Karen
oleh Alisa Rianda

Karen

Alisa Rianda
SMPN 7 Padang



Hari ini Tek Emi tidak datang. Berarti, karena harus menyeterika sendiri seragam sekolahnya. Padahal, menyeterika adalah pekerjaan yang paling ia benci. Tapi, apa boleh buat, dengan buru-buru diseterikanya juga seragam itu. Seragam itu masih terasa panas saat dikenakan dan ketika ia bercermin, masih terlihat kerutan yang membayang di sana-sini. Karen merasa kesal, tapi tidak ada waktu lagi. Ia harus segera berangkat ke sekolah, setelah menitipkan kunci ramah ke pak haji, pemilik warung, tetangga di depan rumah.

Karen adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Itu yang membuatnya menjadi agak kolokan dan bandel. Tapi, papa dan mamanya hampir tidak pernah memarahi sifat buruk yang dimiliki Karen. Mungkin karena papa dan mamanya harus pergi bekerja pagi hari dan pulang malam harinya. Jadi, mereka tidak melihat hal-hal yang buruk tentang Karen. Atau, bisa juga karena rasa bersalah kedua orang tuanya yang tidak sempat menunggui Karen di rumah karena dari kecil Karen sudah biasa dititipkan di tempat penitipan bayi atau di rumah tetangga yang dipercaya. Mungkin karena itulah orang tuanya selalu menuruti apa kemauan Karen.

Malam itu ketika makan bersama, seluruh anggota keluarga merasa aneh dengan sikap Karen yang menjadi pendiam dan selalu memasang muka cemberut.

“Tumben, hari ini kamu pendiam. Ada apa, Karen?” celetuk Rena, kakaknya yang paling tua.

“Iya. Mama juga merasa heran dengan sikap kamu. Ada apa, sih?” Mamanya ikut bertanya.

“Tek Emi dipecat saja, Ma!” sergah Karen kesal.

“Loh, kok, gitu?”

“Mama tahu, nggak! Tek Emi itu selalu datang terlambat. Siang tadi malah tidak datang sama sekali. Karen harus menyeterika sendiri. Teman-teman di sekolah ngeledekin baju seragam Karen yang kusut karena seterikaan Karen yang nggak rapi.”

“Bukankah itu bagus? Kamujadi bisa menyeterika sendiri tanpa bantuan orang lain.”

“Tek Emi itu di sini dibayar. Jadi, dia nggak boleh seenaknya, kan. Pokoknya Karen nggak suka. Titik!”

Dengan kesal Karen meninggalkan meja makan menuju ke kamarnya dan mengunci diri dari dalam.

Esok harinya Tek Emi kembali datang dengan memasang wajah lesunya, seolah-olah mengharapkan belas kasihan dari mama Karen. Karen sengaja menguping pembicaraan mereka.

“Bagaimana ini, Bu?” Tek Emi mulai mengeluh.

“Mengapa, Emi?” mama Karen balik bertanya.

“Hari ini kembali ada keluhan dari anak-anak. Isil mengeluhkan seragamnya yang sudah kecil, Ujang mengeluhkan utang bukunya yang sudah menumpuk, sementara si Sari sudah empat bulan tidak bayar uang sekolah.” “Tek Emi sendiri kan juga suka mengeluh ke mama,” Karen yang sedang menguping berkata dengan nada mengejek.


Yang membuat Karen semakin kesal, mamanya selalu terlena dengan keluhan Tek Emi. Kadang-kadang Tek Emi mengeluh pada saat mama Karen sedang tidak punya uang. Tapi, mama yang selalu merasa kasihan dengan setiap keluhannya merasa harus memberikan pertolongan. Tentu saja, dengan sikap mamanya itu, Karen merasa sangat bangga memiliki seorang mama, seperti mamanya. Tapi, tindakan Tek Emi semakin membuatnya kesal, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Karen sempat berpikir, sepertinya hanya Tek Emi saja yang selalu mengalami saat-saat yang sulit. Padahal, saat itu keluarganya juga sedang mengalami kesulitan keuangan.


Semakin hari berlalu, semakin besar rasa benci Karen pada Tek Emi. Selalu saja ada tindakan Tek Emi yang memicu rasa benci dalam diri Karen. Karen juga mulai menganggap bahwa mamanya sudah tidak mempunyai waktu lagi untuknya. Pada awalnya mama yang sudah mulai pulang sore selesai bekerja membuat Karen sangat bahagia. Tapi, lama kelamaan Karen menganggap, kalau waktu itu bukan untuknya. Karen tidak bisa bermanja-manja dengan mamanya karena setiap waktu yang tersisa selalu habis untuk mendengar keluhan Tek Emi.


“Anak sebenarnya, yang mana, sih!” Karen berkata dengan kesalnya.


Karen menganggap mama sudah tidak sayang lagi kepadanya, Itu berarti, Tek Emi harus diberi pelajaran. Karen memulai sikap usilnya. Ketika melihat keranjang kain gosokan, tiba-tiba muncul pikiran iseng dalam diri Karen. Karen membuka lemari pakaian, Di sana terlihat pakaian yang sudah tersusun rapi. Lipatan pakaian itu dibukanya dan diletakkan kembali ke keranjang seterikaan yang membuat Tek Emi harus menyeterika kembali pakaian itu. Tek Emi yang melihat itu merasa heran. Menurutnya pakaian itu sudah disetetikanya, tapi mengapa sudah ada lagi di hari berikutnya. Karen yang melihat wajah terbengong-bengong Tek Emi merasa senang dan puas, Tapi, keisengannya tidak berhenti sampai di situ, Karen mulai memperbanyak cucian dan berarti juga memperbanyak kain seterikaan. Contohnya, Karen mengganti baju tiga sampai empat kali sehari, dan itu belum termasuk seragam sekolah dan baju tidur. Tek Emi pun terbungkuk-bungkuk mengangkat keranjang kain kotor dan menghadapi bertumpuk-tumpuk kain seterikaan. Tapi, Tek Emi tetap tersenyum manis kepada Karen yang membuat Karen kehabisan akal untuk menjahilinya.

Suatu hari Karen ingin mengenakan kembali gaun jin terusan berwarna pink yang sangat disukainya. Karen mencari-cari gaun itu dalam tumpukan kain di lemarinya. Ketika ja tidak menemukan gaun itu, ia mengalihkan pencariannya ke lemari pakaian mama.

“Mungkin nyasar di lemari mama,” pikir Karen.

Lagi-lagi Karen tidak menemukan gaun itu. Melihat Karen yang membongkar-bongkar lemari mama, membuat mamanya bertanya.

“Apa yang sedang kamu cari, Karen?”

Mama ngeliat baju Karen yang berwarna pink, nggak?

Mama merasa heran dengan pertanyaan Karen dan menjawab.

“Baju itu sudah mama berikan kepada anak Tek Emi.”

“Bisa-bisanya mama memberikan baju itu. Karen nggak mau dan nggak suka baju kesayangan Karen dipakai anak Tek Emi!”

“Karen...Karen. Ini hanya karena baju itu diberikan pada Tek Emi, kan? Kalau saja baju itu diberikan kepada orang lain, mungkin kamu tidak akan marah seperti ini. Padahal, dulu kamu yang tidak suka dengan baju itu. Kamu bilang baju itu sudah sempit. Jadi, terserah mama mau berikan kepada siapa.”

Mama berjalan meninggalkan Karen seorang diri, yang masih tenggelam dalam kemarahannya. Tidak ada yang bisa memahami perasaannya saat itu. Di dalam dirinya cuma ada rasa marah dan kesal. Karen berniat menanyakan baju itu kepada Tek Emi. Setiap pulang sekolah, Karen selalu menunggu kedatangan Tek Emi, sampai-sampai mama sedikit marah dengan sikap kekanak-kanakan Karen. Hari demi hari berlalu, tapi Tek Emi yang ditunggu-btunggu Karen tidak pernah datang lagi. Kain-kain yang harus dicuci dan diseterika sudah menumpuk. Jadi, terpaksa seluruh anggota keluarga bergotong royong menyelesaikannya. Sudah sebulan Tek Emi tidak juga datang-datang. Semua orang merasa heran dan cemas. Gajinya juga tidak diambil-ambil. Karen semakin kesal padanya. Karen menganggap Tek Emi itu senang mempermainkan perasaan orang. Ternyata, Tek Emi itu senang membuat orang merasa cemas. Sampai pada suatu hari, Mama menyuruh Rena, kakak Karen, mencari tahu tentang Tek Emi. Tapi, Rena tidak mempunyai waktu karena jadwal kuliahnya yang padat, sementara Riki, kakak Karen yang nomor dua, sibuk dengan kegiatan ekstrakurikulernya. Tanpa disuruh, Karen menawarkan diri untuk mencari Tek Emi.

Pencarian Karen dimulai ke tempat majikan Tek Emi yang lain. Dari situ Karen mendapat jawaban, Tek Emi juga sudah tama tidak datang ke tempat itu. Berbekal alamat yang didapatkannya dari si Ibu, Karen berjalan mencari rumah Tek Emi. Rumah itu akhirnya ditemukan Karen. Sebuah rumah kecil beratapkan rumbia yang sangat sederhana sekali. Seorang gadis seusia Karen duduk di tangga depan rumah itu. Ia mengenakan gaun terusan berwarna pink milik Karen. Karen tidak sempat mempunyai pikiran untuk marah kepada gadis kecil yang tengah memakai bajunya, Gadis itu mengangguk lemah ketika Karen menanyakan apakah itu rumah Tek Emi.

“Ibuku sudah hampir satu bulan ini sakit, tidak bisa bekerja. Kamu pasti Karen anak majikan ibuku. Persis, seperti yang digambarkan ibuku. Cantik, baik, dan ada tahi lalat di pipi sehelah kanan. Ibuku sering menceritakan tentang kebaikan keluargamu kepadaku.

Karen tidak bisa berkata apa-apa dan menurut saja ketika gadis itu memegang tangannya dan membawanya masuk menemui ibunya. Di atas lantai yang beralaskan kasur tipis, Tek Eri terbaring lemah. Tubuhnya terlihat kurus dan sangat pucat. Dalam keadaan yang seperti itu, Tek Emi berkata pada Karen, “Tolong sampaikan maaf Tek Emi kepada mama Karen karena Tek Emi tidak bisa datang. Tek Emi tidak bisa jalan karena pinggang Tek Emi sakit.”

Karen yang mendengar perkataan Tek Emi masih tidak bisa berbicara. Dalam dirinya terdapat rasa bersalah yang sangat besar. Mengapa waktu itu ia memperbanyak kain yang menyebabkan Tek Emi menjadi sakit begitu parah. Mengapa waktu itu ia merasa marah karena gaunnya diberikan kepada anak Tek Emi. Mengapa waktu itu Karen menjadi kesal ketika waktu mama diberikan hanya untuk mendengarkan keluhan Tek Emi tentang sakitnya. Dalam hatinya Karen berkata dan berjanji, aku akan segera berlari pulang untuk menemui mama, Semoga Tek Emi bisa bertahan menungguku pulang menjemput mama dan segera mengantarkannya ke rumah sakit.

Karen kemudian pamit kepada Tek Emi dan anaknya. Sebelum pulang, Karen meminta secarik kertas dan pena. Ia menuliskan alamatnya di situ.

“Ini alamatku kalau kamu butuh sesuatu,” ucapnya sambil memberikan alamat itu pada Isil.

Begitu keluar dari pintu, Karen segera berlari pulang menemui mamanya. Ia tidak mempedulikan keringat yang sudah membasahi bajunya. Tapi, begitu sampai di rumah, apa yang ia harapkan tidak terjadi. Di rumah tidak ada siapa pun. Karen mengetahuinya karena Pak Haji memberikan kunci rumah begitu ia sampai di sana.

Saat itu sudah hampir malam, tapi papa dan mamanya belum juga pulang. Ini tidak seperti biasanya karena biasanya pada jam-jam itu, keluarganya selalu berkumpul bersama untuk makan malam. Mengingat soal makan, tiba-tiba perut Karen menjadi lapar. Karen menuju meja makan dan segera makan dengan lahap. Sempat terpikir dalam benaknya, apakah Tek Emi dan anak-anaknya sudah makan. Karen semakin merasa kasihan dan bersalah. Tek Emi yang sudah tidak mempunyai suami itu harus mencari nafkah sendirian.

Ketika Karen asyik menikmati makanannya, terdengar ketukan dari pintu rumahnya.

“Mungkinkah itu Mama,” katanya.

Makin lama ketukan itu makin keras dan kencang. Awalnya Karen sempat takut, tapi tiba-tiba tedengar suara gadis kecil memanggil namanya.

“Karen...Karen.. Karen!”

Karen sadar kalau ternyata itu adalah Isil, anak Tek Emi. Karen segera membuka pintu dan ketika pintu itu dibuka, terlihat mata Isil yang merah dan sedikit air matanya keluar dan hampir jatuh. Dari bibirnya terihat senyum tipis yang menimbulkan tanda tanya dalam diri Karen. Apakah Tek Emi baik-baik saja atau telah terjadi yang lebih buruk lagi?

* * *