- VII -

DALAM SUASANA BERKABUNG

Tatkala Khalifah Harun Al Rasyid kembali dari perjalanannya dan sampai di istana dengan amat heran beliau mendapati bahwa istana permaisuri dalam keadaan berkabung. Darah Khalifah mulai tidak senang dan lalu mencari permaisurinya Puteri Zubaedah. Didapatinya sang permaisuri sedang duduk menangis dengan sedih.

"Apa yang terjadi wahai permaisuriku, siapa yang meninggal?" tanya Khalifah ber tubi-tubi. Agak lama permaisuri baru berhenti dari menangis dan kemudian menjawab dengan sedu sedan:

"Semoga Tuhan melimpahkan keimanan atas yang mulia. Sepeninggal kakanda kita sudah kena cobaan,...Uuuuu...'uuuu...'uuuu,.. Khautul Kulub sudah meninggal dunia.....'uuuuu...'uuu....'uuu...."

"Apa? Khautul meninggal?" baginda terhentak diatas sebuah kursi dan berulang-ulang membaca ayat-ayat dari kitab suci.

"Apa sakitnya?" tanya baginda.

"Dia kami undang ke istana ini sekadar untuk bergembira sambil memperlihatkan kebolehannya sebagai sebuah latihan. Dengan demikian dapatlah dia dengan baik meladeni kakanda dalam seni tari dan nyanyi itu. Tetapi Tuhan Mahakuasa, mendadak Khautul kena penyakit perut dan tak lama kemudian meninggal."

"Dimana dia dimakamkan?" tanya baginda.

"Tuu, dibelakang istana ini," jawab permaisuri. "Sengaja di makamkan disana supaya kita mudah menziarahinya."

Maka segeralah Khalifah pergi kebelakang istana akan ziarah ke makam calon gundiknya itu Khautul Kulub. Disana dilihatnya ada orang alim yang sedang mendaras Quran disamping makam dan beberapa orang inang pengasuh sedang meratap ber iba-iba. Khalifah berlutut disamping makam itu.

Beliau merencanakan sekembalinya dari perjalanan beliau akan mengadakan malam gembira karena sangat ingin hendak melihat Khautul Kulub menari dan menyanyi. Kemudian menetapkan hari pernikahannya dengan gadis yang sudah lama di damba-dambakannya itu. Namun rencana ditangan manusia keputusan ditangan Tuhan.

Setelah membaca-baca beberapa ayat dari Kitab Suci Al Quran,Khalifah berbangkit dan menyapu-nyapu mata menahan rasa sedihnya. Tetapi sekilas terpikir oleh baginda bahwasejak menemui permaisuri menangis dan meratap tadi, sampai kepada orang alim yang mengaji-ngaji di pusara itu, dan inang-inang yang meratap baginda seolah-olah merasakan bahwa dia sedang menghadapi serangkaian pertunjukan sandiwara. Sebagai seorang Khalifah yang berpengalaman dan bijaksana yang mengerti dengan gerak gerik kejadian serta melihat wajah sesorang. Besar sekali kemungkinan semuanya itu tak lain hanyalah sebuah komidi, suatu pertunjukan sandiwara dengan pelaku-pelaku tertentu. Dan latar belakangnya besar kemungkinan pula disebabkan rasa cemburu yang berlebih-lebihan dari permaisuri.

Beliau lalu memutuskan akan menyelidiki perkara itu sampai tuntas. Beliau tidak menerima begitu saja apa yang sedang dihadapinya pada waktu itu. Sebab banyak sedikitnya ada juga naluri ter gerak dalam pikirannya bahwa semuanya itu tak lain sandiwara dengan tujuan menyingkirkan Khautul Kulub dari sisinya. Sandiwara yang disutradarai oleh Abu Nawas.

Bagindapun membayangkan dan memikir-mikirkan jika ada sesuatu gerak atau firasat dari Tuhan yang memberi tahukan bahwa calon gundiknya itu sudah meninggal. Tidak ada sebesar biji gandumpun.

Beberapa hari kemudian baginda mulai melakukan penyelidikannya. Beberapa orang khadam dan inang yang dekat dengan permaisuru dan Khautul Kulub diperiksa dan ditanyai dengan secara rahasia. Berdasarkan pendahuluan penyelidikan itu baginda semakin yakin bahwa kematian Khatul Kulub tak lebih dari kejadian yang di karang-karang belaka. Hanya apa latar belakangnya masih samar dan kabur bagi khalifah.

Tetapi selama beberapa hari baginda selalu menziarahi pusara Khautul Kulub. Mungkin sebagai tanda simpasinya kepada permaisurinya.

Pada suatu malam Khalifah tidur-tiduran dengan dikipasi dua orang dayang yang muda lagi cantik yang seorang Kadib namanya dan seorang lagi: Kizran. Tak tahu apa sebabnya apakah sengaja atau tidak Kizran dan Kadib sambil mengipasi Khalifah terus ber cakap-cakap secara berbisik-bisik.

"Kasihan Khalifah, yaaa?" kata Kizran berbisik.

"Kenapa?" tanya Kadib dengan berbisik pula. Khalifah sebenarnya tidak tidur hanya ngelamun saja dan apa-apa yang dibisikkan kedua dayang itu dengan jelas dapat didengar beliau.

"Baginda Khalifah setiap hari men ziarahi kubur Khautul Kulub padahal sebenarnya tak ada apa-apa dalam kubur itu....."

"Haaa, kenapa?" tanya Kadib dengan heran. Kizran memang dayang permaisuri yang selalu mendampingi beliau dan tahu apa saja perbuatan permaisuri.

"Sebenarnya tak lebih dari sepotong kayu yang berbentuk patung dalam pusara itu, dan itulah yang di ziarahi baginda...hik..."

"Jadi kalau begitu Khautul Kulub tidak mati?"

"Tidak! Kabarnya dia ditemui seorang saudagar mudayang berasal dari Damsyik...."

"Siapa nama saudagar itu?"

"Tak tahu. Aku hanya mendengar kabar angin saja entah benar entah tidak aku tidak tahu....."

Bagi Khalifah informasi itu sudah cukup.

Besok pagi dengan kaget permaisuri Zubaedah melihat Khalilfah datang ke pusara dengan membawa beberapa orang khadam. Mereka membawa alat-alat penggali seperti tembilang, cangkul dan sekop.

"Untuk apa semuanya ini?" tanya permaisuri dengan dada ber debar-debar.

"Aku ingin hendak melihat wajah Khautul Kulub," jawab Khalifah.

"Aduh jangan yang mulia, bolehkah secara hukum agama kita membongkar kuburan seseorang yang sudah mati?" membantah permaisuri.

"Boleh saja asal untuksuatu penyelidikan," jawab Khalifah serta memerintahkan khadam-khadam itu bekerja menggali kuburan itu. Bunyi cangkul dan sekop menggali tanah di barengi dentung-dentung dada permaisuri yang menaruh ketakutan sebab tentu Khalifah akan mengetahui rahasianya. Hanya dia berdoa dan berharap semoga Khalifah setelah melihat wajah 'mayat' dibalik kain jarang itu akan memerintahkan menimbun kuburan itu kembali.

Beberapa lamanya kemudian terbongkarlah kuburan itu. Peti mati sudah kelihatan.

"Coba buka tutupnya!" perintah baginda.

Khadam segera membuka tutup peti. Maka kelihatanlah wajah Khautul Kulub terlindung oleh beberapa lapis kain jarang. Jelas wajah calon gundik yang di kasihi baginda.

Khalifah beberapa saat termenung wajah yang terbaring dalam keranda itu. Permaisuri Zubaedah berharap agar Khalifah segera memerintahkan menimbun kuburan itu kembali. Tetapi beliau berkata:

"Aneh, sudah sekian lama Khautul meninggal tetapi mayatnya masih tetap utuh dan tidak mengeluarkan bau busuk sedikitpun juga."

Khalifah lalu memerintahkan agar peti mati itu diangkat keluar. Setelah tiba diluar baginda sendiri membuka kain penutup wajah Khautul Kulub dan sekilas memang tak ubahnya dengan wajah gadis itu.

Khalifah lalu meraba-raba wajah yang muncul dalam peti itu dan sebentar kemudian berderailah tertawa baginda.

"Sungguh hasil karya seni yang luar biasa," gumam khalifah disela tertawanya. "Hai permaisuriku yang manis dan tercinta, apakah artinya semua ini?"

Permaisuri segera menyembah Khalifah dan memohon ampun atas kesalahannya. Dan menerangkan semua itu terjadi ialah karena besar cintanya kepada Khalifah dan merasa takut akan disaingi oleh gadis yang bernama Khautul Kulub itu.

"Semuanya belum terjadi, dan belum tentu akan terjadi seperti yang engkau sangka itu. Jadi kemana Khautul Kulub?"

Permaisuri menerangkan bahwa peti mati yang berisi Khautul Kulub itu dikuburkan oleh tiga orang Khadam diluar kita Bagdad. Tetapi peti mati itu sudah hilang lenyap tak berbekas....

"Baiklah!" kata Khalifah, "kami akan memeriksa perkara ini terlebih dahulu. Ini satu kasus yang aneh dan ajaib dan belum tentu bagaimana akhirnya. Untuk sementara sampai selesai perkara ini kami terpaksa menahan adinda dalam kamar dan tak boleh keluar-keluar."

Permaisuri terpaksa menerima hukuman yang dijatuhkan Khalifah yaitu tahanan rumah.

.///.