Mekanisme Impeachment & Hukum Acara Mahkamah Konstitusi/Kata Pengantar/Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya. Dalam praktek impeachment yang pernah dilakukan di berbagai negara, hanya ada beberapa proses impeachment yang berakhir dengan berhentinya seorang pimpinan negara. Salah satunya adalah Presiden Lithuania, Rolandas Paskas, dimana proses impeachment itu berakhir pada berhentinya Paskas pada tanggal 6 April 2004. Di Amerika pernah terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap Presiden misalnya pada Andrew Johnson, Richard Nixon, dan terakhir pada William Clinton. Namun, kesemua tuduhan impeachment yang dilakukan di Amerika itu tidak berakhir pada berhentinya Presiden. Pada kasus Richard Nixon, Nixon mengundurkan diri pada saat proses impeachment berlangsung sehingga belum sampai pada putusan dari proses impeachment itu.
Setidaknya ada 3 hal yang menarik dalam melakukan pengkajian mengenai impeachment. Pertama adalah mengenai objek impeachment, kedua mengenai alasan-alasan impeachment serta terakhir mengenai mekanisme impeachment. Masing-masing negara yang mengadopsi ketentuan mengenai impeachment mengatur secara berbeda-beda mengenai hal-hal tersebut, sesuai dengan pengaturannya dalam konstitusi.
Objek dari tuduhan impeachment tidak hanya terbatas pada pemimpin negara, seperti Presiden atau Perdana Menteri, namun juga pada pejabat tinggi negara. Objek dari impeachment diberbagai negara berbeda-beda dan terkadang memasukkan pejabat tinggi negara seperti hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara menjadi objek impeachment. Namun objek impeachment yang menyangkut pimpinan negara akan lebih banyak menyedot perhatian publik. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, Indonesia juga mengadopsi mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut pada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Alasan-alasan impeachment pada masing-masing negara juga berbeda-beda. Selain itu, perdebatan mengenai penafsiran dari alasan impeachment juga mewarnai proses impeachment atau menjadi wacana eksplorasi pengembangan teori dari sisi akademis. Contohnya adalah batasan dari alasan misdeamenor dan high crime yang dapat digunakan sebagai dasar impeachment di Amerika Serikat. Di Indonesia, kedua alasan tersebut diadopsi dan diterjemahkan dengan “perbuatan tercela” dan “tindak pidana berat lainnya”. Batasan dari misdemeanor dan high crime di Amerika sendiri masih menjadi perdebatan. Sedangkan definisi atas alasan impeachment tersebut di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU MK. Yang disebut “tindak pidana berat lainnya” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sedangkan “perbuatan tercela” adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Meski telah disebutkan dan coba didefinisikan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, kedua alasan impeachment tersebut masih memancing perdebatan wacana secara akademis yang dapat digali lebih dalam lagi.
Mengenai mekanisme impeachment di negara-negara yang mengadopsi ketentuan ini juga berbeda-beda. Namun secara umum, mekanisme impeachment pasti melalui sebuah proses peradilan tata negara, yang melibatkan lembaga yudikatif, baik lembaga itu adalah Mahkamah Agung (Supreme Court) atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Bagi negara-negara yang memiliki 2 lembaga pemegang kekuasaan yudikatif yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka besar kecenderungan bahwa Mahkamah Konstitusi-lah yang terlibat dalam proses mekanisme impeachment tersebut. Keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses impeachment itu sendiri berbeda dimasing-masing negara, tergantung pada sistem pemerintahan yang dimiliki oleh negara tersebut serta tergantung pula pada kewenangan yang diberikan oleh Konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi dalam keterlibatannya pada proses impeachment. Di satu negara Mahkamah Konstitusi berada pada bagian terakhir dari mekanisme impeachment setelah proses itu melalui beberapa tahapan proses di lembaga negara lain. Contoh negara dalam sistem ini adalah Korea Selatan. Tak selang beberapa waktu yang lalu, Perdana Menteri Korea Selatan, Roh Moo Hyun, terkena kasus impeachment atas tuduhan kasus suap dalam pemilihan umum yang dimenangkannya. Oleh Parlemen Korea Selatan Roh Moo Hyun telah terbukti bersalah dan diberhentikan dari kedudukannya.Atas putusan Parlemen itu Roh Moo Hyun dinonaktifkan dari jabatannya dan dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi. Setelah diperiksa di Mahkamah Konstitusi, putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Roh Moo Hyun memang melakukan suap tapi tuduhan itu tidak cukup untuk membuat dia turun dari jabatannya. Oleh karena itu Roh Moo Hyun tetap dalam jabatannya sebagai Perdana Menteri akibat putusan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan sebagai benteng terakhir dari proses impeachment di Korea Selatan.
Ada juga sistem yang menerapkan dimana Mahkamah Konstitusi berperan sebagai jembatan yang memberikan landasan hukum atas peristiwa politik impeachment ini. Kata akhir proses impeachment berada dalam proses politik di parlemen. Contoh dari negara yang mengadopsi aturan demikian adalah Lithuania yang juga baru saja memberhentikan Presidennya, Rolandas Paskas dalam proses impeachment. Indonesia juga mengadopsi aturan seperti ini.
Proses impeachment di Indonesia melalui proses di 3 lembaga negara secara langsung. Proses yang pertama berada di DPR. DPR melalui hak pengawasannya melakukan proses “investigasi” atas dugaan-dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang tergolong dalam alasan-alasan impeachment. Setelah proses di DPR selesai, dimana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan tindakan yang tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Sebelum akhirnya proses impeachment ditangani oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk mendapat kata akhir akan nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam ayat yang berbeda dari 4 kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya yang disebutkan dalam pasal 24C ayat (1), pada ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.Adanya ketentuan ini tentu memancing perdebatan dan perbedaan penafsiran atas setidaknya 2 masalah yaitu pertama mengapa penyusun Perubahan UUD 1945 memisahkan kewenangan MK dalam memeriksa perkara ini? Dan kedua mengenai objek dari perkara ini, apakah MK memeriksa pendapat DPR ataukah MK juga berwenang untuk “mengadili” Presiden dan/atau Wakil Presiden? Permasalahan ini memancing perdebatan dan perbedaan penafsiran secara akademis. Oleh sebab itu, banyak yang bisa digali dan diteliti mengenai penafsiran ketentuan hingga proses teknis dari mekanisme impeachment ini.
Terbitnya buku ini, yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengkajian Mahkamah Konstitusi, perlu mendapat apresiasi. Hadirnya buku ini, setidaknya memunculkan wacana baru dimasyarakat mengenai impeachment yang juga merupakan hal yang baru di Indonesia. Selain itu, titik berat dari penelitian ini yang mencoba mengkaji mengenai hukum acara impeachment di Mahkamah Konstitusi juga merupakan terobosan sebab MK sendiri sedang menyusun hukum acara yang terkait dengan pelaksanaan kewenangannya dalam hal ini.
Buku ini menitikberatkan pada satu segi permasalahan dalam proses impeachment dan masih banyak segi yang bisa digali dari topik impeachment ini dengan menelusup lebih dalam serta melihat dari sudut pandang yang berbeda. Kumpulan gagasan serta teori yang beragam mengenai impeachment akan memperkaya diskusi serta mempertajam proses perkembangan teori dan pelaksanaan mekanisme impeachment di Indonesia.
Mekanisme impeachment adalah satu diantara mekanisme pengawasan serta perimbangan kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang baru. Banyak buku-buku yang mengulas sistem ketatanegaraan kita yang telah usang dan tidak sesuai lagi. Dan banyak perkembangan teori-teori ketatanegaraan yang kita senantiasa tertinggal. Oleh karena itu, saya menghimbau agar banyak terbit buku-buku yang akan menulis mengenai sistem ketatanegaraan kita yang baru dengan mengulas teori-teori baru dalam hukum tata negara. Dan salah satunya adalah mengenai mekanisme impeachment ini dikaitkan dengan keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam proses politik tersebut. Penerbitan buku hasil penelitian ini semoga dapat menjadi pemicu untuk memperkaya khazanah pengetahuan ketatanegaraan ditengah paceklik ide untuk menerbitkan buku-buku ilmiah, terutama dibidang Hukum Tata Negara.
Jakarta, Desember 2005
Dr. Harjono, S.H., M.CL. Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia