Lelaki Bersayap
LELAKI BERSAYAP
Mutia Uktah
IAIN Imam Bonjol Padang
“MA, malaikat itu punya sayap, ya?”
“Barangkali.”
“Trus, kalau kita sudah meninggal kita jadi malaikat, ya?”
“Barangkali.”
“Berarti papa punya sayap dong, Ma! Nenek bilang kalau Indi tidak nakal, sesekali papa akan terbang ke sini untuk mengunjungi Indi.”
“Tidak, Sayang! Nenek bicara seperti itu agar Indi tidak nakal. Kalau papa punya sayap, pastilah ia sudah terbang ke sini untuk menemui kita. Nyatanya tidak.”
“Ma, Indi kangen papa.”
“Mama joga. Sangat kangen!”
Dua puluh tahun sudah percakapan itu berlalu, tahun yang sama dengan kepergian papa. Ketika itu aku masih berusia lima tahun. Sejak saat itu, mama berusaha keras untuk hidupku, hidupnya juga. Setiap hari, kecuali minggu, ia berangkat ke kantor, bekerja sebagai seorang sekretaris di sebuah perusahaan. Di waktu yang lain, ia menerima pesanan jahitan dari tetangga-tetangga sekitar. Selalu saja bekerja dan terus bekerja.
Namun, tak sekali pun mama tak sempat membuatkan sarapan untukku. Tak sekali pun ia melewatkan mendongengiku sebelum tidur. Padanya aku menumpahkan segala cerita. Ia yang selalu membelaku ketika aku dijahili orang. Dan, ia juga yang memarahiku ketika aku salah. Ya, ia yang lakukan semua. Semuanya. Barangkali di antara perempuan perkasa itu, mama adalah salah satunya.
Tapi, tetap saja mama adalah mama, bukan papa seutuhnya. Aku rindu dada bidang milik papa, tempat biasanya kepalaku tersandar ketika aku terlelap di gendongannya. Dada itu begitu lapang. Juga dalam. Sesuatu yang tidak mungkin akan ada pada mama. Tidak juga pada lelaki lain. Tidak akan pernah ada.
Suatu pagi, di masa kecil, kutemukan dada itu menghilang. Pagi itu aku bangun lebih awal. Sambil memeluk boneka beruang kecil pemberian papa, aku mencari papa ke kamar tidurnya. Namun, ia tak kutemui di sana. Lalu aku mencarinya ke setiap ruang dan rongga yang ada di dalam rumah. Tetap saja ia tak ada. Papa hilang, pikirku. Aku mulai menangis. Tangis yang membangunkan mama yang sedang tertidur di sofa ruang tengah. Mama tampak sangat lelah. Matanya lebam dan suaranya serak. Sambil tersenyum, mama memeluk dan memintaku untuk berhenti menangis. Mama bilang, papa sudah meninggal. Lalu ia membawaku ke suatu tempat yang jauh, tempat ia mengubur papa. Tempat yang selanjutnya kami ziarahi setiap tahunnya.
Aku kehilangan papa, juga dada itu. Dan, kini ia telah lapuk dimakan tahun. Hanya kenangannya saja yang tak akan pernah lapuk di benakku. Lalu, aku kembali mengingat-ingat dada itu. Mencoba melukiskannya. Lagi dan lagi.
- * *
perkasa di belakangnya. Di atas kanvas 100 X 50 cm, cat minyak.
“Lagi-lagi malaikat, ya?” Laila tiba-tiba menggangguku.
“Bukan!”
“Lalu?”
“Lelaki bersayap!”
“Lelaki? Mengapa tak utuh?”
Aku diam, tak mau repot menjawabnya.
“Aneh!”
“Biar saja!”
“Kau yakin gambar ini yang akan diikutsertakan dalam pameran lukisan minggu depan?”
“Ya.”
“Kenapa tidak menggambar malaikat-malaikat yang biasa kaubuat? Paling tidak itu jauh lebih menarik.”
“Cerewet. Sejak kapan kau menjadi kritikus seni?” semprotku mengena.
“Iya! Kau boleh senang sekarang. Aku akan pergi dengan Bayu dan akan menginap di luar malam ini. Jadi, rumah ini milikmu seutuhnya, Kau bisa bersenang-senang!” ucapnya seraya meninggalkan kamarku.
“Baguslah! Aku memang butuh ketenangan untuk menyelesaikan lukisan ini.”
Ia Laila, temanku satu kontrakan. Ia seorang penyanyi kafe. Pasangan yang serasi sekali denganku, seorang pelukis yang tidak jelas, terkadang mendapatkan bayaran dari melukiskan sketsa wajah seseorang di taman kota atau dimintai untuk melukis objek-objek tertentu secara khusus. Selebihnya, kuhabiskan waktu untuk melukis lelaki bersayap. Sosok yang selalu saja mengganggu pikiranku sejak dua puluh tahun silam.
- * *
Senja telah semakin jauh menuju barat, sementara aku masih duduk termangu di sini. Terpaku menatap lukisan lelaki bersayap. Lukisan ini telah selesai, kupikir. Tapi, masih saja ada sesuatu yang mengganggu perasaanku. Ah, entahlah! Lusa lukisan ini sudah harus diserahkan ke panitia.
Tiba-tiba HP berdering. Kutatap layarnya, ternyata mama.
“Halo, Ma?”
“Indi, kau baik-baik saja, kan?”
“Iya. Ada apa, Ma?”
“Mengapa belum juga pulang?”
“Maaf! Indi masih sibuk dengan pameran lukisan minggu depan.”
“Minggu depan genap dua puluh tahun papa meninggal. Kamu tidak lupa, kan?”
Ada yang mendesir di dada kiriku, “Tentu tidak, Ma!” ucapku berbohong.
“Kalau begitu, segeralah pulang! Kita akan berziarah bersama.”
“Tapi, Ma! Minggu depan ada pameran untuk pembukaan sebuah galeri lukisan dan lukisanku akan dipajang di salah satu dindingnya. Ma, ini adalah pameran lukisan pertamaku dan aku ingin Mama juga menghadirinya.”
“Apa! Sejak kapan urusanmu menjadi lebih penting daripada papa?”
“Ayolah, Ma! Aku pikir papa juga tidak akan keberatan jika kita terlambat menziarahinya satu hari saja. Aku benar-benar ingin Mama datang. Aku punya sebuah kejutan buat Mama.”
“Tidak! Mama tidak ingin dengar alasanmu. Terserah kalau kamu tidak mau datang. Tapi, jangan harap mama akan datang ke galeri itu!”
“Tapi, semua tidak akan ada artinya tanpa kehadiran Mama!” ucapku sesaat sebelum Mama mematikan HP-nya. Entah ia dengar atau tidak. Sesuatu baru saja mengisap Seluruh energiku. Aku terduduk di pinggir tempat tidur. Tertekur, Mama tidak datang. Padahal, ini semua untuknya. Hanya untuk mama. Lalu apa gunanya lukisan ini? Kuraih lukisan lelaki bersayap dan kubanting ke lantai. Bingkainya patah. Semua seperti menggelegak di benak. Tetes-tetes air mengalir hangat di kedua sisi mataku.
119
Mama juga. Sangat kangen!
Setelah itu, tak kusadari lagi apa yang terjadi. Paginya kuterbangun di lantai yang dingin. Kutemukan kamarku tidak lagi layaknya sebuah kamar. Kukembalikan bantal dan selimut yang bergelimpangan di lantai ke tempat tidur. Kuberesi cat-cat yang berserakan. Lalu, kupungut lagi lukisan lelaki bersayap. Syukurlah! Lukisan ini tidak robek.
“Papa, maaf, aku sampai lupa hari kepergianmu,” aku bicara sendiri sambil terus menatap lelaki bersayap. “Aku, bahkan tidak tahu dengan cara apa kau pergi karena Mama tak pernah mau membicarakannya. Yang aku tahu Mama sering mengurai tangis di malam buta. Matanya bengkak dan wajahnya kuyu ketika bangun. Mama pernah bilang, malam menelan papa. Tapi, aku tak percaya. Malam tak sejahat itu.” Aku terdiam beberapa saat.
“Papa, aku tak pernah benar-benar kehilangan Papa karena ada Mama. Dan sekarang, aku tak tahu harus bagaimana?”
Kuraih HP dan kucari nomor Mama. Lalu, kutunggu beberapa saat. Ah, tidak diangkat. Kucoba lagi. Sama saja. Sudah kuduga, mama takakan mau menjawab. Ia pasti marah sekali kepadaku.
“Papa..., Papa ada di mana? Aku benar-benar sendiri sekarang, aku butuh Papa. Aku tak sanggup mengecewakan Mama, juga tak sanggup melepas kesempatan ini. Belum pernah aku merasa serindu ini padamu, Papa. Mengapa kau tak kunjung datang menemuiku?”"
Padahal, selalu kukirimi papa sebuah doa lewat lelaki-lelaki bersayap: Telah kumohon pada Tuhan, semoga Jibril pinjamkan sayapnya padamu." |
Sebuah galeri berbentuk limas segi delapan dengan lebar setiap sisi delapan meter tengah memajang lukisanku. Tepatnya, dinding ketiga di sebelah kanan sisi tempat pintu berdiri. Di tengah ruangan ada kolam berdiameter dua meter setinggi satu meter dari lantai. Di tengah kolam berdiri sebuah patung yang tidak jelas bentuknya seperti apa. Namun, mempunyai delapan tempat yang mengalirkan air ke kolam. Ikan-ikan melenggok di dalamnya. Di sekeliling kolam ada bangku-bangku kayu, seperti bangku taman. Kupilih duduk di tempat yang menghadap ke lukisanku untuk mengamati siapa saja yang tertarik dengannya atau sekadar menyaksikan bagaimana ekspresi mereka ketika melihatnya.
Sudah beberapa jam aku duduk di sini. Rasanya sudah sangat lama sekali. Puluhan orang telah lewat di hadapanku. Sebanyak itu pula yang melirik lukisanku. Namun, hanya sebagian saja yang berhenti, menatapnya lama-lama. Mereka mengerutkan kening, tersenyum, dan menggeleng-geleng. Ada juga yang meraba teksturnya. Dan itu benar-benarsangat menggangguku.
“Sedang menunggu seseorang?" seorang teman mengagetkanku dari lamunan.
“Ah, tidak juga,” sahutku.
“Oo, bagaimana kalau kita cari makan siang?”
“Maaf, Gas! Aku tidak lapar.”
“Baiklah!” ucapnya sambil berlalu. Dan mataku mengantarnya hingga pintu keluar.
Dari arah pintu itu terdengar suara ribut, “Aku belum mati.”
“Tapi, bagiku, ya! Pergi tanpa pernah kembali mengunjungi anak istrimu selama bertahun-tahun dan tanpa kabar sedikit pun. Apa namanya, kalau bukan sudah mati?”
“Ya! Lalu, katakan bagaimana aku bisa muncul di depanmu dan di depan anak kita, kalau kau telah membuat nisan untukku dan menziarahinya setiap tahun. Lalu, orang macam apa kau?”
Ada suara orang-orang bertengkar di luar. Tapi mereka belum juga muncul dari pintu. Suara-suara itu terasa sangat akrab denganku. Itu seperti suara yang sering kudengar di malam-malam terakhir keberadaan Papa. Ya, suara ribut dan pertengkaran.
“Ah, apa yang kupikirkan?” sabutku pada diri sendiri. Itu tak mungkin terjadi! Mama tidak akan datang karena kutahu ia sangat keras kepala. Lagian, ia bertengkar dengan siapa di luar, Barangkali... Ah, itu jauh lebih tidak mungkin! Tiba-tiba sesosok perempuan muncul di depan pintu masuk Wajahnya cemberut dan matanya melompat-lompat, mencariku. “Mama!” Dugaanku tak meleset, Aku buru-buru melompat dan mengejarnya. Namun, tercekat. Di belakangnya muncul seorang lelaki yang hampir sama tuanya. Banyak yang berubah pada diri lelaki itu. Tapi, tak mungkin aku sampai tak mengenalinya.
Aku segera berlari menuju pria itu. Memeluknya.
“Papa, aku rindu, Papa! Rindu sekali,” Dada itu masih saja sama. Lapang. Juga dalam. Tanganku merabai punggungnya,
“Syukurlah, tidak bersayap.”
“Apa?”
“ Sajak seorang kawan yang berjudul, “Doa Buat Papa”