Majalah Horison/1968/Volume 5/Sadjak-sadjak
SADJAK-SADJAK SAPARDI DJOKO DAMONO
DOA SEKELOMPOK ORANG JANG BINGUNG
(sebuah frahmen)
kalau kami memandang lewat djendela terbuka
kami tahu apa jang tengah terdjadi luar sana
tahu apakah debu masih mengepul didjalan raja
kalau kami memandang lewat pintu jang kami buka
kami tahu bahwa apa jang berlangsung diluar masih sama
dengan kemarin, lusa atau bahkan kapan sadja
tahu bahwa apa jang berlangsung adalah gambar sewarna
seperti jang sering kami saksikan dalam djiwa kami sendiri
kalau kami memandang lewat genting katja
kami tahu bahwa matahari jang menjala waktu siang
hampir sama dengan rembulan jang tengah malam kesepian
kalau kami menunduk dan tak memandang keranapun
kamipun masih bisa mendengar suara2 adjaib
masih bisa tahu suara segala pendjuru semesta
bisa tahu suasana dan tjuatja hari2 jang tiba
gelap jang dengan gaib berpusing dalam tjahaja
tuhan, ampunilah hambamu ini
orang2 jang mengerti, mendengar dan menjaksikan segalanja
tapi tak kuasa untuk tahu kehendakmu
asing dalam teduh lindungan dan kekuasaanmu
bebaskan kami dari pandangan jang pitjik
dari rasa ingin tahu jang dangkal
tentang dirimu beserta segala sifat²mu jang agung
jang luput dari raih indera kami jang sederhana ini
tuhan, ampunilah hambamu ini
orang2 malang jang selama ini buta, bisu dan tuli
terhadap suara serta niatmu
terhadap pesan dan harapan
jang disampaikan oleh nabi²mu.
1963
SONET: LELAKI TELAH TURUN KELAUT
lelaki2 telah turun kelaut, memandjat gedung jang
dibangunkan,
berpeluh dibelakang tungku k.a.; lelaki2 telah diberang-
katkan
kemedan perang, mengembara kekota2 asing, berkelahi
disudut2 jang gelap. Mereka telah mentjiptakan djakarta.
mereka telah membuat djalan2 jang pandjang, menegak-
kan patung²,
menjalakan lampu², mengadjar kanak2;
lelaki2 jang baik tak pernah bertanja buat siapa,
mereka diam, dipundak mereka bergantungan para
perempuan.
lelaki2, seperti nasib, takpernah terdjinakkan disini,
dalam bajang2 lambang, pandji² dan peti mati;
mereka telah dilahirkan untuk berlaga, dalam prahara,
menampar dan meludahi keledai2 jang berchotbah
dimenara.
Lelaki2 telah mendjelma njanjian², sadjak², lukisan²,
pentjipta setia sedjarah jang pandjang, ahli waris djaman.
1964
(dari sonet-sonet dari djakarta)
PADA PENGUBURAN
lontjeng² ketjil berswara riuh
gagalkan segala niat kami untuk mentjoba mengerti
sampai berapa djauh kuasa negrimu jang sutji
ampunilah, wahai, ampunilah hambamu ini
sekelompok ummat malang jang pernah menurutkan
arah-angin
jang pernah sia² mentjari tanah-air tjahaja
ampunilah hambamu ini
kini engkaulah aku besok
dibalik djeridji djiwaku; slamat berpisah, kataku.
seseorang pasti pergi tanpa melambaikan tangan
pada suatu hari jang sangat baik
besok akulah engkau kini;
lontjeng2 ketjil berswara njaring, tanda kita pernah bertjinta,
dibalik djerdjak hatiku. slamat tinggal.
1965
masihkah tanganmu terpertjik darah, saudara ? duduklah
dan djangan gugup. iblis mana pula telah menundukkan
negri dalam nuranimu; alangkah kotornja badju dan tjelanamu.
ah, toh kami bukan lagi mendjadi saudaramu
orang jang menusukkan fitnah dari samping, pandanglah kami
dan djangan gugup kenapa mesti kaubunuh saudara²mu seadiri jang terbaik;
pastilah tak putus2nja bermimpi buruk kau
sehabis pesta harum bunga, rapat gelap dan bisik2 rahasia
sudahlah, Tuhan kami telah kautikam dan kaubakar
dan negeri perkasa dalam nuranimu runtuhlah pelahan2
kaupun bergelandangan, buruan dirimu sendiri
tanpa kerabat, toh kami bukan lagi saudaramu
1965
SADJAK TUTUP TAHUN, 1965
menitiklah djuga achirnja, dari kelopak2nja jang lelah
airmatamu jang terpahit
suara Judas berkumandang kembali, dan sekawanan machluk malang
menusukkan tangan2 mereka jang terbakar kelangit, kebumi
barangkali kelepak kasih-sajang tiada terdengar lagi disini
dan didjalanan: pisau2 berkilat dalam dendam
pandanglah dengan duabelah matamu jang letih lantaran tjuriga :
anak2 jang kehilangan bapa dan perempuan2 tidur tanpa suaminja
ja, saudara2ku jang tertunduk dalam duka jang pandjang
kembangkan lengan2mu jang berkeringat, tegakkan pundakmu penat
kita bangunkan kembali kasih-sajang, selama kau tahu
bahwa Judas tidak mendjual Kristus, tapi dirinja sendiri
LONTJENG DALAM HUDJAN
Kita mendengar suara lontjeng
menjusup rintik hudjan; barangkali bermula dari menara
dipusat kota.
Kaupun bertanja: siapa gerangan menarik talinja.
hingga gemetar katja2 djendela, dimalam buta,
rumah dalam diri kita?
Kutjium keningmu: barangkali sadja sangketa
atau huruhara jang terlebih dahulu memberi pertanda
jang bakal merobohkan bangunan terbaik
dalam diri kita ;
wahai, barangkali kita harus berangkat
sebagai buruan, sebagai mangsa.
Pedjamkan matamu, dan djangan gugup,
barangkali pula lontjeng adalah awal dari tjahaja
jang bakal menaklukkan bajangan2 hitam, pendjuru2
dalam kota serta lembah
dalam diri kita.
Kita harus tetap pertjaja !
1966
TJERITA ANAK-AJAM
Seekor anak-ajam mentjiap2 didjalan ketjil itu;
dimana induknja, tanjamu. Akupun tentu sadja tak tahu.
Barangkali ia adalah anak-ajam kita
jang menetas minggu jang lalu, lihatlah bulu2nja jang putih;
betapa gugupnja, mentjiap2 kesana-kemari,
terlepas dari Kasih-sajang, tak tahu kemana mesti pergi.
la lari kalau kaudekati
sebab tak mengerti arti kata²mu,
induknja pastilah sedang mentjari makan
mengais sampah bersama anak2nja jang lain;
kasihan anak-ajam itu, katamu, bingung terpisah sendiri disitu.
Tapi barangkali ia anak-ajam jang nakal
jang mandja dan biasa mengganggu saudara2nja,
lalu dipatuk induknja dan diasingkan supaja djera.
Djangan termenung, barangkali kitapun anak2-ajam
jang djahat, diasingkan dan terpisah dari Induk kita;
tapi apakah kita pernah djera, tanjamu.
Aku diam. Panas benar hari ini !
1966