Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia/Box 2
Pasca pengumuman kebangkrutan institusi keuangan nomor satu di Amerika Serikat, Lehman Brothers (LB) yang gagal meminta perlindungan kebangkrutan dari otoritas moneter di sana, 15 September 2008, industri keuangan dan perbankan di AS dan dunia seperti terseret atas kejatuhan LB. Bank terbesar di AS Citigroup pun sampai meminta diselamatkan (bail-out) bank sentral AS The Fed. Keambrukan industri perbankan dan keuangan dunia seperti sudah diambang mata. Indonesia pun terkena imbas. Indikator makro ekonomi memperlihatkan indikasi meradang. Kurs rupiah melemah tajam hingga Rp12.650 per dolar AS. IHSG di Bursa Efek Indonesia nyungsep tajam dari 2.830 menjadi 1.111,4, bahkan bursa sempat suspen dua hari (8-10 Oktober 2008). Indeks SUN pun anjlok ke titik 67,11. Perbankan mengalami kekeringan likuiditas. Setidaknya 23 bank merosot tajam likuiditas dana pihak ketiga. Bahkan tiga bank BUMN mesti ditolong melalui penempatan dana pemerintah sebesar Rp15 triliun. Yang paling mengerikan lagi ketika indeks ratio alat likuid dibandingkan dengan non core deposit (NCD) melorot luar biasa dari 129,2% (Januari 2008) menjadi 84,9%. Padahal rata-rata NCD dalam kondisi normal adalah 200%. Apa makna semua ini? Indonesia memasuki situasi krisis. Pemerintah pun merespon cepat situasi darurat ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan UU BI . Inti beleid itu, memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar jadi agunan untuk mendapatkan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP). FPJP dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami bank. Penyebab kesulitan itu salah satunya karena terjadi arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) dalam rupiah sehingga bank tidak dapat memenuhi kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah. Salah satu syarat memperoleh FPJP adalah CAR bank di atas 8%. Agunan FPJP selain SUN, SBI, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), obligasi korporasi juga kredit bank yang berstatus lancar 12 bulan terakhir. Setelah PERPPU No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) keluar, Bank Indonesia pun merilis Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.10/26/PBI/2008 tentang FPJP pada 29 Oktober 2008. Inti PERPPU & PBI adalah sama, yakni memberi fasilitas pinjaman berjangka 14 hari kerja yang bisa diperpanjang hingga 90 hari kepada perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas. Tatkala pusaran krisis semakin mendalam dan kinerja perbankan terus melemah, dalam konteks menjaga stabilitas sistem perbankan, BI menyadari bahwa perlu ada relaksasi atas prasyarat PBI FPJP. Pada 14 Nopember 2008, BI mengeluarkan kebijakan perubahan atas PBI FPJP sebelumnya. Maksud perubahan ini agar semakin luas bank yang bisa memanfaatkan FPJP. Inti perubahan dalam syarat permodalan (CAR) bank asal positif. Aturan sebelumnya mengharuskan CAR di atas 8%. Lalu, aset kredit yang dapat dijaminkan tidak lagi harus 12 bulan berstatus lancar tapi 3 bulan saja. Persyaratan bahwa kredit tidak boleh pernah direstrukturisasi, dihapus. Selain itu, BI akan menempatkan bank penerima FPJP berstatus dalam pengawasan khusus. Pada tanggal 13 Nopember 2008, Bank Century mengalami gagal kliring. Dalam kerangka besar menjaga stabilitas sistem perbankan, kondisi Bank Century ini dapat mengancam stabilitas perbankan secara keseluruhan sehingga perlu diselamatkan. Berdasarkan poisisi CAR terakhir tanggal 30 September 2008, CAR BC ada pada angka 2,35%. Sesuai ketentuan yang berlaku, BI pun membuka pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek (FPJP) bagi BC. Pada tanggal 14 Nopember 2008, BC mengajukan FPJP. Setelah melihat semua kelengkapan administratif yang diajukan BC untuk mendapatkan FPJP, BI menyetujui FPJP sebesar Rp502 miliar. Pada tanggal 17 Nopember 2008, BC kembali mengajukan FPJP kedua dan disetujui sebesar Rp187 miliar sesuai penilaian atas jaminan yang diserahkan BC kepada BI. Total likuiditas yang diterima BC selama pengucuran itu sebesar Rp689 miliar. Rupanya, kucuran dana segar tadi tak kuasa menutupi kewajiban BC yang jatuh tempo dan ditambah derasnya aksi penarikan dana oleh masyarakat. Keadaan ini membuat kondisi keuangan BC mengalami mistmatch yang begitu dalam. Tak ada pilihan bagi BI selaku otoritas moneter yang membina dan mengawasi perbankan untuk segera mengambil tindakan. BC pun ditetapkan sebagai bank gagal yang berpotensial sistemik (20 Nopember 2008). Keputusan menetapkan sebagai bank gagal yang berpotensi sistemik ini pun dilaporkan kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Rapat KSSK yang dipimpin Menkeu dan Gubernur BI selaku anggota dan Sekretaris KSSK pun memutuskan BC sebagai bank gagal berdampak sistemik dan menyerahkan tindakan selanjutnya kepada Lembaga Penjamin Pinjaman (LPS). (*)