yang ada
maka hakim itu termasuk hakim agung.
11. Bahwa Pengertian hakim yang terdapat pada Pasal 1 angka 5 Undang-undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial berbunyi : ?Hakim agung dan
hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan dibawah Mahkamah
 
 
 
Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945? sesuai dengan UUD 1945, karena berdasarkan kaedah bahasa Indonesia
penggunaan huruf ?h? kecil atau huruf ?H? besar mempunyai makna yang
berbeda, dalam penulisan kata hakim jika kata hakim ditulis dengan huruf ?H?
besar mengandung arti tertentu yang lebih sempit dan jika kata hakim ditulis
dengan huruf ?h? kecil maka mengandung arti luas, UUD 1945 Pasal 24B ayat 1
menuliskan kata hakim dengan huruf ?H? besar karena diawal kalimat, tetapi kata
agung dengan menggunakan huruf ?a? kecil menunjukkan bahwa ketika berada
ditengah kalimat kata hakim agung akan ditulis huruf kecil oleh UUD 1945.
Berdasarkan hal tersebut maka hakim agung dan hakim konstitusi termasuk di
dalam pengertian hakim yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 24B ayat (1).
12. Bahwa dalam buku Cetak Biru Mahkamah Konstitusi pada halaman 121
tercantum bahwa Komisi Yudisial secara yuridis memiliki kewenangan untuk
mengawasi hakim baik di lingkungan peradilan umum maupun Mahkamah
Konstitusi. Buku cetak biru Mahkamah Konstitusi tidak dijadikan dasar dalam
memutuskan pengertian hakim yang diawasi dalam Undang-undang Komisi
Yudisial karena buku tersebut baru diterbitkan pada bulan Desember 2004,
sedangkan Undang-undang Komisi Yudisial disahkan pada awal Agustus 2004.
Buku tersebut hanya digunakan untuk menambah keyakinan DPR bahwa
ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial tidak menyimpang dari konstitusi.
13. Berdasarkan hal tersebut di muka, maka ketentuan Pasal 1 angka 5, ketentuan
Pasal 20, ketentuan Pasal 21, ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5),
Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4415) dan Pasal 34 ayat (3) Undang-undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4358) tidak bertentangan dengan Pasal 24B dan
Pasal 25 UUD 1945 yang berbunyi:
Pasal 24B ayat (1) : ?Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
 
 
 
 
 
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.?
 
Pasal 25 : ?Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan
sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang?.
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 2 Mei 2006 dan 10 Mei 2006
telah didengar keterangan tertulis yang dibacakan dipersidangan dari kesaksian
Mantan Anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, yang telah memberi
keterangannya di bawah sumpah, masing-masing menerangkan sebagai berikut:
 
 
Saksi Harun Kamil, SH
 
A. SIDANG UMUM TAHUN 1999
 
 
1. Dalam rapat-rapat PAH III BP MPR Tahun 1999, tidak ada pembicaraan khusus
menyangkut Komisi Yudisial. Dalam membicarakan atau mengajukan usulan
perubahan mengenai Bab IX, Kekuasaan Kehakiman, sebagian besar fraksi
hanya tertarik pada issu kemadirian Mahkamah Agung dan judicial review yang
harus dimiliki oleh Mahkamah Agung.
2. Hanya fraksi PBB yang disampaikan oleh Hamdan Zoelva, yang menyinggung
tentang pengawasan terhadap para hakim termasuk hakim agung yaitu dengan
membentuk dewan kehormatan hakim dalam UUD ini, yaitu pada Rapat Pleno
PAH III, hari Kamis, tanggal 7 Oktober 1999, pada saat menyampaikan
pengantar musyawarah fraksi.
 
 
 
Hamdan Zoelva, menyatakan :
"... Kami juga setuju Mahkamah Agung itu sebagai lembaga yang mandiri,
kemudian yang mengawasi Mahkamah Agung itukan sebenarnya adalah kinerja
mahkamah agung terletak pada hakimnya, jadi sebenarnya bukan kepada
Mahkamah Agung sendiri tetapi kepada hakimnya. Oleh karena itu perlu
dibentuk dan dimuat dalam UUD ini, kita bentuk suatu dewan kehormatan
hakim, yang kita bentuk dari unsur-unsur baik kalangan hakim, dari kalangan
ahli hukum, maupun dari kalangan orang-orang yang benar-benar memiliki
integritas yang tinggi. Merekalah yang akan menilai kinerja hakim itu sendiri.
Dan mereka pulalah yang akan merekomendir apakah hakim itu termasuk
hakim Agung diberhentikan atau tidak. Jadi inilah satu-satunya lembaga yang
kami anggap mempunyai kompotensi untuk menilai kinerja hakim, tidak bisa
DPR misalnya untuk menilai hakim, karena hakim dan Mahkamah Agung itu
 
 
 
 
 
benar-benar suatu lembaga yang mandiri, jadi tidak bisa dinilai oleh lembaga
lain, yang bisa menilai suatu dewan tersendiri atau dewan kehormatan hakim..."
(Buku Kedua Jilid 6, Risalah Rapat BP PAH III SU MPRI, hlm. 41)
 
3. Dalam kesimpulan yang disampaikan oleh Pak Harun Kamil selaku Ketua
Rapat, disampaikan bahwa pemberdayaan dan pertanggungjawaban lembaga
kehakiman atau Mahkamah Agung, adalah merupakan satu topik yang menjadi
prioritas yang disampaikan oleh fraksi-fraksi. (Ibid., hlm. 52-53), Demikian juga
disimpulkan oleh H. Amin Aryoso., selaku ketua Rapat pada tanggal 10 Oktober
1999, menegaskan adanya usulan dari FPBB tentang Dewan Kehormatan
Hakim yang memiliki tugas dan wewenang mengawasi dan memberikan sanksi
apabila Mahkamah Agung dinyatakan melakukan tindakan melanggar hukum
(Ibid., hlm. 178)
 
 
4. Sedangkan Prof. Sahetapy, yang mewakili FPDIP, meminta secara eksplisit
tercantum dalam UUD, DPR juga berhak untuk meminta keterangan dari
Mahkamah Agung mengawasi Mahkamah Agung. (Ibid., hlm. 71).
 
B. SIDANG TAHUNAN 2000
 
1. Dalam pengantar Musyawarah fraksi yang disampaikan pada sidang Pleno PAH
I, hari Senin, 6 Desember 1999, beberapa fraksi menyampaikan perhatiannya
terhadap penataan kekuasaan kehakiman, yang pada umumnya menyoroti
pentingnya penataan kembali kekuasaan kehakiman yang mandiri yang tidak
boleh ada campur tangan dari lembaga negara yang lain-serta diberikan
kewenangan judicial review. 'Akan tetapi secara khusus mengenai pengawasan
terhadap Mahkamah Agung (kekuasaan kehakiman) antara lain disampaikan
oleh fraksi-fraksi sebagai berikut :
 
 
 
a. FPG (Agun Gunanjar Sudarsa), mengemukakan, sbb:
"...Selain itu perlu dipertimbangkan bagaimana pengawasan dan
pertanggungjawaban kekuasaan Mahkamah Agung tersebut..." (Buku Kedua
Jilid 3 A, Risalah Rapat PAH I Sidang Tahunan 2000, him., 104).
 
 
b. FPBB (Hamdan Zoelva), mengemukakan sbb:
"...Kekuasaan Mahkamah Agung, termasuk hakim agung dan hakim-hakim di
bawahnya, tidak boleh dibiarkan tidak terkontrol dan terawasi sehingga dapat
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim sebagaimana terasa
pada saat ini. Pengawasan/kontrol itu tidak boleh diserahkan kepada
lembaga tinggi maupun lembaga tertinggi negara yang sarat dengan muatan
 
 
 
 
 
 
 
politik. Kami berpendapat bahwa untuk melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap Mahkamah Agung termasuk kepada para hakim-hakim khususnya
terkait dengan pelaksanaan tugas-tugas yudisial perlu dibentuk sebuah
komisi independen yang anggotanya dipilih oleh DPR dan disahkan oleh
Presiden selaku Kepala Negara dari mantan hakim, mantan jaksa,
pengacara-pengacara senior maupun professor hukum dari perguruan tinggi
ditambah dengan tokoh-tokoh masyarakat yang kesemuanya dikenal memiliki
integritas yang sangat tinggi serta tidak pernah memiliki cacat moral
sedikitpun.. Komisi ini diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan
terhadap hakim-hakim yang diduga melakukan penyimpangan termasuk
keanehan dalam produk putusan yang dihasilkannya. Hasil pemeriksaan
komisi ini harus dijadikan pertimbangan dalam penentuan karir-seorang
hakim dan termasuk hukuman penurunan pangkat atau pemberhentian jika
seandainya komisi merekomendasi-kannya. Hal-hal yang menyangkut komisi
ini perlu diatur dalam UUD..." (Ibid., hlm. 121).
 
 
 
 
 
2. Tanggapan fraksi-fraksi atas pengantar musyawarah fraksi yang dilaksanakan
pada Rapat Pleno PAH 1 tanggal 9 Desmber 1999, hanya FPG (Hatta Mustafa)
yang secara khusus menyoroti masalah pengawasan terhadap hakim, yang
mengemukakan sbb:
"...Berkaitan dengan hak uji materil, pengawasan terhadap hakim, begitu juga
pengawasan dan pertanggungjawaban publik institusi lembaga kekuasaan
kehakiman dimaksud maka perlu perumusan yang lebih jelas tentang kekuasaan
kehakiman dalam rangka kepastian tegaknya supremasi hukum..." (Ibid., hlm.
194)
 
 
3. Usulan dibentuknya Dewan Kehormatan Hakim untuk dimuat dalam UUD,
dikemukakan juga oleh Tim dari Mahkamah Agung yang diundang dalam
dengar pendapat dengan PAH 1 pada tanggal 17 Februari 2000. Pada saat itu
pihak Mahkamah Agung (Iskandar Kamil) mengusulkan ayat (4) pada Pasal 24
yang berbunyi "Pada Mahkamah Agung dibentuk Dewan Kehormatan Hakim
yang mendiri yang bertugas melaksanakan pengawasan eksternal atas perilaku
hakim dalam penyelenggaraan peradilan.
 
Lebih lanjut Pak Iskandar Kamil mengemukakan :
 
?...Dalam ayat (4) ini juga menyerap aspirasi masyarakat bahwa perlu adanya
perwujudan check and balances yang lebih konkrit, begitu pak, sebab kadang-
 
 
 
 
 
kadang dikatakan bahwa jajaran kekuasaan kehakiman seperti tirani judisial
katanya, dengan doa restu bapak-bapak dan ibu sekalian mudah-mudahan kami
tidak menjadi tirani dan memang kami tidak ingin menjadi tirani pak. Oleh sebab
itu, tetapi keinginan kami itu memang perlu diwujudkan dalam suatu ketentuan
perundangan. Jadi Dewan Kehormatan Hakim yang mandiri itu yang
dimaksudkan adalah independen. Oleh beberapa kalangan disebut judicial
committe. Jadi semacam itulah kira-kira pak yang melakukan pengawasan
eksternal yang dimaksudkan adalah idenya nanti personil dari dewan
kehormatan ini adalah bukan personil dari jajaran peradilan sendiri, bisa terdiri
dari para pakar, para tokoh-tokoh yang lain, hanya memang menjadi suatu
masalah yang barangkali bisa kita pertimbangkan juga apakah lembaga
semacam ini partisan atau tidak, ini satu-satunya masalah barangkali pak,
tugasnya adalah melakukan pengawasan atas perilaku hakim dalam
menyelenggarakan peradilan sehingga dengan adanya lembaga ini maka para
hakim itu tidak bisa berperilaku semaunya, begitu kira-kira pak, dapat
berperilaku sebagaimana diharapkan oleh masyarakat ...( Ibid., him. 761-762)
 
 
Inilah pertama kalinya istilah judicial committe, dikemukakan dalam rapat-rapat
PAH 1 MPR.
 
Dalam menjawab pertanyaan anggota PAH 1 mengenai Dewan Kehormatan
Hakim ini, Iskandar Kamil, selanjutnya menerangkan :
 
"... Dewan Kehormatan Hakim itu anggotanya justeru bukan intern jajaran
peradilan. Itu diambilkan dari luar semua yang terdiri dari kalau mantan boleh,
mantan hakim misalnya itu bisa barangkali mantan jaksa, ... pengacara ..."
(Ibid., hlm. 791).
 
4. Ketika pembahasan rumusan Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman,
pada tanggal 8 Juni 2000 (Buku Kedua Jilid 3 C, Risalah Rapat PAH 1, Sidang
Tahunan 2000), beberapa fraksi lebih tegas lagi mengusulkan mengenai
pengawasan terhadap hakim ini, yaitu antara lain diusulkan oleh :
 
 
 
a. FPG (Agun Gunanjar), mengusulkan penambahan ayat (3) pada Pasal 25,
sbb:
(3) Pada Mahkamah Agung dibentuk Komisi Yudisial yang berfungsi untuk
memberikan rekomendasi kepada MPR mengenai pengangkatan dan
pemberhentian termasuk melakukan pengawasan terhadap hakim agung
yang keanggotaannya terdiri dari mantan hakim agung, unsur praktisi hukum,
 
 
 
 
 
 
 
tokoh masyarakat, tokoh agama dan akademisi (Buku Kedua Jilid 3 C,
Risalah Rapat PAH 1 Sidang Tahunan 2000., hlm.433)
 
 
b. F Reformasi (Patrialis Akbar), mengemukakan :
"... selama ini kita mengetahui ada dualisme pengawasan didalam
pengawasan peradilan ini dimana kalau ada kesalahan-kesalahan dilakukan
oleh hakim, maka baik itu departemen kehakiman yang sekarang
Menkumdang yang juga masih punya perpanjangan tangan ke hakim
maupun juga mahkamah agung sendiri, dua badan ini masih punya
perbedaan-perbedaan didalam melakukan pengawasan terhadap seorang
hakim, oleh karena itu kedepan kami berharap agar pengawasan yang betul-
betul; yang khusus perhatian perilaku hakim di semua tingkatan, baik itu di
tingkat pengadilan negeri maupun mahkamah agung kita berharap ada satu
badan khusus yang kerjanya itu khusus untuk melakukan pengawasan, ...
kami namakan di sini adalah kita bentuk semacam satu dewan kehormatan,
tetapi posisinya tetap ada di bawah mahkamah agung dan dia independen,
hakim agung dan ketua mahkamah pun bisa dilakukan pengawasan dewan
kehormatan ini ...", (Ibid., hlm. 439-440). Selajutnya Patrialis mengusulkan
satu ayat mengenai dewan kehormatan, yaitu ayat (4): Pada mahkamah
agung dibentuk dewan kehormatan hakim yang betugas melaksanakan
pengawasan atas perilaku hakim dalam penyelenggaraan peradilan... (Ibid.,
hlm. 441).
 
 
 
c. FPBB (Hamdan Zoelva), mengusulkan penambahan satu ayat juga, yaitu :
"ayat (4) untuk mengawasi tugas-tugas yudisial daripada hakim dibentuk
sebuah dewan pengawas yudisial yang independen dan diangkat dari
para ahli hukum yang memiliki moral integritas yang tidak diragukan.
Disini perlu kami perjelas bahwa bahwa kekuasaan kehakiman yang
bebas dan independen, bebas dari pengaruh lembaga-lembaga yang lain
tidak sepenuhnya bebas akan tetapi dia hanya dibatasi oleh dua hal
yaitu oleh aturan hukum itu sendiri dan juga dapat diawasi oleh dewan
pengawas yudisial yang mengawasi tingkah laku dalam bidang yudisial
yang dilakukan di seluruh tingkatan pengadilan..." (Ibid., hlm. 442).
a. FUG (Sutjipto), mengusulkan satu ayat mengenai kekuasaaan
kehakiman, yaitu :
 
 
 
 
 
 
 
"ayat (3) Lembaga mahkamah agung dibentuk dewan kehormatan yang
mandiri dan bertugas melakukan pengawasan atas perilaku hakim dalam
penyelenggaraan peradilan. Jadi saya kira di sini perlu bahwa
kemandirian hakim itu ada kontrol sehingga dalam perilakunya ada dewan
kehormatan hakim". (Ibid., him. 451)
 
 
 
 
 
f. FPDIP (IDG Palguna), mengusulkan :
"...untuk menghindari intervensi kekuasaan eksekutif terhadap hakim, kami
mengusulkan pembentukan suatu badan yang mandiri yang kami sebut komisi
judisial pada tingkat nasional maupun daerah, sehingga kalau dulu hakim
agung diangkat oleh Presiden dan hakim-hakim diangkat oleh menteri
kehakiman, sekarang kami mengusulkan untuk hakim agung diangkat oleh
Presiden berdasarkan usul komisi judisial nasional dan untuk hakim biasa
maksudnya di luar mahkamah agung itu, diangkat oleh presiden berdasarkan
usul komisi judisial daerah". (Ibid., him. 453)
 
 
 
6. Dalam pandangan akhir fraksi-fraksi atas hasil-hasil rumusan PAH 1, pada rapat
Pleno PAH 1, tanggal 29 Juli 2000, beberapa fraksi menegaskan kembali
mengenai komisi yudisial ini, yaitu antara lain :
a. FPDIP (Soetjipno), mengemukakan sbb:
"... untuk tetap mempertahankan integritas dan kemandirian para hakim
dan hakim agung, dibentuk komisi yudisial yang melakukan proses
seleksi dan rekrutmen yang benar-benar didasarkan pada prinsip
profesionalisme ..."( Ibid., him. 737).
 
 
b. FPG (T.M.Nurlif), mengemukakan sbb :
untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh
kekuasaan lembaga negara lainnya dan pihak manapun maka proses
rekrutmen dan dan pengangkatan hakim agung haruslah sungguh
memperhatikan integritas moral keahlian dan kecakapannya yang dilakukan
oleh komisi yudisial yang terdiri dari mantan hakim, akademisi, tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Dan untuk menegakkan kehormatan serta
keluhuran martabat dan perilaku hakim dibentuk dewan kehormatan hakim
sehingga checks and balances dalam lingkungan kekuasaan kehakiman itu
sendiri..." (Ibid., him. 746).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
d. FPBB (Hamdan Zoelva), mengemukakan sbb:
"... Disamping wewenang untuk mengusulkan hakim agung sebagaimana diatur
dalam UUD ini komisi ini nantinya diharapkan menjadi komisi yang
independen yang berwenang melakukan penilaian dan memberikan
rekomendasi baik atas promosi maupun pemindahan terhadap hakim-hakim .
Tugas wewenang serta kedudukan komisi ini akan diatur lebih lanjut dalam
UU. Disamping itu untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran
martabat dan perilaku para hakim dibentuk dewan kehormatan ini". (Ibid.,
him. 778)
 
 
 
 
 
6. Pembahasan Komisi A Majelis pada Sidang Tahun 2000, pada tanggal 13
Agustus 2000, beberapa anggota memberikan pandangannya mengenai Komisi
Yudisial, antara lain :
a. Agun Gunanjar
"...Hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh komisi yudisial. Jadi,
menyangkut masalah komisi yudisial ini kami tetap berpegang seperti yang
tentunya peresmiannya, pengangkatan keanggotaan itu tentunya tetap
melalui keputusan Presiden. Kami ingin menegaskan bahwa pasal ini adalah
bentuk checks and balances dalam lingkungan mahkamah agung. Dimana
pihak yang mengusulkan dalam hal ini adalah komisi yudisial, tetapi
melakukan kontrol dalam rangka menegakkan kehormatan dan menjaga
keutuhan martabat, tidak dilakukan oleh komisi yang sama, tetapi dibentuk
sebuah dewan kehormatan, sehingga ada checks and balances dalam
rangka penanganan masalah ini. Sehingga pengawasan atau
pertanggungjawaban hakim yang dilakukan, dikhawatirkan selama ini selalu
kepada Tuhan, begitu itu diharapkan melalui mekanisme ini selalu bisa
dikontrrol.." ( Buku Ketiga, Jilid 10, Risalah Rapat Komisi A, Sidang Tahunan
2000), him. 326).
 
 
 
b. Nusa Toendan (FPDIP)
"... mengenai dewan kehormatan hakim saya mengusulkan agar supaya ini
perlu ditinjau kembali, dipikirkan betul-betul karena apa bahwa
kecenderungan yang kita lihat di masyarakat dalam praktek kehidupan kita
sehari-hari, dewan kehormatan ini mendukung untuk membela korpsnya.
Sudah banyak praktek-praktek yang kita dengar bahwa justeru bahwa dewan
 
 
 
 
 
 
 
kehormatan ini membela atau membela kesalahan dari korpsnya, Jadi ada
satu, apa namanya suatu tanggung jawab moral mereka menjaga nama
baiknya..." (Ibid., him. 335)
 
 
 
 
7. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000, tentang Penugasan BP untuk
Mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD 1945, tercantum draft perubahan
mengenai kekuasaan kehakiman, khususnya terkait Komisi Yudisial yaitu :
Pasal 24B
 
 
 
(1) Hakim agung diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat atas usul Komisi Yudisial.
(2) Komisi Yudisial bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan dan
keanggotaanya diatur dengan undang-undang
(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih oleh Hakim Agung.
 
 
Pasal 25A
Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluhuran martabat dan perilaku
para hakim, dibentuk Dewan Kehormatan Hakim.
 
C. SIDANG TAHUNAN 2001
 
 
 
1. Usulan Tim Ahli, yang disampaikan pada Rapat Pleno PAH 1 tanggal 15 Mei
2001 dalam menjawab pertanyaan ?para anggota PAH 1, tim ahli dalam hal
ini dikemukakan oleh DR. Maria S.W. Sumarjono, menyampaikan sbb:
"... mengenai siapa yang melakukan pengawasan terhadap hakim agung
dan hakim konstitusi, karena dua-duanya itu wewenangnya berbeda
walaupun berada di dalam satu istilahnya dalam satu habitat itu, memang
didalam perubahan kedua disitu ada disebut dewan kehormatan, tapi
mungkin bapak-bapak melihat wah ini malah justeru dihilangkan oleh Tim
Ahli apakah tidak perlu, kami berpikir memang perlu, tetapi kalau didalam
UUD kasihan hakim saja yang ada dewan kehormatan, la, yang lembaga-
lembaga lainnya bagaimana? Padahal kami tahu untuk DPR itu ada kode
etiknya didalam Tatib dan sebagainya, jadi Dewan Kehormatan tapi kan
tidak perlu dicantumkan dalam UUD kayanya betul yang hakim, betul-betul
yang lainnya diam-diam saja, padahal yang lainnya juga ada. Jadi alasannya
karena mungkin dari Tim Hukum yang adil, jadi bukan masalah yang prinsipil
sekali tapi harus ada, tapi tidak perlu dicantumkan..." (Buku Kedua, Jilid 3A,
Risalah Panitia Ad Hoc 1 Badan Perkeja MPR RI, Tahun 2001, him., 340).
 
 
 
 
 
 
 
 
2. Atas saran Tim Ahli tersebut anggota PAH 1 Mayjend TNI Afandy
(TNI/POLRI), memberikan apresiasinya, dalam Rapat Pleno PAH 1 tanggal
5 Juli 2001, dengan mengatakan :
"... saran tim ahli bahwa tidak perlu dicantumkan dewan kehormatan hakim
dalam UUD dan cukup dalam UU, FTNI/POLRI berpendapat saran-saran ini
perlu menjadi masukan untuk dipertimbangkan lebih lanjut,.." (Buku Kedua
Jilid 4A, Risalah Panitia Ad Hoc 1 Badan Perkeja MPR RI, Tahun 2001, hlm.,
280).
 
 
 
3. Dalam Pembahasan Bab mengenai Kekuasaan Kehakiman pada Sidang
Pleno PAH 1 tanggal 25 September 2001, beberap anggota PAH 1
menyinggung mengenai komisi yudisial yang pada. umumnya setuju dengan
keberadaan komisi yudisial yang akan mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian hakim agung serta keberadaan dan kedudukannya.
Khususnya mengenai kewenangan ini beberapa anggota memberikan
pandangan secara khusus antara lain:
a. H. Zein Badjeber, yang mengemukakan :
 
"... komisi yudisial ini nantinya bisa diberi wewenang oleh UU misalnya
untuk persetujuan Jaksa Agung. Kalau itu harus diangkat oleh DPR
Jaksa Agungnya itu dicalonkan dari Komisi Yudisial, begitu juga kalau
mengangkat komisi pemberantasan tindak pidana korupsi tidak perlu
proper test oleh DPR, dilakukan oleh komisi yang ahli. Jadi komisi ini
berinti di pengangkatan Mahkamah Agung tapi akan melebar diberi
kewenangan oleh UU lainnya dalam rangka membantu DPR di dalam
membrikan persetujuan maupun pengawasan.." (Buku Kedua Jilid 7A,
Risalah Rapat Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR, 2001, hlm., 254).
 
 
 
b. Patrialis Akbar, mengemukakan.:
"... didalam fungsi khusus misalnya mengenai pengawasan itu juga
mahkamah agung selain daripada berfungsi melakukan peradilan-
peradilan tadi sekaligus melaksanakan semua kegiatan-kegiatan
peradilan itu juga berfungsi sekaligus untuk melakukan pengawasan
terhadap pelanggaran-pelanggaran peradilan, jadi pelanggaran-
pelanggaran peradilan pun juga mahkamah agung mempunyai fungsi.
Kemudian tentang pengawasan terhadap tingkah laku para hakim,
 
 
 
 
 
 
 
 
 
kemudian pengawasan terhadap peradilan ini tanpa mengurangi
kebebasan hakim didalam melaksanakan tugas-tugasnya..." (Ibid., hlm.,
259).
 
Selanjutnya mengenai komisi yudisial Patrialis Akbar, menyatakan bahwa
"...untuk sementara ini belum sependapat tetapi mari kita coba. evaluasi
tentang masalah komisi yudisial ini..." Ibid., hlm. 261).
 
 
Alasan Patrialis Akbar atas Komisi Yudisial, karena " ... pertama, kalau
kita lihat fungsinya itu satu-satunya sebagai lembaga negara hanya
mengusulkan seorang untuk bisa diproses menjadi mahkamah hakim
konstitusi, di mahkamah konstitusi, hanya itu satu lembaga yang kita
bentuk untuk itu, berarti kerjanya hanya satu ini tentu mubazir. Yang
kedua, ini sangat birokrasi kenapa? Kita mengangkat hakim-hakim
konstitusi terlebih dahulu mengangkat anggota-anggota komisi yudisial,
kalau persoalan komisi yudisial tidak selesai maka pengangkatan hakim
konstitusi juga terbengkalai .." (Ibid., him., 292).
 
 
c. Agun Gunanjar, mengemukakan :
"... kami tetap menganggap dewan kehormatan hakim ini tetap kami
mengusulkan tetap ada, karena berbeda dengan tugas-tugas yang
harus dilakukan oleh Komisi Yudisial. Kalau komisi yudisial itu pada
aspek pertanggungjawaban, lebih pada aspek bagaimana dia
melakukan tugas-tugas yang bisa mewakili representatif katakanlah
masyarakat yang sangat kompeten yang bisa sangat amat bisa kita
pertanggungjawabkan, yang memang mereka harus memproses dan
menseleksi para hakim agung.
 
 
??. adapun masalah dewan kehormatan itu adalah memang orang-
orang yang memang terdiri dari katakanlah para hakim-hakim yang ada
dilingkungan hakimnya itu sendiri, itulah yang dimaksud dengan dewan
kehormatan hakim yang berkewajiban menegakkan peraturan disiplin dan
kode etik daripada para hakim itu sendiri..." (Ibid., hlm., 278).
 
 
d. Zein Badjeber, mengemukakan :
"... Kemudian yang ingin saya komentari juga masalah tadi saya katakan
dewan kehormatan tidak perlu dicantumkan dalam konstitusi bukan tidak
perlu adanya dewan kehormatan setiap propinsi (profesi, cat. Pen.)
memerlukan dewan kehormatan kecuali yang diperdebatkan anggota
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DPR itu propinsi atau tidak pada waktu kita mau membuat kode etik,
namun ada negara yang punya kode etik ada yang tidak punya kode etik
tetapi dewan kehormatan ini dalam rangka intern daripada institusi
tersebut, jadi perlu ..." (Ibid., hlm., 282).
 
 
Pandangan pak Zein agar dewan kehormatan ini juga didukung oleh Ketut
Astawa (TNI/POLRI), yang menyatakan bahwa "... mengenai dewan
kehormatan, kami berpendapat bahwa ini memang ini penting,sekali tetapi
meletakkannya cukup di UU tidak dalam UUD ..." (Ibid., hlm., 284).
Demikian juga Sutipto SH (FUG), yang mengemukakan bahwa "... lalu
saya juga sepakat bahwa dewan kehormatan itu perlu tetapi tidak usah
dimasukkan dalam UUD ..." (Ibid., hlm., 290). Demikian juga pandangan
dari Patrialis Akbar (Ibid.; him., 292).
 
 
e. Hamdan Zoelva, mengemukakan :
"... komisi yudisial ini kembali kita, diskusikan pada tahun lalu karena
kebutuhan praktis yang terjadi pada kenyataan-kenyataan konkrit bahwa
tidak ada satu lembaga atau institusi yang bisa mengawasi tingkah laku
hakim, baik hakim pengadilan negeri maupun hakim mahkamah agung,
dulu yang ada kode etik. Kemudian yang mengawasi selain kode etik itu
adalah hanya Irjen Kehakiman kalaupun sekarang dipindahkan semua
kepada Mahkamah Agung, mahkamah agung akan mengadakan satu
irjen, irjen mahkamah agung. Jadi kalau demikian maka pengawasan
yang dilakukan hanya semata-mata pengawasan internal yang kita
khawatirkan bahwa dia tidak bisa memberikan putusan yang tidak
memihak kepada yang dihukumnya itu yaitu hakim-hakim. Oleh karena itu
kita membutuhkan satu lembaga, satu komisi yang independen yang
keberadaannya tidak diinternal itu dan keanggotaannya benar-benar
independen dan dia dibentuk oleh UU, sehingga apa, sehingga kita
harapkan kewenangan dan kekuatan putusan yang dikeluarkan oleh
komisi ini akan lebih independen dan dia tidak pernah mempunyai
masalah internal dengan hakim-hakim yang ada itu. Jadi kewenangannya
jauh lebih tinggi dan lebih kuat dari irjen dan juga jauh lebih kuat dari
dewan kehormatan hakim yang ada sekarang ini..." (Buku Kedua, Jilid 8A,
Risalah Rapat Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR RI Tahun 2001,
him., 38-39).
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4. Rapat Lobi PAH I, tanggal 11 Oktober 2001, (Lihat Buku III Risalah Rapat
Tertutup PAH I Tahun 2001) secara khusus membicarakan masalah yang
terkait komisi yudisial. Pada umumnya perdebatan adalah berkaitan dengan
kewenangan komisi yudisial untuk usul pengangkatan hakim agung dan
pemberhentian hakim agung. Masalah pengangkatan hakim agung semua
setuju melalui komisi yudisial, sedangkan. mengenai pemberhentian terdapat
perbedaan dan penolakan. Beberapa hal yang mengemukan terkait dengan
kewenangan komisi yudisial dikemukakan oleh sbb:
a. Hatta Mustafa, menyatakan, "... pengangkatannya (hakim agung, pen.)
jelas melalui komisi yudisial, tapi kalau masalah pemberhentian itu kan
kasus berbeda pak ..."
b. Soewarno, menyatakan: "... kita harus berani menyatakan bahwa hakim
agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul komisi
yudisial ..".
c. Hamdan Zoelva, mengkatakan: ``... mungkin lebih tepat namanya komisi
yudisial ini lebih dekat kepada untuk membantu lembaga yudikatif.
Fungsinya samalah dengan BPK itu untuk membantu lembaga legislatif
dalam hal pengawasan
d. All Masykur, mengatakan "... jadi.hakim agung diangkat dan diberhentikan
oleh presiden atas usul komisi yudisial.." Selanjutnya Ali Masykur
mengatakan "... komisi yudisial sebagai bagian fungsional yang melekat
bagian dari mahkarnah agung dia menyeleksi untuk disulkan presiden
sebagai kepala negara yang menetapkan setelah prosesnya itu dengan
persetujuan DPR?.
e. A.M Lutfi, mengatakan "... Komisi yudisial dan mahkamah konstitusi ini
buat kita sesuatu yang baru yang ingin kita dalami, komisi yudisial yang
menyeleksi orang ...?
f. Pataniari, mengatakan "... kalau wewenangnya pak, saya itu, 24B sudah
jelas pak. Mengangkat, memberhentikan, kewenangan utamanya komisi
yudisial. Mengusulkan pengangkatan, pemberhentiannya.".
g. Soediarto, Komisi yudisial adalah komisi independen yang menampung
dan menghimpun masukan secara, terus mengikuti itu saja, mengenai
hakim dan calon hakim serta mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian, sudah itu saja..."
 
 
 
 
 
h. A.M. Lutfi, mengatakan "...Begini pak, kalau Wanjakti hanya pengusulan
kenaikan pangkat, tidak pernah mengusulkan ini .... tidak ada. Ini
bagaimana kita harus jelas, dari tadi itu kan soal pengangkatan dan
pemberhentiannya. Saya kira memberhentikan bukan dia. Oke, jadi.."
i. Agun Gunanjar, mengatakan "...sehingga, komisi yudisial ini kewenangan
lainnya, kalau menurut saya begitu, termasuk melakukan pengawasan
terhadap para hakim, sehingga didalam undang-undangnya nanti dia
secara periodik kepada DPR yang menangani masalah itu semua, tiap-
tiap kinerjanya disampaikan. Hakim agung ini yang jumlahnya sudah
sekian kinerjanya begini, ininya begini, sehingga saran kami, usulan kami
ya begini. Jadi ada kontrol terhadap kinerja.
j. Sudiarto, mengatakan "... inikan menjadi lembaga yang sangat, sangat
kuat begitu. Karena mengangkat, mengawasi semuanya itu ya Pak
Sutjipno tahu ada, dia fungsinya inspektur. Jadi ini too much sebenarnya,
sedangkan mula-mulanya supaya calon hakim agung atau hakim itu betul-
betul dipilih dengan baik..."
k. Soetjipno, mengatakan " ... tapi kalau tidak (kisruh di sini, makanya lebih
baik dibatasi saja itu yang tadi itu, pengawasan sudah tidak perlu lagi itu
pak, tidak perlu lagi, karena lewat technical authority mengawasi dia,
bagaiman tingkah laku behaver tadi dari pengadilan negeri, pengadilan
tinggi dan sebagainya. Berarti pengawasan di situ hilang. Memang
tekannya komisi ada menyiapkan calon-calon tadi itu kalau tidak salah
yang utama, kalau yang lainnya saya tidak bisa memberikan ..".
l. A.M. Lutfi, mengatakan: "...Ini tadi, masih keberatan kalau dia juga punya
wewenang untuk menurunkan, memberhentikan. Begini, jadi untuk
pengangkatan sajapun, dia mengumpulkan pendapat masyarakat, dia
usulkan ke DPR. DPR mesti itu kurang, bukan 9 orang menyampaikan itu
tadi.... kalau untuk memberhentikan ini saya khawatir kalau 9 orang itu
diberi wewenang untuk bisa memberhentikan, ini terlalu berbahaya, 9
orang itu bisa didatangkan untuk diajak ngomong-ngomong, iming-iming
macam-macam. ... salah kalau kita berikan dia wewenang terlalu besar,
sebab dia bukan supermen...". Lebih lanjut Pak Lutfi mengatakan " ...
karena waktu itu. kalau terlalu besar kekuasaan diberikan sehingga dia
tidak bisa memikul, berbahaya dia, .."
 
 
 
 
 
m. Pataniari, mengatakan: ".:. menurut? kita pak, hakim agung itu inikan
menyangkut hakim agung boleh tidak diberhentikan? Itu dulu, ok berarti
itu sependapat hakim harus diberhentikan, sekarang baru kita tanya apa
sebab menurut dia karena ini prosedurnya pak, itukan biasa di undang-
undang pak, jadi misalnya Pak Harun katakan pendekatan komisi yudisial
di sini tapi bukan berarti langsung dia memberhentikan ada tata cara
prosedurnya, persyaratan di UU menjelaskan bagaimana pemberhentian
begitu maksudnya, maksudnya kira-kira begini kalau kita sepakat ..".
n. Harun Kamil, mempertanyakan: "... jadi begini kita sepakat tidak bahwa
hakim agung sejajar dulu dengan DPR dengan Presiden, untuk
pemberhentian di UUD, tidak di UU, jadi kalau kita mau konsekwen dan
konsisten terhadap sikap ini berarti untuk cara pemberhentian komisi
yudisial musti di UUD bukan di UU begitu juga sebaliknya DPR
pemberhentiannya harus di UUD ..."
 
 
 
KESIMPULAN
1. Pada awalnya ide dasar pembentukan komisi yudisial dilatarbelakangi oleh
berbagai permasalahan yang timbul di dunia peradilan yang menjadi sorotan
masyarakat, apalagi dengan sistem satu atap di Mahkamah Agung dan
pemberian kemandirian dan kemerdekaan kepada institusi kekuasaan
kehakiman ini. Demikian juga dirasakan perlunya membangun sistem checks
and balances dimana masing-masing lembaga negara saling mengontrol.
Sampai pada pertanyaan siapa yang mengimbangi kekuasaan Mahkamah
Agung itu?
2. Semula ada usulan dia harus menyampaikan laporan kinerjanya kepada MPR,
tetapi MPR ini diposisikan tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, karena itu
menjadi tidak relevan. Kemudian muncul ide dibentuknya Dewan Kehormatan
Hakim, yang telah masuk pada rancangan TAP MPR tahun 2000 mengenai draft
perubahan Pasal 25 UUD 1945.
3. Pada saat menerima masukan dari masyarakat; pihak Mahkamah Agung
mengusulkan adanya Dewan Kehormatan Hakim ini dalam UUD, yang posisinya
independen dan anggotanya orang-orang independen di luar para hakim yang
aktif. Lembaga inilah yang mengawasi hakim semacam Judicial Committe. Inilah
untuk pertama kalinya diperkenalkan istilah komisi yudisial (judicial committe);
 
 
 
 
 
Saksi Patrialis Akbar, SH.
 
 
1. Bahwa hasil perubahan ketiga terhadap UUD 1945 pada Tahun 2001 antara
lain adalah Pasal 24B ayat (1). Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 berbunyi:
"Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
Kehakiman";
2. Sebagai mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR berkewajiban
meluruskan pembacaan dan menulis UUD 1945 oleh masyarakat, diantaranya
dari Pemohon yang dalam permohonannya halaman 5 angka II butir 1 antara
lain menyatakan "bahwa apabila kalimat tersebut dibaca dalam satu nafas
dan konteksnya satu sama lain maka bermakna bahwa Komisi Yudisial
mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran dan martabat serta perilaku hakim adalah dalam
rangka melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung;
3. Pendapat para Pemohon tersebut tidaklah tepat sebab dengan menulis dan
membaca seperti yang dilakukan oleh para Pemohon dalam permohonannya
memberi makna dan arti yang lain dari isi UUD 45 yang telah menjadi putusan
MPR RI tentang Perubahan UUD 1945. Keberadaan Pasal 24B ayat (1) UUD
1945 tidaklah seperti yang dimaksudkan oleh para Pemohon sebab
pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bukanlah dalam rangka
melaksanakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung, akan tetapi merupakan salah satu kewenangan
yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yakni wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat , serta perilaku hakim;
4. Bahwa asal usul materi Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 sewaktu pembahasan
oleh Badan Pekerja MPR RI tidaklah dalam satu nafas antara kewenangan
Komisi Yudisal dalam hal mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dengan
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, akan tetapi pembahasannya
terpisah antara dua kewenangan tersebut sebagaimana terlihat dibawah ini:
 
 
 
 
 
4.1. Bahwa dalam Risalah rapat ke-5 Badan Pekerja masa Sidang Tahunan
MPR RI Tahun 2001 pada hari selasa tanggal 23 Oktober 2001 dalam
acara laporan Panitia Ad Hoc BP MPR dan pengesahan Rancangan
Putusan MPR hasil BP MPR serta Penutupan Rapat Badan Pekerja MPR
masa Sidang Tahunan MPR 2001 yang dicatat dalam BUKU KESATU
JILID 1 yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2001,
halaman 251 dan 252 terlihat bahwa: semula tentang Hakim Agung
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial dan
dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
ditempatkan dalam Pasal 24B ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:
"Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Komisl Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat";
 
 
Kemudian dirumuskan lagi dalam rancangan tersebut pada halaman 252
alinea pertama dalam Pasal 24C ayat (1) dengan redaksi yang berbeda
sebagai berikut: "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta
hakim lain dengan memperhatikan masukan dari masyarakat
berdasarkan masukan dari masyarakat)
 
Dalam halaman 252 alinea ke empat, baris keempat dari bawah berbunyi
antara lain "Pasal 25 dalam bracket untuk menegakkan kehormatan dan
menjaga keluhuran martabat dan perilaku para hakim dilakukan oleh
Komisi Yudisial".
 
4.2. Konsep dari rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial
dalam bahan rancangan perubahan UUD 1945 tersebut dimana masih
terjadi perbedaan pendapat diantara anggota PAH I, maka Badan
Pekerja MPR bersepakat membawa rumusan Perubahan UUD 1945
dalam perubahan ketiga yang telah disusun dalam bentuk altematif-
altematif termasuk didalamnya tentang Komisi Yudisial sebagaimana
terdapat dalam BUKU KESATU JILID 2 yang diterbitkan oleh
SEKRETARIAT JENDERAL MPR RI tahun 2001 sebagai berikut:
 
 
 
 
 
Pasal 24C
(1). "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian Hakim Agung serta hakim lain
 
 
 
 
 
(dengan mernperhatikan masukan dari masyarakat berdasarkan
masukan dari masyarakat).
 
Alternatif 1 :
 
Dan seterusnya???..
 
Pasal (25A)
 
"Untuk menegakkan kehormatan dan menjaga keluruhan martabat dan
perilaku para hakim, dilakukan oleh Komisi Yudisial".
 
 
5 Bahwa dengan rumusan tersebut maka keberadaan dan kewenangan Komisi
Yudisial sejak semula tidaklah dirumuskan dalam satu nafas sebab semula
tidaklah dirumuskan Pasal 24B ayat (1), Pasal 24C, dan Pasal 24C ayat (1)
serta Pasal 25A sebagaimana yang diuraikan dalam angka 4.1 dan 4.2 diatas;
 
6 Bahwa setelah Perubahan UUD 1945 maka keberadaan Komisi Yudisial
terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Pasal
24A ayat (3) merupakan mekanisme pencalonan hakim agung yang diusulkan
oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden,
sedangkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah tentang kemandirian serta
kewenangan Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
 
 
7 Khusus berkenaan dengan kalimat "perilaku hakim" dalam kalimat terakhir
Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut dimaksudkan kepada perilaku hakim
secara menyeluruh dengan tidak terbatas pada hakim tertentu saja akan
tetapi kepada seluruh Hakim sebagaimana ditegaskan dalam buku PANDUAN
DALAM MEMASYARAKATKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK TAHUN 1945 yang memuat antara lain tentang latar belakang,
proses dan hasil UUD 1945 yang dibuat bersama oleh Pimpinan MPR
bersama Anggota PAH I yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI
tahun 2004. Dalam halaman 195 dan 196 buku tersebut menuntun para
anggota MPR dalam memasyarakatkan Pasal 24B yang saksi kutip antara lain
sebagai berikut:
 
 
 
 
 
"Adanya ketentuan ini didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di
Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat
menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi
hakim agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi (puncak) dalam susunan
peradilan di Indonesia sehingga menjadi tumpuan harapan bagi pencari
keadilan?
 
Sebagai negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat,
serta perilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk
mendukung upaya menegakkan peradilan yang handal dan realisasi faham
Indonesia adalah negara hukum;
 
 
Untuk itu Perubahan UUD 1945 memuat ketentuan mengenai
pembentukan lembaga dibidang kekuasaan kehakiman bernama Komisi
Yudisial (KY) yang merupakan lembaga yang bersifat mandiri. Menurut
ketentuan Pasal 24B ayat (1), KY berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
 
Melalui lembaga KY tersebut diharapkan dapat diwujudkan lembaga
peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan
penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang
terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya;
 
Saksi Baharuddin Aritonang.
 
 
Terbentuknya Komisi Yudisial ini sebenarnya merupakan sebuah
pengorbanan perasaan. Dalam rapat PAH I BP. MPR saksi pernah bertanya,
apakah Komisi Yudisial perlu kita masukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
waktu itu seingat saksi, juga ada anggota PAH I sebagai salah satu Tim Ahli, dan
yang menjawab pertanyaan saksi bernama Prof. Ramlan Surbakti, mungkin karena
memang kami bukan orang-orang hukum atau orang terhukum, jadi agak jernih
melihatnya. Ketika Komisi Yudisial diusulkan ke dalam meteri Undang-Undang
Dasar 1945, saksi terpikir betapa lembaga negara yang masuk dalam ranah
kekuasaan kehakiman perlu sampai 3, karena sebelumnya sudah ada Mahkamah
Agung kemudian dilengkapi dengan Mahkamah Konstitusi. Dalam usulan awal kami,
Mahkamah Konstitusi sesungguhnya cukup salah satu kamar di Mahkamah Agung.
 
 
 
 
 
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dalam bukunya yang terbaru, ?Lembaga Negara
Pasca Reformasi;
 
Bahwa organ pendukung yang secara struktural memang lembaga negara
tetapi dalam protokolernya bukan lembaga negara, dalam prakteknya bagaimana
mungkin hal tersebut dapat diterapkan waktu itu juga. Yang lebih tidak proporsional
lagi antara kedudukan dan kewenangannya berdasar pada Pasal 24B mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam menjaga dan
menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim bagaimana
mungkin hanya untuk kedua tugas tersebut perlu membentuk sebuah lembaga atau
lembaga tinggi negara tersendiri, mungkin pada saat itu, memang menuntut kita
untuk melakukan hal seperti itu;
 
 
Sesungguhnya masuknya berbagai auxiliary bodies (yang kemudian kita
kenal sebagai lembaga kuasi negara, seperti komisi-komisi) bermula pada
masuknya masa reformasi dimulai dari tudingan tidak berfungsinya lembaga-
lembaga negara yang formal sehingga di perlukan adanya lembaga-lembaga yang
dibentuk oleh masyarakat sebagai pelengkap. Hemat saksi di sinilah letak kesalah-
kaprahan kita, cara berpikir yang seolah-olah stereotip Indonesia mari kita bentuk
panitia, tidak berpikir sebaliknya, kembali ke pangkal jalan jika memang lembaga-
lembaga negara formal tidak berfungsi optimal justru yang harus diperbaiki dan
disempurnakan agar dapat berfungsi optimal, hal inilah yang merupakan prinsip
dasar dalam maksud saksi untuk menyusun kelembagaan negara. Dalam pikiran
dan benak saksi waktu itu, bukan dengan membentuk lembaga-lembaga lain yang
kelak pada saatnya akan tumpang tindih, bahkan pada sisi lain khususnya dari
perhitungan anggaran negara akan menjadi beban yang besar dan ditanggung oleh
negara. Kini jumlah lembaga-lembaga kuasi ini jumlahnya lebih dari 40-an di
Undang-undang ada dua, salah satu diantaranya adalah KPU yang kemudian
berdasar undang-undang menjadi bentuk KPU, kemudian adalah Komisi Yudisial;
 
 
Dengan segala pengorbanan khususnya yang saksi lihat, lahirnya Komisi
Yudisial apapun yang saksi pikirkan faktanya sudah menjadi bagian dari Undang-
Undang Dasar 1945, permasalahannya adalah bagaimana merumuskan
pengawasan hakim;
 
 
 
 
 
 
 
Saksi Mayor Jenderal Polisi (Purn). Drs. Sutjipno
 
Komisi Yudisial selanjutnya disingkat KY perlu diadakan atau dibangun untuk
menjamin adanya checks and balances dalam keseluruhan proses
penyelenggaraan ketatanegaraan Republik Indonesia seperti halnya cabang-cabang
kekuasaan negara yang sudah ada yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif;
 
Namun bukan berarti bahwa KY adalah merupakan cabang kekuasaan
tersendiri seperti ketika jenis kekuasaan yang ada, melainkan bahwa KY adalah
sebagai suatu suporting element belaka dari keseluruhan jajaran Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi dengan maksud dan tujuan untuk menjamin adanya
objektifitas dari suatu fungsi pengawasan atau fungsi kontrol;
 
 
Komisi Yudisial dalam rangka checks and balances adalah untuk mengontrol
perilaku para hakim dalam seluruh jajajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Demi menjaga martabat dan kehormatan hakim keseluruhannya, maka
yang menjadi sasaran utama KY adalah aspek administratif personil hakim yaitu
para hakim dalam seluruh jajaran kekuasaan yudikatif dan bukan aspek operasional
yudikatif;
 
Apabila pada suatu ketika misalnya terjadi suatu perbuatan kriminal yang
dilakukan oleh salah satu, seorang hakim baik dari jajaran Mahkamah Agung
maupun Mahkamah Konstitusi maka KY tidak berwenang melakukan langkah-
langkah seperti yang harus dilakukan oleh aparat criminal justice system. Mengapa
karena KY dibangun dalam ketatanegaraan RI bukan sebagai aparat penegak
hukum atau law enforcement agency, dan KY pun juga bukan aparat yudikatif, KY
tidak lain adalah semata-mata sebagai aparat pengawas atau aparat kontrol dan
penjaga perilaku para hakim, yang berarti aspek-aspek administratif personil
yudikatif dan bukan aspek operasional yudikatif dengan maksud dan tujuan untuk
terpeliharanya martabat dan kehormatan hakim;
 
 
KY sengaja dibangun secara ekstra struktural dengan maksud dan tujuan
pula untuk menjamin adanya objektifitas pengawasan atau kontrol terhadap para
hakim;
 
Untuk mencegah timbulnya unsur subjektifitas yaitu penilaian terhadap diri
sendiri oleh diri sendiri, dan yang diputuskan oleh diri sendiri yang berada dalam
satu tangan pasti sangat subjektif sehingga perlu dibangun secara ekstra struktural
agar terwujud adanya check and balances yang baik dalam pelaksanaannya;
 
 
 
 
 
Posisi KY dalam rumpun jajaran yudikatif adalah sekali lagi bukan sebagai
aparat operasional yudikatif dan tidak menjalankan Recht Sprekende Functie
melainkan hanyalah sebagai aparat administratif dalam rangka pembinaan personil
hakim dalam pelaksaan code of conduct para hakim dalam seluruh jajaran yudikatif;
 
Posisi KY sengaja dikelompokkan kepada rumpun yudikatif dengan maksud
dan tujuan untuk memudahkan dan melancarkan kerja sama dalam rangka proses
administratif pembinaan personil hakim dalam seluruh jajaran yudikatif;
 
Dalam sistem ketatanegaraan RI maka KY bukanlah merupakan salah satu
cabang kekuasaan negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif yang posisinya
duduk dan berdiri side by side, leiben ein under. Namun juga bukan unter get orned,
nacht ein under, melainkan benar-benar berposisi sebagai suporting element dari
salah satu cabang kekuasaan negara dalam hal ini cabang kekuasaan yudikatif;
 
 
Dalam tugas-tugas dan fungsinya serta peranan yang seperti itulah maka
sangat diperlukan adanya satu peraturan pelaksana berupa undang-undang
ataupun peraturan perundangan lainnya yang mengatur prosedur dan tatanan kerja
tentang penyelenggaraan dan pelaksanaan tugas-tugas, fungsi dan peranan KY
sebagai transformasi dari yang telah dipesankan dan diperintahkan oleh Undang-
undang Dasar 1945. Dengan maksud dan tujuan agar pelaksanaannya menjadi
lancar, benar, tertib dan objektif yang tidak dicampuri oleh siapapun dan tidak
memihak pada siapa pun;
 
Saksi Sutjipto, SH.
 
Keterangan yang dapat diberikan adalah berdasarkan risalah-risalah rapat
Badan Pekerja baik rapat Pleno, rapat-rapat tim lobi atau rapat rumusan dan juga
dengar pendapat dengan Tim Ahli, serta rapat-rapat Pleno Badan Pekerja MPR
serta rapat-rapat komisi pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
Periode 1999 sampai, khususnya sampai 2001 sampai diputuskannya amandemen
ketiga tentang Pasal 24 dan 25 yaitu tentang kekuasaan kehakiman;
 
 
Oleh karena itu, Saksi akan memberikan dalam bentuk beragam risalah rapat
kerja tersebut yang berupa kutipan-kutipan secara singkat;
 
Adapun kutipan-kutipan, baik dari pendapat dari beberapa anggota PAH I maupun
Tim Ahli, sebagai berikut:
 
Petama adalah pendapat dari Saudara Hamdan Zoelva yang mengatakan bahwa
?Kekuasaan Mahkamah Agung termasuk Hakim Agung dan hakim-hakim di
bawahnya tidak boleh dibiarkan tidak terkontrol dan terawasi sehingga dapat
 
 
 
 
 
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan oleh hakim sebagaimana terasa sampai
pada saat ini.? Pengawasan atau kontrol itu tidak boleh diserahkan pada lembaga
tinggi maupun lembaga tertinggi negara yang sarat dengan muatan politik;
 
Kami berpendapat bahwa untuk melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap Mahkamah Agung termasuk kepada para hakim-hakim khususnya terkait
dengan pelaksanaan tugas-tugas yudisial perlu dibentuk sebuah komisi independen
yang anggotanya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan oleh Presiden
selaku kepala negara dari mantan-mantan Hakim, mantan Jaksa, pengacara-
pengacara senior, maupun profesor di bidang hukum dari perguruan tinggi ditambah
dengan tokoh-tokoh masyarakat yang kesemuanya di kenal memiliki intergritas yang
sangat tinggi serta tidak pernah memiliki cacat moral sedikitpun;
 
 
Komisi ini diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap
hakim-hakim yang diduga melakukan penyimpangan termasuk keanehan dalam
produk yang dihasilkannya. Hasil pemeriksaan komisi harus dijadikan pertimbangan
dalam penentuan karir seorang hakim dan termasuk hukuman penurunan pangkat
atau pemberhentian jika seandainya komisi merekomendasikannya. Hal inilah yang
menyangkut komisi perlu diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
 
Pendapat dari Bapak Hakim Agung Iskandar Kamil yang menyatakan, bahwa
dalam ayat (4) ini juga menyerap aspirasi masyarakat bahwa perlu adanya
perwujudan check and balances yang lebih konkrit. Begitu sebab kadang-kadang
dikatakan jajaran kekuasaan kehakiman seperti tirani yudisial katanya. Dengan doa
restu Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, mudah-mudahan kami tidak menjadi tirani
dan memang kami tidak ingin menjadi tirani. Oleh sebab itu, keinginan kami itu
memang perlu di wujudkan dalam satu ketentuan perundang-undangan;
 
 
Dewan Kehormatan Hakim yang mandiri itu yang dimaksud adalah
independen. Oleh beberapa kalangan di sebut judicial committe. Jadi semacam
itulah kira-kira, Pak, yang melakukan pengawasan eksternal yang dimaksudkan
adalah idenya, yang dipersonil dari dewan kehormatan itu bukan dari personil dari
jajaran peradilan sendiri, bisa terdiri dari para pakar, para tokoh-tokoh yang lain.
Hanya memang yang menjadi suatu masalah yang barangkali bisa kita
pertimbangkan, apakah lembaga semacam itu partisan atau tidak, ini satu-satunya
masalah barangkali. Tugasnya melakukan pengawasan atau perilaku hakim dalam
 
 
 
 
menyelenggarakan peradilan sehingga dengan adanya lembaga ini maka para
hakim tidak bisa berprilaku semuanya, begitu kira-kira;
 
 
Pendapat dari Prof. Dr. Maria S.W Sumarjono, mengenai siapa yang melakukan
pengawasan terhadap Hakim Agung dan Hakim Konstitusi. Karena dua-duanya
wewenangnya berbeda walaupun dalam satu habitat. Memang di dalam perubahan
kedua, di situ ada disebut dewan kehormatan. Tetapi mungkin Bapak-bapak melihat
malah justru di hilangkan oleh tim ahli, apakah ini tidak perlu. Kami berpikir memang
perlu tetapi kalau di dalam Undang Undang Dasar, kasihan hakim saja yang ada
dewan kehormatan, yang lembaga-lembaga lain bagaimana? Padahal yang kami
tahu, kalau DPR itu ada kode etiknya, di dalam Tatib dan sebagainya. Jadi dewan
kehormatan tidak perlu dicantumkan dalam Undang Undang Dasar sepertinya betul-
betul yang lainnya diam saja. Padahal yang lainnya juga ada, jadi alasan karena
mungkin tim hukum yang adil. Jadi bukan masalah yang prinsipil sekali lagi harus
ada, tapi tidak perlu dicantumkan;
 
Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu perubahan ketiga Undang
Undang Dasar Tahun 1945 pada persidangan Tahun 2001 adalah Pasal 24B ayat
(1) yang berbunyi ?Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.? Adapun
hasil keputusan tersebut setelah melalui berbagai proses antara lain bahwa
pembahasan Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman dilakukan secara mendalam.
Jadi sejak masa persidangan tahun 1999 dan baru diputuskan pada Sidang
Tahunan tahun 2001 yang merupakan perubahan ketiga;
 
 
Bahwa materi pada Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar Indonesia
Tahun 1945, pada waktu dilakukan pembahasan oleh Badan Pekerja MPR terdiri
dari kewenangan Komisi Yudisial dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim
dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan
keluhuran martabat serta perilaku hakim. Akan tetapi pembahasannya terpisah
antara dua kewenangan tersebut sebagaimana yang terlihat di bawah ini;
 
Bahwa dalam risalah rapat kelima Badan Pekerja MPR-RI masa sidang
tahunan MPR-RI tahun 2001 pada Tanggal 23 Oktober 2001. Dalam acara laporan
Panitia Ad hoc Badan Pekerja MPR dan pengesahan Rancangan Putusan MPR
hasil Badan Pekerja MPR serta penutupan rapat Badan Pekerja MPR masa sidang
tahunan MPR 2001 yang dicatat dalam Buku I, Jilid I yang diterbitkan oleh
 
 
 
 
 
Sekretariat Jenderal MPR-RI, semula Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Komisi Yudisial dan dengan persetujuan dan pertimbangan DPR
ditempatkan pada Pasal 24D ayat(1) yang berbunyi sebagai berikut:
 
?Hakim Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial
dengan persetujuan dan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.? Konsep dari
rumusan keberadaan dan kewenangan Komisi Yudisial dalam bahan rancangan
perubahan Undang Undang Dasar 1945 tersebut dimana masih terjadi perbedaan
pendapat diantara anggota Panitia Ad hoc I, maka Badan Pekerja MPR bersepakat
membawa rumusan perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dalam perubahan ketiga yang telah susun dalam alternatif yang
termasuk di dalamnya tentang Komisi Yudisial;
 
 
Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 maka keberadaan
Komisi Yudisial terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 
Pasal 24A ayat (3) merupakan mekanisme pencalonan Hakim Agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan
ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden;
 
Sedangkan Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 adalah tentang
kemandirian serta kewenangan Komisi Yudisial yang bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta
perilaku hakim;
 
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 22 Mei 2006, Pihak Terkait
Langsung Komisi Yudisial, telah menyampaikan tanggapan tertulis yang dibacakan
di persidangan, sebagai berikut:
 
 
I. Ketidakjelasan Dasar dan Alasan Konstruksi Hukum Permohonan
Pada bagian ini hendak dikaji dasar dan alasan-alasan yang menjadi
kontruksi hukum permohonan seperti yang dikemukakan para Pemohon di
dalam permohonannya. Hal ini perlu dilakukan untuk menganalisis sejauhmana
keutuhan dan kaitan antara alasan dan pernyataan lain yang dikemukakan
para Pemohon untuk sampai pada kesimpulannya sendiri. Setidaknya ada
sekitar 4 (empat) alasan yang digunakan oleh para Pemohon untuk sampai
pada interpretasinya sendiri yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial tidak
 
 
 
 
 
 
 
mempunyai kewenangan pengawasan terhadap hakim agung, yaitu sebagai
berikut:
 
 
 
1. Kewenangan lain KY adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan
Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung;
2. Kata hakim dimaksud dalam Pasal 24B UUD 1945 bukan terhadap seluruh
hakim sehingga kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim
agung dan hakim konstitusi karena hanya ditujukan bagi hakim yang akan
menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung serta hakim...;
3. Secara universal kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim
agung pada Mahkamah Agung karena Komisi Yudisial adalah mitra MA
dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan
di semua lingkungan peradilan di bawah MA;
4. Pemberhentian hakim agung memiliki mekanisme tersendiri yang didahului
dengan pemberian kesempatan pada yang bersangkutan untuk membela
diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.
 
 
 
Bila alasan dan interpretasi di atas dikaji secara seksama maka dapat
disimpulkan beberapa hal, yaitu: kesatu, alasan yang diajukan sangat
interpretatif; kedua, alasan didasarkan atas konstruksi logika berpikir yang tidak
sistematis; ketiga, alasan yang diajukan sangat prematur dan berlebihan.
1. Alasan sangat interpretatif.
Para Pemohon mengintroduksi suatu interpretasi baru di dalam
memaknai suatu pasal dengan metode pembacaan pasal dengan
menyatakan ?...kalimat dibaca dalam satu nafas dan diberi konteks satu
sama lain maka akan bermakna ?Komisi Yudisial mempunyai kewenangan
lain dalam rangka melaksanakan kewenangan lain KY untuk mengusulkan
pengangkatan hakim agung? (lihat butir II.1., di halaman 5 Permohonan).
Interpretasi ini ingin menekankan bahwa kewenangan lain dari Komisi
Yudisial haruslah kewenangan yang berkenaan dan berkaitan dengan
pengangkatan hakim agung saja.
 
Tindakan interpretasi para Pemohon tidak dapat dikualifikasi
sebagai interpretasi gramatikal dan atau interpretasi sistimatik yang lazim
digunakan di dalam menafsirkan dan mengkonstruksi suatu makna
substantif dari hukum atau pasal perundangan. Kendati ketidaklaziman ini
tidak dapat sepenuhnya disalahkan tetapi metode ini dapatlah dikualifikasi
 
 
 
 
 
 
 
 
 
sebagai ?interpretable? karena dapat mengaburkan makna substantif yang
original. Lebih dari itu, interpretasi tersebut juga potensial menyebabkan
ketidakpastian dan ketidakpastian itu sendiri dapat mengakibatkan
munculnya kekeliruan dalam memaknai suatu pasal sesuai dengan original
intend dan maksud teleologis pembuatan suatu pasal tertentu di dalam
suatu undang-undang.
 
 
Tindakan interpretasi yang dikemukakan dalam permohonan diatas
juga bertentangan secara diametral dengan pendapat Mahkamah Agung
sendiri. Mahkamah Agung di dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah
Agung RI menyatakan:
 
?...berdasarkan Pasal 24B. Amandemen Ketiga UUD 1945 akan dibentuk
lembaga baru yang akan berfungsi-salah satunya-melakukan pengawasan
dan (mungkin) pendisiplinan bagi hakim dan hakim agung, yaitu: Komisi
Yudisial?.
 
Demikianpun halnya pendapat Mahkamah Agung di dalam Naskah
Akademis dan Rancangan Undang-undang Komisi Yudisial juga
menyatakan:
 
 
?...kami memandang ada 5 (lima) tugas yang bisa ditafsirkan dari fungsi
diatas, yaitu...pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim
agung)?. (lihat Mahkamah Agung Republik Indonesia, Cetak Biru
Pembaruan mahkamah Agung RI, MA-RI 2003, hlm. 91 dan Mahkamah
Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-
Undang tentang Komisi Yudisial, MA-RI 2003, hlm. 45)
 
Dengan demikian, bagaimana mungkin pendapat resmi dari lembaga
Mahkamah Agung dapat diingkari secara sepihak oleh alasan yang
dirumuskan secara interpretatif dengan metode penafsiran yang
interpretable di dalam suatu permohonan pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar.
 
 
 
2. Alasan didasarkan atas konstruksi logika berpikir yang tidak utuh dan
tidak sistematis.
Pada butir II.2., di halaman 5 permohonan, para Pemohon
mengutip Pasal 25 UUD 1945 yang mengemukakan ?syarat-syarat untuk
menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-
undang?. Lalu, para Pemohon mengaitkannya dengan menyebutkan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
beberapa undang-undang yang berbeda-beda yang mengatur tentang
hakim tingkat pertama dan banding seperti tersebut di dalam UU No. 8
Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer), hakim agung dan
hakim konstitusi (UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2003) .
Setelah itu, para Pemohon membuat beberapa kesimpulan:
 
 
a) Kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim agung dan hakim
konstitusi karena untuk menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi
tidak seluruhnya berasal dari Hakim Tingkat I dan Hakim Banding;
b) Yang dimaksud kata hakim di dalam Pasal 24B bukan terhadap seluruh
hakim;
c) Yang dimaksud Pasal 24B tentang kewenangan lain dalam rangka
menjaga kehormatan, keluhuran dan martabat hakim adalah hakim yang
akan menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung.
 
 
 
Uraian di atas jelas memperlihatkan suatu konstruksi berpikir yang tidak
utuh dan tidak sistematis karena dengan hanya menyebut Pasal 24B UUD
1945 dan mengaitkannya dengan beberapa UU yang mengatur hakim,
hakim agung dan hakim konstitusi, tetapi kemudian, permohonan telah
berani membuat pernyataan berupa interpretasi sepihak dan
menyimpulkannya sendiri tanpa menjelaskan dasar argumentasi, konstruksi
logika berpikir dan keterkaitan satu alasan dengan pernyataan lainnya serta
menguraikan dan menganalisisnya secara menyeluruh. Tindakan
sedemikian patutlah dikualifikasi sebagai kekacauan dalam merumuskan
konstruksi berpikir. Berdasarkan uraian tersebut maka sudilah kiranya bila
rumusan alasan yang tersebut di dalam permohonan dimaksud,
disimpulkan sebagai telah memuat suatu konstruksi logika berpikir yang
tidak utuh dan tidak sistematis.
3. Alasan yang diajukan sangat prematur dan berlebihan.
Pada butir II.5., di halaman 6 permohonan, para Pemohon
langsung menyimpulkan ?secara universal kewenangan Komisi Yudisial
tidak menjangkau hakim agung pada Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial adalah mitra MA dalam melakukan pengawasan terhadap para
hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan di bawah MA?.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kesimpulan tersebut dilakukan dengan menunjuk pada Pasal 32 dari UU
No. 5 Tahun 2004 tentang MA. Bagaimana mungkin suatu kesimpulan
dimaknai sebagai universalitas berkaitan dengan kewenangan Komisi
Yudisial yang tidak menjangkau hakim agung jika hanya didasarkan pada
satu pasal di atas saja. Dimana letak universalitas dari kesimpulan
permohonan dimaksud?, para Pemohon tidak mengemukakan dan
menguraikannya secara elaboratif. Lihat dan bandingkan dengan suatu
hasil studi yang menyimpulkan:
 
 
?...dibentuknya Komisi Yudisial ...mempunyai alasan yang strategis dalam
rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pertama,
dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring
secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman...Keempat, ...untuk menjaga
kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan...diharapkan
inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi karena setiap
putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat oleh
Komisi Yudisial...?.
 
Sebagian kesimpulan mengenai tujuan pembentukan Komisi Yudisial
seperti telah dikemukakan di atas itu ditelaah dari 197 (seratus sembilan
puluh tujuh) konstitusi negara anggota PBB (lihat A. Ahsin Thohari, Komisi
Yudisial: Reformasi Peradilan, hlm. 105, 147-150). Berpijak pada uraian
seperti tersebut diatas maka cukuplah alasan dan sudilah kiranya untuk
menyatakan bahwa permohonan sebagai sangat prematur.
 
 
Pada butir II.5 dan 6., di halaman 6 dan 7 permohonan, para Pemohon
merujuk pada Pasal 32 juncto Pasal 12 UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung yang mengatur mengenai kewenangan pengawasan dan
pemberian kesempatan membela diri pada hakim agung yang diusulkan
untuk diberhentikan dihadapan Majelis Kehormatan Hakim Agung. Berpijak
pada pasal-pasal tersebut, para Pemohon di dalam permohonannya
kemudian membuat suatu kesimpulan bahwa Pasal 21 juncto Pasal 23 ayat
(2), (3) dan (5) juncto Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) dan (4) dari
Undang-undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan
dengan Pasal 24B dan Pasal 25 UUD 1945.
 
Berdasarkan uraian di atas tentu patut dipertanyakan metode konklusi yang
digunakan untuk menghubungkan antara suatu pernyataan atau fakta
 
 
 
 
 
 
 
 
 
dengan perumusan suatu kesimpulan. Bagaimana mungkin
ketidaksesuaian atau ketidakharmonisan pasal-pasal yang terjadi pada
suatu perundangan dengan pasal-pasal perundangan lainnya, kemudian
disimpulkan sebagai bertentangan dengan UUD 1945. Tindakan
sedemikian tidak hanya memperlihatkan kerapuhan dasar metodologi
konklusif yang digunakan tetapi kesimpulan yang sedemikian juga dapat
dikualifikasi sebagai kesimpulan yang didasarkan atas interpretasi yang
prematur dan berlebihan.
 
 
 
 
 
II. Kelemahan Dasar dan Alasan dari Permohonan.
Ada beberapa hal penting yang harus dikemukakan secara limitatif di
dalam mengajukan suatu permohonan pengujian undang-undang terhadap
undang-undang dasar, yaitu antara lain: kesatu, Pemohon memiliki Hak
Konstutsional untuk mengajukan permohonan; kedua, adanya kerugian karena
hak konstitusional Pemohon dilanggar; ketiga, kerugian konstitusional itu
bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan
terjadi; keempat, adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dengan UU
yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; kelima, adanya kemungkinan
kerugian konstitusional tidak akan terjadi jika permohonan dikabulkan. Uraian
dibawah ini akan mengemukakan beberapa alasan penting tersebut.
 
 
1. Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Mahkamah Agung dan
badan peradilan dibawahnya.
 
Pada bagian ini hendak dijelaskan mengenai, siapakah yang
memiliki hak atau kewenangan konstitusional dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman. Penjelasan ini menjadi penting untuk menentukan
dan menegaskan pihak yang mempunyai legal standing di dalam
mengajukan suatu permohonan hak menguji perundangan, khususnya
berkaitan dengan hal kekuasaan kehakiman.
 
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya, pada Pasal 24
dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman telah dikemukakan secara limitatif
sebagai berikut:
 
 
 
1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
 
 
 
 
 
 
 
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.
 
 
Untuk melaksanakan Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar dimaksud
telah dikeluarkan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, merupakan perubahan dari Undang-undang No. 14 Tahun
1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun
1999. Undang-undang No. 4 Tahun 2004 haruslah dimaknai sebagai
undang-undang payung terhadap undang-undang lainnya yang mengatur
tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu antara lain:
1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2) Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer;
3) Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung;
4) Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum;
5) Undang-undang No .9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara;
6) Undang-undang No. 24 Tahun 2005 tentang Mahkamah Konstitusi;
 
 
 
Di dalam Pasal 1, Bab I dari Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman telah dikemukakan secara tegas:
?Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia?;
 
dan pada Pasal 2 Undang-undang dimaksud juga telah dikemukakan hal
sebagai berikut:
 
?Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi?.
 
 
Bila ketentuan yang tersebut di dalam Pasal-pasal Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman dikaitkan dengan Pasal 24 ayat (1) dan (2)
 
 
 
 
 
 
UUD 1945 maka dapatlah disimpulkan bahwa pasal-pasal dalam UU Pokok
Kekuasaan Kehakiman di atas merupakan penjabaran dari Pasal 24 ayat
(1) dan (2) Undang Undang Dasar 1945. Berdasarkan hal tersebut maka
dapatlah disimpulkan bahwa hak dan kewenangan sebagai penyelenggara
kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
 
 
Uraian di atas juga menegaskan bahwa hakim bukanlah sebagai
penyelenggara kekuasaan kehakiman tetapi hanya sebagai pejabat
kekuasaan kehakiman, sedangkan yang melakukan kekuasaan kehakiman
adalah Mahkamah Agung, badan-badan peradilan yang berada dibawah
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sesuai yang ditentukan di
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Hal ini dikemukakan secara tegas di
dalam Pasal 31, Bab V Kedudukan Hakim dan Pejabat Peradilan dari
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan ?Hakim adalah
pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-
undang?.
 
Berpijak pada ketentuan dan uraian tersebut, kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan adalah merupakan hak
konstitusional dari lembaga penyelenggara kekuasaan kehakiman bukan
hak dari Hakim yang hanya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman. Oleh
karena itu undang-undang memberikan kewajiban kepada Hakim untuk
menjaga kemandirian peradilan dan untuk itu hakim diharuskan untuk
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
 
 
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Bagir Manan, SH, dalam
makalahnya ?Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung (dan
Mahkamah Konstitusi) dengan Komisi Yudisial; Suatu Pertanyaan?,
disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan Fraksi Partai Golkar di
MPR tanggal 9 Maret 2006 dalam halaman 4, nomor 4 (empat) mengenai
Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
 
?Baik dalam doktrin maupun menurut hukum, kekuasaan kehakiman
dipegang dan dijalankan badan peradilan. Di Indonesia badan peradilan
yang menjalankan kekuasaan kehakiman adalah Mahkamah Agung,
 
 
 
 
 
 
 
Mahkamah Konstitusi, dan pengadilan-pengadilan tingkat lebih rendah yang
dibawah Mahkamah Agung?.
 
Bertolak dari uraian yang dikemukakan oleh Ketua MA tersebut di atas
maka dapatlah dikemukakan bahwa ?hak dan kewenangan melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka itu ada pada lembaga peradilan?.
 
Berdasarkan atas dan dengan segenap hal seperti telah dikemukakan di
dalam uraian seperti tersebut di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa
pihak yang mempunyai hak konstitusional dalam mengajukan permohonan
Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah
lembaga yang melakukan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Dasar 1945 juncto Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2004,
yaitu dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya.
 
 
 
2. Perseorangan Tidak Dapat Mewakili Kepentingan Kekuasaan
Kehakiman.
Ketentuan Pasal 31 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman a quo menyatakan bahwa hakim adalah pejabat
yang melakukan kekuasaan kehakiman. Pasal ini menegaskan, kekuasaan
kehakiman hanya dapat dilakukan oleh hakim bila yang bersangkutan
dalam kapasitas sebagai pejabat negara. Jika yang bersangkutan
melepaskan kapasitasnya sebagai pejabat negara maka yang
bersangkutan tidak dapat melakukan tindakan untuk dan atas nama
kekuasaan kehakiman sehingga tidaklah tepat jika pihak dimaksud
menempatkan dirinya sama dan sebanding dengan pihak yang mempunyai
kewajiban jabatan, yakni wajib menjaga kemandirian peradilan.
 
Oleh karena itu, status perseorangan para Pemohon dalam
mengajukan pengujian undang-undang terhadap undang undang dasar
dengan alasan untuk menjaga kemandirian peradilan adalah alasan yang
tidak benar dan tidak tepat. Kekuasaan kehakiman adalah merupakan
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan dimana sebagai pelaku dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman dimaksud bukanlah orang
perorangan tetapi mereka adalah orang yang diangkat oleh negara sebagai
 
 
 
 
 
 
 
 
 
hakim yang merupakan pejabat negara yang menjalankan kewenangan-
kewenangan atau kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang.
Dengan demikian, hakim itu adalah jabatan yang mempunyai kewenangan
mengadili suatu perkara dalam proses peradilan dan atau menjalankan
kewenangan lainnya yang secara tegas dikemukakan di dalam
perundangan dan bukan tindakan orang perorangan atau kelompok yang di
luar kewenangan yang telah ditentukan secara limitatif dan eksplisit di
dalam perundangan.
 
 
Jika terjadi perselisihan dimana pejabat yang bersangkutan dalam
menjalankan kewenangan negara ?diintervensi kemandiriannya? oleh
kewenangan lembaga negara lainnya, baik oleh lembaga penyelenggara
kekuasaan kehakiman atau dengan lembaga lain diluar pelaksana
kekuasaan kehakiman maka sengketa yang terjadi tersebut adalah
perselisihan antar lembaga, bukan perselisihan pribadi atau orang-
perorangan yang mengatasnamakan kepentingan kemandirian kehakiman.
 
Bilamana terjadi perselisihan yang menyangkut kepentingan
kelembagaan tentang kemandirian kekuasaan kehakiman seperti diuraikan
di atas maka yang mempunyai legal standing sebagai Pemohon adalah
penyelenggara kekuasaan kehakiman atau pejabat penyelenggara
kekuasaan kehakiman yang memiliki kapasitas hukum di dalam mewakili
lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut, dalam hal ini, Ketua
Mahkamah Agung atau Ketua Pengadilan dibawahnya.
 
 
Uraian tersebut di atas menegaskan bahwa karena kewenangan
kekuasaan kehakiman hanya dapat dijalankan oleh pelaksana kekuasaan
kehakiman tersebut, dalam hal ini, Ketua Mahkamah Agung atau Ketua
Pengadilan dibawahnya maka perseorangan yang tidak dalam kapasitas
mewakili pengadilan dalam menjalankan kepentingan kekuasaan
kehakiman tidak memiliki kapasitas hukum untuk mengatasnamakan
kepentingan kekuasaan kehakiman.
 
Uraian di atas juga telah memperlihatkan dan menegaskan bahwa
permohonan yang diajukan oleh para Pemohon tidak dapat menjelaskan,
apa yang menjadi dasar konstitusionalitas diajukannya permohonan. Para
Pemohon bersikap ambigu. Di satu sisi menempatkan dirinya sebagai
orang perorangan dan atau kelompok orang yang berjumlah sebanyak 31
 
 
 
 
 
 
 
 
 
(tiga puluh satu) orang yang secara bersama-sama mengajukan
permohonan hak uji materil; disisi lainnya, para Pemohon menyebutkan
jabatan dari pekerjaannya sebagai hakim agung yang kesemuanya
menggunakan alamat kantor Mahkamah Agung, yaitu di Jl. Merdeka Utara
Kav. 9-13, Jakarta Pusat sebagai alamat dari para Pemohon. Penyebutan
identitas jabatan yang ditopang oleh alamat kantor di Mahkamah Agung
hendak mengindikasikan bahwa seolah-olah para Pemohon adalah
representasi hukum dari suatu lembaga yang mempunyai kewenangan
sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang mempunyai hak
konstitusional mengajukan pengujian undang-undang terhadap undang
undang dasar.
 
 
Secara faktual uraian diatas telah menegaskan, para Pemohon
adalah orang perorangan; dan pada prinsipnya, kepentingan orang
perorangan atau sekelompok orang atau kepentingan para Pemohon
seperti tersebut di dalam permohonannya, tidak serta merta dapat
dikualifikasi sebagai kepentingan dari lembaga dimana mereka bekerja atau
demi kepentingan dari Mahkamah Agung sebagai penyelenggara
kekuasaan kehakiman. Hakim itu adalah jabatan yang mempunyai
kewenangan mengadili suatu perkara dalam proses peradilan dan atau
menjalankan kewenangan lainnya yang secara tegas dikemukakan di
dalam perundangan dan bukan tindakan orang perorangan atau kelompok
yang di luar kewenangan yang telah ditentukan secara limitatif dan eksplisit
di dalam perundangan. Lebih-lebih tidak ada pelimpahan kewenangan yang
secara tegas, patut dan sah diberikan dari lembaga dimaksud kepada para
Pemohon. Ketua MA di dalam pernyataannya justru mengemukakan bahwa
para Pemohon bertindak dalam kapasitas individualnya sendiri di dalam
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap undang-
undang dasar (Lihat Detik Com tanggal 17 Maret 2006 dan Tempo Interaktif
tanggal 17 Maret 2006 dan 21 Maret 2006).
 
 
Keadaan dan tindakan sedemikian ini mengakibatkan para
Pemohon kehilangan dasar legalitasnya sehingga tidak mempunyai legal
standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar. Dengan demikian, dimohonkan pada
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi sudilah kiranya untuk menyatakan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Para Pemohon tidak mempunyai kapasitas hukum dan tidak memiliki dasar
konstitusional sebagai Pemohon serta tidak dapat mengidentifikasi dirinya
sama dan sebangun dengan jabatan hakim yang sedang menjalankan
kekuasaan kehakiman yang harus menjaga kemandirian peradilan, di
dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
undang-undang dasar dengan menyatakan bahwa Pasal 1 angka 5, Pasal
20, Pasal 21, Pasal 22 ayat 1(1) huruf e dan ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3)
dan (5), Pasal 24 ayat (1) serta Pasal 25 ayat (3) dan (4) dari UU No. 22
Tahun 2004 dan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 bertentangan
dengan Pasal 24B dan 25 Undang Undang Dasar 1945.
 
 
 
3. Permohonan Para Pemohon Telah Keliru Menyimpulkan Bahwa Hak
Konstitusionalnya telah Dilanggar.
Para Pemohon di dalam permohonannya menyatakan ?Pemohon
adalah perorangan warga negara Indonesia sebagai Hakim Agung pada
Mahkamah Agung yang mempunyai kepentingan hukum dalam
permohonan ini karena para Pemohon menganggap hak dan kewenangan
konstitusional para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang
No. 22 Tahun 2004, khususnya atas pasal-pasal yang berkaitan dengan
pengawasan hakim serta yang berkaitan dengan usul penjatuhan sanksi?.
 
Lebih jauh, para Pemohon juga mengemukakan beberapa Pasal
tertentu, yaitu: Pasal 20, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), Pasal 21,
Pasal 23 ayat (2), (3) dan (5) serta Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3)
dan (4) yang dihubungkan dengan Pasal 1 angka 5 dari UU No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, menimbulkan kerugian pada para Pemohon
karena menjadi atau sebagai objek pengawasan serta dapat diusulkan
sebagai objek penjatuhan sanksi. Pasal-pasal tersebut juga berkaitan
dengan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
 
 
Di dalam bagian lain permohonan juga dikemukakan bahwa
pengawasan Komisi Yudisial telah memanggil beberapa hakim agung,
yaitu: Bagir Manan, Marianna Sutadi, Paulus Effendi Lotulung, Parman
Suparman, Usman Karim, Harifin A Tumpa dalam hubungan dengan
perkara yang diadilinya telah mengakibatkan terganggunya hak
konstitusional hakim agung yang dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pemanggilan tersebut juga berpotensi dan akan membawa makna, semua
hakim agung dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus perkara
sehingga akan menghancurkan independensi hakim agung yang dijamin
UUD 1945.
 
Uraian di atas telah memperlihatkan konstruksi berpikir
permohonan, dimana pasal-pasal tertentu di dalam UU Komisi Yudisial
dikualifikasi menimbulkan kerugian bagi para Pemohon karena mereka
menjadi objek pengawasan dan penjatuhan sanksi serta kemudian
disimpulkan secara sepihak bahwa tindakan pengawasan dan penjatuhan
sanksi tersebut akan menghancurkan independensi hakim agung. Di dalam
bahasa lain dapat dikemukakan bahwa independensi mengalami proses
absolutisme dan dijadikan ?tameng? untuk menghindari penerapan prinsip
akuntabilitas yang sebagiannya dimanifestasikan dalam bentuk
pengawasan dan pemberian sanksi bila memang terbukti ada tindak
pelanggaran.
 
 
Di dalam Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung telah
dikemukakan dengan sangat jelas beberapa hal penting yang berkaitan
dengan pengawasan dan pendisiplinan hakim, yaitu antara lain:
 
 
a. MA tidak mampu menjalankan pengawasan atas dirinya sendiri. Hal ini
dikemukakan secara jujur oleh MA dengan menyatakan:
?...pengawasan yang dilakukan MA bisa dikatakan tidak berjalan
sebagaimana diharapkan. Hal ini dapat diindikasikan dari masih
banyaknya dugaan penyimpangan prilaku yang dilakukan oleh hakim
dan pegawai pengadilan...?
 
?Dalam prakteknya, pengawasan oleh lembaga pengawas MA...tidak
berjalan efektif. Hal tersebut disebabkan karena kelemahan yang sama
sebagaimana...pengawasan prilaku hakim...? (lihat Buku Cetak Biru
Pembaruan Mahkamah Agung, 2003, hlm. 93 dan hlm. 99).
 
 
 
b. MA juga tidak mampu menegakkan kedisiplinan secara konsisten. Hal
ini dikemukan oleh MA dengan menyatakan:
?Penjatuhan sanksi disiplin berupa pemberhentian hakim agung dan
pemberhentian hakim selama ini tidak berjalan optimal. Jarang sekali
ada hakim yang diberhentikan walau banyak hakim yang diduga
melakukan pelanggaran?
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
?Kelemahan pendisiplinan oleh MA...disebabkan...karena adanya
keengganan/kesulitan bertindak tegas kepada sesama hakim (kolega)
karena majelis kehormatan hakim/hakim agung hanya terdiri dari
kalangan hakim?
 
 
?Tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari pemeriksaan oleh majelis
kehormatan hakim. Hal diantaranya tergambarkan dari ketentuan dalam
SKB yang menegaskan bahwa pemeriksaan oleh Majelis Kehormatan
Hakim bersifat tertutup; dan tidak adanya pedoman dalam penjatuhan
sanksi?. (lihat Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, 2003,
hlm. 105-106)
 
Uraian di atas memperlihatkan bahwa MA tidak memiliki kemampuan
menjalankan pengawasan secara efektif dan tidak mampu menegakkan
kedisiplinan. Disisi lainnya juga ada pernyataan yang diajukan oleh
hakim agung Gunanto Suryono, Ketua Muda Pengawasan MA yang
mengemukakan ?30% hakim termasuk hakim agung di MA bermasalah?
(Koran Tempo dan Republika tanggal 21 Januari 2006).
 
Selain itu, Buku Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung Tahun 2003
juga mengajukan dan merumuskan rekomendasi untuk mengatasi
problem pengawasan dan pendisiplinan yang dihadapi oleh MA. Lebih
lanjut buku dimaksud menyatakan beberapa hal sebagai berikut:
 
 
 
a. MA perlu mendorong terbentuknya Komisi Yudisial sebagaimana
yang diamanatkan dalam amandemen ketiga UUD 1945. Berkenaan
dengan pengawasan Komisi Yudisial telah dirumuskan:
?Pada prinsipnya yurisdiksi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial adalah pengawasan terhadap prilaku hakim di dalam dan di
luar pengadilan, sedangkan Tuada Wasbin adalah pengawasan
terhadap teknis yudisial dan administrasi pengadilan?.
 
?...mendorong...Komisi Yudisial mengatur kewenangannya untuk
mengadili hakim yang diduga melakukan penyimpangan serta
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tertentu pada hakim yang
melakukan penyimpangan perilaku? (Buku Cetak Biru Pembaruan
Mahkamah Agung,2003, hlm. 96 dan hlm. 106).
 
 
 
b. MA perlu memperbaiki kelemahan lembaga pengawas dan sekaligus
memperbarui aturan mengenai eksaminasi terhadap putusan hakim
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
tingkat pertama dan banding (Buku Cetak Biru Pembaruan
Mahkamah Agung, hlm. 100).
 
 
Uraian di atas menegaskan bahwa MA sangat mendukung keberadaan
Komisi Yudisial dan bahkan menyetujui yurisdiksi pengawasan menjadi
bagian tak terpisahkan dari kewenangan Komisi Yudisial. Jika demikian
halnya, bagaimana mungkin para Pemohon dapat mendalilkan bahwa
independensinya menjadi hancur dengan adanya kewenangan
pengawasan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial padahal lembaga
Mahkamah Agung secara tegas mengakui dan memerlukan keberadaan
Komisi Yudisial yang salah satu kewenangannya justru berkaitan
dengan pengawasan.
Selain itu, para Pemohon juga tidak menguraikan dengan jelas
dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dilanggar, yaitu hak yang diatur di dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Dengan demikian para Pemohon tidak dapat
menjelaskan pasal-pasal yang berupa hak konstitusionalnya seperti diatur
di dalam UUD 1945 yang telah dilanggar oleh suatu undang-undang
tertentu. Permohonan yang tidak dapat menguraikan dengan jelas tentang
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar dapat
dikualifikasi sebagai permohonan yang kurang cermat dan bertentangan
dengan ketentuan hukum acara tentang pengajuan permohonan
pengujian undang undang terhadap UUD yang telah diatur dalam Undang
Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi dalam
Pasal 51 ayat (2) menyatakan antara lain: ?Pemohon wajib menguraikan
dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan kewenangan
konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)?.
 
 
Tindakan para Pemohon dengan mengajukan permohonan pengujian
undang-undang terhadap UUD dengan mengedepankan prinsip
independensi justru mengindikasikan bahwa para Pemohon tidak saja
melakukan tindakan diskriminatif tetapi juga telah melanggar prinsip
penting yang harus dikedepankan oleh kekuasaan kehakiman, yaitu:
prinsip equality before the law. Oleh karena permohonan para Pemohon
dalam melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar tidak mampu menguraikan secara tegas dan jelas tentang hak dan
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
kewenangan konstitusional yang dilanggar dan/atau telah keliru
menyimpulkan hak konstitusionalnya telah dilanggar serta tindakannya
potensial melanggar prinsip equality before the law dan bersifat
diskriminatif.
 
 
Berdasarkan segenap hal yang telah diuraikan diatas maka dapatlah
diperlihatkan berbagai kelemahan dasar dari permohonan para Pemohon tidak
memiliki dan tidak dapat menjelaskan Hak Konstitusional untuk dapat
mengajukan permohonan serta para Pemohon juga tidak mampu menjelaskan
adanya pelanggaran terhadap hak konstitusional dan karenanya menimbulkan
kerugian. Dengan demikian kewajiban selebihnya dari para Pemohon, seperti:
menjelaskan kerugian konstitusional itu bersifat spesifik dan aktual atau
setidaknya potensial yang dapat dipastikan terjadi, adanya hubungan sebab
akibat antara kerugian dengan UU yang dimohonkan untuk dilakukan
pengujian dan adanya kemungkinan kerugian konstitusional tidak akan terjadi
jika permohonan dikabulkan, niscaya tidak dapat dikemukakan oleh para
Pemohon. Berkenaan alasan-alasan tersebut maka sudilah kiranya agar
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menolak atau setidak-tidaknya tidak
menerima permohonan para Pemohon.
 
 
 
 
 
 
 
III. Tanggapan atas Alasan?alasan yang Dikemukakan dalam Permohonan.
Ada beberapa hal penting yang diajukan oleh para Pemohon di dalam
permohonannya, yaitu meliputi: kesatu, hakim yang dimaksud pada Pasal 24B
Undang Undang Dasar 1945 bukanlah termasuk hakim agung; kedua, Komisi
Yudisial tidak mempunyai otoritas untuk melakukan pengawasan terhadap
hakim agung; ketiga, sesuai prinsip universalitas, kewenangan Komisi Yudisial
tidak menjangkau hakim agung. Hal-hal penting dimaksudlah yang akan dikaji
di dalam uraian yang akan dirumuskan dibawah ini oleh Pihak Terkait.
 
 
 
1. Inkonsistensi Alasan Permohonan dari Para Pemohon
Para Pemohon menggunakan prinsip hukum yang berlaku secara
universal yakni prinsip Lex Certa untuk memberikan tafsiran atas makna
?Hakim? yang tersebut pada Pasal 24B UUD 1945. Pada prinsip Lex Certa,
suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas
atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain suatu ketentuan atau
 
 
 
 
 
 
 
 
 
perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan
secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan.
 
Berpijak dari rumusan Pasal 24B UUD 1945 maka kewenangan
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim yang dimiliki oleh Komisi Yudisial menurut
para Pemohon adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan Komisi
Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Pasal 1 angka 5
UU No. 22 Tahun 2004 telah memperluas makna ?hakim? pada Pasal 24B
UUD 1945.
 
 
Disisi lainnya, tindakan para Pemohon dapat dikualifikasi sebagai
tidak konsisten karena de facto para Pemohon sendiri telah melanggar
prinsip Lex Certa yaitu telah menafsirkan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945
tidak seperti yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan tetapi
secara a contrario seolah-olah Komisi Yudisial hanya mempunyai
kewenangan pengawasan terhadap hakim, bukan pengawasan atas hakim
agung atau hakim mahkamah konstitusi. Bukankah Pasal 24B ayat (1)
Undang Undang Dasar 1945 hanya menyatakan tentang:
 
?...wewenang Komisi Yudisial yaitu mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta prilaku hakim?.
 
Kata ?hakim? di dalam Pasal dimaksud tidak menunjuk secara tegas dan
karenanya dapat dikatakan sebagai hakim agung dan hakim konstitusi.
 
 
 
 
 
2. ?hakim? dalam Pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945
Untuk memberi makna kata ?hakim? seperti yang tersebut di dalam
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 akan digunakan 4 (empat)
metode penafsiran suatu perundangan, yaitu: penafsiran sistematik,
penafsiran gramatikal, penafsiran otentik untuk melihat original intend-nya
dan penafsiran sosiologis atau teleologis.
 
Jika mengkaji Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman di dalam
Undang-Undang Dasar 1945 maka akan ditemukan kata-kata ?hakim?,
?hakim agung? dan ?hakim konstitusi?. Jika dielaborasi lebih jauh, kata-kata
tersebut dapat ditemukan sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
a. Kata ?hakim agung? disebutkan sebanyak 4 (empat) buah serta tersebut
di dalam Pasal 24A ayat (1) (2) dan (3) dan Pasal 24B ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945;
b. Kata ?hakim? disebutkan sebanyak 2 (dua) buah serta tersebut di dalam
Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
c. Kata ?hakim konstitusi? disebutkan sebanyak 4 (empat) buah serta
tersebut di dalam Pasal 24C ayat (3) (4) (5) dan (6) Undang-Undang
Dasar 1945.
 
 
 
Pada uraian di atas sudah dikemukakan bahwa kata ?hakim agung? ada di
dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945.
Di dalam Pasal 24A ayat (5) dikemukakan bahwa hal-hal yang berkaitan
dengan ?susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara Mahkamah
Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang?.
Berpijak pada Pasal ini maka secara a contrario dapatlah dikemukakan
bahwa hal-hal selain susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara
Mahkamah Agung yang berkaitan dengan hakim agung didasarkan oleh
Pasal lainnya di dalam Undang-Undang Dasar.
Bila dikaitkan dengan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 yang memuat
kata ?hakim? tetapi secara limitatif hanya mengatur mengenai ?syarat-syarat
untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim? maka dapatlah di
interpretasikan bahwa ketentuan mengenai syarat untuk menjadi hakim dan
untuk diperhentikan sebagai hakim agung akan bersumber dari Pasal 25
Undang-Undang dasar 1945. Berdasarkan uraian di atas maka juga dapat
disimpulkan bahwa hal-hal lain selain mengenai ?susunan, kedudukan,
keanggotaan dan hukum acara Mahkamah Agung serta syarat-syarat untuk
menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim agung?, seperti antara lain:
pengawasan dan pengaturan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat hakim agung akan
didasarkan oleh ketentuan yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945.
 
 
Berdasarkan uraian di atas dengan menggunakan penafsiran sistematik
maka dapatlah disimpulkan bahwa pengaturan kewenangan lain termasuk
di dalamnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran dan martabat hakim agung dan atau hal lainnya yang bukan
 
 
 
 
 
 
mengenai hal-hal ?susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara
Mahkamah Agung serta syarat-syarat untuk menjadi dan untuk
diberhentikan sebagai hakim agung? didasarkan dan bersumber dari Pasal
24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
 
 
Bila dilakukan pengkajian berdasarkan penafsiran gramatikal
terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
 
?Komisi Yudisial...berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim?.
 
maka dapatlah dikemukakan makna penafsiran dimaksud, yaitu hal-hal
sebagai berikut:
 
 
1. Kalimat ?mengusulkan pengangkatan hakim agung? dan kalimat
?mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan...? dihubungkan
oleh kata ?dan?. Kata ?dan? dimaksud adalah kata penghubung satuan
ajaran (kata, frase, klausa dan kalimat) yang setara, memiliki tipe yang
sama dan mempunyai fungsi yang sama (Balai Pustaka, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1995). Dengan demikian kalimat
?mengusulkan pengangkatan hakim agung? mempunyai posisi yang
setara dengan kalimat ?mempunyai wewenang lain dalam rangka
menegakkan...?. Berpijak pada penafsiran ini maka ada beberapa
wewenang yang dimiliki oleh Komisi Yudisial, yaitu: kesatu, kewenangan
untuk mengusulkan hakim agung; kedua, kewenangan lainnya yang
berkaitan dengan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim;
2. Kata-kata ?wewenang lain? di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
justru merupakan suatu penekanan atas beberapa hal, yaitu: kesatu,
ada beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial; kedua,
ada kewenangan yang bersifat khusus yaitu hanya ditujukan kepada
hakim agung saja dalam proses rekruitmen dan ada kewenangan lain
yang bersifat tertentu yang ditujukan pada ?hakim? termasuk hakim
agung, yaitu untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim?.
3. Kata ?hakim? harus dimaknai bersifat ?genus? dan kata ?hakim agung?
bersifat sebagai ?species?. Di dalam bahasa yang lain juga dapat
 
 
 
 
 
 
 
ditafsirkan bahwa kata ?hakim? ini dimaknai sebagai suatu kategori,
sedangkan kata ?hakim agung? adalah sesuatu yang bersifat pangkat
atau jabatan.
 
 
 
Di dalam konteks penafsiran otentik untuk memberikan penafsiran original
intend suatu pasal maka hal tersebut dapat dilacak pada perdebatan ketika
Pasal dimaksud dirumuskan. Pada Rapat Pleno ke-41 Panitia Ad Hoc I,
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 8 Juni 2000, diajukan suatu
usulan bahwa:
?Komisi Yudisial berfungsi untuk...melakukan pengawasan terhadap hakim
agung?
 
?...pengawas yudisial yang mengawasi segala tingkah laku hakim dalam
bidang yudisial yang dilakukan oleh para hakim disemua tingkatan...?
 
(Buku Kedua, Jilid 3C, Risalah Rapat PAH I MPR, Sekertariat Jenderal
MPR-RI, hlm. 433 dan hlm. 442).
 
 
Di dalam Rapat Pleno ke-36 Panitia Ad Hoc dari Badan Pekerja MPR
tanggal 26 September 2001, juga diajukan suatu gagasan yang berkaitan
dengan cakupan pihak yang perlu diawasi oleh Komisi Yudisial, yaitu:
 
?...Komisi Yudisial sebenarnya adalah bukan hanya menyangkut hakim
agung tetapi menyangkut seluruhnya hakim tinggi dan hakim pengadilan
negeri...mengusulkan supaya para hakim ini di filter oleh suatu komisi yang
sifatnya permanen...?.
 
(Buku ke-2, Jilid 8A, Risalah Rapat PAH I, Sekertariat Jenderal MPR-RI,
2001, hlm. 26).
 
Di dalam Naskah Akademis mengenai Rancangan UU Komisi Yudisial
menurut versi Mahkamah Agung juga dapat ditemukan hal-hal yang
berkaitan penafsiran kata ?hakim?, seperti antara lain:
 
 
?...kata hakim disini harus diartikan sebagai seluruh hakim, baik hakim
tingkat pertama, tingkat banding dan tingkat kasasi?
 
(Naskah Akademis Rancangan UU Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung,
hlm. 26 dan 58).
 
?...kami memandang...tugas yang ditafsirkan dari fungsi diatas...
pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung)?.
 
(Naskah Akademis dan Rancangan UU tentang Komisi Yudisial versi
Mahkamah Agung RI, 2003, hlm. 45).
 
 
 
 
 
 
 
Bilamana dikaji berdasarkan penafsiran sosiologis atau teleologis maka ada
cukup banyak pihak yang mendukung kehadiran Komisi Yudisial untuk
menjaga kehormatan keluhuran dan martabat hakim dan mereka secara
eksplisit menyatakan bahwa cakupan pihak yang diawasinya bukan hanya
hakim di pengadilan pertama dan banding saja. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa pendapat, seperti antara lain:
 
 
?...Komisi Yudisial ini tidak hanya ,,, untuk mengawasi para hakim agung
saja, tetapi juga ... dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal
terhadap tugas pengadilan di semua tingkatan? (Prof. DR. Jimly
Asshiddiqie, Makalah, Kekuasaan Kehakiman di Masa Depan, Seminar
yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, 13
Juli 2000)
 
?...kata hakim yang terdapat di dalam Pasal 24B ayat (1)...diartikan sesuai
pembahasan...adalah hanya hakim agung bukan hakim yang lain? (Ahsin.
A Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004, hlm.
175).
 
Berdasarkan seluruh uraian di atas yang mengkaji makna kata ?hakim?
seperti yang tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang dasar
1945 dengan menggunakan metode penafsiran suatu perundangan yang
bersifat penafsiran sistematik, penafsiran otentik untuk melihat original
intend-nya dan penafsiran sosiologis atau teleologis maka dapatlah
disimpulkan bahwa hakim seperti tersebut di dalam Pasal 24B ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya hakim pertama dan banding tetapi
juga termasuk hakim agung.
 
 
 
3. Komisi Yudisial Mengawasi Hakim Termasuk Hakim Agung.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan ?Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan?. Ketentuan lebih lanjut dan
pelaksanaan atas pasal konstitusi a quo lahirlah beberapa Undang-undang,
yaitu: Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Undang-
undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang
No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum, Undang-undang No. 9 Tahun
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-undang No. 24 Tahun
2005 tentang Mahkamah Konstitusi.
 
Dengan demikian pelaksanaan Pasal 25 UUD 1945 mengenai syarat-syarat
untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-
undang bukan merupakan undang-undang yang mengatur khusus tentang
hal tersebut, tetapi merupakan bagian dari undang-undang yang mengatur
tentang struktur organisasi, tugas dan fungsi lembaga yang melakukan
kekuasaan kehakiman. Jadi tidak tepat alasan para Pemohon, karena
syarat-syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditentukan oleh
undang-undang yang berlainan tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak
mampu menjangkau hakim agung, karena memang undang-undang
pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut tidak mengatur tentang
kedudukan hakim dengan pejabat peradilan tetapi karena menyangkut
hubungan antara lembaga kekuasaan kehakiman maka hal tersebut diatur
di dalam undang-undang payung, yaitu: UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
 
 
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
merupakan undang-undang payung bagi seluruh peraturan perundangan
yang mengatur tentang pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Bab V,
Kedudukan Hakim Dan Pejabat Peradilan di dalam Pasal 34 ayat (3)
menyebutkan secara tegas kedudukan hakim dan hubungannya dengan
Komisi Yudisial, yaitu Komisi Yudisial mempunyai kewenangan
pengawasan terhadap hakim agung. Penafsiran para Pemohon yang
menyatakan kewenangan Komisi Yudisial tidak menjangkau hakim
Mahkamah Agung karena untuk menjadi hakim agung tidak seluruhnya
berasal dari hakim tingkat I dan hakim banding, adalah merupakan
penafsiran yang mengada-ada karena yang diawasi oleh Komisi Yudisial
adalah para hakim agung termasuk hakim agung dengan tidak perlu
dibeda-bedakan antara hakim karier atau hakim non karier.
 
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Bagir Manan, SH, menyatakan ?Menurut
undang-undang, Komisi Yudisial mengawasi hakim?. Dengan demikian,
secara a contrario, pejabat atau pegawai dilingkungan badan peradilan
yang tidak bertugas sebagai hakim tidak berada dalam lingkup pengawasan
Komisi Yudisial. Siapakah yang dimaksud hakim? Hakim dalam konteks
 
 
 
 
 
 
 
 
 
pengawasan Komisi Yudisial adalah hakim yang menjalankan tugas yudisial
(bertugas sebagai hakim). Hakim yang tidak sedang menjalankan tugas
sebagai hakim melainkan dalam jabatan lain, misalnya sebagai pejabat
administrasi di badan peradilan tidak termasuk yang diawasi Komisi
Yudisial?. Berdasarkan pendapat Ketua Mahkamah Agung tersebut, maka
amatlah jelas bahwa pendapat para Pemohon yang menyatakan hakim
agung tidak terjangkau pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
adalah merupakan pendapat yang keliru.
 
 
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan
bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial ditujukan dan
meliputi keseluruhan hakim, mulai dari hakim tingkat pertama, banding dan
hakim agung di seluruh lingkungan peradilan;
 
Menimbang bahwa terhadap tanggapan Pihak Terkait Langsung Komisi
Yudisial, para Pemohon pada pokoknya menyatakan keberatan terhadap tanggapan
tersebut;
 
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 6 Juni 2006, telah di dengar
keterangan di bawah sumpah, Ahli dari para Pemohon dan Saksi serta Ahli dari
Pihak Terkait Langsung Komisi Yudisial, masing-masing menerangkan, yang pada
pokoknya sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
Ahli dari para Pemohon Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, SH.
I. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945
 
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
 
Bukti P-24 : Fotokopi surat dari Komisi Yudisial Republik Indonesia kepada Ketua
Mahkamah Agung Nomor 143/P.KY/V/2006, tanggal 17 Mei 2006;
 
Bukti P-25 : Fotokopi surat dari Komisi Yudisial Republik Indonesia kepada Ketua
Ketentuan Pasal 24B ayat (1) menyangkut mengusulkan pengangkatan
Mahkamah Agung Nomor 147/P.KY/V/2006, tanggal 18 Mei 2006;
hakim agung berkaitan dengan ketentuan Pasal 24A ayat (3):
 
Bukti P-26 : Fotokopi surat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada
?Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 27/WKMA-NJ/VI/2006,
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
tanggal 21 Juni 2006;
hakim agung oleh Presiden?.
 
Bukti P-27 : 1 lembar dokumen yang berisi �Beberapa Kasus Campur Tangan
II. Isu Hukum
Komisi Yudisial Di Dalam Pengadilan�, tanggal 27 Juni 2006;
 
Bukti P-28 : Kliping-kliping berita internet mengenai pertentangan Mahkamah
Apakah makna hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 termasuk juga
Agung Republik Indonesia dan KomisiYudisial Republik Indonesia;
hakim agung dan hakim Mahkamah Konstitusi?