Lentera
oleh Maya Alkana

LENTERA

Maya Alkana
SMTI Padang



Wahai sekalian pengisi alam,
Apa yang telah terjadi pada zaman nenek moyangku?
Nyawa kami berserakan pada seonggok daging busuk tak berharga.
Sungguh, sedikitpun tidak ada keadilan.

Wahai hawa, wahai hawa...
Kita tidak pernah mengenal mereka, bukan?
Lalu mengapa kita tunduk?
Lalu mengapa tiada kata tidak?

Hawa, hawa...
Benarkah kita dipuja?
Ataukah kita hanya patung tak terjaga?
Setelah retak, terbuang
Tidak! Hawa, mengertilah...

Hari ini aku berada di tempat yang sama seperti beberapa hari yang lalu, di Tabina. Jalan ke surga bagi seseorang yang akan segera menapakkan kakinya di suatu pondok pada suatu pagi. Namun Tabina juga merupakan tempat gadis-gadis berhati polos sedang meratap. Ya, meratapi takdirnya. Tabina adalah lubang neraka yang tengah menganga di hadapan gadis-gadis yang hidup diadat ini. Adat Rakta, begitu masyarakat desa ini menamainya.

Adat yang amat tidak beradab. Mungkin itu adalah satu ungkapan tepat untuk adat ini. Mungkin bukan hanya aku satu-satunya gadis yang merasakan hal ini. Aku yakin teman-temanku juga. Kami adalah para gadis yang terlahir dengan adat Rakta, dari seorang ibu dan ayah yang jelas beradat Rakta pula.

Kami juga hidup dan besar dalam tuntunan dan kasih sayang keluarga.

Namun itu tidak lama, saat usia tujuh belas tahun kami akan hidup sendiri di rumah yang telah disiapkan oleh ayah. Kami tidak diizinkan lagi untuk tinggal bersama keluarga kami. Adat seperti ini hanya berlaku untuk perempuan.

Sedangkan untuk kaum laki-laki, mereka tetap tinggal di rumah orang tuanya sampai laki-laki itu menemukan seseorang yang akan mereka nikahi. Setelah mereka. menikah untuk yang pertama kalinya, mereka akan lepas tangan dari orang tuanya. Tidak ada pertalian lagi.

Saat seorang laki-laki menemukan pasangannya, ia akan memintanya kepada kepala adat, bukan kepada ayah perempuan itu, karena kepala adatlah yang akan mengatakan kepada ayah gadis tersebut. Ayah-ayah kami tidak boleh menolak. Secepatnya diadakan upacara pernikahan, tentu saja di Tabina, dan semua gadis wajib hadir dalam keadaan apapun.

Saat upacara pernikahan berlangsung, serah terima atau ijab kabul, yang kami sebut dengan pokoro, hanya akan bisa didengar oleh mempelai laki-laki dan kepala adat yang sekaligus menjadi penghulu. Para kaum laki-laki yang hadir, baik itu para ayah, laki-laki yang belum menikah, atau laki-laki yang berstatus apapun akan mengenakan pakaian adat. Begitupun dengan mempelai pria. Begitu istimewanya mereka saat pokoro.

Berbeda dengan kami kaum perempuan. Para ibu tidak diizinkan untuk hadir pada acara pokoro, mereka berada di rumah. Para gadis tidak diizinkan memakai pakaian adat atau pakaian yang sangat bagus. Pakaian adat hanya akan dikenakan pada saat kami mengandung seorang calon bayi. Namun hanya pada bulan genap saja.

Setelah pokoro, kepala adat akan berdiri di tengah-tengah kami. Menyebutkan nama mempelai yang baru saja menjalani pokoro, membacakan doa-doa, kemudian kami pulang. Menunggu esok pagi, siapa gadis yang rumahnya didatangi seorang laki-laki yang menjadi mempelai saat pokoro kemarin, maka dialah istri dari laki-laki itu. Tidak ada kata tidak, kami harus menerimanya. Menyakitkan.

*** 

Sebentar lagi pokoro akan berlangsung, laki-laki yang berdiri di depan kepala adat itu adalah seseorang yang segera akan menjadi seorang suami. Aku menunduk, membayangkan apa yang akan terjadi seandainya dia memilihku namun tidak mencintaiku sepenuhnya. Lalu dia meninggalkanku kapanpun día mau. Sebab memang begitu adatnya, suami-suami di adat ini boleh melakukan apapun kepada perempuannya setelah mereka menikah.

Pokoro selesai, penghulu membacakan doa untuk kami. Seperti biasanya, kami segera pulang. Menunggu pagi datang. Bukan pagi yang indah jika dia bukan laki-laki yang baik.

“...semoga dia adalah yang terbaik,” begitu sepotong doa dari penghulu yang menjadi pegangan kami. Aku pun berharap demikian. Walaupun pada kenyataannya jarang sekali ada yang baik. Sangat berbeda pada zaman orang tua kami. Kaum laki-laki adalah kaum yang amat bertanggung jawab walaupun hidup dalam adat biadab ini.

*** 

"Asna," seseorang memanggil namaku dari luar rumah seraya mengetuk pintu.

Aku bergegas membukakan pintu. Kedua bola mataku menangkap sosok yang hadir pada pokoro kemarin. Ritu, dia adalah mempelai pria yang baru saja menjalani pokoro. Dia adalah suamiku mulai hari ini. Bukankah begitu adatnya?

Segera kupersilahkan dia masuk ke rumah. Membuatkannya secangkir teh, dan kemudian duduk di hadapannya.

"Kau Ritu?" Tanyaku mamastikan. Namun tidak ada jawaban, semestinya aku mengerti. Aku memilih untuk menjawab dan meyakinkan diriku sendiri, dia Ritu.

Aku berbisik dalam hati, "Aku adalah istrinya mulai detik ini, istri Ritu".

"Asna, aku akan pergi ke hutan," ia berdiri kembali setelah tehnya habis.

"Ritu, tapi kau baru saja tiba. Apa kau tidak ingin makan dulu?"

"Tidak, aku ingin memburu seekor rusa. Kau tunggu aku di rumah dengan beras yang sudah kau tanak dan secangkir teh. Aku rasa aku akan cukup lelah nanti,"

"Baiklah. Hati-hati, Ritu,"

Percakapan yang singkat. Hanya itu pembicaraan pertamaku dengannya sebelum ia kembali dengan rusa buruannya.

Hari selanjutnya kusadari bahwa ada perubahan. Aku hidup dengan baktiku kepada Ritu. Perubahan yang menyenangkan kurasa, ia baik.

Entah ini hanya permulaan saja atau bagaimana, akupun tidak mengerti.

Aku mencoba berpikir baik kepadanya karena dia adalah suamiku, begitu aku sangat menghargainya.

Dua bulan berlalu. Selama tiga puluh hari di bulan ini aku harus mengenakan baju adat saat keluar rumah. Ya, aku telah mengandung anak Ritu, dan ini adalah bulan kedua. Aku bahagia, begitupun dengan Ritu.

Kasih sayang yang dia berikan lebih dari saat aku baru menjadi pasangannya dua bulan yang lalu. Aku semakin yakin bahwa dia adalah laki-laki yang baik.

Bulan demi bulan berlalu. Hidupku dalam pernikahan ini sungguh indah, tidak seperti perempuan lain yang mendapatkan suami yang tidak begitu baik. Mereka mendapatkan cobaan yang berat. Hanu, dia harus mencari pangan keluarganya seorang diri, tanpa bantuan suaminya yang kerjanya hanya berjudi. June, dia selalu menjadi korban amukan suaminya dalam keadaan mabuk. Kirat, suaminya sangat jarang berada di rumah bersamanya. Betapa menyedihkannya keadaan mereka. Berbeda dengan aku yang memiliki Ritu. Ritu tidak pernah berjudi, tidak juga mabuk-mabukan, apalagi meninggalkan aku sendirian di rumah kecuali bila dia ingin mencari makan untukku dan calon bayi kami.

Bulan terus berganti, hingga tiba pada bulan keempat. Aku tengah menyapu halaman rumah seraya bersenandung dengan mengenakan pakaian adat. Ritu tengah berada di kebun, ia memanen umbi-umbian yang ditanamnya. Dengan senyum bahagia, ku usap perutku dengan harapan dia menjadi anak yang baik suatu saat nanti. Namun senandungku berhenti saat tubuhku tiba-tiba melemah dan jatuh di tanah. Ada sesuatu yang mengalir, entah apa. Aku sudah tidak sadarkan diri.

*** 
Aku melihat Ritu di sisi kananku tengah menahan tangis dan amarah.

"Asna, Kamu tidak bisa menjaganya," ucapnya penuh kecewa.

"Apa? Apa maksudmu Ritu?” Tanyaku, namun segera terjawab setelah kusadari tidak ada lagi malaikat kecil yang ku tunggu selama empat bulan ini.

Ritu memalingkan wajahnya.

"Ritu, maafkan aku," ujarku penuh isak.

"Apa yang tidak kau dapatkan, Asna? Kau begitu kujaga. Kau tidak pernah letih. Aku tidak pernah marah padamu. Hanya untuk satu harapan, malaikat kecil itu," ucapnya.

"Ritu,...aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya untuk kedua kali, beri aku satu kesempatan," aku memohon.

"Ya, Kau memang tidak akan mengulanginya lagi. Karna memang tidak mungkin. Kau tidak akan pernah lagi menjaga apapun dariku. Aku pergi,"

Ritu beranjak dari sisiku. Bukan hanya dari sisi ragaku, namun juga sisi hatiku.

Luka yang amat mendalam hadir seketika, ditambah percikan air asam.

Pedih. Perih. Ritu tak sebaik yang ku bayangkan. Keadaanku kini berbalik, tidak seberuntung Hanu, June, dan Kirat. Jauh lebih buruk dari mereka. Baru saja malaikat kecil itu terbang meninggalkanku, suami yang selama ini ku baktikan membuangku. Ya tuhan, apa yang telah kusemai hingga ini yang ku tuai?

*** 

Seminggu kulalui sendiri dalam sakit yang tak jua kunjung sembuh. Tubuhku kian melemah, sementara aku harus bisa mencari makan sendiri.

Tidak mungkin untuk kembali ke rumah orang tuaku. Adat amat menentang itu. Menjijikkan. Apakah kepala adat akan tetap memegang teguh adat busuk itu dan membiarkanku mati tanpa ada yang merawatku dalam keadaanku yang seperti ini? Ingin sekali rasanya untuk mengakhiri hidup ini, tapi pikiranku tidak sedangkal itu. Aku harus kuat. Masih ada yang menyayangiku, Tuhanku.

Satu bulan sudah aku bertahan. Keadaanku tidak selemah kemarin. Rasa syukur mengalir dalam setiap doaku. Aku berdiri di ambang jendela, menatap ke luar. Pikiranku melayang pada sosok Ritu. Dimana dia saat ini? Tapi, ah, untuk apa aku memikirkannya lagi. Barangkali dia telah menemukan penggantiku. Adat yang pahit lagi, suami berhak melakukan apapun terhadap istrinya, bahkan untuk menikah lagi tanpa seizin istri pertamanya, juga untuk meninggalkan istrinya begitu saja. Pernikahan yang bukan pernikahan pertama tidak diadakan di Tabina, semua berlangsung di rumah kepala adat.

Sementara istri-istri itu pun boleh mencari pengganti suaminya yang pergi. Tapi bagaimana? Sementara mereka tidak diizinkan untuk hadir dalam acara pokoro. Jalan keluar satu-satunya adalah menunggu seorang laki-laki lagi untuk membawanya ke rumah kepala adat. Tanpa kepastian, perceraian atau damai, seperti aku dan Ritu.

Aku tetap sabar menunggu dan tegar menghadapi semua cobaan hingga cercaan untukku. Aku perempuan tidak laku. Begitu ejekkan masyarakat kampung. Tidak apa, aku tidak sendiri, aku bersama Tuhanku. Jodohku di tangan-Nya dan belum dipertemukan denganku, itu keyakinanku.

*** 

Dua tahun berlalu, Ritu tengah menggendong anak perempuannya dengan Nakna, gadis yang ia nikahi di rumah kepala adat. Begitu manis. Bukan Ritu ataupun Nakna yang ku maksud, tapi anak mereka dengan tawanya. "Semoga saja dia dan anak-anak kecil lainnya tidak lagi hidup di zaman dengan adat seperti ini lagi," doaku.

Setiap hari aku melihat kebahagiaan Ritu dan anaknya. Mereka selalu berdua, tanpa Nakna yang harus berada di rumah. Begitu pedih jika teringat dan mengandai-andaikan malaikat kecilku yang telah pergi.

Semua itu tak berlangsung lama, seorang laki-laki menikahiku. Namanya Doppa. Dia begitu menyayangiku dalam keadaan apapun. Dia berbeda dengan laki-laki manapun di kampung ini, termasuk Ritu. Dia tidak peduli dengan adat ini. Dengan kata lain, Doppa menentang adat Rakta.

Hanya beberapa hari kami menetap di kampung itu. Doppa yang menentang adat Rakta diusir dari kampung. Aku yang yakin pada suamiku akhirnya pergi dan membuat kampung sendiri di sudut hutan lain. Kemudian semua adat dan kebahagiaan kami rancang di sini, tanpa ketakutan bagi perempuan dan tanpa kebebasan yang begitu tidak manusiawi, yang selama ini dimiliki kaum laki-laki. Hidup ini adil. Begitu ucap Doppa, pemimpinku.

*** 

"...dan kemudian kamu telah tumbuh menjadi seorang gadis di usia tujuh belas tahun, tanpa adat yang menyakitkan itu," ujarku. Ceritaku usai.

Malaikatku telah terlelap dalam mimpinya.

"Asna," seseorang memanggil namaku dari luar rumah seraya mengetuk pintu.

Aku bergegas membukakan pintu. Kedua bola mataku menangkap sosok gagah dengan lentera di genggamannya. Doppa, dia adalah suamiku tujuh belas tahun yang lalu, hari ini, dan selamanya. Bukankah begitu adatnya?