Memutuskan Pertalian/Bab 1
1. NAIK PANGKAT
Hendaklah bekerja dengan saksama,
rajin dan sungguh semata-mata
Tuhan rahmati badan dan sukma,
untung bahagia datang melata
Sebuah meja tulis empat segi, bagus tidak buruk pun bukan, beralaskan perlak hijau muda, terdiri di tengah-tengah bilik serambi muka. Di atasnya, sebelah kanan tersusun beberapa buah kitab yang diapit oleh penyangga buku. Tempat dawat dua sesaing dan tempat tangkai pena dari pada tanduk, terletak di pinggir kertas saf dalam pemedangannya, yang berwarna lembayung sudut-menyudut.
Di muka meja tulis itu, di atas sebuah kursi, duduk seorang laki-laki, berusia kira-kira 30 tahun, sedang memeriksa kitab-kitab yang bersampulkan kertas minyak. Orang itu masih muda, rambutnya agak keriting, mukanya jernih dan bercahaya, badannya tegap dan kuat rupanya. Ia berbaju putih gunting Cina yang belum patah seterikanya, bercelana kain Yogya serta kakinya beralaskan terompah berlapih dua. Melihatkan sikapnya yang gagah lagi tampan dan wajahnya yang peramah itu, terang sudah, bahasa orang itu seorang orang yang berpangkat jua di negeri itu. Begitu pula memandangi bilik tulisnya yang teratur dan perkakasnya buatan tangan belaka, nyatalah, bahwa ia seorang yang rajin dan sungguh.
Pada dinding bilik tulis itu tergantung beberapa gambar berbingkaikan kayu, bercat dengan air mas. disela oleh beberapa senjata sebagai pedang, keris, badik, rencong dan lain-lain sebagainya, amat teratur gantungnya. Demikian pula serambi muka, bersih dan sederhana rupanya, di sudut terletak sebuah sangkutan topi dari pada bambu dan dindingnya berhiaskan beberapa buah piring yang amat indah dipandang mata. Jika dipandang selintas lalu, tak dapat tiada orang akan menyangka, bahwa sekalian perkakas itu memang sebenarnya. Akan tetapi jika diperhatikan, dilihat dan diraba, sekalian perkakas itu dari pada kayu semuanya
Keliling pekarangan rumah berpagar bunga lampu (kembang sepatu) yang sama potongannya dan kersiknya lumat bagai digiling. Di halaman berkebun bunga, tempat berkembangan bunga-bungaan pelbagai warna, memolekkan rumah itu semata-mata. Pintu gapura yang sedang lebarnya, bertutupkan jerejak kayu yang bercat merah tua. Di belakang rumah ada pula sebidang kebun sayurmayur, tak ubahnya sebagai sebuah taman, karena tiap-tiap macam tanaman itu teratur tumbuhnya. Kebun itu berpagarkan pohon kunyit, dan tanaman lada disela dengan bawang, serta ditengahnya ada sebuah bangku yang dilingkungi silderi.
Engku Kasim, yakni orang yang duduk dalam bilik tulis itu, seorang guru bantu di sekolah Gubernemen No.1 Bukit Tinggi, sedang asyik memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah sudah, disusunnya kitab-kitab itu dengan baik, maka dilihatnya arloji baru pukul setengah lima lewat. Maka diambilnya sebatang sigaret dan dirokoknya sekali, lalu pergi duduk ke serambi muka akan melepaskan lelah. Sambil mengirup rokok, guru Kasim melayangkan penglihatannya ke gunung Merapi dan gunung Singgalang, karena dari rumahnya di Aur Tajungkang, memang lepas pemandangan ke gunung yang dua sejoli itu. Ia merenung melihat gunung Merapi yang hijau tak berawan itu, amat indah rupanya kena sinar petang, menyejukkan pemandangan, melapangkan dada dan menimbulkan bermacam-macam kenang-kenangan. Memandang rumah-rumah di kaki gunung itu, gilang-gemilang rupanya kena cahaya matahari, dan melihat asap kepundan yang bergumpal-gumpal mengepul ke langit angkasa lazuardi, pikiran guru Kasim melayang jauh entah ke mana. Tiba-tiba ia terpandang kepada batu di puncak gunung itu, yang melukiskan gambar orang sedang memegang suatu barang pada tangannya. Maka ia pun teringat akan suatu dongeng dari orang ke orang yang menceriterakan, bahwa batu itu asalnya dari pada seorang serdadu yang ingin hendak kaya, pergi menemui Dewi Dermawan di puncak gunung itu, akan memohonkan kemurahannya. Akan tetapi karena serdadu itu kurang hati-hati, tidak sabar dan tak pandai menahan hawa nafsu, akhirnya ia menjadi batu.
”Sungguh amat indah negeri tumpah darahku ini!” kata guru Kasim dalam hatinya. "Tidak sedikit pemandangan yang bagus-bagus, dan tidak pula jauh dari kota. Misalnya Ngarai (Karbouwengat), Ngalau Kamang dan lain-lain sebagainya. Iklim negeri ini pun amat bagus, banyak bangsa Asing datang ke mari mengambil hawa sejuk atau bertamasya melihat-lihat keindahan alam. Sungguh, jika aku dipindahkan ke negeri lain, amat berat hatiku rasanya. Di sini aku senang, badan sehat, rumah tidak menyewa, beras dan kayu tidak membeli, makanan segala murah. Kendatipun aku bergaji kecil, tetapi cukup untuk penghidupan anak beranak.”
Dalam hal yang demikian itu, tiba-tiba masuk seorang muda hampir sebaya dengan dia ke dalam pekarangan rumahnya, lalu berkata, "Ah, pikiran engku Kasim sedang melayang ke langit hijau rupanya. Mengganggu-ganggu kesenangan engku saja saya datang ke mari.”
”Tidak !” ujar guru Kasim sambil berdiri menyilakan sahabatnya duduk. "Saya baru saja duduk, habis memeriksa pekerjaan anak-anak. Ke mana engku Burhan selama ini ? Konon kabarnya nyonya lama sudah pulang "Sudah datangkah nyonya baru?”
”Siapa pula mengatakan, bahwa saya sudah kawin?” ujar guru Burhan dengan tercengang.
”Jangan bersembunyi di balik lalang sehelai, sahabat! Saya mendengar kabar dari angin lalu. Apa gunanya disembunyikan pula.”
”Tidak, sungguh tidak, apa gunanya saya dustakan. Benar isteri saya pulang, tetapi bukan pulang bercerai atau karena saya hendak kawin. Engku tahu bahwa isteri saya dalam hamil, masakan saya akan beristeri baru.”
”Ah, jika hati di sana, takkan teralang karena itu,” ujar guru Kasim sambil bergurau. "Orang yang boleh dipercaya benar yang mengatakan kepadaku.”
"Tidak, kata saya, ia juga, kata engku,” jawab guru Burhan dengan agak keras dan kurang bersenang hati." Maaf engku! saya tidaklah pro polygamie, suka beristeri banyak seperti kebanyakan orang di sini.”
”Bah! Engku telah membawa-bawa negeri saya pula!” jawab guru Kasim dengan sabar. "Kuman di seberang lautan tampak, tetapi gajah di pelupuk mata engku tiada kelihatan. Engku Jamal, orang kampung engku sendiri, bukantah' telah sepuluh kali beristeri? Keadaan negeri kita sama saja, setali tiga uang. Sebab itu tak usah kita perbincangkan lagi hal itu,karena akan panjang kissahnya. Sudahlah, hingga itu saja kita perhentikan. Syukur, jika engku tidak beristeri baru, karena kasihan saya kepada iparku, seorang yang berbudi, sopan dan santun. Nah, sekarang apa kabar? Sudahkah bersalin iparku, dan adakah selamat saja?”
"Kabar tidak, berita pun tidak, entah sudah bersalin entah belum, saya tidak tahu,” ujar guru Burhan sebagai orang berkesal hati.
"Tidak tahu, bagaimana?” jawab guru Kasim dengan heran. "Belum datang jugakah kabar dari kampung? Apakah sebabnya tidak di sini saja isteri engku bersalin? Bukankah lebih baik di sini daripada; di kampung?” ”Saya sendiri lebih suka isteri saya bersalin di hadapan saya. Akan tetapi kemauan mentua saya lain pula. Ia hendak membawa anaknya pulang jua.”
”Bilakah beliau ke mari? “Tidak sedikit jua kami mendengar-dengar kedatangan beliau itu. Engku pun tidak pula tersembul-sembul, sudah lebih sebulan agaknya.”
”Hatiku susah engku, pikiran pun tak senang. Jika kukenangkan kedatangannya kemari itu, sungguh sangat melukai hatiku.”
”'Melukai hati bagaimana?” jawab guru Kasim semakin heran. "Biasanya orang kedatangan mentua berbesar hati, tetapi engku rupanya tidak. Apakah sebabnya?”
”Ya, kedatangannya itu menjadi perbantahan antara saya dengan dia, bukan menjadi kebaikan. Jika saya kurang sabar, entah apa yang akan terjadi agaknya.”
”Jika demikian, besar juga perselisihan itu. Apakah yang menjadikan perbantahan itu? Sukakah engku menerangkannya kepadaku?”
”Apa salahnya!? Engku sudah saya pandang seperti saudara kandung. Jika engku suka mendengar, biarlah saya terangkan.
Bulan yang sudah, mentua saya yang perempuan bersama Datuk Baginda mamak isteri saya datang dari Solok. Setelah beberapa hari mereka di sini, pada suatu petang mentua saya berkata, bahwa kedatangannya itu akan menjemput Saleha isteri saya, karena bulannya bersalin sudah dekat. Akan tetapi permintaannya itu saya tolak, karena menurut pendapat saya, lebih baik dia bersalin di sini daripada di kampung.”
”Habis, apa jawabnya? Adakah engku terangkan apa melaratnya Saleha beranak di kampung dan apa manfaatnya bersalin di sini?”
"Ada! saya katakan bahwa di sini dan di kampung sama saja. Akan tetapi dia tak suka, karena di sini tak ada kaum keluarga yang akan menolong. Jika mujur tak boleh diraih, malang tak boleh ditolak, apakan daya, badan jauh di negeri orang, katanya.”
”Apa kata engku?” tanya guru Kasim sambil menatap muka sahabatnya itu.
"Saya katakan kepadanya, bahwa isteri kawan-kawan saya ada dua tiga orang yang akan menolong Saleha. Dan dia sendiri pun tentu akan tinggal di sini pula sampai anaknya selesai bersalin.”
”Bukannya dua tiga orang, banyak lagi isteri kawan-kawan kita yang lain. Isteri saya dan mentua saya tentu dengan segala suka hati menolong menyediakan ini dan itu untuk keperluan bersalin itu. Lihatlah ketika isteri engku Tahir bersalin di sini. Amat banyak isteri kawan-kawan kita yang menolong, mereka bergilir berganti-ganti membela isterinya.” -
”Itu pun saya terangkan, tetapi dia berkeras juga hendak membawa anaknya. Saleha mesti bersalin di kampung, di hadapan sanak saudaranya. Anaknya bukan terbuang, katanya. Sanaknya masih ada yang akan menolong, mengapa pula orang lain yang akan membantu.”
"Wah, mentua engku sudah kurang bersenang hati rupanya,” jawab guru Kasim sambil memperbaiki duduknya. "Sekian sajakah alasan engku untuk menahan Saleha supaya beranak di sini?”
”Hati saya sudah mulai tersinggung mendengar perkataannya itu, tetapi saya jawab juga dengan sabar. Saya terangkan apa kebaikannya beranak di sini daripada di kampung. Jika terjadi bahaya melahirkan anak di sini, mudah mendapat pertolongan dokter. Tetapi di Kota Anau ke mana dokter akan dicari. Bahkan saya katakan juga kepadanya, bahwa beranak di kampung besar bahayanya, karena dukun kampung jarang yang pandai. Lagi pula kebersihan orang bersalin itu mesti dijaga benar-benar, dan saya sendirilah yang akan dapat membela dalam hal itu.”
”Benar! adakah termakan dalam hatinya keterangan engku itu?”
”Wah, mentua saya mendeham seakan-akan mengejekkan mendengar perkataan saya itu. Diceriterakannya, bahasa dia sendiri telah lima kali melahirkan anak, tetapi tidak kurang suatu apa. Bahwa dia lebih sanggup menjaganya, karena telah berpuluh-puluh kali melihat orang beranak. Bahwa dahulu belum ada dokter, tetapi orang selamat juga bersalin. Dan bahwa pengetahuan saya tak sedikit juga dalam hal orang beranak itu, sebab itu sia-sia kalau Saleha bersalin dalam penjagaan saya.”
”Ha, ha, ha!” guru Kasim tertawa. "Apa pula jawab engku?”
"Maka saya ceriterakanlah dengan panjang lebar apa bahaya yang boleh menimpa orang beranak, jika kebersihan ibu dan anak itu kurang penjagaannya. Demikian pula keadaan dukun-dukun kampung yang sangat kotor tangannya ketika menyambut anak lahir, yang boleh membawa maut kepada anak dan ibunya, sebab tangan dan kuku yang kotor itu mengandung kutu-kutu penyakit.”
”Adakah lembut hatinya mendengar keterangan engku yang demikian?”
”Lembut? Jangankan lunak hatinya, melainkan dia meradang, kesal dan amarah. Dikatakannya pikiran saya kurang sempurna, sebab sebentar menyebut: kebersihan, sebentar dukun tak pandai, sebentar mengatakan: pertolongan dokter dan sebentar pula kutu-kutu penyakit. Saya mengatakan ”berbahaya” itu, pada pikirannya saya seolah-olah menyuruh anaknya mati. Macam-macam katanya dan tak enak sedikit juga didengar telinga.”
"Masya Allah! Sungguh terlalu mentua engku itu,” ujar guru Kasim menggeleng-gelengkan kepalanya.
”Ya, karena jawabnya yang tak tentu ujung pangkalnya itu, saya katakan dia sebagai orang kemasukan setan. Saya tak sabar lagi, karena perkataannya sudah melewati batas kepada saya.”
”Berdiam diri sajakah mamak Saleha mendengar pertengkaran engku dengan mentua engku itu?”
”Ketika mamak Datuk Baginda melihat mentua saya sudah marah, dan hal itu boleh mendatangkan perselisihan, dengan segera dicampurinya. Mentua saya disuruhnya ke belakang, maka saya perundingkanlah hal itu dengan mamak Datuk Baginda.”
”Bagaimana pula kata mamak Saleha?” ujar guru Kasim.
”Ia menyalahi sanaknya dan pikirannya sesuai dengan pikiran saya. Akan tetapi permintaan mentua saya itu dibenarkannya pula. Diterangkannya bagaimana kasih seorang ibu kepada anaknya. Oleh sebab itu disuruhnya izinkan Saleha dibawa ibunya, sebab mati dan hidup itu hanya bergantung kepada Tuhan yang Esa jua.
"Mendengar kata Datuk Baginda yang mengatakan "kasih seorang ibu kepada anaknya,” saya pun insaf akan diri. Ketika itu terasa benar kepada saya, siapa dan bagaimana keadaan diri saya. Tentu saja saya tak dapat berkeras lagi, sebab saya ini orang lain,yaitu orang semenda. Karena saya yakin, bahwa saya tak mungkin lagi menahan isteri saya juga, maka saya izinkanlah Sak leha pulang dengan ibunya
"Demikianlah kesudahannya. Hati saya kesal, perasaan saya tak sedap sedikit jua. Apalagi melihat Saleha tak hendak berkata sepatah jua, melainkan menangis saja, pikiran saya semakin kusut. Saya pergi berjalan-jalan dengan tak tentu arah, sambil memikir-mikirkan kejadian itu Di tengah jalan saya bertemu dengan engku lamal Demi dilihatnya saya bersusah hati, ia bertanya, apa yang sava pikirkan Mula-mula saya tak hendak menerangkan, karena Isteri saya sekampung dengan dia. Akan tetapi karena,saya disesakkannya juga, terpaksa saya menerangkannya. Maka saya ceriterakanlah peristiwa saya semuanya."
"Bagaimana pendapat engku Jamal. setelah engku ceriterakan?" ujar guru Kasim.
"Jangankan perkataan engku Jamal menjadi setawar sedingin kepadaku, melainkan menambah dalam luka hati saya. Katanya, "Jika saya diperbuat mentua saya macam itu , sudah ada bagi saya akan penutup mulutnya, hingga ia terpaksa berhenti berkata: lsteri, ialah akan kawan tidur: yang sebenarnya isteri ipar besan kita. Akan tetapi jika mereka itu tidak bersenang hati kepada kita, terima kasih, kita boleh angkat kaki saja. Perempuan tidak satu, laki-laki tidak seorang di dunia ini. Apa gunanya beristeri kalau tidak akan menyenangkan hati ."
"Begitulah pendapatnya. dan kalau saya turutkan katanya, tentu .......... Boleh jadi dialah yang mengatakan kepada engku, bahwa saya sudah beristeri. Pada pikirannya tentu saya sependapat dengan dia, lalu menceraikan isteri saya dan kawin pula. Sungguh, engku Jamal memang memandang perempuan itu mudah saja."
"Sebenamya kata engku itu! Lihatlah isterinya, sudah kurus kering makan hati berulam rasa. Sudah acap kali saya menasihati engku Jamal, akan tetapi jawabnya menyakitkan hati saja."
"Bagaimana pulakah pikiran engku tentang hal itu? Sama jugakah dengan pendapat engku Jamal ?"
"Tidak, sekali-kali tidak! Masakan lain yang berutang, lain pula yang membayar. lsteri engku tidak bersalah sedikit jua, masakan dia yang akan dapat hukuman. Baginya tentu serba salah, diturut pe rintah ibu. kasihan suarni. Akan dibantah, ia mendurhaka namanya. Engku sendiri tentu saja takkan sampai hati pula menceraikan orang dengan ibunya, bukan? itulah sebabnya ia berdiam diri dan menangis saja. Biarlah, tidak mengapa, mudah-mudahan selamat saja Saleh a bersalin."
Guru Kasim berhenti berkata, karena kopi dan penganan dihidangkan orang. Setelah minum kopi dan mengecap penganan, besteller masuk pekarangan rumah itu. Ia memberikan beberapa pucuk surat kepada guru Kasim. Kemudian besteller berkata, katanya,'Untung engku Burhan ada di sini; tidak payah lagi saya datang ke rumah engku. Ini ada surat untuk engku!" Lalu, diberikannya surat itu .
"Wah surat dari Betawi!" kata guru Kasim tiba-tiba. "Lihatlah capnya: Departement van Onderwijs en Eeredienst. Entah beslit pindah entah beslit tambah gaji agaknya ini."
"Bukalah, engku! Saya pun ingin hendak mengetahui isinya," kata guru Burhan.
Setelah diberikan guru Kasim uang f 1.50 kepada besteller untuk penebusnya, maka diperhatikannya surat yang bersampul kertas kuning itu beberapa lamanya. Mukanya berubah, sebentar pucat, sebentar pula merah. Hatinya berdebar-debar dan harap-harap cemas. Jika surat itu beslit tambah gaji, sukur. Akan tetapi jika beslit pindah, tentu hidupnya tidak akan sesenang di negerinya itu lagi. Dengan sabar di robe knya sampul surat itu, lalu dikeluarkannya isinya. Setelah sudah dibacanya, dengan muka berseri-seri menunjukkan suka, ia pun berkata," Saya dipindahkan menjadi guru kepala ke Pontianak."
"Selamat naik pangkat!" ujar guru Burhan sambil mengulurkan tangannya kepada guru Kasim.
Meskipun guru Kasim kurang suka dipindahkan dari negerinya, tetapi karena naik pangkat dan bertambah gaji, senang juga hatinya. Lagi pula ia tahu, bahwa ia takkan selamanya di negeri itu. Setelah satu atau dua tahun di sana, tentu ia dipindahkan pula ke negerinya kembali. Guru Burhan memanggil isteri guru Kasim, lalu memberi selamat atas kenaikan suaminya jadi guru-kepala. Maka ketiga mereka itu pun duduklah bersukasukaan. Kemudian guru Kasim berkata pula, katanya, 'Tadi engku saya lihat ada menerima surat. Dari mana datangnya surat itu ?"
"O, ya!" kata guru Burhan, sambil mengeluarkan surat itu dari dalam sakunya. Demi dilihatnya afzender surat itu, ia pun berkata pula, "Dari kampung!"
"Jika tidak beralangan kepada engku, bukalah surat itu! Saya ingin hendak mengetahui isinya, mudah-mudahan ada kabar tentang isteri engku."
Guru Burhan membuka surat itu, lalu dibacanya dengan diam-diam. Setelah sudah, ia berka ta dengan sukacita, katanya, "Syukur, dengan tiada kurang suatu apa, isteri saya selamat saja melahirkan seorang anak laki-laki. Menurut bunyi surat ini, ia bersalin petang Kamis malam Jum'at yang lalu, pukul 12 malam."
"Selamat, selamat engku!" ujar guru Kasim serentak dengan isterinya sambil mengulurkan tangan. "Kami mengucapkan: mudah-mudahan sehat-sehat saja ibunya. dan anak pun selamat sejahtera."
"Saya menerima kasih banyak atas ucapan engku itu!" ujar guru Burhan lalu berdiri. "Sekarang karena hari sudah petang benar, saya permisi pulang dahulu. Pekerjaan anak-anak belum diperiksa, ini itu belum diurus, maklumlah engku dan kakak hidup orang bujang, segalanya harus dikerjakan sendiri."
"Baiklah! Akan tetapi saya harap, janganlah engku kabarkan dulu kepada kawan-kawan, bahwa saya menerima beslit pindah. Sebab engku maklum, jika ada kabar yang bersangkut dengan sekolah tidak diketahui guru kepala lebih dahulu, hati beliau agak kurang saja."
"Jika demikian, baiklah! Selamat tinggal!"