Kebaharian pada Sebuah Legenda
Jika konteksnya di sini adalah kebaharian – dan kalau kosakata ‘bahari’ dipadankan dengan kata bahasa Inggris ‘marine’ atau ‘nautical’ – yang dihubungkan dengan kebesaran 文明 (peradaban) dan 文化 (kebudayaan) Tiongkok dari abad ke-15 pada zaman Dinasti Ming, maka izinkan saya memilih untuk tidak membahas cempiangnya Ming, Ceng Ho, tetapi sebaliknya memilih nama-nama lain dari Tiongkok yang menentukan sebuah suku dari kebangsaan Indonesia yang plural ini.
Saya tidak membahas Ceng Ho atau Zheng He atau orang di Semarang mengenalnya sebagai Sam Po Tay Jin atau Sam Po Kong, sebab saya sudah menulis tokoh legendaris ini dalam sebuah novel tebal pada 2004, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (GPU,401-04.001) setelah dipublikasi secara bersambung di suratkabar Semarang, Suara Merdeka.
Maka, dengan ini saya ingin mengajak kita semua mundur lebih ke belakang, ke-16 abad sebelum Ceng Ho, yaitu pada abad ke-2 sebelum Masehi, di zaman kekuasaan Dinasti Han yang notabene menyatukan kebangsaan Tiongkok. Di sana kita akan menyimak legenda yang hidup dan dituturkan sampai saat ini, tentang seorang putri [Kaisar] Han yang menyerahkan dirinya pada keperkasaan laut, lantas tersesat di bagian utara Sulawesi.
Dikisahkan dalam legenda itu, bahwa putri [Kaisar] Han bernama Jinsi mencintai pemuda dari kalangan rakyat biasa bernama Sumilang, atau versi lain menyebut nama Lumintang, sehingga sang putri hamil. Ayahnya, sang [kaisar], murka lantas mengusir Jinsi dari istana dengan memberinya sebuah kapal tanpa nahkoda kecuali inang pengasuh bernama Karema. Kapal itu pun terombang-ambing di samudra, lantas terdampar di tanah tepi yang kemudian diberi nama Malesung. Setelah tiba saatnya Jinsi pun melahirkan anak laki yang diberi nama Toar.
Semua nama, baik tokoh-tokoh dalam cerita, maupun tempat-tempat berlangsungnya cerita di atas, dapat disimpul dengan menyimaknya dalam bahasa Tionghoa.
Cerita tentang Jinsi itu terdiri dari beberapa versi puak di Minahasa – antara Tontemboan, Toulour, Tonsea, Tombulu, dan Bantik – yang dihubungkan dengan pengetahuan alamiah tentang masalah kebaharian.
Bahwa karena badai dahsyat di samudra sekitar trog di timur Pilipina pada bagian Pasifik, maka kapal yang membawa Jinsi dari Tiongkok tersebut tersesat di sebuah tanah tepi yang kini bernama Minahasa. Di situ Jinsi melahirkan anaknya dari lelaki jelata yang dicintainya itu, dan persalinannya dibantu oleh Karema. Adalah Karema yang memberi nama anak laki yang baru lahir itu Toar. Setelah Jinsi mati, anak cucunya menyebut Jinsi sebagai Lumimuut.
Semua nama di atas bisa diurai dalam bahasa Tionghoa, dan dengan demikian kesimpulan yang sederhana, adalah bahwa nenek moyang orang Minahasa itu berasal dari Tiongkok.
Coba kita urai.
Jinsi, berasal dari kata ”jin” [dieja "cin"] ditulis 锦, artinya ‘indah cemerlang’, dan ‘shi’ [dieja "se"] ditulis 适, artinya ‘sesuai’ atau ’cocok’.
Karema, sang inang pengasuh, dalam bahasa Tionghoa diartikan sebagai ibu tua, ditulis 甲拉媽.
Toar, sang putra dalam bahasa Tionghoa dimaksudkan sebagai ‘putra yang muncul di bumi yang baru, yaitu ‘tou’ [dieja "do"] ditulis 透 dan ‘er’ [dieja "erl"] ditulis 兒.
Lumimuut, yang kemudian dianggap sebagai manusia pertama yang sesat di jazirah itu, diurai sebagai berikut: ‘lu’ artinya ‘perjalanan’ atau Inggrisnya dilaraskan dengan ‘voyage’, ditulis 路, kemudian ‘mi’ artinya ‘tersesat’ ditulis 迷, dan ‘mu’ artinya ’ibu’ ditulis 母, dan ‘ut’ dari ‘hut’ artinya ‘nenek yang didewakan’.
Adapun kata-kata lain di luar legenda di atas, yang melintas dalam bahasa Minahasa, yang masih terpakai sampai sekarang tetapi pelafalannya menjadi menceng, adalah misalnya:
- Cua, artinya ‘omong’, dari bahasa Tionghoa 'shuo' ditulis 说.
- Sei, artinya ‘siapa’, dari bahasa Tionghoa 'shui' ditulis 谁.
- Sei reen, artinya ‘siapalah orangnya’, dari bahasa Tionghoa ‘shui he-ren’, ditulis 谁何人.
- Po (yang menjadi Opo), artinya ‘roh’, dari bahasa Tionghoa 'po' [dieja "bo"], ditulis 魄.
- Inang, artinya ibu, dari bahasa Tionghoa 'niang', ditulis 娘.
Di dalam legenda di atas, dikisahkan bahwa [kaisar] sangat menyesal, menginginkan putrinya bisa kembali lagi ke istana. Maka dititahnya panglimanya bernama Ban Tek untuk mencari sampai ketemu di mana Jinsi berada. Tetapi setelah bertemu di tanah air baru, kapalnya sengaja dibakar supaya ia tidak bisa kembali ke Tiongkok, dan sebaliknya tinggal bersama-sama Limimuut di Minahasa.
Ketika bangsa-bangsa Barat menemukan jalan laut ke Timur dalam rangka mencari rempah-rempah pala dan cengkeh di Maluku yang selama itu diperoleh bangsa Barat dari pihak bangsa Arab melalui jalan darat, maka wilayah Minahasa dengan bandar Wenang yang kemudian menjadi Manado, merupakan bandar perebutan kekuasaan bangsa Portugis dan Spanyol. Dua bangsa ini adalah pihak yang sangat dipercaya, bahkan katakanlah ’anak mas’ Vatikan untuk melakukan syiar Injil dalam rangka mengamalkan perintah Injil sendiri, yaitu Matius 28:19-20, untuk mengkristenkan semua bangsa di dunia. Tetapi adalah juga bangsa anak mas Vatikan ini, Spanyol dan Portugis menyelewengkan tugas rohani itu menjadi ambisi duniawi, karena di baliknya lebih kuat hasrat penaklukan negeri-negeri di Asia dan Amerika menjadi koloni-koloninya dengan memperkuat armada kelautannya masing-masing.
Maka, dalam praktiknya, Portugis yang ditugaskan Vatikan untuk berlayar ke Timur dan menginjil di Asia, malah ikut merebut wilayah Barat dengan menjadikan Brasilia sebagai koloninya. Begitu juga Spanyol yang ditugaskan Vatikan untuk berlayar ke Barat dan menginjil di Amerika, malah ikut merebut wilayah Timur dengan menjadikan Filipina sebagai koloninya.
Dari bagian peristiwa itu, ketika Fernando Magelhaes terbunuh di Filipina, pelaut-pelautnya yang Spanyol melarikan diri ke selatan, dan ditawan Portugis di Ternate, tetapi 40 orang berhasil bebas karena dibantu suku Babontehu dari perairan luar Minahasa, yaitu Manado (dari bahasa Spanyol ‘mandado’), Amurang (dari bahasa Spanyol ’amorana’), dan Kema (dari bahasa Spanyol ‘quemar’).
Belanda berhasil mengalahkan pihak Portugis di Maluku dan pihak Spanyol di Minahasa. Setelah itu, rempah-rempah, khususnya cengkeh yang dicari bangsa Barat dan tempatnya hanya diketahui ada di Maluku, lantas digalakkan pertaniannya dan penanamannya di Minahasa. Ternyata hasil tanaman cengkeh di Minahasa ini dinilai lebih baik mutunya ketimbang cengkeh yang tumbuh alami di Maluku.
Selanjutnya Belanda menjadikan Minahasa sebagai wilayah baru ekonominya, dan karenanya penanganan politik niaga di sini makin serius. Penduduknya dididik dan dibina untuk menjadi ujung tombak yang menjaga status quo Pax Neerlandica, bersamaan dengan pembingkaian bangsanya melalui, katakanlah sentiment-sentimen etnis dengan pakaian agamawi yang dasar-dasarnya diwawaskan oleh evangelis-evangelis Jerman yang cenderung mempraktikkan teologi Pietisme, di bawah lembaga penginjilan Belanda NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap).
Kerangka pembingkaian anak negri Minahasa pada kepentingan politik kekuasaan dan politik ekonomi dengan primadona rempah-rempah tersebut, lebih jauh telah membuat kepribadian anak negri Minahasa tersebut ke sifat-sifat eksklusivisme dua ciri, yaitu ras dan agama. Ini dimulai secara nyata melalui keputusan politik residen Van Deinse pada 1870 di bawah Gubernur Jendral Mr J. Loundon lewat apa yang disebutnya sebagai rechtstreek bestuurd gebeid, dan terakhir di zaman menjelang Perang Dunia II pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh Stachouwer lewat apa yang disebut Twarpo, singkatan dari De Twaalfde Provincie van Nederland.
Setelah itu yang kita lihat di masa kolonial tersebut adalah rancunya politik kekuasaan dengan politik niaga karena tajamnya persaingan pasar di atas prasangka-prasangka ras dan agama.