Mak Umar
oleh Puja Agung Antonius

Mak Umar

Puja Agung Antonius SMAN 1 Padang




Bus “Kami Saiyo” yang kutumpangi dari Jakarta mulai melambat memasuki areal Terminal Bingkuang, Padang. Hiruk pikuk terminal menyambut kedatanganku. Kenek bus berteriak kepada para penumpang untuk berkemas dan hati-hati agar tidak ada yang kehilangan bawaan. Aku mengambil ransel yang kutaruh di tempat penyimpanan barang di atas tempat dudukku, tak lupa dua plastik penuh berisi oleh-oleh untuk keluarga. Badanku masih lemas dan capek. Perjalanan yang kutempuh kali ini benar-benar melelahkan dan menguras tenaga. Namun, semua itu tak kuhiraukan. Perasaan bahagia dan gembira yang menyelimutiku sekarang, seakan memberiku energi untuk secepatnva bertemu dengan keluarga. Keluarga yang sudah lima tahun kutinggalkan.


Terminal ini masih asing bagiku. Dari sini, aku tak tahu harus naik mobil apa lagi untuk sampai ke rumah. Aku tak mau ambil risiko, kalau harus malu tersesat di kampung halaman sendiri. Memang, di sini banyak mikrolet berwarna kuning, tapi seingatku, di depan rumah tak pernah ada mikrolet lewat yang berwarna kuning. Aku tak mau buang-buang waktu. Aku langsung berinisiatif untuk naik taksi saja. Aku yakin sopir taksi pasti tahu rumahku. Setelah sedikit negosiasi, akhirnya taksi pun melaju membawaku pulang bersama setumpuk rasa rindu keadaan ayah, ibu, Mirna, adikku, dan Mak Umar.


Namaku Yusuf. Meskipun wajahku tak setampan Nabi Yusuf, tetapi Allah memberiku rahmat dengan kepintaran yang lebih menonjol. Itulah sebabnya, mengapa aku berada di Jakarta dan meninggalkan keluargaku. Di sana aku sedang menyelesaikan kuliahku di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Insya Allah, satu tahun lagi aku akan diwisuda. Semula aku tak menyangka, kalau aku masih bisa melanjutkan pendidikan. Jangankan kuliah di UI, di universitas yang ada di Padang saja, rasanya keluargaku tak mampu membiayai. Untunglah, aku bisa mendapatkan beasiswa dan dengan bantuan yang kuterima dari mamakku yang ada di sana, aku mencoba untuk terus menuntut ilmu walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Maklumlah, mamakku yang ada di sana tidak bisa membantu banyak karena kehidupan mereka juga termasuk susah untuk kehidupan orang Jakarta.


Dengan segala kekurangan itu, tidaklah heran kalau aku tidak pernah pulang selama lima tahun terakhir. Apalagi, jadwal kuliah sangat menyita waktuku. Kadang-kadang, memang rasa rindu kampung halaman bergemuruh di dadaku. Namun, aku terus mencoba memendamnya sedalam mungkin dengan terus menyibukkan diri. Aku juga tidak heran, kalau keluargaku tak bisa mengunjungiku karena aku sendiri mengerti keadaan ekonomi mereka. Kalau berkirim surat, itu tak mungkin karena ayah, ibu, dan Mak Umar buta huruf, sedangkan Mirna, apalah yang bisa diharapkan dari



42

gadis belasan tahun yang menderita kebutaan dan cacat mental sejak kecil. Memang dulu aku sudah mencoba mengirimi surat beberapa kali, tapi tak pernah dibalas. Sejak saat itu, komunikasi antara aku dan keluarga terputus sama sekali.

Waktu kecil sebenarnya aku tak pernah bercita-cita menjadi dokter, menjadi pilot lebih menarik perhatianku. Tapi, saat aku kelas dua SMA, hatiku terenyuh. Aku tak tahan, ketika harus melihat ayahku, yang biasanya menjadi tulang punggung keluarga, meringis menahan sakit akibat rematik kronis, sedangkan saat itu kami tidak mempunyai uang yang cukup untuk berobat ke dokter. Sejak saat itulah, di hatiku terpatri, aku harus menjadi dokter bagaimanapun caranya. Untunglah, ketika aku akan pergi ke Jakarta dulu, dengan bantuan Mak Taibah, dukun yang bisa mengurut tulang di kampungku, ayah sudah berjalan meskipun agak tertatih-tatih. Tetapi, untuk mengolah sawah, sepertinya ayah sudah angkat tangan. Bersyukur sekali di rumahku ada Mak Umar.

Dialah yang mengolah lima petak sawah keluargaku, sejak sakit ayah kambuh. Biasanya, sepulang sekolah aku dan Nurman, sahabatku, membantu beliau. Sebagai imbalannya, Mak Umar akan mengajari kami bermain suling batang padi atau membakar ubi yang ditanam di pematang sawah. Kadang-kadang ketika tiada kerjaan, Mak Umar mengajak kami memancing ke empang yang ada di belakang rumah Nenek Janah. Di sana banyak sekali ikan mujair. Biasanya, kami berebutan dengan anak-anak yang juga ingin memancing. Tapi, itu tak masalah karena Mak Umar itu sangat pandai memancing. Ia tahu di mana ikan-ikan berkumpul sehingga tidaklah heran, ketika pulang sorenya kami bisa membawa sekitar dua puluh ekor mujair sebesar tiga jari telunjuk. Meskipun tidak banyak, setidaknya bisa untuk menambah lauk-pauk di rumah.

Sebenarnya, Mak Umar bukanlah mamak kandungku. Ia ikut dengan keluargaku, ketika ia berumur lima tahun. Kata kakek, orang tuanya meninggal karena kekejaman PKI. Tapi, aku tak peduli meskipun bukan mamak kandung. Aku lebih dekat dengannya daripada dengan mamakku yang lain. Hagiku, ia bukan sekadar seorang mamak, tapi juga seorang ayah, sahabat, dan guru. Apabila berada di dekatnya, aku merasa aman dan terlindungi. Pernah dulu ketika anak-anak dari kampung seberang mau mengeroyokku, Mak Umar langsung turun tangan. Kalau tidak salah, itu karena aku bisa menggaet Nirmala, kembang desa di sana. Meskipun cintaku akhirnya kandas di tengah jalan, itu tak masalah karena setidaknya, aku tahu Mak Umar menyayangi aku, seperti anaknya sendiri.


Namun, aku masih menyimpan satu pertanyaan pada Mak Umar. Aku heran meskipun umurnya sudah kepala empat, ia belum juga menikah. Padahal, kalau kulihat secara jasmani, tak ada yang kurang darinya. Tubuhnya tinggi tegap dengan otot-otot lengan yang kekar. Kulitnya agak hitam karena terbakar matahari. Wajahnya yang lonjong dihiasi oleh hidung yang memang agak bangir. Matanya yang berwarna cokelat seakan memancarkan wibawa dan sahaja. Meskipun kerut-kerut sudah mulai menjejali wajahnya, itu belum bisa menutupi sisa-sisa kegagahan Mak Umar di masa mudanya. Kata Ibu, dulu sudah banyak orang yang menginginkan Mak Umar menjadi menantu, namun tak satu pun yang menarik perhatiannya. Sampai-sampai dulu sempat berembus isu di kampung, kalau Mak Umar itu tidak tertarik pada wanita. Namun, seperti biasa ia hanya tersenyum dan tidak menanggapi serius semua itu.


Di belakang rumahku ada sebuah surau kecil, letaknya di belakang kebun ubi yang ditanami Mak Umar. Di depannya mengalir sebuah bandar kecil yang airnya jernih. Keluargaku ataupun tetangga dan petani yang punya sawah di dekat rumahku, biasanya mengambil wudu dan salat di surau itu. Surau itu Juasnya hanya tiga puluh meter persegi. Semua dindingnya ditutupi dengan sasak, sedangkan pintunya yang menghadap ke bandar hanya ditutupi dengan lembaran tripleks. Di surau itulah Mak Umar tidur sehari-harinya. Biasanya, sehabis Magrib Mak Umar mengajari aku dan teman-teman mengaji. Ternyata, Mak Umar itu hebat sekali mengaji. Ditambah lagi, suaranya sangat merdu ketika mengalunkan ayat-ayat suci. Pada malam minggu biasanya Mak Umar akan membuat api unggun. Ia akan mencabut beberapa ubi miliknya. Kemudian, membakarnya untuk kami.



44

Sambil makan ubi, biasanya ia akan bercerita tentang masa mudanya dulu. Uhmm...

Sungguh masa-masa yang menyenangkan.

“Sudah sampai, Dik,” suara sopir taksi menyadarkanku dari lamunan.

“Oh, eh, iya,” jawabku gugup karena terkejut. Aku mengeluarkan uang tiga puluh ribu yang sudah sejak tadi kusiapkan, sesuai dengan negosiasi kami tadi. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mengangkat bawaanku ke depan rumah.

Aku berdiri tegak sebentar menghadap rumahku. Kuhirup dalam-dalam aroma yang sejak dulu kurindukan. Aroma sawah dan aroma ternak. Uhh, rasanya Jega sekali. Aku menatap rumahku. Rumah kecil dengan tiga kamar dan sebuah teras yang tidak terlalu luas. Rumahku memang menyendiri dan agak jauh dari tetangga. Maklumlah, aku tinggal di kawasan pinggiran Kota Padang. Rumahku dikelilingi sawah dan halaman rumahku yang cukup luas itu ditanami beberapa pohon kelapa, bunga-bungaan, dan tanaman buah, seperti mangga, belimbing, dan rambutan.

Setelah puas melepas rindu, aku masuk ke halaman. Di teras, di atas bangku panjang dari bambu, kutemukan ibu. Ia sedang tidur. Kuletakkan bawaanku dan aku berjalan ke dekat ibu, "Bu, Bu..Bu. Yusuf, Ibu” aku memanggil Ibu dengan suara lunak, Ibuku langsung terbangun. Ja langsung duduk karena terkejut. Ia mengusap-usap matanya, dan “Astagfirullah, Yusuf, kapan kamu datang?”

Kemudian ibu mendekapku, erat sekali, uhm... sudah lama aku merindukan dekapan hangat ini. Di pundakku, aku bisa merasakan tetesan air mata ibu. “Ibu, mengapa Ibu menangis?” tanyaku lembut.

"Ibu menangis karena Ibu bahagia, Nak. Sudah lama sekali Ibu tidak melihatmu, Ibu rindu sekali, Nak," jawab ibuku.

“Saya juga rindu, Bu” ujarku lemah. Setelah menangis sesegukan, Ibu kembali ceria dan kembali bertanya kepadaku.

“Bagaimana kuliahmu, sudah selesai?”

"Belum, Bu. Insya Allah, setahun lagi selesai." “Bagaimana mamakmu? Apakah mereka sehat-sehat saja? Adakah mereka membantumu di sana? Sudah sembuh, Mak Thamrin, katanya, ia kecelakaan, ya?” tanya Ibu bertubi-tubi kepadaku.

“Mamak sehat-sehat saja, Bu, Mak Thamrin pun sekarang sudah bisa jalan. Mereka semua sering sekali membantu aku, Bu,” kujawab dengan tenang.

“Ooo, syukurlah,” jawab Ibu.

“Oh, ya, Bu, ini aku bawakan oleh-oleh, untuk Ibu, Ayah, Mirna, dan ... seketika aku ingat Mak Umar. Di mana Mak Umar ya,” batinku bertanya.

“Bu, Yusuf ke surau dulu, ya, Bu,” seketika aku berdiri, berjalan ke samping rumah dan dengan agak berlari aku menuju ke belakang rumah, ke surau. Dari belakang aku bisa mendengar suara Ibu yang agak berteriak.

“Yusuf, tunggu dulu, ada yang mau Ibu bicarakan.”

“Nanti saja, Bu,” aku juga menjawab dengan agak keras. Kali ini rasa rinduku pada Mak Umar sudah tidak terbendung lagi. Aku sudah sampai di belakang rumah. Tapi, di mana kebun ubi, lalu mengapa surau kotor sekali. Sampah berserakan, ilalang yang tumbuh mulai menutupi dinding surau. Tidak biasanya Mak Umar seperti ini. Aku berteriak memanggil Mak Umar. Tapi, tak ada sahutan. Kucari ke sawah, ke sumur, tapi hasilnya nihil. Seketika itu, pikiran buruk melintas di benakku.

Aku kembali ke teras, ke tempat ibu. Dengan wajah yang lesu, aku bertanya kepada Ibu. “Mak Umar di mana, Bu?” tanyaku Jetih, Ibu hanya diam, wajahnya rusuh dan di matanya terpancar sinar marah, dendam, dan sesal. Tidak pernah begini. Aku makin cemas, apa yang terjadi pada Mak Umar. Sudah lima menit Ibu bungkam dan aku pun begitu. Rasa ingin tahuku rupanya sudah tidak terbendung lagi.

“Ibu, di mana Mak Umar?” Aku bertanya selunak mungkin. Ibu masih diam.

“Buat apa kamu tanyakan bajingan itu?” suara Ibu meninggi atau tepatnya, ibu memekik. Melihat ini aku tak berani bertanya lagi. Aku diam. Namun, pikiranku galau dan dipenuhi ribuan tanya. Kulihat wajah Ibu memerah, kacau, dan tangis Ibu meledak. Ibuku menangis histeris persis, Seperti kehilangan orang yang dicintai. Aku semakin bingung.

“Ada apa, Bu, ada apa ini? Tolong jelaskan pada saya,” aku pun mulai panik dan tanpa disadari aku pun larut dalam keharuan itu. Mataku memerah. Namun, aku masih belum mengerti apa yang terjadi.

Aku diam dan membiarkan ibuku menangis, menumpahkan semua yang dipendamnya selama ini di dalam hati. Lebih kurang seperempat jam Ibu menangis dan aku tidak berusaha untuk menenangkannya. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?" tanyaku geram di dalam hati. Tangis Ibu mulai mereda, sepertinya ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Sekarang ia hanya sesenggukan sambil sesekali mengusap air mata.

“Ada apa, Bu?” sekarang aku harus berani bertanya. Aku tahan lagi harus didera rasa penasaran ini. Ibu masih diam sesaat. Namun, kemudian ia menjawab, ia mengambil napas sebentar.

“Bajingan itu yang telah kau anggap sebagai mamak, ia telah, telah, telah...”

“Telah apa, Bu?” sekarang suaraku mulai meninggi, mendesak mimpi-mimpi buruk mulai menari liar.

“Ia telah memperkosa adikmu,” tangis Ibu kembali meledak. Astaghfirullah, badanku rasanya langsung bergetar, seperti disambar petir. Kepalaku pusing, rasanya mau meledak. Hatiku galau, kacau, gusar, marah, dendam, iba, semuanya menyatu. Badanku rasanya lemah dan lemas seketika itu juga. Mataku memerah dan tanpa kusadari aku Rasanya sekarang aku benar-benar tak berdaya.

"Tuhan, mengapa Engkau memberi cobaan berat ini, tidak cukupkah Engkau mengujinya dengan memberi cacat yang dibawanya sejak lahir. Mengapa harus ia lagi yang menanggung. Mengapa tidak aku saja, terlalu banyak beban yang ditanggungnya, Ya Tuhan.” Sesal-sesal serasa mengalir di tubuhku ini.

Dengan sedikit tenagaku kembali menanyai ibu, "Lalu di mana bajingan itu sekarang?” tanyaku gusar. Dengan tangisan Ibu menjawab.

"Ia sudah diusir ayahmu.”

Bagaimana ini bisa terjadi, Bu?" tanyaku lagi. Ibu kembali menenangkan diri sebentar, tapi dari matanya masih mengalir air mata.


“Dulu, seminggu setelah kepergianmu, ia diganggu oleh anak-anak nakal yang pernah kauhajar. Mereka menertawai Mirna. Bahkan, melemparnya dengan kerikil. Akibatnya, ia takut pergi main ke rumah si Leni. Ja ingin agar kamu memperingatkan mereka dan ia mencari-carimu ke surau. Ibu sudah mengatakan, kamu sudah pergi ke Jakarta, tapi ia tak percaya. Katanya, kamu tak pernah mengatakan padanya, kalau kamu akan pergi.


“Ya, Tuhan. Jadi, semua ini salahku,” sesalku makin menjadi. Aku ingat dulu, aku memang tidak mengatakan kepada Mirna, kalau aku akan pergi. Aku takut ia tak merelakan aku pergi. Maklumlah, selain Leni, hanya akulah temannya.


Orang-orang tak mau mendekatinya. Mereka pikir Mirna hanyalah manusia tak berguna dan menyusahkan. Ia tak bisa apa-apa. Tapi, tidak bagiku, Mirna itu adalah manusia berhati suci meskipun ia sering menerima ejekan dan perlakuan kasar. Di hatinya tak pernah secuil pun tersimpan rasa marah ataupun dendam. Itulah sebabnya, mengapa aku bersumpah akan melindunginya seumur hidupku. Tapi, yang terjadi sekarang.


“Lalu, mengapa Ibu tak memberi tahuku,” tanyaku lemas.


“Bukannya Ibu tak ingin memberi tahu, tapi Ibu tak ingin kamu juga menanggung beban ini. Ibu tidak ingin masa depanmu juga hancur karena peristiwa ini. Ibu tak ingin kamu gagal meraih cita-citamu. Ibu tak ingin semua kesedihan terus mendera keluarga kita,” Ibu menjawab parau.


Teras sepi, yang ada hanya semilir angin sawah yang serasa Ingin menenangkanku. Suasana sunyi, matahari yang terik rasanya semakin membakar gusarku. Aku diam dan Ibu pun begitu. Pandangan Ibu kosong, tatapan matanya menyiratkan keletihan yang dalam akibat menanggung beban yang berat ini. Ditengah keheningan kami tiba-tiba terdengar suara dari dalam rumah.


“Siapa itu, Bu?” tanyanya penasaran. Ibu hanya diam tak sanggup menjawab. Merasa tak mendapat jawahan yang memuaskan, ia keluar dan sekarang berdiri di dekat pintu. Ia Mirna, Tampangnya lusuh, rambutnya kusut, pakaiannya agak acak-acakkan. Sepertinya, ia baru bangun tidur. Wajahnya yang sayu tidak sedikit pun menyiratkan, kalau ia telah menangung cobaan yang pedih.


“Sudah pulang si Amin, Bu?” ia kembali bertanya.


“Belum, tadi ia pergi kantor lurah bersama Ayah,” Ibuku menjawab sendu. Mendengar itu, Mirna hanya manggut-Manggut tanda ia mengerti


“Si Amin, siapa itu, Bu?” tanyaku pelan.


“Anaknya,” jawab Ibu singkat. Astaga, sekarang aku terpana, ternganga, tak sanggup berkata.