BAB V.
MEMELIHARA DAN MEMBANGUN KEBUDAJAAN.


Kebudajaan Kuno.

Kebudajaan Hindu jang hampir merusak dalam tulang sunsum masjarakat, dalam abad-abad selandjutnja ,,dibumbui " pula oleh kebudajaan Barat, terutama jang dibawa Belanda sendiri. Selama lebih-ukrang 350 tahun pendjadjahan Belanda atas Indonesia, bertambah tegas sifat dan bentuk daripada kebudajaannja dalam masjarakat, dan pada saat sekarang ini, dimana kebudajaan Barat makin keras dan kentjang bertiup dari seberang -lautan. Djedjak zaman purbakala tidak terketjuali. Bukan sadja mentjari pengaruh dalam masjarakat di Djawa atau Sumatera, akan tetapi djuga segenap daerah Indonesia , chususnja Kalimantan. Bekas-bekas pemudjaan dan patung-patung pada zaman Hindu masih dapat dilihat sampai sekarang.

Diantaranja ada jang telah musna, hantjur diratakan dengan bumi, akan tetapi bekas keruntuhannja masih dapat diketahui sebagai bukti. Bukti jang akan mendjadi saksi kebenaran adanja tjerita-tjerita itu, bahwa pada suatu waktu, djauh berabad-abad telah terdjadi didaerah itu suatu tempat pemudjaan dan patung-patung, tjandi-tjandi, tempat jang mendjadi kemuliaan bagi beratusratus, bahkan beribu-ribu kaum penganut Hindu dengan penuh chidmat mendjundjung bakti.

Berdasar atas pengetahuan sedjarah, maka asal mulanja hidupnja kebudajaan Hindu di Indonesia mendjelma pada kira-kira 3450 tahun jang lampau, jang datangnja dari bagian bangsa-bangsa As a Tenggara. Terdjadinja perpindahan ini, djustru karena penduduk jang semakin padat. Perpindahan itu dilakukan dengan berlajar memakai perahu dan rakit-rakit, karena mereka adalah bangsa pelaut jang berani jang mengarungi lautan samudra dalam mengembangkan adat- istiadat dan kebudajaannja. Indonesia pada ketika itu masih didiami oleh penduduk asli jang masih amat biadab. Kedatangan bangsa Hindu mendapat perlawanan penduduk asli , dan mereka bertempur terus-menerus, sampai mereka musna bersama penduduk jang baru datang itu.

Menurut sedjarah lama nian pertempuran itu, jaitu antara 1000 tahun lamanja, barulah bangsa Hindu dapat menduduki seluruh daerah Indonesia. Bangsa inilah pula jang dianggap nenek-mojang bangsa Indonesia dewasa ini. Agaknja sebagian dari kaum pendatang itu ada jang langsung menudju ke Kalimantan dan mendjadi penghuni pulau tersebut. Mereka dapat dianggap sebagai nenekmojang dari Suku Dajak jang langsung, sebagai akibat perpindahan zaman purbakala dari bangsa-bangsa Asia Tenggara itu.


Bentuk, sifat dan adat-istiadat Suku Dajak banjak jang mirip dengan bangsa Tionghoa, misalnja terdapat persamaan dalam warna kulit dan tjara berkabung. Sedang nenek-mojang bangsa Melaju, datangnja dari Siam dan Kambodja, djuga sebagai akibat perpindahan jang terus-menerus dari luar Kalimantan. Warna kulit mereka kebanjakan lebih tua daripada kulit suku Dajak. Dalam perkembangan selandjutnja, jaitu dalam abad pertama, barulah Keradjaan Hindu jang mewah dan kaja dengan kebudajaannja, dan menjebarnja kedaerah Kalimantan, terutama dalam soal agama.


Tempat jang pertama sekali djatuh dalam kekuasaan kebudajaan Hindu ialah Kutai, Kalimantan Timur, dan ditempat inilah pula banjak kedapatan peninggalan bekas kebudajaan zaman purbakala itu. Diantara bekas -bekasnja jang masih ada hingga sekarang, ialah berupa barang- barang kesenian jang dibikin dari batu, terdapat dalam gua gunung Kumbeng. Menurut tulisan jang ada pada barang itu, telah diperbuat ketika radja jang bernama Mulawarman, anak dari Sultan Acwawarman dan tjutju dari Kundangga. Batu kesenian ini masih disimpan di Gedung Artja Djakarta. Menurut penjelidikan para achli batu kuno njatalah, bahwa peninggalan batu itu adalah jang tertua di Indonesia.


Dalam zaman itu, oleh orang-orang Hindu di Kalimantan tidak didirikan tjandi-tjandi besar dan kokoh seperti di Djawa atau Bali, baik oleh bangsa Hindu jang pertama setelah abad pertama atau oleh Hindu-Çriwidjaja dan Hindu-Madjapahit. Itulah sebabnja, maka tidak ada sebuahpun diantaranja jang tinggal dalam keadaan utuh sampai sekarang, ketjuali bekas -bekas seperti jang diketemukan di Kalimantan Selatan, jaitu Tjandi Laras dan Tjandi Agung atau bekas-bekas tjandi di Kalimantan Barat, seperti jang terdapat dalam Kabupaten Sanggau. Tjandi Laras dan Tjandi Agung didirikan pada abad ke- 13 diwaktu Keradjaan Madjapahit dibawah pemerintahan Brawidjaja jang pertama. Diantara bekas-bekas lainnja jang diketemukan di Kalimantan, jaitu bekas tjandi di Muara Kaman , Kalimantan Timur, demikian pula didaerah Ketjamatan Wahau, daerah Kutai Tengah, terdapat bekas-bekas jang merupakan tjandi, atau tempat sementara dari patung -patung itu . Digunung Kumbeng , masih terdapat patungpatung Ganesja, Whisnu atau Sjiwa dan ada pula patung Nandi sapi serta patung-patung lain jang diduga adalah patung-patung dari kaum keluarga Maharadja Seilendra pada zaman Maharadja itu bertachta di Martapura, nama Kutai dizaman purbakala.


Berdasar atas pengetahuan inilah pula dapat dikira-kirakan, bahwa rakjat Kutai dalam zaman dahulukala pernah menganut agama Hindu Mahâjana. Jang demikian ini dikuatkan oleh kenjataan-kenjataan jang masih tinggal pada suku Dajak didaerah Kalimantan, dimana tiap-tiap pemudjaan harus memakai alat jang dinamakan ,,djuhan " , jaitu balai-balai ketji jang bertingkat seperti balaibalai tempat meletakkan dan menaruh sesadjen suku Bali . Benda-benda kuno lainnja seperti meriam bangsa Portugis dan Spanjol dahulunja banjak pula disimpan dan dipelihara. Oleh karena besarnja kepertjajaan, maka benda-benda kuno dianggap sebagai barang pusaka jang keramat. Agaknja bangsa Portugis dan Sepanjol pada abad-abad jang lalu pernah pula mendjeladjah seluruh pulau, terbukti dengan benda peninggalannja jang terdapat dipelosok-pelosok Kalimantan sebelah Barat, Timur dan Selatan. Meriam-meriam mereka itu terdapat di Sambas, Bandjarmasin dan Samarinda, disimpan sebagai benda-benda kuno, sebagai perlambang dari bangsa pendjadjah jang hendak merampas isi bumi Kalimantan dengan alat-alat kekuasaannja. Tetapi bendabenda kuno jang tidak dapat diabaikan begitu sadja, dimana nilainja jang tinggi masih dapat dipertahankan terutama oleh suku-suku Dajak, ialah jang berupa tempajan kuno dan piring-piring besar dan gutji tua. Seperti djuga halnja dengan adat-istiadat Negara-negara Asia lainnja, maka di Kalimantan terdapat dalam kalangan suku Dajak pemudjaan terhadap tempajan.

Benda-benda kuno, tempajan dan gutji dari Tiongkok jang paling tua umurnja, sedang benda inilah jang disenangi penduduk asli sebagai tempat pemudjaannja. Kepertjajaan jang demikian ini dikalangan suku Dajak Kenja disekitar daerah Apo Kajan tidak begitu mengindahkan terhadap benda-benda kuno itu, sedang merekapun tidak begitu biasa untuk memudja-mudja. Dalam beberapa bahasa, maka „tong kosong" misalnja mendapat perhatian sederhana, tidak penting, malahan menggambarkan kepalsuan dan kebodohan, tetapi dikalangan suku Dajak, benda kosong itu adalah amat penting sekali, karena dapat diisi dengan suatu benda, dan dalam hal ini ialah dengan benda halus, tegasnja roch. Dalam suatu daerah jang kaja-raja, dimana kaum penghuninja tidak begitu berpajahpajah untuk mentjari makanan, bahkan nasi serta lauk-pauknja datang dengan sendirinja, maka dengan sendirinja pula fikiran mereka dapat dipusatkan kepada lain-lain soal. Hutan rimba-belantara, gunung-gunung, sungai-sungai, kekuatan alam jang dahsjat, semuanja itu menimbulkan fikiran kepada penghuninja, bahwa mereka itu bernjawa pula. Dengan lain perkataan, bahwa alam, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, air, dan api semuanja mempunjai njawa.

Oleh karena dalam kehidupan mereka sehari-hari segala tindakannja diatur sedemikian rupa, djangan sampai menggusarkan roh-roh halus. Roh-roh itu ada jang djahat dan bengis, dan ada pula jang baik. Setiap orang merasa takut sekali terhadap roh djahat, karena kepertjajaan jang demikian telah masuk akal dan masuk pula dalam hati sanubarinja sedjak ketjil, dan akan dibawanja sampai kepada saat mereka mati. Terpengaruh oleh perasaan takut dan chawatir itu, maka dengan mudah timbul hasrat untuk meraju dan mendekatinja agar supaja tidak mengganggu kesehatan dirinja. Sedang roh jang baik suka menolong kepada machluk manusia, lebih mendapat perhatian lagi dan karenanja mereka tidak segan untuk memudjanja setiap saat dan waktu, bilamana mereka anggap perlu.

Maka dengan demikian njatalah sudah, bahwa benda kosong jang sebenarnja tidak ada artinja itu, didjadikan tempat jang tertentu bagi para roh jang baik. Demikian djuga halnja dengan tempajan dan gutji, jang tidak sadja karena terlalu tua umurnja, tetapi djuga dianggap sebagai barang pusaka turuntemurun. Menurut penjelidikan tempajan-tempajan itu ada jang dari tahun 960 sampai 1279 sudah ada ditempat atau didaerah pedalaman Kalimantan jang asalnja dari bangsa Tiongkok. Orang Dajak sendiri amat pertjaja, bahwa tempajan atau gutji sebenarnja berasal dari langit, karena Pahlawan Kadjangka jang berasal dari pedalaman Kalimantan Selatan jang menguasai bulan telah memberikan peladjarannja kepada seorang keturunan Radja Madjapahit untuk membuat gutji-gutji dari tanah, supaja kepandaian itu dapat pula dikerdjakan oleh manusia.

Tidak semua gutji sama bentuk, besar atau tingginja. Ada jang tingginja 50 cm dan ada pula jang tingginja sampai 120 cm . Gutji-gutji mempunjai nama sendiri-sendiri, misalnja „belanga", „berahan" , halamaung", „rantian", „sahajak", „tadjau", „djampa", „djawet" dan „belanai". Sebutan nama-nama lazim dikalangan suku Melaju di Kalimantan Barat, suku Bandjar, dan suku Dajak di Kalimantan Timur. Kebanjakan gutji-gutji tersebut disepuh dengan berbagai warna hingga mengkilat. Sedang badannja dihiasi dengan gambar naga atau ular, karena naga adalah symbool air jang turun dari langit. Harganja amat mahal dan sukar ditjari, biasanja jang mendjualnja ialah orang Tionghoa. Harga jang diketahui pada tahun 1856, ialah ƒ 2.000.—, ƒ 3.000,—, bahkan sampai ada jang berharga ƒ 10.000.— sebuahnja. Pada tahun 1880 Panembahan Sintang, Kalimantan Barat mempunjai sebuah tempajan ditaksir seharga $ 5.000,—. Benda berharga itu senantiasa dipelihara dengan baik dan diselubungi dengan kuning djingga. Salah seorang Kepala Suku jang mempunjai 45 buah tempajan jang besar-besar, telah ditaksir hingga ƒ 150.000,—.

Biasanja tempajan dan gutji keramat adalah kepunjaan segolongan famili atau suku. Dan itulah sebabnja maka pemeliharaan dilakukan setjara bergiliran, berganti-ganti, sekeluarga demi sekeluarga. Sedang jang mengurusnja ialah Kepala Adat, dialah jang menentukan giliran, bahkan dia sendiri harus ikut mengantarkan dan mendjaga djangan sampai rusak. Dikampung-kampung benda berharga itu diberinja tempat jang agak istimewa disebuah gubuk, dan bilamana dikampung itu ada djuga benda-benda lain jang keramat, maka diaturlah barang-barang itu sekeliling tempajan keramat jang baru datang itu.

Sudah barang tentu sesadjian tidak pula ketinggalan diletakkan dekat bendabenda jang dianggap keramat itu. Hasiatnja tempajan itu, selain mendjaga kepada jang empunja dari pada segala penjakit malapetaka, dan iapun dapat dipergunakan untuk menudjumkan apa jang bakal terdjadi terhadap siapa sadja jang ingin mengetahui keramatnja. Untuk sekedar mengetahui tentang chasiatnja ialah dengan memasukkan air kedalamnja dan daripadanja dapat didengar dengan djelas suara air itu. Demikian djuga tempajan-tempajan itu dapat dipergunakan sebagai tempat menjimpan segala matjam azimat, sedang buat peralatan dan pesta perkawinan besar pula faedahnja.

Djika sesuatu pertunangan telah disetudjui oleh masing-masing pihak jang bersangkutan, maka biasanja oleh pihak laki-laki dihadiahkan sebuah gutji sebagai mas kawin tanda pengikat. Sedang dari pihak perempuan menghadiahkan pula sebagai tanda balasan, seekor babi dan lain-lain barang jang setimpal dengan harga gutji tersebut. Dalam beberapa daerah dipedalaman Kalimantan tjara-tjara perkawinan agak berlain-lainan pula, tetapi pada hakekatnja adalah sama sadja, karena adat-adat kebiasaan itu datangnja dari satu tjara. Dalam daerah Kalimantan Barat, pada suku Dajak Landak dan Tajan, waktu hari kawin kedua pengantin jang berpakaian „kebesaran" didudukkan diatas gong dan keduanja bersandar pada tempajan keramat pusaka. Di Kota Waringin tempajan keramat diisi dengan arak dan tuak dan ditutup dengan kain merah. Sedang diatasnja digantungkan pinang setangkai dan sepotong daging ikan atau binatang lainnja jang disembelih untuk pesta perkawinan. Tetapi jang berhak untuk membuka tutup gutji jang berisi tuak hanja oleh Kepala Adat sadja, dan ia pulalah jang memberikannja kepada kedua pengantin untuk diminumnja, dengan doa supaja kedua pengantin, lelaki dan perempuan kelak hidupnja selamat dan berbahagia mendjadi sepasang suami isteri jang beruntung, Selain daripada itu, apabila dalam kampung berdjangkit penjakit jang berbahaja, maka tempajan keramat hendaklah diletakkan ditengah-tengah ruang, dimana mereka tinggal, dihiasi dengan aneka-warna jang indah- indah, kain-kain beludru dan benang mas, kalung -kalung merdjan dan manik dikelilingi benda-benda keramat lainnja. Jang demikian itu dimaksudkan untuk menolak bahaja dan antjaman penjakit.


Apabila penduduk ingin menjampaikan hadjat dan hendak melihat untung baik atau untung rugi , maka merekapun berpesta tudjuh hari tudjuh malam lamanja. Selama waktu berpesta itu, tempajan ditunggu oleh seorang anak ganti berganti. Sedang pada tengah malam tempajan diberinja santapan, dan sesadji. Benda keramat itu dipergunakan djuga sebagai tempat djenazah, lazim disebut ,,sandong " . Tjara mempergunakan tempajan sebagai peti-mati sudah tua sekali, kalau bukan jang tertua atau jang asli. Tetapi bilamana tempajan itu terlalu ketjil untuk dapat dipergunakan sebagai tempat djenazah, maka tempajan itu dibelahnja mendjadi dua dan setelah majat dimasukkan kedalamnja, kemudian dipasang lagi dengan menggunakan perekat dan lain-lain sebagainja supaja kelihatannja seperti biasa, barulah ditutup dengan sebuah gong.


Selama tudjuh hari tempajan disimpan dirumah dan pesta kematian dilangsungkan selama itu. Penguburan dalam tempajan ini oleh beberapa suku dianggap sebagai tjara jang semestinja. Djika mereka tidak dapat membiajai penguburan jang mahal itu , maka tjukuplah diletakkan dalam peti-mati dari kaju biasa sadja, asal diatas kuburan ditaruh gutji ketjil . Dilain daerah terdapat djuga pembakaran majat atau penguburan sementara, tetapi senantiasa tulang -tulang sisanja disimpan dalam tempajan atau gutji. Ada pula jang menjimpannja dengan berhati- hati sekali kedalam peti-mati . Dan apabila mereka telah mempunjai tjukup belandja untuk berpesta mati, maka barulah majat itu dikuburkan disuatu tempat jang tidak berapa djauhnja dari rumah mereka.


Diatas kuburan itu ditaruhnja gutji- gutji jang berisikan tulang-tulang, sedang disampingnja didirikan pula sebuah gubuk. Ada lagi jang menjimpan djenazah dalam peti bambu didalam rumah. Air majat jang menetes dikumpulkan dan ditadah dengan tempajan atau gutji keramat. Dan setelah majat itu ditanam, maka tempajan jang telah berisi air majat itulah jang disimpan. Dalam daerah Sintang, Kalimantan Barat waktu mengadakan pesta kematian, semua penduduk kampung mengeluarkan tempajannja dan menaruhnja diatas para-para bambu didepan rumahnja masing-masing. Ternak besar atau ketjil jang dipergunakan untuk dipersembahkan dikumpulkan dibawah para-para itu.


Tempajan-tempajan dan gutji-gutji ditaruh selama tiga hari dan tiga malam serta didjaga oleh kaum kerabat dari jang meninggal. Pesta arwah itu didaerah sungai Barito disebut ,,usik liau", sedang ditempat-tempat lain masing -masing mempunjai nama sendiri-sendiri. Sampai sekarang ini kepertjajaan kepada tempajan dan gutji sama beratnja dengan kepertjajaan mereka kepada bulan dan bintang jang dapat memberikan sinar jang tjemerlang bagi hidup dan penghidupannja sepandjang menurut adat kebiasaannja. Kepertjajaan jang demikian tebal tidak mudah untuk dapat dihilangkan, ketjuali apabila dalam kalangan mereka sendiri ada kepertjajaan lain, misalnja mengubah agama mereka menganut kepada agama Islam atau Kristen, maka kepertjajaan dan serba matjam tachjul-tachjulan akan lenjap dengan sendirinja. Tetapi bagaimanapun djuga teranglah sudah, bahwa tempajan atau gutji jang dianggap keramat oleh beberapa golongan dari suku Dajak di Kalimantan mengandung pengertian jang dalam, terutama tentang roh, baik leluhurnja, maupun roh lainnja dapat diminta bantuannja dalam beberapa hal penghidupan.


Pemeliharaan benda-benda Kebudajaan Kuno.

Dalam uraian diatas sudah dketahui bagaimana suku Dajak memelihara dan memuliakan benda-benda kuno seperti tempajan dan lain-lain jaitu sepotong dari benda kebudajaan purbakala jang masih utuh tersimpan dari zaman kezaman. Kemudian masih banjak lagi tjabang-tjabang kebudajaan kuno itu jang masih dipelihara dengan baik terutama kesenian seperti seni rupa, seni sastera, dan seni suara. Mengenai kesenian ini bukan sadja suku Dajak, tetapi djuga suku Bandjar atau Melaju sama-sama memeliharanja , seperti tari-tarian, tjeritera-tjeritera kuno dan sebagainja, dimana dapat disaksikan pada setiap waktu dan saat manakala ada kenduri atau selamatan.

Disamping menjediakan makan dan minum untuk tamu disuguhkan pula kesenian-kesenian daerah misalnja „ mamanda " , „, wajang kulia”, „, madihin ” , „,lamut", „,abdulmuluk” dan lain-lain bagi suku Bandjar atau Melaju ; „ nasai” ,, „ hariung lonok",,,kandjan " , „ ganggereng " , „ deder " , „,mansana " dan lain-lain bagi suku Dajak.

Seni ukir tampak pula dipelihara, biarpun dengan pemeliharaan jang sederhana, karena ada tanda-tanda pembiaran disana-sini, namun demikian masih ada sisa-sisanja untuk dilihat seperti, ukiran-ukiran gondjong rumah, ukiranukiran pada haluan dan buritan perahu tambangan, perahu Negara atau perahu Amuntai pada suku Bandjar atau Melaju dan ukiran-ukiran pada patung, hulu parang, dajung kaum wanita, ukiran-ukiran sandung atau pantar pada suku Dajak.

Berbeda dengan daerah lain, di Kalimantan kebudajaan lama itu tidak dipelihara oleh perkumpulan -perkumpulan atau organisasi-organisasi jang chusus, melainkan diserahkan sadja kepada initiatief perseorangan atau suku. Tidak demikian misalnja dengan kebudajaan Barat jang sudah dipelihara dengan baik pula disini. Untuk itu disana-sini kelihatan perkumpulan-perkumpulan musik, olah-raga dan lain-lain jang sama menudju perkembangannja dengan pesat.

Tadinja , pada zaman pemerintah Belanda kira -kira pada tahun 1926 di Bandjarmasin telah didirikan sebuah Borneo Museum. Didalam museum itu dikumpulkan benda-benda kuno jang ada terdapat di Kalimantan serta dipelihara dengan sempurna. Tetapi setelah pendudukan Djepang, isi-isi museum itu habis musna entah kemana ; diduga sedikit demi sedikit diambil oleh Djepang dan lama-lama habis. Sedjak itu lenjaplah sebagian besar dari benda-benda kuno Kalimantan. Mendirikan museum baru, apalagi mengumpulkan benda-benda kebudajaan kuno itu kembali, sampai sekarang masih belum dipikirkan.

* * *
LAMPIRAN:

Memelihara dan membangun kebudajaan.

Daftar banjak Mesdjid dan Langgar Seluruh Propinsi Kalimantan.

Kabupaten Mesdjid Langgar Keterangan
1. Kota Besar Bandjarmasin
12
225
2. Kabupaten Bandjarmasin
223
742
3. Kabupaten Hulu Sungai
247
1680
4. Kabupaten Kapuas
84
46
5. Kabupaten Barito
69
35
6. Kabupaten Kota Baru
177
54
7. Kabupaten Kotawarigin
74
58
8. D. I. Kutai
144
206
9. D. I. Berau/Bulungan
43
33
10. Kabupaten Pontianak
186
219
11. Kabupaten Sambas
126
135
12. Kabupaten Sintang
89
31
13. Kabupaten Sanggau
(tidak ada tjatatan)
(tidak ada tjatatan)
14. Kabupaten Ketapang
46
23
Djumlah:
1620
3487
LAMPIRAN:

Memelihara dan membangun kebudajaan.

Statistik Geredja-geredja Kristen dan Usaha-usaha Sosial Zending Missie di Kalimantan

Kabupaten Mazhab Geredja Rumah Geredja tempat kebaktian Banjaknja Pendeta Penganut Agama Kristen Sekolah² Pekerdjaan Sosial Keterangan
Kota Besar Bandjarmasin
5 djenis
5 buah
12
1500
1 S.R.
1 S.M.P.
1 Sek. Theologia
Kab. Kapuas
3 djenis
66 buah
27
13240
1 Rumah Sakit.
1 S.M.K.
Kab. Barito
2 djenis
47 buah
11
7938
1 Sek. Rukun Puteri.
1 Poliklinik
Kab. Kotawaringin
1 djenis
33 buah
10
3863
1 Sek. Rukun Puteri.
1 S.M.K.
Kab. Hulu Sungai
1 djenis
1 buah
1
275
Kab. Tenggagara
1 djenis
2 buah
1
398

Kab. Kutai
5 djenis
4 buah
18
5103
1 S.R.,
1 Sek. Indjil
Kab. Bulungan
5 djenis
12 buah
17
13339

Berau
1 djenis
1 buah
1
65
2 Sek. Indjil
1 Poliklinik
Kab. Pontianak
3 djenis
2 buah
3
430
1 S.R.
Kab. Singkawang
4 djenis
13 buah
13
1979

Kab. Sanggau
2 djenis
19 buah
16
4769
1 S.R.
1 Sek. Indjil,
1 Poliklinik
Kab. Sintang
1 djenis
3 buah
4
1 S.R.
Tjatatan.

Kalimantan :

Mazhab Geredja 15 djenis.
Rumah Geredja/Tempat Kebaktian 221 buah.
Pendeta a. Bahasa Asing 35 orang.

b. Bahasa Indonesia 118 orang.

Pennganut 52712 orang.

Pekerdjaan Sosial:
Sekolah Rakjat 5 buah, Sekolah Menengah Pertama 3 buah, Sekolah Rukun Puteri 2 buah, Sekolah Theologia 1 buah, Sekolah Indjil 3 buah, Rumah Sakit 1 buah, Poliklinik 3 buah.
* * *
Kebudajaan Daerah.

Daerah Kalimatan adalah daerah penampung bagi segala matjam kebudajaan, jang didalam hubungannja tidak dapat dilepaskan dari adat kebiasaan, kepertjajaan leluhur dan kesenian jang sebenarnja datang dari luar, terutama dari kebudajaan Hindu dizaman jang lampau. Pergantian keadaan dan peralihan musim jang dibawa oleh matjam-matjam pengaruh jang silih berganti datangnja ke Kalimantan, baik jang dibawa oleh bangsa perantau, maupun oleh pendjadjah Belanda sendiri, oleh masuknja peradaban Islam dan Kristen, jang diperbaharui pula oleh kebudajaan Barat dan sebagainja, maka kebudajaan purbakala seperti kebudajaan Hindu dan lain-lain, lambat-laun sirna dan pudar semaraknja.


Hingga kepada saat sekarang ini, diantara 4.000.000 penduduk Kalimantan, hanja lebih-kurang 25% jang masih setia untuk memeliharanja, terutama bagi golongan jang masih menganut kepada kepertjajaan dan agama asli sadja. Apakah agama asli itu? Bagi penduduk asli Kalimantan agama asli, bukanlah agama Hindu atau Budha, akan tetapi adalah agama tjampuran dari kedua matjam kepertjajaan itu, setelah ditambah dan dikurangi dimana perlu oleh keadaan. Orang-orang Belanda memandang, bahwa kepertjaaan kepada agama asli itu dinamakannja „heiden", dan oleh sipenganutnja sendiri dinamakan tantaulang atau agama zaman dahulu.


Pada waktu belakangan ini oleh suku-suku Dajak Kalimantan diberikan pula nama baru buat agama mereka itu, jakni Kaharingan, artinja kehidupan jang abadi diambil dari bahasa Sangiang, jaitu bahasa Dajak kuno. Mengenai asal usulnja agama asli ada suatu dongeng jang menarik, lagi pula merupakan suatu mythe dari religieus jang agak praktis dapat diterima, jang mendekati kebenaran, setelah dibandingkan keadaannja dengan agama Hindu, agama Budha dan agama asli Kalimantan ini. Setelah zaman Hindu-purba lenjap, diganti oleh zaman Hindu Criwidjaja, Hindu Madjapahit-demikian mythe itu didaerah Kalimantan, ketjuali penganut-penganut agama Hindu jang menjembah Brahma, Sjiwa, Whisnu, djuga berdatangan aliran-aliran lain, para pengikut SidhartaBudha. Akan tetapi kedua aliran ini satu dan lainnja amat bertentangan. Jang pertama mengutamakan kasta-kasta jang bergolong-golongan, sedang jang kedua bersifat menjama-ratakan manusia.


Pergeseran diantara keduanja timbul, malah mengakibatkan perkelahian dan pertumpahan darah. Dalam keadaan huru-hara dan ketjau-balau, maka muntjullah diantara mereka seorang jang tjerdas otaknja bernama Tantaulang-bulan. Ia mengusulkan kepada kedua belah pihak jang sedang bertikaian itu untuk mengadakan permufakatan, dan usul tersebut dapat diterima mereka. Tantaulang diangkat dan diakui sebagai pihak ketiga jang bertindak menjusun dan memadjukan pendapat-pendapatnja. Olehnja didjelmakan, suatu agama baru, jang tidak menjebelah kepada salah satu pihak, tetapi mengambil dasar dari kedua matjam agama itu, sebagaimana halnja dengan Marthin Luther jang mengolah peraturanperaturan agama Masehi Lama mendjadi agama Kristen dan Protestan. Sedang bahan-bahannja diambil dari sebagian peraturan dan kebiasaan dalam agama Hindu dan sebagian lagi dari agama Budha, dibumbui dengan pengetahuannja sendiri, sehingga mendjelmalah suatu agama baru. Setelah pekerdjaannja selesai, maka diumumkannja kepada chalajak ramai, terutama dalam kalangan agama Hindu dan agama Budha, dan agama tjiptaannja ini dapat diterima, jang kemudian diberinja nama Tantaulang, jaitu nama dari pentjiptanja sendiri. Sedjak lahir agama baru itu, jang kemudian dianut oleh penduduk pedalaman Kalimantan pada zamannja sampai tiba pula saatnja saingan-saingan baru dalam keagamaan, seperti Islam, Kristen dan Protestan.

Penganut-penganut agama Tantaulang, jang lazim disebut agama Kaharingan mempunjai tiga pesona Tuhan, jaitu Ranjing Mahatalla Langit jang mendjadikan langit dan bumi, Tempen Tellon jang melepaskan dari segala dosa, dan Maharadja Bunu jang menguasai maut. Penganut-penganut agama Kaharingan djuga pertjaja kepada dewa-dewa, Sangiang-sangiang jang tinggal dialam atas kajangan, djuga kepada roh-roh jang berdiam dipohon-pohon kaju besar, diteluk-teluk jang dalam, dalam muara-muara sungai atau dalam goa batu. Roh-roh itu berdiam pula pada beberapa djenis unggas, binatang-binatang buas. Menurut mereka, semuanja itu dapat mendatangkan kebahagiaan — roh baik — dan mendatangkan malapetakan — roh djahat.

Sebabnja djadi Sangiang itu dipertjajai djuga disamping Ranjing Mahatalla Langit, karena Sangiang dan roh halus adalah jang didjandjikan Tuhan Ranjing — dengan perantaraan Sambung Maut dan Sang Paukur — utusan — harus tolong-menolong dengan manusia. Perdjandjian ini disampaikan pula kepada Maharadja Bunu waktu perpisahan dengan saudaranja Tabujau Sangiang dan Tabujau Sangen. Disamping itu, mereka pertjaja pula terhadap Tawur — beras jang ditabur — karena inipun merupakan utusan jang langsung diturunkan oleh Ranjing untuk menghubungkan antara ummatnja dengan Maharadja Bunu, dengan Tempon Tellon dan dengan segenap roh-roh halus lainnja.

Selain itu, bukankah beras memberi kekuatan lahir-bathin kepada manusia? Itulah karena ia ada mengandung mudjizat Ranjing. Tjara manusia memberi perintah kepada beras itu diutjapkan dengan berlaku, „Ehm behas ngandangku bitim, narin djetku ganam, njahuangku namai ngalimbang tatupong Radja Tuntunng Matan Andau Tuhan Tambing Kabanteran Bulan", artinja „Hai beras Kusentuhkan badanmu, kupandjatkan rohmu keatas langit, kusuruh menghadap mahkota Dewa Matahari jang bertachta disamping Dewi Bulan Purnama". Setelah bernjanji dan berlagu, maka dihamburkan beras itu tudjuh kali. Sebagian dari sisanja, jakni 7 x 7 bidji dibungkus dengan kain putih. Pada keesokan harinja bungkusan itu dibuka. Pada udjung beras ada tanda-tanda jang dapat dimaklumi, apakah permohonan jang disampaikan oleh sang utusan terkabul atau tidak.

Penganut-penganut agama asli itu pertjaja djuga kepada Dahiang karena adalah suatu alamat atau tanda bahagia dalam suatu pekerdjaan atau perdjalanan. Hal ini dialamatkan Ranjing Mahatalla Langit dengan perantaan sebangsa burung, sedjenis ular jang tersendiri didjandjikan Tuhan untuk memberi alamat kepada machluk manusia jang pertjaja akan kemurahannja. Siapa jang mengetahui dan pertjaja, maka terhindarlah ia dari bahaja jang menimpa dirinja. Sedangkan hal itu sebenarnja adalah sebagai suatu pertjobaan jang datangnja dari Tuhan untuk membuktikan kepertjajaan manusia.

Kepertjajaan kepada darah, adalah karena telah didjandjikan Tuhan, terutama darah korban jang disembelih untuk sesuatu maksud pemudjaan. Seseorang jang disepuh dengan darah akan menerima rachmat Tuhan. Darah ini seringkali dipergunakan untuk menghapuskan sesuatu kedjahatan, perselisihan dan pertentangan. Oleh karena itu pada zamannja kadang-kadang suku Dajak itu tidak segan-segan untuk menumpahkan darah orang.

 Kepertjajaan kepada Pahanteran, atau pertjaja kepada pemimpin upatjara agama, laksana Pedanda bagi suku Bali dipertjajakan untuk menunaikan sjarat rukun kematian pada waktu Tiwah, Djambe, Njolat Irau dan sebagainja. Dalam hubungan ini, maka masuknja agama Islam dan Kristen amat kehidupan religieus dari penduduk asli Kalimantan, atau sekurang-kurangnja mengurangi kepertjajaan kepada segala matjam pemudjaan jang tidak mempunjai sifat dan bentuk jang lebih njata. Jang demikian ini bukan sadja terdjadi dalam kalangan suku-suku Dajak jang telah lebih dahulu menganut agama Islam atau Kristen, tetapi djuga dalam kalangan penganut-penganut agama asli sendiri.

Karena besarnja pengaruh agama-agama Islam dan Kristen, maka lambat-laun hilanglah sebagian dari kepertjajaan dan adat-istiadat agama mereka, baik sekedar untuk menjesuaikan diri atau benar-benar telah dirasa akan perlunja perobahan dalam tjara menjembah kepada Tuhan . Oleh karena itu dapatlah dianggap. bahwa sisa -sisa adat, upatjara-upatjara jang dilakukan sampai sekarang adalah adat-istiadat atau upatjara-upatjara jang telah beberapa kali melalui saringan-saringan untuk diselaraskan dengan zaman dan alam didaerah mereka sendiri. Dalam hal ini dapatlah ditjatat, bahwa orang jang pertama sekali membawa masuk agama Islam ke Kalimantan, ialah Pangeran Suriansjah dalam tahun 1590, sebagai memenuhi perdjandjian jang dibuatnja dengan Keradjaan Demak waktu Keradjaan Bandjar minta bantuannja. Sunan Demak berkenan memberi bantuan kepada Pangeran Suriansjah, jang ketika itu masih bernama Pangeran Sumadra dalam perebutan kekuasaan dengan Panembahan Sukarama dengan perdjandjian apabila menang perang Pangeran akan dimasukkan Islam bersama seluruh rakjatnja.

 Sedjak waktu itu perkembangan agama Islam hampir merata keseluruh Kalimantan, terutama sebagai pelopor penganut Islam ialah para Sultannja. Dalam tahun 1600 seorang Arab kawin dengan puteri Petong dari Keradjaan Pasir, dan sedjak itu Keradjaan Pasir mendjadi Islam. Keradjaan Kotawaringin dalam tahun 1620, ketika pemerintahan Radja Mahkota. Keradjaan Kutai dalam tahun 1700, jang dibawa oleh Pangeran Adipati. Sedang Keradjaan Ketapang, Mempawah dan Pontianak jang dibawa oleh seorang Arab bernama Sjarief Husin, adalah dalam tahun 1743, 1750 dan 1771. Daerah Kalimantan Utara dalam memeluk agama Islam lebih tua, jaitu dalam tahun 1450 jang djuga dibawa oleh bangsa Arab.

 Asal mulanja Keradjaan Hindu jang ada di Kalimantan seperti Tjandi Laras dan Tjandi Agung atau disebelah Kalimantan Timur, maupun di Kalimantan berperang menolak kedatangan agama Islam. Kebanjakan rakjat jang tidak suka di Islamkan lari kesebelah pedalaman Kalimantan, seperti Kapuas, Barito, Katingan, Kahajan dan Mahakam. Tetapi lambat-laun mengembangkan agama Islam bagi para penganutnja merupakan suatu kewadjiban jang mutlak, dan karenanja mereka berusaha mendjadi muballigh Islam.

 Pangeran Suriansjah sendiri pernah digagalkan dalam pertjintaannja, karena memaksa untuk memperisterikan seorang puteri jang tidak suka masuk Islam. Menurut kissahnja, Pangeran telah meminang seorang puteri Dajak bernama Biang Lawai untuk didjadikannja permaisuri, karena tertarik oleh ketjantikan dan kemolekan parasnja. Biang Lawai adalah saudara dari empat orang Patih Sultan jang amat besar pengaruhnja dikalangan rakjat suku Dajak, jaitu Patih Rumbih, Dadar, Muhur dan Patih Djumput, jang segera mengabulkan permintaan itu asal sadja setelah dikawinkan, puteri Biang Lawai djangan dipaksa masuk Islam. Pada mulanja Pangeran Suriansjah menjanggupi dan tidak keberatan atas sjarat-sjarat jang dikemukakan oleh tjalon permaisurinja itu, tetapi setelah mereka tinggal dalam istana, isterinja itu dipaksanja memeluk agama Islam.

 Berita ini segera sampai kepada empat saudaranja. Dengan perasaan marah mereka datang keistana untuk memperingatkan Pangeran Suriansjah kepada djandjinja, bahwa ia tidak akan berbuat sesuatu jang bertentangan dengan kehendak suku-bangsanja. Suriansjah telah melanggar djandjinja, dan mereka minta supaja saudaranja Biang Lawai dikembalikan kepada mereka.

 Tetapi ketika itu Surianjsah tidak ada diistana. Kesempatan ini membuka fikiran baru bagi saudara Biang Lawai untuk mentjuliknja, dan membawanja lari ketempat asal mereka. Ketika Suriansjah kembali, dilihatnja isterinja tidak ada, maka ia amat marah dan gusar, dan demi diketahuinja, bahwa isterinja ditjulik sendiri oleh keempat saudaranja, maka pada saat itu pula dikerahkannja tenteranja untuk mentjari Biang Lawai.

 Patih Rumpih jang telah mentjulik adiknja sendiri berlindung pada sebuah kampung dibagian Barito, ketika itu kawanan balatentera datang, maka terdjadilah pertempuran ketjil, tetapi kedua belah pihak tidak ada jang mau menjerah. Sepandjang hari dan malam pertempuran dilandjutkan terus. Karena tentera Sultan Suriansjah lebih besar djumlahnja, maka pasukan Patih Rumpih agak terdesak masuk hutan belukar. Karena merasa kalah , maka keempat orang Patih mengundurkan diri pula kelain tempat membikin pertahanan baru diseberang sebuah danau di Kahajan.

 Diatas danau dipasangnja sebuah djembatan melintang jang agak gampang runtuh, sebagai perangkap bagi tentera Suriansjah. Dibawah djembatan dipasangnja pula beratus-ratus randjau dari bambu runtjing. Tidak lama kemudian tibalah tentera Suriansjah ketempat itu. Tidak sempat memperhatikan, apakah djembatan itu hanja suatu djebak bagi mereka , maka ketika mereka berada ditengah-tengah djembatan, dengan sendirinja djembatan itu rubuh, karena tiang-tiangnja hanja diletakkan sadja, dan memang disengadja untuk perangkap. Sebagian besar dari tentera Suriansjah mati, sedang perahu-perahu mereka dirampas, orang-orangnja dibunuh. Sampai sekarang danau jang bersedjarah itu diberi nama ,,Danau Karam ”.

 Dan bagaimana pula perkembangan agama Kristen?

 Riwajat masuknja agama Kristen ke Kalimantan erat sekali hubungannja dengan penjiar-penjiar Indjil dari Djerman dan Swis, karena jang mula-mula mengirim perutusan Indjil adalah Rheinnische Missiongesellschaft zu Barmen jang bekerdja dalam tahun 1836 — 1925. Setelah itu pekerdjaan Zending diterima oleh Evangelische Mission Gesellschaft zu Bazel dari negeri Swis. Dalam tahun 1935 berdirilah Geredja Dajak Evangelis jang bekerdjasama dengan Zending Bazel. Dalam Synode tahun 1950 nama geredja itu diganti mendjadi geredja Kalimantan Evangelis jang bekerdja diwilajah Kalimantan Selatan dan Tenggara, terutama diantara suku-suku Dajak. Kemudian daripada itu, banjak lagi kesatuan-kesatuan Kristen jang sama-sama bekerdja dalam penjiaran agama ini. Ada Kristen Protestan jang pertama sekali masuk, ada Kristen Katholiek, Pinkster dan lain-lain. Mereka terbagi-bagi dalam beberapa wilajah, ialah Geredja Kalimantan, di Kalimantan Selatan dan Tenggara; Zending Bazel bekerdja dalam geredja Kalimantan Evangelis. Assemblies Of God - sidang Djum'at Tuhan 1 mulai pekerdjaannja dalam tahun 1936 di Bandjarmasin, dan pada tahun 1950 di Dusun Timur, jang bekerdja diantara suku-suku Dajak dan Tionghoa. Geredja Pantekosta berdiri di Bandjarmasin sedjak tahun 1932, sedang tjabang-tjabangnja terdapat di Kapuas, Balikpapan, Samarinda dan Tarakan, terutama jang mendjadi pengikutnja ialah suku-suku Dajak dan Tionghoa, serta suku-suku Indonesia lainnja. Geredja The True Jesus Church jang berdiri dalam tahun 1951 pengikutnja melulu orang-orang Tionghoa.

 Geredja Protestan Indonesia, sebagai pendjelmaan dari Indische Kerk dahulu, terdapat dikota-kota pesisir Kalimantan Timur dan Barat jang penganutnja dari suku-suku Indonesia dan Belanda. Demikian djuga nama -nama seperti, The Chinese Foreign Missionairy Union, Kemah Indjil, The Christian And Miss Aliance, Geredja -geredja Thionghoa, Mission Worldwide Evangelisation Crusade, Go Ye Fellowship, Advent Hari Ketudjuh dan Regions Beyond Missionary Union, umumnja terdapat didaerah Kalimantan Barat dan Timur, dan dipedalamannja.

 Demikianlah banjaknja Djema'ah-djem'ah atau pengikut-pengikut Kristen jang terdapat di Kalimantan mulai pada permulaan abad kesembilan belas sampai sekarang ini, terutama dihadapkan kepada golongan-golongan suku Dajak, dimana masjarakat ini sedikit demi sedikit di-nasranikan dan diadjar menulis dan membatja. Dalam mempropagandakan masing-masing agama ini tidak terdapat perselisihan, bahkan tolerantie antara berbagai golongan dapat dipelihara dengan baik, sehingga dapat dihindarkan segala matjam pertentangan jang tidak diharapkan. Ketjuali pada mulanja, jaitu pada permulaan agama Kristen ini disiarkan, telah membawa korban beberapa orang pendeta bangsa Barat, karena mereka memaksakan pemelukan agama itu kepada golongan Dajak, jang sebenarnja belum sanggup untuk menerima adjakan memasuki sesuatu agama.

 Peristiwa ini terdjadi kira-kira dalam abad kesembilan belas, tetapi setelah itu tidak pernah terdjadi perlawanan-perlawanan , mungkin karena keinsjafan atau terdorong oleh sesuatu kejakinan, maka propaganda Kristen berdjalan lantjar dan baik, chusus bagi suku- suku Dajak.

* * *

Beberapa Upatjara.

 Adalah suatu kebiasaan jang hidup dalam masjarakat suku Dajak jang tidak dapat dihilangkan dari pengaruh apapun djuga, ialah anggapan, bahwa selama mereka hidup mengalami tiga zaman jang gilang- gemilang, ialah zaman waktu dilahirkan, zaman kawin dan zaman mati. Anggapan jang demikian ini sebenarnja tidak sadja terdapat dalam kalangan suku-suku Dajak, akan tetapi djuga dalam kalangan ummat manusia umumnja, jang berbeda ialah tjara dan adat-istiadatnja jang telah dimiliki masing-masing oleh suku-suku bangsa dan penganut-penganut kepertjajaan lainnja. Tetapi bagi golongan Dajak tiap datang zamannja itu seakan-akan mereka hidup dalam suasana baru jang diliputi oleh kebahagian, apakah ia berupa lahir, kawin atau mati,

 Kalau seorang ibu telah mengandung 3 bulan, sedjak itu ia telah dihinggapi penjakit pantang. Banjak pula pantangnja itu, antaranja dilarang keluar diwaktu sendja, mandi waktu matahari terbenam, duduk diambang pintu. Ketika kandungannja mendjelang 6 bulan, pantangan djuga tambah banjak. Misalnja tidak boleh berurai rambut, dilarang memaku, sedang makanannjapun terbatas pula. Pantang-pantang ini dilakukan, karena semata-mata pertjaja kepada tachjul, bahwa diluar alam njata ini ada alam gaib, pada mana berkeliaran roh-roh jang baik dan jang djahat. Maka roh-roh djahat ini senantiasa mentjari mangsanja. Antara mangsanja ialah benda-benda atau barang-barang jang masih muda, terutama kepada machluk manusia sendiri, lebih-lebih jang sedang mengandung.

 Mereka amat pertjaja, bahwa semangat seseorang makin lama makin kuat menurut perkembangan hidup djasmani. Karena anak jang masih dalam kandungan atau baru lahir semangatnja masih lemah, harus dilindungi dengan melakukan bermatjam-matjam pantangan, supaja tidak ada kesempatan untuk roh-roh djahat melakukan kedjahatannja. Kepertjajaan kepada roh jang telah mempengaruhi kehidupan mereka, pada saat-saat hendak melahirkan, timbullah bermatjam-matjam kechawatiran, karena roh itu berada pada waktu tertentu dan ditempat-tempat jang tertentu pula. Demikian djuga dalam perkara makanan berlaku beberapa pantangan, seperti larangan makan jang pedas-pedas, sajur-sajur jang mengandung getah dan sedjenis ikan. Dalam masa kandungan sampai kepada saat melahirkan anak, maka pantangan itu tidak sadja kepada ibu jang melahirkan, tetapi djuga kepada ajahnja, jang harus sanggup mendjalani kepantangan itu, misalnja harus menahan nafsu dan kehendak untuk bekerdja jang berat-berat, menebang pohon, menghundjam tiang, apalagi membunuh binatang. Banjak matjamnja larangan itu, tetapi bagi si ajah jang ta’at kepada kepertjajaan itu, Insja Allah mereka akan selamat.

 Bilamana si tjalon ibu sudah merasa ada tanda-tanda akan segera bersalin, maka dipanggil seorang dukun perempuan. Kepertjaan kepada dukun djuga amat tebalnja, karena seorang dukun beranak dianggap mempunjai kekuatan gaib, biasanja dukun amat mahir dalam pekerdjaannja, semata-mata karena banjak pengalamannja. Pembatjaan mantera dilakukan dengan membakar kemenjan dan menabur-nabur beras kuning sebagai pendjagaan diri untuk menolak roh-roh djahat jang akan mengganggu kelahiran baji. Setelah baji lahir, kalau ia tidak menangis, maka oleh dukunnja dipukul tangguk dengan mengutjapkan mantera.

 Baji jang baru lahir dimandikan dan dibersihkan, sedang tali pusarnja dipotong dengan sembilu jang tadjam diatas uang perak, ringgit atau rupiah, dan setelah itu baru dibalut tubuh sibaji dengan seutas tali akar hutan. Selama beberapa hari dukun jang mengasuhnja, sedang tembuni - palcenta - diberi garam dan ditanam atau digantung dibatang kaju jang keras seperti kaju besi dan sebagainja. Penjelenggaraan tembuni - menurut kepertjajaan - mempengaruhi kehidupan djasmani sibaji, karena ditempat meletakkan tembuni dianggap ada tersimpan semangatnja.

 Sekalipun demikian bagi ibunja masih berlaku beberapa pantangan, terutama dalam soal makanan, hal ini semata-mata menurut nasihat dukun tentang boleh tidaknja dimakan seperti larangan makan daging dan beberapa djenis ikan tertentu. Karena adanja anggapan, bahwa baji ada ,,jang memeliharanja” dialam gaib pada waktu sesudah putusnja tali pusar, dilakukan pula upatjara selamatan ketjil. Selama diadakan pesta itu seluruh isi rumah harus berdjaga-djaga, sambil bersenda gurau, bermain-main ataupun menganjam tikar dan sebagainja. Upatjara ini lazim disebut upatjara ..djaga pusar”.

Mendjelang umur baji 40 hari, maka diadakan pula upatjara kenduri jang dilakukan menurut kemampuan keluarga sadja. Kalau seseorang kepala keluarga mampu biasanja dilakukan upatjara agak besar dengan menjembelih babi atau kerbau, sedang jang kurang mampu tjukup dengan menjembelih seekor ajam. Darah-darah binatang jang dipotong itu diambil dan kemudian dimandikan kepada anak dan kedua orang tuanja, bahkan dukun jang selama memelihara baji menerima hadiah berupa uang, beras, djarum dan kelapa, sebagai peng- hargaan terhadap pemeliharaannja. Biasanja djuga hari 40 itu baji diberi nama. Akan tetapi nama jang mengandung arti jang tertentu, misalnja nama pahlawan, nama bintang, pohon-pohonan dan bahkan mama binatang, untuk mudahnja nama-nama jang terkenal.

Tentang djalannja upatjara ..mandi baji", ialah dengan melakukan pemudjaan terhadap roh, lamanja djuga menurut kemampuan, boleh tiga hari, 5 atau 7 hari. Maka pada hari jang terachir keluarga si baji diarak oleh ,.tukang-tukang belian” dengan diiringi tari-tarian, njanji-njanjian jang gegap gempita bunjinja.

Demikian djuga bersama mereka dibawa kepala dan darah binatang jang didjadikan korban. Dengan sebuah perahu jang dihiasi dengan warna-warni dibawalah keluarga tersebut ketempat pemudjaan, jang biasanja dibawah sepohon kaju besar dan rindang dimuara sungai. Ditempat itulah kepala binatang ditenggelamkan atau ditanam dan keluarga baji disiram dengan darah binatang. Konon menurut sepandjang pengetahuan orang jang mengetahui, bahwa korban tidak sadja dari binatang, akan tetapi ada kalanja manusia sendiri didjadikan korban.

Setelah dibatja do'a-do'a dan mantera jang disertai dengan pembakaran wangi-wangian dan upatjara pemudjaan telah pula selesai, mereka pulang kekampungnja dan sedjak itulah upatjara kelahiran selesai.

Dalam upatjara perkawinan dikalangan suku Dajak ada beberapa matjam tjara, misalnja kawin darurat, kawin biasa dan kawin luar biasa. Jang dimaksud dengan kawin darurat, ialah kawin karena terpaksa untuk menutup matu sadja. Walaupun dalam pengertian jang sebenarnja ada persetudjuan dari kedua belah pihak, ketjuali dari orang tua mereka masing-masing. jang satu dan lainnja tidak semufakat. Biasanja antara djedjaka dan dara — gadis — ada hubungan gelap, tetapi seringkali hubungan jang demikian ini gampang tertangkap basah, pada saat mereka berada dalam sesuatu tempat jang agak terlindung. Hal jang demikian inilah jang memaksa mereka harus kawin.

Dalam perkawinan serupa ini upatjaranja tidak terlalu berat, karena lepas dari persetudjuan orang tuanja masing-masing. Perkawinan hanja dilangsungkan oleh seorang ,.belian”, dengan dihadiri oleh ketua-ketua Kampung dan ketua adat, Keduanja diberi tanda — ditandai — dengan darah ajam atau babi, sedang putih telur ajam jang diletakkan diatas beras dengan selembar daun kaju jang tertentu. Disamping itu dilakukan pemudjaan kepada roh dan pembatjaan mantera untuk menolak malapetaka dan kemarahan roh terhadap tindakan kedua machluk jang dianggap tidak senonoh itu.

Demikian djuga, apabila antara budjang dan gadis melarikan diri dan menjerahkan diri kepada kepala adat untuk dinikahkan, maka berlaku djuga adat dan upatjara kawin seperti tersebut diatas.

Dan bagaimana dengan kawin biasa?

Dalam perkawinan ini dimaksud ialah perkawinan jang biasa, dimana seorang anak dara dilamar atau dipinang oleh seorang djedjaka. Biasanja ketika hendak meminang itu jang kemudian diresmikan dalam pertunangan, atau lazim disebut djuga ,,kawin gantung", maka pihak gadis menerima ikatan perkawinan berupa kain dan badju. Pertunangan ini diumumkan kesegenap isi kampung supaja diketahui. Pada waktu itu hadir kepala-kepala adat dan Kampung, dan dalam upatjara itu terdjadilah ,,tawar-menawar" mengenai mas kawin dan sebagainja. Dan pada saat itu pula ditetapkan djarak waktu, hari bulan, bilamana perkawinan itu akan dilangsungkan. Apabila hari perkawinan, maka persiapan-persiapan masing-masing pihak jang bersangkutan amat sibuk, karena pada hari jang telah ditentukan dirumah pengantin perempuan hadir segenap kaum famili, kerabat dan kepala-kepala Kampung serta bakal mertuanja. Demikian djuga sebaliknja dirumah pengantin lelaki hadir pula bakal mertuanja.

Upatjara perkawinan selandjutnja diserahkan kepada rapat Desa dengan diketuai oleh kepala Desa sendiri. Mula-mula diserahkan barang jang disebut ,,pembuka mulut ". Pembitjaraan penjelenggaraan dimulai. Dua orang utusan diangkat jang disebut ,,palui " kedua mereka ini diberi pakaian chusus. Mereka mendjadi perantara dalam hal ini merupakan sandiwara, seakan-akan seorang musjafir ingin membuat ladang disuatu daerah jang asing, tetapi untuk masuk daerah ini ia harus memenuhi sjarat-sjarat dengan rupa-rupa pembajaran. Maka tiap pembajaran biasa dilakukan tawar-menawar dalam suasana jang sungguh-sungguh, kadang-kadang dengan pertengkaran, tetapi tidak kurang gembiranja.

Dalam keadaan seperti itu, maka keluarlah segala matjam pantun, sloka, sjair dan sebagainja, dan tiap-tiap pembajaran jang diterima, disampaikan oleh penghubung kerumah fihak mempelai perempuan. Sedang jang menunggu di rumah ini ialah segenap kepala-kepala adat, kampung dan kaum keluarganja sendiri, sambil bernjanji dan memukul gendang dan rebana, sedang jang muda-mudi menari menurut langkah irama lagu, dengan tingkah lakunja masing-masing. Sekalipun demikian pemudjaan kepada roh tidak pernah dilupakan, bahkan lebih dahulu dari segala matjam upatjara. Hari permulaan dari upatjara itu pemudjaan lazim disebut pemudjaan ,,mentah ", sedang pada hari penutupnja disebut pemudjaan „masak". Untuk pemudjaan ini mereka mengorbankan beras, ajam hidup dan kapur sirih, serta nasi ketan dan lemang sebanjak 8 ikat. Angka 8 bagi kepertjajaan mereka adalah angka untuk melangsungkan perkawinan, sedang angka 7 adalah angka mati.

Upatjara ini melalui tiga taraf, dan taraf pertama ialah berkumpul dan mendengarkan pengumuman, persiapan dan achirnja masa penjelesaian. Pada hari pengumuman dan berkumpul orang-orang hanja berkumpul dan mendengarkan isi pengumuman sadja. Dalam taraf kedua, jaitu taraf persiapan, maka mulailah keramaian dalam arti jang sebenarnja. Pada hari tersebut segala sesuatu untuk upatjara perkawinan ditetapkan dan disiapkan, sedang pada hari terachir, atau dalam taraf penjelesaian maka adalah hari jang utama dan mulia.

Segala pembitjaraan adat-adat dan tata hukum perkawinan harus sudah selesai, sebelum lepas tengah hari. Sebagai tugas terachir, maka penghubung pergi pula mengambil mempelai lelaki jang telah dihiasi, dan bersama keluarganja diarak dengan bunji-bunjian dan tari-tarian dengan membawa pula minjak kelapa dalam botol, pupur basah dalam pinggan, beberapa gutji tuak menudju kerumah pengantin perempuan. Dihadapan rumah mempelai wanita disediakan sebuah kandang dengan seekor babi didalamnja, dan dibelakang rumah diikat seekor kerbau jang akan didjadikan korban. Dalam rumah disediakan tempat pengantin duduk bersanding. Agak djauh dari rumah dari arah mana mempelai lelaki akan datang didirikan sebuah ,,pantan" - pagar penghalang - berpuluh-puluh batang tebu,, dihiasi dengan buah-buahan dan djuadah-djuadah.

Disebelah agak kekiri digantung sebuah gong, talam dan ajam diikat pada delapan batang lemang dan sebuah tanduk kerbau jang diisi dengan air tuak. Setelah rombongan mempelai nampak, terus keluarga mempelai wanita turun disertai bunji-bunjian dan tari-tarian, mereka me-elu-elukan kedatangan mempelai. Rombongan mempelai lelaki bertahan dimuka ,,pantan ", dan ketika upatjara pemotongan .,pantan" dilakukan oleh keluarga pengantin lelaki , masuklah rombongan pengantin kerumah pengantin perempuan. Sementara itu masing -masing keluarga dari pengantin bersiram-siraman minjak kelapa dan bersuapan pupur basah, sambil minum tuak. Ketika mempelai lelaki masuk rumah dan duduk bersanding dengan tjalon isterinja, mereka disambut dengan taburan beras merah putih dan kuning, sedang salah seorang teman pengantin lelaki jang membawa sumpitan terus menjumpitkan anak panahnja melalui bubungan rumah.

Dari dalam rumah bersama dengan mempelai perempuan dengan djari telundjuknja masing -masing digandengkan diarak ketanah mengelilingi kandang babi delapan kali. Sedang seorang paman dari pengantin lelaki bergulat dengan babi hingga babi tewas dengan tidak mempergunakan sendjata. Ketika ia berkelahi dengan babi itu terus disiram dengan air oleh mempelai perempuan. Demikian djuga keluarga dari pengantin lelaki memandjat sebatang pohon jang didirikan disamping kandang babi itu. Pohon ini dikupas batang kulitnja dan disapu dengan minjak babi sampi litjin. Sedang dahan dan puntjaknja digantungkan djuadah, kain, tanduk dan uang kawin . Pohon ini tidak boleh rusak atau patah, ketika hendak menurunkan benda-benda jang bergantungan ditjabang dan dahannja.

Kalau ada diantaranja sampai patah atau rusak, maka mempelai lelaki akan dikenakan denda. Ketika kedua pengantin duduk bersanding, mereka dinikahkan dengan menjapu djidat, pipi, hidung dan seluruh muka mereka dengan darah, ajam dan putih telur, jang ditingkahi dengan suara bunji-bunjian, tari-tarian dan sebagainja. Sedang kerbau jang diikat disebelah belakang oleh jang hadir dilakukan pembunuhan, kepalanja diletakkan ditengah rumah. Malam harinja dilakukan tari tarian pula mengelilingi kepala kerbau tersebut. Sepandjang malam dilakukan njanjian bersenang, bergembira, terutama oleh muda-mudi, berpantun-pantunan, berkelakar dan sebagainja. Tetapi setelah tiga hari kemudian dilakukan pantangan atas kedua mempelai tidak boleh keluar rumah. Pantangan ini namanja „pantang telur" jaitu kedua pengantin mengundjungi ajah-ibunja jang bakal mendjadi mertuanja masing-masing.

Dan bagaimana pula dengan kawin luar biasa?

Kawin luar biasa dilakukan dengan upatjara seakan-akan dalam suasana peperangan, jaitu djedjaka melarikan gadis dengan meninggalkan tanda pada alamat jang tertentu. Orang tua sigadis jang mengetahui anaknja dilarikan orang mempersiapkan diri dengan alat sendjata dengan beramai-ramai merupakan sepasukan angkatan perang menjusul anak gadisnja. Dikampung mana sigadis disembunjikan, orangpun semuanja bersiap-siap dengan sendjata pula. Ditiap tempat persinggahan dan djalan kerumah diikat babi, kerbau, ajam dan binatang ternak lainnja. Dihalaman rumah didirikan pantan pula.

Setibanja rombongan penjusul, maka dibunjikan tanda bahaja, jaitu dengan membunjikan tawak-tawak dengan irama tertentu. Suara gong menginsjafkan orang kampung untuk berkumpul dan tidak ada seorangpun jang berani menampakkan diri. Masing-masing bersembunji. Pasukan keluarga sigadis datang dengan muka jang kedjam dan bengis, dengan pedang terhunus lalu menjerbu kepada ajam, babi, kambing dan kerbau, sedang pohon-pohonan ditebang, pendeknja mengamuk seperti harimau kelaparan. Konon kabarnja menurut sepandjang riwajat, tidak sadja segala ternak jang dibunuh, akan tetapi djuga segala hamba sahaja - budak -.

Machluk-machluk ini didjadikan korban. Tetapi setelah pasukan keluarga gadis itu melewati pantan, maka keluarlah pasukan keluarga lelaki jang melarikan gadis tersebut, jang disertai dengan genderang perang, berteriak-teriak menjanjikan lagu peperangan dengan sendjata ditangannja. Dalam pada itu keluarlah seorang Kepala adat jang bertindak sebagai hakim dengan membatja mantera, berseru dengan suara jang njaring jang umumnja mengandung makna. Kemudian suara-suara ini diimbangi oleh suara dari pasukan penjerang, bersahut-sahutan dan achirnja tertjapailah perdamaian antara kedua belah pihak, sedang segala korban-korban jang telah dibunuh disadjikan kepada mereka untuk dimakan bersama.

Setelah itu baru dilakukan upatjara perkawinan, jang tidak ubahnja dengan upatjara perkawinan biasa. Hanja bedanja segala biaja perkawinan ditanggung oleh pihak lelaki dan bertempat dirumah lelaki pula. Menurut adat mereka, biaja jang dikeluarkan itu agak besar djumlahnja. Tjara perkawinan demikian ini sudah agak djarang dilakukan, tetapi masih belum dapat dihilangkan sama sekali .

Dan bagaimana dengan upatjara kematian?

Soal kematian dalam masjarakat Dajak, sekalipun pada lahirnja merupakan suatu kesedihan, tetapi menurut filsafah-filsafah dikalangan mereka, bahwa soal kematian itu adalah djuga soal kegembiraan, karena untuk ini mereka melakukan upatjara pesta kematian. Mati dalam istilah hari-hari disebutkan djuga ,pulang". Dalam artikata pulang itu menundjukkan suatu kegembiraan. Pulang diartikan kembali ketempat asal dan kekal. Dalam hubungan ini menurut kepertjajaan, bahwa mati itu hanja saat perginja atau terpisahnja badani halus dengan badani kasar sadja.

Dialam dunia halus ini, manusia hidup serupa dengan didunia kasar. Baik tentang bentuk dan umur. Jang tua-tua menurut ketuaan sewaktu meninggal, dan demikian djuga dengan jang muda lelaki maupun perempuan sama sadja. Hanja tiada gambaran jang njata, apakah didunia halus ada perkawinan, kematian dan sebagainja. Kalau dalam suami isteri ada anggapan masih ada hubungannja. Dengan lain perkataan, bahwa sepasang suami isteri dalam dunia kasar ini tetap mendjadi suami isteri diachirat. Demikian djuga tentang baji jang lahir terus meninggal, belum ada kissahnja, betapa keadaannja dialam halus nanti.

Hidup orangpun sama sadja. Orang kaja didunia, mungkin djuga kaja disana. Miskin didunia, miskin djuga disana. Hanja disamping kemiskinan dan kekajaan ini ada pula balasan tentang kebaikan dan kedjahatan. Umumnja mendapat gandjaran. Pahala atau dosa. Tidak dapat disingkirkan lagi. Orang jang baik hidup didunia akan senang sadja disana biar miskin. Tetapi bagi orang jang djahat, akan menderita siksaan pula disana. Sipentjuri harus memikul beban seberat jang ditjurinja, kalau benda seperti djarum, ia akan terus merasa sebagai ditusuk dengan djarum. Bedanja hanja disana itu segala bahan semua ada, tidak usah membeli. Pendek kata disana segala ada. Tetapi ada pula jang mengatakan, bahwa disana itu orang selalu kenjang sadja, tidak usah makan dan minum, karena ketika mtinja seseorang lebih dahulu diberi makan dan minum pada arwah-arwahnja.

Upatjara kematian didahului oleh seorang jang sedang sakit jang ternjata tidak lama lagi akan menutup mata, didjaga terus menerus. Pada ketika matinja, maka gong dan tawak-tawak berbunji dengan irama jang tertentu melagukan lagu kematian. Anak-anak dan keluarga jang mati berkumpul sambil mengurut dada tepat denjutan djantungnja. Majat lalu diupatjarakan dengan adat istiadat, misalnja badan simajat direntang 7 helai benang hitam dan diatur berderet- deret dari sebelah kaki sampai kekepala. Kalau laki-laki kepalanja diarahkan kesebelah udik, sedang perempuan kesebelah hulu dari sungai jang terletak dimuka kampung itu. Kepala majat ditutup dengan sematjam mangkok besar dari kuningan, sedang kakinja ditutup dengan pinggan, diulu hatinja ditaruhkan mangkok ketjil dan matanja ditutup dengan uang perak, biasanja ringgitan atau rupiah. Setelah itu baru dikentjangkan benang dari udjung kaki sampai keudjung kepala, dan kemudian dibungkus dengan kain. Orang- orang jang berkumpul mendjaga simajat dalam upatjara memberi makan arwahnja, sedang makanan itu dihitung serba tudjuh dari segala matjam benda hidangannja.

Ketika itu pula peti mati dibuat jang diberi beberapa ukiran jang symbolik. Pada malamnja orang tetap berdjaga -djaga. Apabila peti mati selesai dibikin, majatpun lalu dimasukkan kedalamnja. Majat itu tidak segera dikubur, melainkan ditunggu beberapa hari lamanja, menurut adat kebiasaan masing-masing. Beberapa orang jang memang disediakan untuk meratapi dan menangisi simati mengutjapkan kata-kata jang pilu dan menjedihkan serta meriwajatkan perdjuangan hidup simati, baik tentang kebaikan dan kemurahan hatinja, maupun tentang kepahlawanannja, sehingga chalajak ramai mengetahui akan djasa-djasanja.

- Setelah sampai ditempat penguburan terus dilakukan penanaman dengan menabur beras dan membatjakan mantera, serta dikubur pula harta bendanja untuk dibawanja kealam baka. Diatas nisan dinjalakan api damar dan lain-lain barang alat hidup. Sedang dirumahnja dilakukan pendjagaan terhadap unggun api selama 7 malam, dan pada achir pendjagaan diadakan kenduri sebagai


(685/B) 22 tjara-tjara selamatan untuk jang masih hidup. Menurut kepertjajaan, maka tempat roh orang jang mati itu terbagi dua satu ditempat ia mati, sedang jang lainnja ditempat nirwana. Jang menempati tempat nirwana ini hanja orang-orang jang sudah diantar kedunia baka. Oleh karena itu adalah mendjadi tjita-tjita dari keluarga simati untuk mengantar roh simati buat menetap tinggal didunia halus.

Untuk mengantarkan roh dilakukan pula upatjara dan selamatan kepada kaum keluarga dan tetangganja selama 7 hari 7 malam. Tulang-tulang orang jang mati dibongkar dan dimasukkan dalam peti jang dibuat tiangnja diatas tanah. Untuk mengerdjakan jang demikian ini dibutuhkan pula beberapa orang budak untuk melajaninja. Untuk mentjari budak amat sulitnja, karena siapa jang mendjadi budak dengan sendirinja ia dikorbankan agar roh dari jang mati selama mendapat anugerah dari korban-korban. Demikianlah beberapa upatjara dalam masjarakat suku Dajak jang masih primitief.

* * *

Upatjara Suku Melaju.

Pengertian Melaju dalam masjarakat Kalimantan kadang-kadang ditjampur adukkan, jakni orang-orang suku Dajak jang telah memeluk agama Islam disebut suku Melaju atau orang Melaju, meskipun sebenarnja ia adalah berasal dari golongan Dajak asli. Dalam daerah sepandjang sungai Barito, hal jang demikian ini lebih kentara lagi, misalnja dalam sebuah Kampung harus memakai dua nama Kampung Lemu Melaju dan Kampung Lemu Dajak jang dimaksudkan untuk membeda-bedakan orang-orang Melaju jang telah memeluk agama Islam, dengan orang-orang suku Dajak - heiden -. Padahal didalam kampung jang disebut Lemu Melaju tidak sedikit orang-orang Dajak berdiam, jang memeluk agama Islam.

Keadaan jang demikian ini memberi kesempatan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk memetjah-belah antara kedua golongan suku itu, bahkan dalam satu suku mereka adu-dombakan, jaitu antara mereka jang memeluk agama Islam, dengan mereka jang belum beragama Islam. Tetapi sekarang ini kedua kampung itu tidak dipisah-pisahkan lagi, melainkan didjadikan satu sadja. Hanja pengertian tentang Dajak dan Melaju bagi orang-orang Dajak sendiri masih samar-samar. Oleh karena itu andaikata dalam daerah Kalimantan diadakan perhitungan djiwa tiap-tiap suku, terutama bagi mereka jang telah memeluk agama Islam, maka amat disangsikan kebenarannja.

Tetapi tidak demikian halnja dengan orang-orang Dajak jang telah memeluk agama Kristen. Mereka tetap sadja menjebut nama dirinja dalam golongan Dajak atau masih tetap orang Dajak. Dengan lain perkataan, sekalipun mereka telah memeluk agama Kristen, namun kesukuannja tidak dihilangkan, djika dibandingkan dengan mereka jang telah memeluk agama Islam amat keberatan apabila mereka disebut masih dalam lingkungan suku Dajak. Sewaktu mereka mengutjap dua kalimah Sjahadat, maka didalam hatinja telah berdjandji tidak sudi disebut Dajak lagi, melainkan telah mendjadi Melaju. Kebiasaan jang demikian ini sebenarnja adalah karena salah pengertian sadja, karena sebenarnja orang-orang Dajak Islam sendiri tidak pula dengan sengadja hendak mengikis nama Dajak sebagai sukunja, tetapi masjarakatlah jang menganggap mereka telah keluar dari golongan sukunja sendiri. Dalam beberapa daerah, bukan suku Dajaknja jang timbul, tetapi daerah kediamannja, seperti suku Pasir, Bulongan, Tidung dan lain-lain jang dianggapnja pengganti perkataan Dajak. Agaknja dalam mempertahankan nama suku-suku ini, terutama suku Dajak di Kalimantan lambat-laun akan hilang lenjap. Hal ini sedjalan dengan maksud Pantjasila Negara untuk meniadakan suku-suku diantara bangsa Indonesia sendiri. Dalam hal ini suku Dajak mungkin akan mendjadi pelopor untuk menghapuskan nama sukunja. Tetapi dalam beberapa upatjara, baik oleh suku Dajak jang telah memeluk agama Islam, maupun oleh suku-suku Melaju, sudah terlalu banjak berbau Padang Pasir, artinja banjak ditjampuri oleh kebudajaan Arab. Hanjak dikalangan suku Dajak Islam sedikit kurang pengaruh-pengaruh agama asli. Upatjara perkawinan diantara suku-suku Melaju di Kalimantan Barat, mempelai laki -laki diberi berpakaian setjara Arab, setjara pakaian Radja Farouk, jaitu bertjelana putih, badju djas putih dengan memakai dress keemasan, memakai dasi jang tjoraknja amat menjilaukan mata. Pada kepalanja terpantjak kopiah tarbus merah model Turki dihiasi dengan ratna mutu manikam, berkaus kaki putih dan bersepatu, serta pakai katja mata hitam, agar supaja nampak keseganannja.

Pengantin wanita memakai rok putih dihiasi dengan benang mas, memakai djamang - hiasan telinga - bersanggul besar, bermahkota jang ditaburi dengan manik-manik, sedang ditangan kirinja dipegang sebuah tas jang berumbai-umbai. Berbeda dengan pengantin laki-laki, pengantin perempuan pakai rok atau kain lunggi hanja sampai didadanja sadja, sedang bagian atas dari badannja ditutupi dengan sematjam sutera halus, tapi tegas kalihatan bentuk tubuh jang ramping ataupun jang gemuk, bahkan mukanjapun ditutup pula. Setelah mengelilingi para tamu lalu duduk diatas pelamin dengan tenangnja, mereka seakan-akan tidak boleh bergerak dan harus tunduk kepada perintah tukang make-upnja. Terlebih dahulu, sebelum kedua pengantin itu duduk bersanding, mereka ditaburi dengan beras kuning dan wangi-wangian, sedang mempelai perempuan tidak boleh membuka matanja, karena bertentangan dengan adat kebiasaan untuk sekedar memelihara nilai wanita dalam pandangan umum.

Dalam waktu sepandjang malam itu pengantin bergilir-ganti pakaian, mengelilingi tamu jang duduk disekitar pelaminan pengantin. Makin besar peralatan perkawinan, makin besar djumlah tamu jang datang, sedang pergantian pakaian berulang-ulang dilakukan sampai 5 atau 6 kali. Dalam pada itu para tamu didjamu makan dan minum beraneka-warna, sambil mendengarkan lagu-lagu kashidah dan pembatjaan Al Qur'an. Pesta kawin seperti ini berdjalan sampai 7 hari dan 7 malam berturut-turut, jaitu bagi keluarga jang mampu dan kaja. Tetapi bagi keluarga jang agak kurang mampu, pesta hanja dilakukan 2 atau 3 hari sadja, bahkan hanja satu hari sadja, karena keadaan jang demikian ini sudah tidak sesuai lagi pada waktu sekarang ini.

Sekalipun dalam peralatan kawin jang agak sederhana, orang terpaksa harus menjediakan sedjumlah uang, karena dalam peralatan kawin itu ada sematjam konkurensi dalam masjarakat, dan siapa diantaranja jang berpesta ketjil sadja, masjarakat seakan-akan mentjelanja. Sjukurlah kebiasaan jang gandjil itu telah hilang sama sekali dalam masjarakat Kalimantan Barat, sekalipun masih ada sementara golongan jang ingin tetap mempertahankannja, terutama oleh golongan kaum radja-radja. Segala upatjara perkawinan jang terdapat di Kalimantan umumnja adalah karena kebudajaan jang dibawa oleh bangsa Arab, jang rapat sekali hubungannja dengan propaganda mereka untuk mendjadikan daerah ini sebagai daerah Islam. Dalam upatjara melahirkan anak dan ketika kematian anak, tidak ada perbedaan jang menjolok mata dengan daerah Islam lainnja di Indonesia. Terutama dalam perkara kematian, jang diturut adalah sjarat-sjarat jang bertalian dengan hukum ke-Islaman.

Dalam hubungan selandjutnja agak penting djuga disinggung bagaimana upatjara-upatjara dari golongan suku Dajak jang beragama Kristen. Dalam hal ini golongan Dajak Kristen lebih radikal lagi, jaitu merombak segala matjam adat-istiadat jang dianggap kuno dan primitief, dan melaraskan keagamaannja dengan tata-tjara Eropah, jang hampir 75% menjimpang dari kebiasaan lama, sedang jang 25% sisanja masih dipergunakan, misalnja tentang mas kawin dan beberapa matjam upatjara-upatjara lain jang dianggap tidak bertentangan dengan adjaran agama mereka, karena jang tersebut belakangan ini, sekalipun mereka telah mendjadi Kristen, namun mereka tidak dapat melepaskan diri sama sekali dari pengaruh dan ikatan agama aslinja dahulu.

Adat istiadat dan kebiasaan jang berlaku dalam masjarakat Dajak, apabila mereka hendak mengadakan upatjara-upatjara, maka jang mendjadi pegangan bagi mereka ialah apakah ada hubungannja dengan agama, tetapi senantiasa menghubungkan segala matjam upatjara dengan keagamaan mereka. Mereka tidak dapat memisahkan antara agama dengan adat kebiasaan, jaitu suatu hukum bagi masjarakat, dimana orang harus tunduk dan patuh terhadap hukum. Untuk menggambarkan perkembangan adat-istiadat serta kebiasaan jang mengikat masjarakat Dajak ini, sudah barang tentu terbatas kepada soal-soal dalam garis besarnja, karena tidak mungkin untuk membaginja dalam bagian-bagian ketjil, sebab perumusan dari segala matjam adat-istiadat diantara 142 suku Dajak memerlukan penjelidikan jang dalam dan menelan waktu jang amat pandjang.

Tetapi satu hal adalah pasti, bahwa antara satu dan lainnja terdapat perbedaan-perbedaan bentuk, sifat dan penglaksanaannja jang harus pula disesuaikan dengan karakter, ketjerdasan dan tingkatan hidupnja sendiri, sekalipun segala perbedaan itu kadang-kadang tidak djauh pertentangannja. Dalam peraturan perkawinan suku Dajak ada beberapa peraturan jang mengikat, tetapi biarpun demikian pertjeraian- pertjeraian tidak pula dapat ditjegah. Pada umumnja pertjeraian-pertjeraian djarang sekali terdjadi, karena pihak jang bersalah atau jang minta tjerai dikenakan hukuman denda, sesuai dengan djumlah jang telah didjandjikan ketika hendak kawin dulu, jang besarnja sekurang-kurangnja Rp. 100, dan kadang-kadang sampai Rp. 1000, -. Tetapi djika pihak perempuan jang bersalah, ketjuali membajar wang denda, diwadjibkan pula membajar kembali sedjumlah wang mas kawin sebanjak jang diterimanja dahulu. Demikian djuga dalam pembatalan pertunangan, maka jang bersalah diharuskan membajar denda jang telah didjandjikan pada waktu mengikat tali pertunangan. Djanda atau suami jang pernah kawin dan telah mempunjai anak, tidak dilarang untuk kawin lagi, hanja ia harus membajar sebuah tempajan tiap-tiap memperoleh seorang anak.

Maksudnja ialah memberi semangat kepada anak, karena ditinggalkan bersuami atau beristeri oleh orang tuanja. Ada pula kebiasaan didaerah Kalimantan Timur, jaitu antara suku Dajak Putuk, jang menjediakan atau membajar dengan tempajan, jakni mereka jang mengawininja kalau ia tidak mendapat anak sendiri atau belum pernah bersuami atau beristeri. Pemberian ini dimaksudkan sebagai suatu pengakuan, bahwa anak dari isteri atau suami sebagai anak kandungnja sendiri. Seorang wanita kalau dahulu bersuami dari kakaknja, maka ia diharuskan membajar „panangkalau” - pesalin berupa kain dan sarung kepada kakaknja - seakan-akan suatu permintaan izin untuk berumah tangga lebih dahulu dari saudaranja jang lebih tua dari dia.

Karena ada pemberiannja menurut adat itu, kakaknja tidak akan berketjil hati, bahkan memberikan izinnja. Kemudian kepada bibinja, saudara perempuan ajah atau ibu diberi pula hadiah kain sehelai jang lazim disebut djuga „sindjang ”, sebagai pembalas djasa sang bibi waktu melajaninja ketika masih baji. Kalau ia mempunjai nenek, akan diberikan pula hadiah kain serupa itu dengan wudjud jang sama. Biasanja segala matjam pemberian itu diminta dari bakal suami gadis itu, dibitjarakan pada hari pertunangannja, waktu membitjarakan djumlah uang antaran dan lain-lain sebagainja.

Pada masjarakat Dajak terdapat djuga suatu kebiasaan atau suatu tjara untuk mengekalkan tali persaudaraan. Maksudnja, ialah saudara angkat, bapak angkat atau ibu angkat. Hal ini bisa berlaku diantara mereka dimana orang asing sekalipun dapat dianggap saudara kandung atau ajah-ibu kandungnja sendiri dengan djalan „hakuman daha", jaitu masing-masing kedua belah pihak menggoris badannja sedikit sekedar untuk mengeluarkan darah. Darah itu ditampung dan ditjampur djadi satu lalu diminum oleh mereka. Dengan demikian telah bersambunglah tali persaudaraan mereka, karena darahnja telah bertjampur. Sedjak itu kedua belah pihaknja tidak menganggap orang lain lagi. Kalau jang bertukar darah itu, laki-laki dan perempuan tidak diperkenankan kawin, andaikata pada suatu ketika mereka ingin mendjadi suami-istri. Harta pusaka saudara jang diperoleh dengan djalan demikian dianggap sjah pula diwarisinja menurut adat.

Salah satu adat kebiasaan dalam masjarakat Dajak jang amat mengerikan dan membahajakan ialah kebiasaan mengajau - memotong kepala -. Dahulukala sebelum bangsa Belanda teratur masuknja ke Kalimantan, adat-istiadat mengajau kepala masih didjalankan oleh suku Dajak, terutama oleh orang-orang bangsawan, bangsa pemberani dan panakawan orang kaja. Hal ini rapat pertaliannja dengan kepertjajaan keagamaan, karena mereka jakin, bahwa dalam alam nirwana kehidupan roh-roh tidak ada bedanja dengan keadaan didunia, jakni siapa jang banjak hamba-budaknja senang dan agunglah keadaan hidupnja.

Segala korban jang diperoleh mereka dalam pengajauan, terutama hambabudaknja jang akan dikorbankannja, setelah mereka meninggal dunia kelak. Ditindjau dari sudut kepertjajaan ini, perbuatan mengajau itu sekali-kali tidak termasuk pekerdjaan jang kedjam dan djahat, melainkan suatu perbuatan jang harus dihormati dan dipudji, menurut sepandjang anggapan mereka sendiri. Dan bagaimana penglaksanaannja? Orang tua-tua jang mengetahui adat dan upatjara mengajau harus tinggal tetap dikampungnja, sementara pemuda -pemudanja pergi untuk mentjari kepala orang jang akan didjadikan korban . Didalam perdjalanan mengajau mereka menahan nafsu, tidak boleh makan garam, ketjuali nasi dan buah-buahan sadja. Berapa lamanja mereka dalam perdjalanan tidak dapat ditentukan, biasanja sebelum berhasil maksud mereka tidak akan kembali. Orang-orang tua jang memegang adat tinggal dirumahpun tidak boleh memakan garam, ikan dan lain-lain, ketjuali nasi selama pemuda-pemuda jang disuruhnja mengajau kepala belum kembali. Tetapi bilamana pemuda-pemuda itu telah kembali dan membawa hasil jang dikehendakinja, barulah pemuda-pemuda pengajau itu boleh memakai tjawat dari kain hitam jang menundjukkan, bahwa mereka adalah terdiri dari pemuda-pemuda jang gagah berani dan diizinkan mentjari pasangan untuk kawin. Ketika itu pula mereka mengadakan upatjara besar-besaran meresmikan kepahlawanannja. Dalam upatjara itu diadakan tari-tarian serta njanji-njanjian, diutjapkan dengan kata-kata proza dan poeizie oleh perawan dan pemuda. Perawan-perawan berebut-rebutan mentjari pasangannja dengan pemuda-pemuda perwira itu. Menurut kepertjajaan mereka, apabila mereka meninggal dunia, akan mendjadi orang jang ternama jang tidak gampang dilupakan masjarakat. Bahkan ia akan mendjadi radja untuk memerintah segala apa sadja maksudnja. Orang-orang suruhan baginja jang terdiri dari kaum hamba-sahaja sudah sedia, jakni orang-orang jang akan didjadikannja korban, jang rohnja dapat dipergunakan untuk adat mereka, sebagai upah dan gandjaran kepahlawanannja selama hidup didunia.

Roh dari hamba-sahaja jang dikorbankan - apabila mereka ini dapat dikorbankan - lebih dahulu harus melakukan pertarungan, dan siapa jang kalah itulah jang harus didjadikan korban.

Dalam hal ini, kalau untungnja malang, ia sendiri jang djatuh djadi korban, dapat dikalahkan oleh lawannja. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan nama atau gelar seperti radja, orang harus lebih dahulu menjabung njawa. Inilah konsekwensi daripada pengajauan kepala. Dan untuk pekerdjaan jang demikian bahajanja, sudah barang tentu jang akan mendjalankannja mesti terdiri dari pemuda-pemuda atau laki-laki jang berani dan nekad. Ketika pemerintah Belanda dapat menduduki kepulauan Kalimantan, maka kebiasaan untuk memotong kepala dan memperbudak manusia tidak diperkenankan lagi, dan untuk ini Belanda akan memberikan hukuman mati kepada siapa jang berani melanggarnja, sekalipun Belanda mengetahui, bahwa pemotongan kepala dalam kebiasaan Dajak itu adalah suatu adat-istiadat dari nenek-mojangnja.

Sikap Belanda jang demikian ini sebenarnja dapat menimbulkan kebentjian bagi suku Dajak, sedang mereka tidak berusaha untuk mentjari ganti jang kiranja dapat dipergunakan oleh masjarakat Dajak untuk mendjalankan upatjaranja . Untuk merumuskan upatjara jang kiranja tidak bertentangan dengan kehendak Belanda, maka oleh kepala-kepala adat diadakan suatu tjara lain, tetapi jang hakekatnja sama dengan mengajau kepala, sekalipun bukan berarti mengajau dengan sebenarnja, asal nama mengajau itu djangan dihilangkan sama sekali. Permintaan itu dikabulkan Belanda, sedang kepada Belanda belum pernah diperlihatkan tjara baru dalam pengajauan itu.

Tjara baru dalam pengajauan hanja tidak dilakukan setjara besar-besaran jang lamanja berbulan -bulan, melainkan hanja untuk beberapa hari sadja, karena mereka amat keberatan djika adat-istiadat itu dihapuskan sama sekali, sekalipun jang melarangnja adalah Belanda sendiri. Kalau dahulu sebelum Belanda datang pengajauan sengadja didjalankan untuk mentjari korban, maka dalam tjara baru hanja berkumpul dalam sebuah rumah, jang terasing letaknja . Mereka berkumpul sambil memalu gong dan tawaj-tawaj , bernjanji dan menari setjara pahlawan terus menerus selama tiga hari tiga malam. Selama itu mereka tidak boleh mendengar suara binatang liar, tidak boleh makan garam, bahkan tidak boleh tidur. Dan siapa diantara mereka jang tertidur maka dengan sendirinja didjadikan korban. Inilah adat baru dalam tjara pengajauan.

Pada hari kedua mereka jang berkumpul itu serempak menjeberangi sungai. Diseberang sungai mereka bernjanji dan menari sepandjang malam, dan setelah itu langsung berangkat pulang menudju kekampungnja untuk membuat apiunggun memanaskan badan mereka masing-masing. Kedatangan mereka disambut oleh para wanita dan gadis-gadis jang masing-masing memberikan sebilah pisau tadjam dan sehelai kain hitam sebagai tanda chidmat, diberikan kepada para pahlawan jang baru pulang dari pengajauan.

Mereka djuga disambut oleh kepala-kepala adat dan orang-orang tua sambil memberikan sebuah mandau-parang tadjam sedang dihadapan mereka berdiri pula orang-orangan-manusia bikinan -. Setelah ada perintah dari kepala adat, maka mereka seluruhnja mengamuk mentjentjang orang-orangan itu, seakan-akan perang lajaknja. Pisau jang diberikan gadis-gadis itu ditusukkan pula kepada beberapa ekor babi jang memang disediakan untuk itu, sedang darahnja disapukan kebadan -badan mereka . Demikianlah pada hari itu djuga diumumkan, bahwa mereka diperkenankan memakai kain hitam.

Udjian terhadap mereka belum lagi selesai, karena mesti melalui udjian satu lagi, jakni ,,berkudung" - mendjalankan pantangan - selama tiga bulan lamanja dengan menahan nafsu, karena dilarang makan telur, ikan, gula, garam, rokok dan dilarang makan dirumah orang jang beragama Islam. Baru setelah lulus udjian tiga bulan lamanja itu mereka dianggap sebagai pahlawan, dan dipandang patut untuk berumah-tangga.

Adat lainnja jang djuga belum dapat dihilangkan dalam masjarakat Dajak, ialah adat ,,tutang" - menjuntik tubuh dengan djarum sekalipun kebiasaan demikian ini kurang dihargakan, terutama bagi suku Dajak jang telah memeluk agama Islam dan Kristen. Tetapi dalam beberapa daerah dipedalaman Kalimantan, adat ini masih dipertahankan terus, masih dianggap sebagai suatu keharusan, baik bagi wanita maupun lelaki. Jang demikian ini amat erat pula hubungannja dengan kepertjajaan agama asli mereka. Tjara mereka mengukir, diambil dua atau tiga bilah djarum dimasukkan kedalam gagang kaju, kira-kira udjung djarum tersembul sedikit keluar lalu dipukul-pukulkan keseluruh badan atau dibagianbagian badan jang hendak ditjatjah.

Sebelum djarum dipukul-pukulkan, lebih dahulu diganggang pada sebuah pelita damar, setelah merah dan panas baru ditusuk-tusukkan ketubuh. Bekas tusukan itu mengeluarkan darah dan sakitnja bukan alang-kepalang. Tidak djarang anak-anak dan wanita jang bertjatjah itu berteriak-teriak kesakitan dan menangis. Tetapi karena kerasnja adat, maka anak-anak atauwanita jang tidak mau berbuat demikian, oleh orang-tuanja dipaksa. Menurut kepertjajaan mereka, apabila mereka telah mati belum lagi bertutang, maka perdjalanannja kesorga akan gelap-gulita, karena roh mereka harus berdjalan kaki kealam baka, dengan melalui beberapa rintangan dan siksaan. Tetapi bagi mereka jang telah mendjalani tutang tidak demikian halnja . Tutangnja itu terang -benderang laksana lampu jang dapat menerangi djalannja ketempat jang ditudjunja, tidak kurang suatu apa-apa. Lain pula halnja dengan melobangi telinga, jang bukan mendjadi adat kebiasaan, melainkan semata-mata hanja sebagai perhiasan dan fantasi-belaka. Itulah pula sebabnja, pada waktu jang achir-achir ini banjak didjumpai wanita-wanita dari suku Sigai, Bahau Putuk dan lain-lain jang umumnja terdapat dipedalaman Kalimantan Timur tidak melakukannja lagi. Bagi mereka jang telah terlandjur melebarkan lobang telinganja, kadang-kadang terpaksa digunting dengan pertolongan dokter. Adat demikian mudah hilangnja, karena lepas daripada adat dan kepertjajaan.

* * *

Hukum Adat.

Sebagai landjutan daripada kepertjajaan jang telah mendjadi turun-temurun, maka sifatnja berubah mendjadi hukum adat, jaitu suatu tata-tertib jang harus diindahkan untuk mengatur gerak-geriknja dalam masjarakat. Tetapi jang demikian ini bukan dianggap sebagai suatu kebiasaan, karena hukum adat disertai dengan sanksi- sanksinja. Tidak kurang dari 100 pasal hukum-hukum adat itu. Didalamnja mengandung bermatjam-matjam larangan, pantangan dan suruhan jang diikatkan dengan antjaman hukuman badan atau hukum ,,faga" dan ,,singer" - hukum denda - jang harus dipatuhi oleh seluruh anggauta masjarakat.

Dengan demikian teranglah sudah, bahwa sebelum Belanda datang mendjadjah di Kalimantan, penduduk asli sendiri telah mempunjai adat pusaka jang kemudian dirumuskan mendjadi sematjam hukum adat. Hanja kurang diketahui, apakah segala matjam hukum itu peninggalan dari hukum- hukum radja di Kalimantan. Ditindjau kepada gelar-gelaran dan pangkat jang diberikan kepada golongan Dajak, seperti gelaran panglima, Kepala kampung dan lain-lain sebagainja jang menarik padjak dan belasting dalam suku bangsanja, adalah datangnja dari radja sendiri, sebagai salah satu tjara menghormati dan harga-menghargai dalam hukum. Sudah barang tentu segala matjam gelaran dan pangkat itu diberikan tidak sekedar menilik kepada sikap, budi pekerti dan kepandaian mereka, melainkan djuga untuk mengikat kepada mereka supaja mendjalankan dan memelihara hukum -hukum tersbeut.

Dalam daerah Kalimantan Barat gelaran itu menjerupai nama binatang buas, seperti Singa, Gadjah, Burung, jang sebenarnja adalah Kepala kampung, Petinggi, Temenggung, Mangku dan sebagainja jang mempunjai tugas lapangan tertentu untuk mendjaga ketertiban hukum. Perasaan menghormati dari kepala-kepala Suku Dajak kepada radja, adalah karena memandang radja itu sebagai utusan jang datangnja dari langit untuk memimpin ummat manusia, dan karenanja harus mendapat bantuan sepenuhnja dari manusia sendiri, terutama dalam menghadapi peperangan dengan musuh. Suatu riwajat jang tidak dapat dilupakan, ialah betapa besarnja bantuan dari suku Dajak kepada radja-radja jang satu sama lainnja berperang. Peperangan itu berdjalan lama sekali sampai bertahun-tahun baru selesai. Kepada suku Dajak jang memberikan pertolongan itu, diberikan kampung tersendiri dan lain-lain bantuan. Djadi agak salah anggapan, bahwa mementjilnja perkampungan Dajak, bukan karena diusir oleh radja, melainkan karena memberikan gandjaran kepada mereka jang telah mengorbankan djiwanja dalam membantu peperangan, dan merekapun dapat menerima hadiah tanah dan kampung itu. Sisa-sisa dari bala bantuan itu hingga sekarang dapat disaksikan didaerah perkampungan di Pleihari, Kalimantan Selatan, dimana mereka hidup bersama dengan saudara- saudaranja, baik jang telah memeluk agama Islam, Kristen, maupun jang masih memeluk agama aslinja. Adalah satu hal jang agak aneh dalam masjarakat Dajak, jaitu apabila mereka telah memeluk agama Islam, atau telah mendjadi orang Melaju, dengan sendirinja berpindah kekampung-kampung orang Melaju. Meninggalkan kampung halamannja sendiri, bahkan segan disebut sebagai orang Dajak, sedang tjara hidup merekapun sedapat- dapatnja disesuaikan dengan masjarakat Melaju.

Ketika pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa di Kalimantan, maka seluruh hukum adat kebiasaan suku Dajak tidak mempunjai sanksi lagi, ketjuali dipelihara sebagaimana mestinja. Tetapi oleh Belanda untuk mendjaga djangan sampai adat kebiasaan jang dianggapnja biadab itu berdjalan terus, lalu diangkat seorang Kepala Adat jang bergelar Demang. Tetapi bukan Demang dalam artian Kepala Distrik seperti jang terdapat di Kalimantan Barat, melainkan hanja untuk mengurus adat istiadat Suku Dajak, disetiap onderdistrik.

Adat jang dipetugaskan kepada Demang-demang itu, mempunjai badan hukum djuga sebagai pengadilan untuk memutuskan segala pelanggaran-pelanggaran terhadap adat. Orang-orang jang bersalah, sebelumnja ditarik kemuka hakim magistraat atau landraad - dibitjarakan lebih dahulu dihadapan rapat adat. Sedang ongkosnja dibajar sendiri oleh mereka jang berperkara itu. Kalau keputusan Demang memuaskan bagi kedua belah pihak jang bersangkutan, maka perkara itu tidak perlu lagi dibawa kehadapan hakim, karena hakim pertjaja sepenuhnja atas beleid jang didjalankan oleh Demang. Tetapi bilamana perkara itu tidak dapat diselesaikan, karena kedua belah pihak tidak merasa puas, perkara itu diserahkan kepada Hakim untuk mengadilinja.

Biasanja orang jang menang perkara dalam rapat adat, maka ia tetap akan menang djuga dalam pengadilan hakim, karena hakim tidak dapat menjanggah segala keputusan jang telah diambil oleh orang sebawahannja. Tetapi segala keputusan itu hanja terbatas kepada pelanggaran-pelanggaran biasa, sedang perkara-perkara jang bersifat kriminil harus diserahkan kepada hakim.

Bagaimana bentuk rumah suku Dajak?

Dipedalaman Kalimantan, rumah-rumah orang Dajak amat tinggi-tinggi tiangnja. Ada jang sampai 5 sampai 10 meter dari tanah, sedang bentuknja pandjang dan besar. Dapat memuat 100-200 orang berkelompok mendjadi satu. Hanja dibatasi oleh dinding - dinding sadja. Merekapun bukan dari satu keluarga sadja, melainkan dari berbagi-bagai keluarga. Rumahnja itu lazim disebut ,,bantang" dibagian Kalimantan Barat, dan ,,Lamai" dibagian Kalimantan Timur. Rumahrumah itu satu dan lainnja djauh letaknja, bahkan amat djauh dari kota. Dalam satu kampung paling banjak ada 3 atau 4 rumah pandjang, tetapi penghuninja amat banjak, dengan seorang Kepala Adat atau Kepala Suku, jang lazim djuga disebut ,,Bakas Lewu " atau,, Ungko Luwu" . Letak rumah mereka kebanjakan dipinggir sungai, karena sungai itulah jang mendjadi djalan bagi mereka djika hendak bepergian. Djika orang memperhatikan salah sebuah sungai di Kalimantan, maka mudahlah diketahui, bahwa kampung jang dikelilingi oleh pohonpohonan jang besar-besar, kelapa, durian, pinang, rambutan dan sebagainja menundjukkan itulah kampungnja orang -orang Dajak. Sepandjang kali Barito jang besar dan pandjang itu, terdapat tidak kurang dari 150 buah kampung.

Umumnja rumah-rumah itu berpanggung, bertiang tinggi-tinggi untuk mendjaga serangan binatang buas. Tetapi jang lebih penting bagi mereka untuk membikin rumah-rumah jang sedemikian itu, ialah untuk mendjaga serangan dari suku Dajak lainnja jang masih suka ,,mendjadjah" kepada sukunja sendiri. Rumah mereka adalah benteng pertahanan mereka. Kalau hanja serangan tombak, sambilung dan parang sadja, maka mereka dapat mempertahankan dirinja dari atas rumahnja. Tetapi kalau serangan dengan panah atau sumpitan, mereka tidak usah chawatir, karena mereka dapat mengelakkannja.

Diantara 400 suku Dajak di Kalimantan terdapat 9 suku Dajak jang besar, seperti Suku-suku: Ot Danum jang terbagi lagi atas berpuluh-puluh suku ketjil, suku Ngadju, misalnja suku Bakumpai - seluruhnja memeluk agama Islam Kapuas, Kahajan , Katingan, Bulik, Batang Kawa, Delang, Dusun, Manjan, Sahiei, Limbei, Pangen, Mahalat, Tawahui, Rakui, Siang, Murung, Barangas, Tamuan dan lain-lain . Suku - suku ini umumnja berdiam di Kalimantan Selatan, sedang bahasa jang dipakainja ialah bahasa suku Dajak Ngadju sebagai bahasa perantara, karena tiap suku Dajak itu berlainan logat dan bahasanja.

Suku-suku Dajak jang terdapat didaerah Kalimantan Barat, terbagi atas dua suku besar, ialah suku Klemantan dan Katungau. Suku - suku ini terbagi pula atas berpuluh-puluh suku ketjil, sedang bahasa perantaraannja ialah bahasa Dajak Serak dan Dajak Mardaheka, Kenjah, Bahau, Apu Kajan, Iban dan suku Murut. Sementara itu ada 14 suku Dajak jang hidup amat merdeka dan bebas, jaitu Ot dan suku Sukung jang tinggal ditengah-tengah pulau Kalimantan, dihutan-hutan belukar, dipinggir-pinggir sungai dan dikaki-kaki gunung Muller, Schawaner. Baik dalam zaman Belanda, Inggeris, maupun dalam Djepang mereka tidak dapat ditaklukkan, entah karena jang berkuasa takut mendatangi daerahdaerah mereka, atau oleh karena sebab- sebab lain, maka hidup mereka tidak dapat dikuasai, dan mereka bebas tidak bajar padjak-belasting dan sebagainja.

Sedang Pemerintah Republik Indonesia sekarang inipun belum berusaha untuk mengundjungi daerah mereka itu, karena djauh letaknja. Hukum jang berlaku ditempat-tempat itu, ialah hukum rimba. Mereka masih amat biadab dan liar, tidak takut berhadapan dengan manusia, baik bermaksud baik, maupun djahat.

Sendjata mereka jang mendjadi pusaka turun-temurun ialah duhung, sematjam keris jang bentuk dan rautnja seperti daun lendjuang, lebarnja lebih kurang 5-10 cm, sedang pandjangnja 30-50 cm, berhulu gading dan bersarung kaju jang ditjat merah. Sendjata lainnja ialah, sumpitan, jang lazim disebuat dalam bahasa daerah mereka „sipet" ,,sipot" atau „sapot". Sendjata ini termasuk sendjata jang utama pula, jang diperbuat dari kaju ulin - besi - bulat dan pandjang, diberi berlobang ditengahnja kira-kira 8 mm garis menengahnja. Tjara membikinnja dipotong kaju jang pandjangnja 3 meter, diberi lobang dengan penggerek. Bahan penggerek dibikin dari batu gunung jang dilebur sendiri. Membikin sumpitan dapat dikerdjakan dengan tangan dan dapat pula dengan kekuatan arus air diriam-riam jang dibikinnja seperti kintjir penumbuk padi. Biasanja dalam satu minggu sudah dapat diperolehnja 10 batang sumpitan. Lobang sumpitan harus lurus dan litjin. Dari sebuah pohon biasanja dapat dibuat 10 - 20 batang sumpitan. Kemudian sumpitan itu diberinja tombak jang runtjing pada udjung sebelah atas, sedang pada sisinja dipasang patokan ketjil untuk membidik. Anak sumpit, ialah damak namanja dalam bahasa Dajak. Anak sumpit diperbuat daripada bambu atau kulit ,,nago" atau ,,rigei" jang keras. Diudjungnja ada kaju gabus jang ringan, besarnja kira-kira sama dengan lobang sumpitan.

Pada udjung damak - anak panah - digosok dengan ratjun jang dapat membinasakan binatang buas atau manusia dalam beberapa menit sadja. Ratjun damak diperbuat daripada getah kaju. Tjaranja mentjampurnja ada bermatjammatjam, jaitu dapat dikeraskan dan diringankan, artinja dapat mematikan burungburung sadja. Kaju jang diambil getahnja, jaitu kaju „siren" namanja. Anak panah itu ditjampur dengan getah kaju tuba atau dengan tjabik rawit kemudian dimasak sampai kental dan hitam pekat. Anak panah jang beratjun itu tidak dapat ditaruh disembarangan tempat, tetapi disimpan dalam tempatnja jang telah disediakan, jaitu „telep" namanja, dibikin daripada bambu jang bertutupkan gabus.

Pandjangnja kira -kira dapat memuatkan damak-damak sebanjak 50 batang, diberi tali pengikat sematjam ikat pinggang supaja sewaktu-waktu dengan gampang dapat dikeluarkan dan dipakai. Menurut adat suku Dajak, sumpitan itu tidak boleh dipotong dengan parang atau diindjak-indjak. Kalau ada jang berani berbuat demikian dihadapan orang Dajak, baik disengadja atau tidak, adalah satu penghinaan bagi mereka. Dan mereka dapat menuntut penghinaan itu dalam rapat adat. Sendjata tombak tidak ubahnja dengan tombak- tombak jang terdapat didaerah lain. Bagi orang Dajak jang pandai melemparkan tombak pada sasarannja djarang sekali jang lepas . Oleh sebab itu, dalam pengembalaan atau berburu dihutan-hutan, kalau bertemu dengan binatang -binatang buas dengan segera binatang itu dapat dibunuhnja. Sendjata ini hampir seluruh keluarga Dajak ada menjimpannja. Sendjata talawang diperbuat daripada kaju jang ringan, tetapi liat, tidak mudah patah. Ukuran pandjangnja 1 - 2 meter, dan lebarnja antara 30 50 cm. Perkakas ini terutama dipergunakan untuk membela diri dalam serangan dengan tombak, mandau dan parang. Disebelah luarnja bergambar-gambar lukisan jang mengerikan, misalnja gambar-gambar hantu, iblis dan setan. Menurut ahli-ahli lukis, lukisan-lukisan itu diperbuat untuk membesar- besarkan atau mengobar-ngobarkan semangat kepahlawanan jang memegangnja , supaja tidak gentar menentang musuh.

Sendjata tadji - sematjam pisau ketjil - dibikin dari batu gunung. Bentuknja amat tadjam sebelah-menjebelah. Ukuran pandjang antara 5 - 10 cm. Jang tjukup terkenal di Kalimantan ialah tadji Dajak Pasir, jang diperbuatnja dari besi batu ,,tengger" , dan sendjata ini dipergunakan untuk menjabung ajam.

Mandau sendjata jang terkenal dalam masjarakat Indonesia sekarang ini, karena ketika pemuda-pemuda Kalimantan berdjuang melawan Belanda, sendjata ini banjak dipergunakan, sedang dirumah pembesar tinggi Indonesia sendjata mandau dipergunakan sebagai alat penghias rumah tangga. Mandau diperbuat daripada batu gunung jang bertatahkan emas, perak atau tembaga. Hulunja diperbuat dari tanduk atau kaju jang dihiasi dengan bulu-bulu burung. Diukir dengan sangat indahnja, kadang-kadang diberi rumbai dari rambut anak dara. Sarungnja diukir dan diperbuat daripada kaju, disisip dengan bulu burung enggang, serta diberi manik-manik jang dianjam dengan rotan jang halus. Untuk lebih menarik kelihatannja, dekat hulunja ditempatkan pula sebuah pisau ketji diikat pada gagangnja. Pisau ketjil itu berhulu bulat pandjang kira -kira pandjangnja 30 cm dan pada udjungnja diberi ukiran pula.

Sendjata dondang diperbuat dari bambu jang runtjing, diberi busur dan bisa menusuk dengan sendirinja, kalau tali busurnja terpidjak. Dondang ini dipasang dalam hutan - zaman dahulu kala dipasang ditempat jang hendak dilalui musuh - sebagai djebakan . Kalau kena sendjata ini , djarang sekali orang bisa hidup, karena ukurannja sengadja dibikin bertentangan dengan djantung, setidaktidaknja perut.

Ponjang adalah suatu sendjata batin. Kalau orang mula-mula berdjumpa dengan orang Dajak, terutama dipedalaman daerah suku Ot, mungkin terkedjut melihat barang-barang jang bergantungan dileher dan dipinggangnja, seperti batu-batu, kaju-kaju, taring-taring binatang, botol-botol ketjil jang berisi obat dan lain-lain. Namanja ini dalam bahasa Dajak „ Ponjang", dapat dikatakan sebagai azimat, bagi suku-suku Melaju jang fanatiek. Tetapi oleh orang Dajak, ponjang dipelihara sebagai pusaka jang turun-temurun, karena sendjata tersebut mengandung chasiat untuk mempertebalkan semangat perkelahian. Tidak takut pada musuh, penolak bala dan penjakit, dan penolak hantu, ratjun dan sebagainja. Sendjata-sendjata atau benda-benda itu harus diketahui oleh umum, karena tidak boleh sama sekali dilangkah atau dipermain-mainkan, oleh siapapun djuga, menurut sepandjang adat dan sumpah golongan Dajak Ot sendiri. Siapa jang berani menghina ponjang jang mendjadi lambang keberaniannja, jang sama artinja dengan membunuh Kepala Suku, maka orang jang demikian wadjib dibunuh.

Bagaimana pakaian suku Dajak? Banjak matjam dan ragamnja. Tetapi jang terang pakaian itu dibikin dari kulit kaju arau, siren, njamu, akar tengang dan kaju beringin, bahkan ada jang diperbuat dari sutera nenas. Bagi lelakinja pakaian mereka diperbuat selain dari kulit-kulit kaju, djuga dari kulit-kulit binatang seperti matjan tutul, beruang jang diperlengkapi dengan manik-manik dan bulu-bulu burung. Menenun badju atau kain jang dipergunakan untuk peperangan jang dinamakan sangkarut". Pakaiannja mereka sederhana sadja, tetapi bagi mereka sudah lebih daripada memuaskan. Kepalanja ditutup dengan sematjam topi, jang dihiasi dengan bulu-bulu burung dan manik-manik jang dipakai oleh kaum laki-laki jang mendjadi Kepala Suku. Untuk anak-anak daranja diperbuat topi dari rotan jang dianjam amat halus serta indah buatannja, diberi pula tatahan manik, benang merah, hitam dan putih.

Anjaman indah pada wanita-wanita dinamakan ,,bawin lewu telo tempun tiawun", sedang topinja bermatjam-matjam pula menurut bentuk dan bangunnja jang terindah dari segala matjam topi wanita. Umumnja orang Dajak dipedalaman Kalimantan amat gemar dengan manik-manik, bulu-bulu burung, anjaman-anjaman halus sebagai perhiasannja. Djuga dengan mas, perak dan tembaga mereka amat senang jang dipakainja untuk kalung atau ikat-pinggang dari ringgit dan perak, jaitu apabila mereka berdandan.

Apakah mereka djuga mempunjai huruf dan aksara? Dan bagaimana mereka mengirim kabar kepada sanak keluarganja, apakah tjukup dengan kundjungmengundjungi sadja? Suku Dajak tidak mempunjai huruf dan aksara. Dan inilah kekurangan mereka sebagai suku asli dari Kalimantan. Bagi mereka tidak ada djandji jang ditulis, tetapi mereka patuh dan setia kepada djandji, karena mereka saling harga menghargai dan tjara mempertjajai. Pada orang-orang suku Ot, tidak ada dalam "kamus" nja perkataan mentjuri, atau membohong. Hanjak ada perkataan rampas dan ambil atau duan dalam bahasanja sendiri.

Mereka tidak kenal pada perkataan atau maksud mentjuri, dan merekapun tidak pandai berdusta, jang demikian itu dapat dibuktikan dalam pergaulan mereka sehari-hari. Setiap djandji jang dilakukan mereka, adalah djandji jang pasti dan mereka tidak suka mungkir djandji, sekalipun djandji untuk berperang dan sebagainja. Tentang tjara mereka berkirim-kiriman kabar, sebagai pengganti tulisan, mereka tulis pada kulit kaju dengan pisau arang atau darah. Namanja tjara jang begini ialah ,,totok bakaka" dan penglaksanaannja, ialah mereka mengirim tombak jang diikat dengan rotan bertjat merah, artinja mengumumkan perang. Kalau mereka hendak meminang anak gadis, maka dikirim sirih dan pinang. Mengirim anak randjau, artinja minta bantuan karena ditimpa bahaja. Mengirim tombak jang dikapur matanja, maksudnja minta bantuan sebesar-besarnja, karena kalau tidak, maka seluruh suku akan mendapat malapetaka.

Demikian djuga dengan mengirim abu dan air jang maksudnja memberi tahukan tentang adanja kebakaran, sedang air dimaksudkan ada orang jang mati tenggelam jang tidak diketahui namanja, biar datang sendiri untuk mengenalnja.

* * *

Memadjukan Kesenian.

Apa jang dinamakan kesenian dalam masjarakat Kalimantan sebenarnja telah lama tenggelam bersama dengan lenjapnja beberapa buah Keradjaan, sedang dalam beberapa Kesultanan sekarang ini jang terdapat di Kalimantan Barat dan Timur tidak mendapat pemeliharaan sebagaimana mestinja. Jang ada sekarang ini hanja bekas-bekas peninggalannja sadja. Soal kesenian jang pada umumnja tidak dapat dilepaskan dari soal kesukuan dan kedaerahan, karena tiap suku dan daerah mempunjai keseniannja masing-masing.

Kesenian Bandjar jang ada sampai sekarang ini adalah merupakan perpaduan kesenian daerah asli dengan kesenian jang datangnja dari luar daerah, dengan demikian sifatnja agak istimewa. Kesenian ini dapat dibagi dalam tiga bagian, jaitu kesenian tangan , pertundjukan dan kesusasteraan. Kesenian tangan termasuk kepandaian membuat bangun-bangunan, perhiasan dan ukiran. Kepandaian dalam membuat bangunan ini nampak pada rumah-rumah kuno dengan ukiran pada pintu masuk, pelis atas dan udung bubungan. Ukiran-ukiran ini berupa pahatan pada kaju, kerawangan dengan lukisan daun, bunga-bungaan dan binatang burung.

Kadang-kadang ditjampuri dengan tulisan huruf Arab. Djuga terdapat pada ukiran-ukiran chusus pada perahu tambangan dan perahu Amuntai jang melukiskan daun kangkung merajap dan bunga ilung. Umumnja bangun-bangunan asli Bandjar berpokok pada bentuk bubungan atap, seperti rumah adat, dengan bubungannja jang melintang tinggi serta mempunjai dua andjung. Lain-lain bangunan lagi, adalah palimasan dengan bubungannja jang membudjur serta djurai muka menurun merupakan bentuk pyramid. Bentuk rumah jang memandjang dengan tidak berpendjuru bubungannja tidak berdjurai, tapi membudjur dengan muka rata, dan bentuk gadjah menjusu dengan bubungan melintang serta dua andjung jang melontjong kemuka merupakan dua anak rumah-paviljun.

Oleh pertimbangan-pertimbangan praktis, maka sekarang orang lebih suka membangun rumahnja menurut bangunan-bangunan buatan arsitek. Dalam pembikinan perhiasan jang dibuat oleh tukang mas. djarang terlihat motief-motief asli lagi, kebanjakan sudah meniru motief dari toko -toko mas Eropah dan Tionghoa. Tetapi pembuatan barang -barang kuningan dari daerah Negara - Hulu Sungai masih terdapat dalam bentuknja jang asli. Bokor tempat sirih, kupukupu dan burung perhiasan dinding serta maquet jang merupakan rumah adat dan perahu tambangan, masih menghiasi balai -balai pertundjukan. Kadangkadang masih didapati orang -orang jang pandai membuat wajang, topeng dengan tjara bikinan sendiri jang tidak gampang luntur.

Sedang kesenian pertundjukan termasuk permainan wajang, wajang orang, tari-tarian, arak-arakan dan mamanda. Permainan wajang termasuk pertundjukan jang masih amat digemari, tidak lumpuh oleh pukulan zaman. Pertundjukan ini memang berasal dari Djawa, bahkan kata- kata dalam pertunjukan banjak mempergunakan kata-kata Djawa, hanja berubah edjaannja sadja, sedang tjeritanja tidak berbeda, bersumber dari pakem Djawa, tetapi tjeritanja banjak sindiran jang memperlihatkan aliran tersendiri. Kalau di Djawa dalam tjara melukiskan keberanian dan keangkaran , lalu diambil peranan Pandawa berhadapan dengan Kurawa atau raksasa-raksasa , maka peranan keangkaran banjak dilukiskan dengan dewa-dewa. Karena umumnja Dewa-dewa selalu angkara, sedang Pandawa senantiasa ditindas oleh kajangan, jang kemudian sering berachir dengan menangnja Pandawa sebagai manusia jang benar terhadap Kajangan selaku dewa-dewa jang murka.

Djarang Narendra Darawati dilukiskan sebagai Sang Utama, tetapi banjak dilukiskan sebagai peranan keluarga Pandawa jang suka memihak musuh. Wajang orang, jang djuga terkenal dengan sebutan wajang gong, Damarwulan atau Abdulmuluk. Tjeritanja jang lazim dimainkan ialah dari pakem Batara Rama dan Damarwulan . Kata-kata jang dipergunkan dalam pertundjukan tidak berbeda dengan dalam permainan wajang, jaitu bahasa Bandjar dengan ditjampuri kata-kata Djawa Kuno. Berbeda dengan wajang orang di Djawa, maka setiap peranan memakai tjabang jang melukiskan peranan wajangnja hingga leher. Pakaiannja djuga tidak memakai kain batik dan tjelana sempit, melainkan bertjelana, berkemedja dan berdjas mengarah pakaian barat abad kesembilan belas.

Tarian menurut irama gamelan. Tarian biasa memakai selendang jang melukiskan suatu peranan membawa alat- alat seperti bunga, lilin, keris, panah, perisai dan tombak, jang lazim disebut baksa. Pada baksa jang mempertundjukkan peranan ini, peranan dilukiskan dengan tjara-tjara tariannja tersendiri, seperti, peranan Temenggung Djajadirata dari Astina dalam baksa dadab, Patih Gandamala dari Mandaraka dalam baksa keris, Hanoman dalam baksa pisang dewi Sekartadji dari Kediri dalam baksa Kembang dan baksa lilin, dan bidadari Supraba tudjuh sekawan dalam tari ,,Urung -urung batang".

Dalam tarian topeng jang pemainnja selalu wanita, ketjuali jang dimainkan peranan badut, adjar dan raksasa-saksasa. Pemain jang seorang itu berganti ganti mengenakan topeng peranannja, djarang peranan dimainkan berhadaphadapan. Pada topeng Bandjar terdapat peranan -peranan jang diambil dari tjerita Pandji dan Wajang Purwa. Peranan-peranan ini dapat dikenali dari rupa dan bentuk topengnja, seperti, Pandji Wanengpati dengan topengnja jang berwarna putih, raut muka jang halus mata ketjil. Gunungsari dengan rautan muka dan warna jang hampir serupa tetapi memakai palis putjuk rebung. Dewi Sekartadji dengan topeng berwarna putih kuning, rautan muka sangat halusnja ~ lambang ketjantikan -. Panambi ~ Samba Peranggaruda dengan topengnja berwarna biru dan Narendra Darawati dengan topengnja berwarna hidjau dan bermisai. Selain dari pada itu adalah topeng-topeng jang kasar rautan mukanja, bermata besar dan kadang -kadang bertaring, berwarna merah atau hitam, jaitu topengtopeng jang menunudjukkan peranan Prabu Gilingwesi, Ratu Sabrang, Radja Katingan, Temenggung, Patih, Demang dan raksasa-raksasa Alan-alan, Daliu dan Rangga serta topeng Adjar dan Togog, kemudian topeng-topeng badut Pentul Tamban, Tjamplung dan Amban.

Pada pertundjukan wajang orang, baksa dan tarian selalu dipergunakan gamelan selengkapnja, jaitu gamelan pelok untuk berwajang dan salendro untuk tarian. Gamelan Bandjar selengkapnja merupakan 2 sarun, serentam, kedemung, gender, bonang, gambang, kenong, gong dan sebagainja. Lagu-lagu jang dimainkan ialah lagu-lagu gamelan jang berasal dari Djawa dan Bali. Jang berasal dari Djawa, ialah lagu-lagu ajak-ajakan, sumbu gelang, ketawang, kembang muni, gajam, lagu kentjang dan lain -lain sebagainja. Dan jang berasal dari Bali ialah lagu-lagu wani, tiba wani-wani, pantjang buang, paksi muluk, sumbu langit, dan lagu-lagu tjendera. Dari kedua sumber inilah terbentuknja gamelan Bandjar jang sekarang ini.

Tjontoh-tjontoh kata-kata dalam wajang Bandjar, ialah „ Siapa waruh, siapa tembuh. Djadjar djadjarani pasibani sintan. Djadjar urang dinagara Sukalima Madigandapura, djadjar urang dinagara Pandawa. Sintan kindal djumenang nata, la iku rupani Prabu Darmakesuma".......... Njatalah, bahwa edjaan Djawa Lama berpadu dengan kata-kata Bandjar. Pada arak-arakan dikenal tari kuda bepang jang diambil dari permainan Djawa „Djaran kepang". Pertundjukan ini mendjelaskan peranan pasukan Temenggung Djajadirata, Panglima Astina. Berbeda dengan pakaian djaran kepang, maka penunggang-penunggang kuda bepang tidak memakai batik, tjelana pendek dan ketopong, melainkan dengan kepala terbuka bertjelana pentalon, berkemedja dan berdjas.

Permainan ini memakai tabuhan terdiri dari gendang, gong, dan angklung, sedang permainan mamanda mengarah wajang orang tetapi tutur katanja, pakaian dan tabuhannja adalah saduran dari Melaju Semenandjung. Pakaiannja serupa dengan pakaian penunggang kuda bepang, tabuhannja gendang, biola, sedang tutur katanja asli Melaju Djohor. Tjerita jang diambil dalam permainan itu, lazimnja tjerita Abdulmuluk dan Siti Zubaidah. Bermain mamanda lazim disebut djuga ber-abdulmuluk. Kesenian dan kesusasteraan termasuk sjair, sadjak dan bertjerita. Sjair- sjair Bandjar tidak meluas lagi dilapangan pembatjaan, karena sjair- sjair ini merupakan tulisan tangan 7 huruf Arab 7 jang menurut penjelidikan dikarang antara tahun 1860-1900.

Dan bagaimana pula dengan kesenian Dajak?

Kesenian Dajak rupanja lebih tua dari pada kesenian suku Bandjar dan Melaju. Memang sebenarnjalah, bahwa untuk daerah Kalimantan, kesenian jang mula-mula ada ialah kesenian Dajak, kesenian penduduk asli. Tentang dari mana asal usulnja kesenian ini dapat dinukilkan pula dalam sedjarah kesenian Hindu, Budha, Tionghoa atau Spanjol dan Portugis. Tetapi menurut dongengan orang-orang Dajak sendiri, kesenian mereka bersumber pada langit, sewaktu seorang putera dari ,,Antang Badjela Bulau" dibuang kedunia, karena sesuatu kesalahan di Alam Atas.

Putera Dewan inilah ,,Mahaguru" jang pertama bagi suku Dajak dalam kesenian. Entah benar , entah tidak wallahu a'lam, tetapi kejakinan mereka jang telah turun-temurun itu mempengaruhi kehidupan merka, djustru karena kesenian mereka jang datangnja dari kajangan itu , jang dapat pula dibuktikan, bahwa kesenian mereka adalah kesenian jang paling tua umurnja. Kesenian mereka banjak ragam dan bentuknja, misalnja seni rupa, sastera, seni suara dan seni tari. Hanja nilainja kurang mendapat perhatian, djika dibandingkan dengan kesenian daerah Kalimantan lainnja. Kesenian mereka masih amat rendah mutunja, karena jang digambarkannja adalah peribadi orang-orang Dajak sendiri jang hingga sekarang belum mendapat pembaharuan.

Amat sajang kesenian ini belum pernah dibumbui untuk mengabadikan nilainja jang asli, atau dipermodern sedemikian rupa sehingga mendjadi kesenian jang dapat diketengahkan kechalajak ramai. Dapat dikatakan, bahwa kesenian Dajak dibiarkan hidup dalam keadaan morat-marit. Tidak dipelihara sebagaimana mestinja. Hanja ketika hendak mempergunakannja barulah dibersihkan akan tetapi setelah itu dibiarkan begitu sadja. Pengetahuan orang -orang Dajak sendiri tentang kesenian leluhurnja timbul tenggelam sadja dalam ingatannja.

Satu atau dua matjam kesenian daerahnja jang diketahuinja bukan diperolehnja dari hasil peladjaran jang sesungguh-sungguhnja, tetapi sambil lalu sadja, setelah demikian mahirlah mereka, menurut ukuran mereka sendiri. Tetapi apakah kemahiran ini dapat dipertanggung djawabkan, agaknja masih disangsikan. Ketjuali itu, masuknja kesenian dari luar daerah, terang akan mendjungkarbalikkan kesenian daerah. Pukulan jang diterimanja, sebagai akibat mengalirnja kesenian-kesenian baru dan modern amat dirasakan. Kesenian baru jang datangnja dari Barat dengan lambat laun menenggelamkan kesenianh daerah, karena kesenian baru itu merupakan saingan jang amat hebat, karena dalam waktu jang pendek sadja kesenian baru telah meluas dikalangan masjarakat.

Tidak sedikit dari djumlah penganut kesenian asli jang sekarang ini meninggalkannja, karena tidak tjotjok lagi dengan perkembangan zaman, karena kesenian leluhur, kurang indah dan kuno, dan sebagainja. Bukan tentang seni suara atau sastera sadja kesenian daerah itu digeser kepinggir, melainkan djuga kesegenap tjabangnja. Djadi apa jang diperlihatkan dewasa ini sebagian sadja dari kesenian leluhur jang masih dapat dipertahankan ditengah-tengah arus penjerbuan kesenian luar. Dalam pada itu bimbingan dari Pemerintah amat diharapkan untuk djangan ragu-ragu menampung sisa-sisa kesenian daerah, dipadukan dengan kesenian luar jang kiranja dapat dipergunakan dalam tingkat zaman sekarang.

 Seni sastera suku Dajak selalu berhubungan dengan seni suara, karena tiaptiap tjerita, riwajat, sedjarah, dongengan dan lain-lain ditjeritakan sambil berlagU jang lazim disebutkan „Mansana”. Misalnja suatu kissah sedjarah silsilah orang Dajak menurut dongeng , ditjeritakan seorang pahlawan jang bernama Sempong dengan pembantu-pembantunja. Sempong kemudian melahirkan anak bungai dan rambang, ialah Penghulu atau Radja, jang dilagukan dengan bahasa Dajak kuno.

 Seni suara lainnja seperti „Mangarungut”, „Mangandan”, „Mamanjung”, dan „Manitih adalah seni-seni suara jang populair dikalangan masjarakat Dajak dahulu. Kissah romantis pemuda Bandar dengan puteri Bungsu, didjalin setelah kekuasaan Belanda berada di Kalimantan, karena didalamnja disinggungsinggung djuga pangkat-pangkat dalam pemerintahan kolonial, seperti Djindal — djenderal — dan lain-lain dikissahkan sambil berlagu memakai bahasa jang mudah dimengerti.

 „Mangandan", adalah pudji-pudjian kepada ramu atau orang besar-besar, dilagukan dengan memakai kata-kata pilihan, sambil ,,Mangandan" tukang-tukangnja jang terdiri dari kaum wanita memegang tjangkir tuak jang akan dipersembahkannja kepada tamu. Tidak ada pembesar-pembesar jang datang kedaerah Dajak, jang ta' pernah disuguhi tjangkir tuak ini.

 „Mamanjung", ialah seni suara dengan bunji-bunjian gong jang dipalu dalam irama jang tertentu — lagi kematian — Orang jang djauhnja dari tempat dimana diadakan seni suara itu lekas mengetahuinja, bahwa pada saat itu ada orang jang meninggal dunia.

 ,,Mamatih" sama halnja dengan seni-suara, tetapi sesaat setelah jang mati itu menghembuskan nafasnja jang penghabisan barulah tjara „Mamanjung" diadakan dan diganti dengan instrumen lain-lain jang dipakai oleh orang Dajak sebagai alat musiknja, ialah Gong, kenong, gendang, ketjap, rebab, garode dan lain-lain sebagainja.

 Seni tari suku Dajak tidak seberapa indahnja dan kurang banjak matjamnja, tambahan pula sulit untuk menarik garis batas, apakah itu suatu kesenian atau upatjara jang ada hubungannja dengan keagamaan. Oleh sebab itu, orang-orang Dajak jang sudah memeluk agama Islam atau Kristen agak segan-segan untuk ikut menari, karena dalam anggapannja suatu tjara dari pemudjaan dewa-dewa. Untunglah sekarang alam pikiran pemuda- pemudi agak berubah, setelah hidup bahwa „Tari untuk seni" sambil melupakan, untuk apa ia mulanja dibuat.

 Sematjam tarian „Ganggereng", adalah pemuda-pemudi berhadap-hadapan menari masong-masong memegang dua batang bambu jang diisi dengan batu kerikil, sehingga kalau digontjang mendjelmakan bunji jang riuh. Tjara menggontjangkan dibawa menari sambil memperhatikan bunji gendang dan gong sebagai pangatur langkah. Tarian ini dilakukan berganti-ganti. „Kandjan Halu" ada djuga orang daerah jang menjebutnja ,,tarian badjing lontjat", karena demikianlah lagaknja, jakni melompat-lompat diantara dua batang alu jang dipukul-pukulkan . Tarian ini sedikit agak sulit melakukannja, karena kalau kurang-kurang sigap dan tangkas ibu kaki akan remuk ditimpa alu jang berat itu. Oleh karena itu tarian ini hanja untuk laki-laki sadja.

,,Hariunglunok" adalah suatu tarian dimana laki-laki dan perempuan menarimenari mengelilingi pohon lunok - beringin 1 jang didirikan dihalaman atau dalam rumah. Tidak amat sulit untuk menarikannja. Tangan dikembangkan dan kaki bergeser-geser pada lanti, namun demikian agak pajah djuga bagi orang jang belum biasa. Jang menari dalam tarian ini ialah njanjian jang bersahutsahutan antara muda-mudi. Disinilah segala bahasa kuno jang berpapatah petitih dikeluarkan dan sindir menjindir. Tjara jang bebas ini ada hubungannja dengan ,,Rasa kedewasaan".

Sedang tarian „ Deder ", jaitu tarian tunggal seorang lawan seorang antara pemuda dan wanita. Sambil menari djuga berlagu sindir-menjindir, dengan memakai bahasa sehari-hari. Tetapi tarian „Mangandjan" jang hampir seperti tarian ,,Hariunglu -nok” hanja jang dipasang ditengah-tengah bukan beringin, melainkan patung jang dinamakan „ Sapundo ". Sudah terang tarian ini rapat sekali hubungannja dengan kepertjajaan kepada agama. Konon kabarnja dalam zaman purbakala, bahwa jang ditengah-tengah itu bukannja patung, melainkan manusia jang akan didjadikan kurban.

Tari perang adalah tarian jang terkenal dan terindah dalam masjarakat Dajak, jang lazim djuga disebut tari Kenjah, suatu daerah Dajak di Kalimantan Timur. Karena jang paling gemar dengan tarian ini adalah mereka dari suku Kenjah. Tjara menarikannja, ialah berhadap-hadapan dengan lawan, masingmasing bersendjata mandau dan kelewang. Orang jang melihatnja akan takut karena mereka bertikam-tikaman. Kalau jang seorang memarang musuhnja, tidak tanggung-tanggung, tidak ubahnja dengan berkelahi sungguh-sungguh. Tetapi oleh karena masing-masing pihak telah mahir dalam tarian itu, maka tidak seorangpun jang mendapat tjelaka. Itulah tarian suku Dajak jang tidak sembarangan orang dapat menarikannja dengan sempurna, karena tarian itu adalah tarian kepahlawanan, sedang alat musiknja ialah ketjapi jang dibuatnja untuk mengatur langkah.

Dan bagaimana dengan kesenian - tarian-tarian - dari suku Melaju? Suku Melaju jang umumnja terdapat didaerah pesisir Kalimantan Barat sedjak lama sudah terpengaruh oleh tarian-tarian dari Malaya atau Serawak, jang lazim disebut djuga „Tandak Serawak". Tarian ini meluas sekali, karena tidak sadja dilakukan oleh orang-orang tua, tetapi lebih-lebih oleh golongan pemudapemudanja. Bahkan djuga dikalangan kaum wanitanja terdapat sematjam tarian jang dinamakan ,,Berkilah".

Ketjuali itu ada djuga tarian Djoget, Mak Jung , baik dilakukan beramai-ramai antara lelaki dengan lelaki, dan maupun berpasang - pasangan antara mudamudi. Tarian ini sampai sekarang masih amat populair dikalangan masjarakat Sambas umumnja. Untuk mengadakan „ Tandak" ini ada pula waktunja, ialah waktu peralatan perkawinan, bersunatan atau ,,Membalik tikar". Tarian-tarian ini amat menarik perhatian, karena halus dan indahnja, tidak kalah dengan dansa dan sebagainja. Kalau ingin melihatnja, perhatikan sadja tari-tarian jang terdapat dalam pilem Malaya. Sedang djoget tidak ubahnja dengan sematjam „Lenong" Djakarta. Hanja bedanja djoget agak lebih sopan, djika dibandingkan dengan lenong.

Demikian pula dengan Mak Jung, suatu tarian jang tidak membosankan, jang dilakukan sepandjang malam, biasanja untuk ,,Mendjaga pengantin". Sudah tentu semua tarian dan tandak itu disertai dengan njanjian jang merdu dan penuh gairat, membangkitkan nafsu bertjinta-tjintaan antara budjang dan gadis.

,,Berkilah" atau pesta wanita hanja dapat dilakukan dengan sembunji dan jang hadir umumnja kaum wanita sadja. Lelaki dilarang keras. Dan disinilah orang akan melihat betapa indahnja seni mereka, baik jang dipertundjukkan dengan gerak badan maupun dengan suara, jang umumnja menjindir kepada kaum pemuda untuk segera ,,Berumah tangga". Tetapi karena dalam ,, Perkilahan" itu anak-anak muda tidak dibolehkan menjaksikannja, maka sindiransindiran wanita itu lepas demikian sadja , tidak berbalas. Sekalipun demikian sindiran itu sampai djuga kepada pemuda jang dihadjati, karena dibawa angin lalu , dan achirnja sampai kepada pihak orang tua mereka masing-masing, dan sedjak itu pulalah ikatan djandji diikrarkan . Ketjuali seni jang demikian ini ada djuga sematjam seni suara jang dilakukan dengan kasidah dan tederus, atau mengadji kur'an. Sematjam tarian jang amat lazim diadakan ialah djuga „ Berdjepin” dan „ Beredad" jang dilakukan dengan beramai-ramai, dengan disertai oleh usara gambus dan hitar. Pakaian mereka „ Teluk belanga ”, tjelana putih sutera dengan badju kurung pakai kain lunggi, jang banjak kedapatan pada orang-orang di Semenandjung Melaju dan Djohor.

Kesenian jang demikian ini adalah kesenian rakjat , dan bukan kesenian dari kalangan radja- radja, karena radja-radja sendiri mempunjai kesenian sendiri jang tidak djauh bedanja dengan kesenian Djawa atau Sunda, tetapi kesenian ini tidak dapat meluas dikalangan rakjat, terutama karena bahasanja dan belandjanja jang besar. Oleh karena itu kesenian ini hanja terbatas dikalangan kaum bangsawan sadja.

Kesenian rakjat, seperti tandak dan djoget tidak dapat dilepaskan dari kedatangan orang-orang Melaju dari Semenandjung dan Malaya, karena hampir suku-suku Melaju jang terdapat di Kalimantan Barat menurut pengetahuan asal usulnja dari daerah Malaya, baik tentang adat istiadatnja maupun bahasa daerahnja. Tarian „,Ronggeng" djuga amat digemari oleh masjarakat Kalimantan Barat, terutama oleh wanita-wanita Pontianak jang sengadja mempeladjari tarian itu. Setiap ada keramaian, maka ketiga tarian, tandak, Mak Jung dan ronggeng mendjadi suatu matjam gelanggang antara muda-mudi untuk menari jang diiringi oleh irama lagu gambus, ketipung dan biola disertai njanjian pantun atau sjair.

Biasanja penari-penari wanita memakai selendang atau saputangan dan kalau ada diantara penonton jang menaruh keinginan untuk menemaninja menari, maka ia terlebih dahulu melemparkan saputangannja sendiri. Ketika ditanja oleh penari itu siapa jang melemparkan saputangan itu, maka seseorang masuk gelanggang dan menarilah mereka. Ada pula diantara penonton jang hanja minta dinjanjikan dibawa ketempat jang agak remang-remang. Mungkin karena masih segan untuk melakukan tarian bersama. Tiap-tiap orang jang melemparkan saputangan , menari atau tidak ia harus membajar sedjumlah uang menurut kesanggupannja dan inilah hasil Makjung dan djoget atau ronggeng. Akan tetapi walaupun demikian penghasilan jang diperoleh dari menandak mendjoget dan meronggeng tidak dapat didjadikan sumber penghidupan jang lajak, karena hasil jang sedemikian itu djauh dari pada tjukup untuk membelandjai hidup para penari itu sendiri.

Oleh karena itu hidupnja para seni tari hingga sekarang ini amat gelapnja, bukan sadja karena tidak dapat membelandjai hidupnja, melainkan djuga penghargaan masjarakat kepada seni jang demikian itu masih amat kurang. Masjarakat masih menganggap seni tari dan suara sebagai permainan biasa sadja, dan tidak menganggapnja sebagai suatu seni jang harus dipelihara sebagaimana mestinja.

Kemadjuan dalam segala lapangan seni di Kalimantan belum dapat diketengahkan, apalagi untuk dipertundjukkan kechalajak ramai , karena nilainja masih amat kurang sekali, djika dibandingkan dengan kesenian jang terdapat didaerah Indonesia lainnja, jang telah dapat dibanggakan keluar negeri. Kegemaran terhadap seni masih terbatas kepada kalangan jang mampu dan sanggup sadja, karena untuk pemeliharaan kesenian dibutuhkan belandja, setidak- tidaknja para senimannja harus mendapat djaminan sebagaimana mestinja.