Mengapa Saya Golput?

Mengapa Saya Golput?
oleh Abdurrahman Wahid

Sumber: www.gusdur.net

Kita semua tahu, bahwa dalam pemilu capres-cawapres 20 September 2004 nanti, terdapat dua pasangan: Megawati Soekarnoputri (M)- Hasyim Muzadi (H) di satu sisi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - M. Jusuf Kalla (MJK). Tiap kali ditanya orang, penulis menyatakan tidak akan memilih pasangan mana pun sikap ini dinamai golongan putih atau golput. Karena ditanya berulang kali di mana-mana, maka penulis memutuskan untuk mengemukakan jawaban itu dalam sebuah artikel yang kali ini Anda baca sendiri. Penulis berharap, dengan demikian tidak ada lagi yang bertanya, dan terus terang saja tidak akan ada yang dapat merubahnya. Namun penulis akan memenuhi ketentuan undang-undang tentang hal ini: tidak mengajak siapa pun, melainkan melakukan tindakan yang merupakan pilihan pribadinya, tanpa ajakan formal kepada siapa pun juga.

Alasan utama bagi penulis bersikap golput, bagi penulis adalah melakukan hal itu sebagaimana protesnya atas kecurangan, pemihakan, manipulasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menurut penulis melanggar sejumlah undang-undang (UU), UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, No.4/1997 tentang Penyandang Cacat, No. 12/2003 tentang Pemilu Legislatif dan dua pelanggaran terhadap UU No.23/2003 tentang Pemilu Presiden. Bahwa, pengadilan kita yang diwakili baik oleh Mahkamah Agung (MA) Mahkamah Konstitusi (MK) pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta maupun Pengadilan Negeri semuanya berdiam diri terhadap 5 buah pelanggaran itu, di mata penulis tidak berarti KPU tidak melakukan pelanggaran UU, bahkan di mana pun dan kapan pun penulis selalu menyatakan sistem hukum kita sedang dikuasai oleh ‘mafia peradilan”.

Sikap golput penulis itu, adalah sebuah sikap moral yang merupakan hak penulis sebagai warga negara, menurut tata hukum yang berlaku. Kalaupun penulis ditangkap karena bersikap demikian, maka berarti memang keseluruhan sistem politik kita sudah menjadi busuk dan kediktatoran atas nama “kedaulatan hukum” menjadi ciri kehidupan bangsa secara keseluruhan. Bagaimanakah hal itu dapat terjadi, tentu akan menjadi “urusan” bangsa kita, dan bukannya masalah pribadi penulis semata-mata. Mungkin, pada saat itu penulis sudah mengajar di sebuah Universitas di negeri lain karena tidak dapat lagi hidup dengan merdeka di negeri sendiri. Namun, penulis tidak mengharapkan Allah akan membuat keadaan di negeri menjadi demikian. Apa sebabnya? Karena bangsa kita akan hidup dalam ketakutan yang mencekam, untuk dapat benar-benar merdeka dan mempertahankan kebenaran. Apa pun ucapan orang, bahwa telah terjadi reformasi pada tahun 1998, tapi dalam kenyataan reformasi itu telah “dicuri orang”, dan sistem politik kita hampir-hampir tidak mengalami perubahan. Karena itulah benar kata orang, bahwa kita adalah “bangsa lunak” yang tidak berani mempertahankan pendirian, seperti diungkapkan Gunnar Myrdal melalui bukunya “Asian Drama”, yang penulis baca beberapa tahun yang lalu. Adapun pendapat bahwa demokrasi dapat berkembang secara bertahap/incremental, penulis sanggah dengan ungkapan demokrasi harus datang secara total. Adolf Hitler yang kemudian dianggap menjadi diktaktor besar karena membunuh sekitar 35 juta orang melalui Perang Dunia II bermula dari demokrasi Republik Weimar ini tahun 1930-an.

Dari bangsa besar berjumlah lebih dari 205 juta jiwa, tidak ada seorang pun manusia Indonesia yang berani menyatakan secara terbuka atas sikap yang diambil KPU itu. Kalaupun ada, itu pun tidak didengar orang, karena dinyatakan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan kelompok-kelompok mahasiswa yang tidak menguasai “pendapat umum” (public opinion). Karena itu, dengan segala rasa simpati dan syukur, masih ada manusia Indonesia yang bersikap demikian, dan penulis berketetapan hati akan terus memperjuangkan demokrasi di negeri kita. Sementara para pemimpin di negeri kita saat ini, sedang asyik memperjuangkan kepentingan sendiri melalui pelestarian status quo sistem politik dari masa lampau. Demokrasi hanya ada di kertas, melalui pembentukan berbagai lembaga seperti pihak eksekutif, legislative, yudikatif tetapi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Herankah kita jika KPU lalu menjadi arogan, dan mengembangkan fungsi ekstrakonstitusional yang sebenarnya telah diatur oleh Undang-Undang Dasar. Ia menganggap diri benar, karena lembaga-lembaga pemerintah tidak berani melakukan koreksi apa pun atas dirinya. Padahal, untuk tiap pelanggaran KPU terhadap sebuah undang-undang yang ditentukan oleh sistem hukum nasional kita, hukumannya maksimal adalah kurungan badan selama 5 tahun. Jadi, secara keseluruhan, Nazarudin Syamsuddin selaku Ketua KPU diancam dengan kurungan badan maksimal selama 25 tahun. Namun, sampai hari ini pun ternyata baru ada gugatan perdata di muka Pengadilan Negeri di Jakarta pusat oleh penulis agar KPU membayarnya 1 triliun rupiah selaku penggantian atas kehilangan hak-hak sipilnya untuk menjadi calon Presiden.

Sementara itu telah dipakai “logika aneh” oleh PTUN di Jakarta, yang rekomendasikan oleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) untuk memeriksa keberatan hukum penulis atas keputusan KPU yang dianggap penulis melanggar hukum. PTUN menyatakan, tidak dapat melanjutkan pemeriksaan atas perkara itu, karena jika dilakukan agenda ketatanegaraan bisa terganggu. Bukankah justru kasus hukum pada pengadilan apa pun di negeri kita, justru dimaksudkan untuk “memberi keadilan” kepada para warga negara kita. Keanehan-keanehan seperti inilah yang dapat diselesaikan jika perundang-undangan dapat dirumuskan oleh lembaga-lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis. Dengan ungkapan lain, upaya KPU yang dilakukan sekarang berarti langkah-langkah untuk mempertahankan status quo sistem politik “akal-akalan” yang ada dewasa ini.

Kenyataan demi kenyataan yang penulis gambarkan di atas, tidak heran jika lalu mendorongnya kepada sikap menolak berpartisipasi dalam sebuah “pemilu” yang hanya akan mempertahankan dan melestarikan status quo? Penulis beranggapan, keikutsertaannya dalam pemilu seperti itu, hanya akan berarti kerja “memperpanjang penderitaan” saja. Karenanya ia lalu mengambil sikap “bergolput ria”. Apa akibatnya bagi sistem politik kita yang ada dewasa ini? Mungkin dengan sikap penulis itu, akan cukup banyak anak-anak bangsa yang tergerak hati dan pikiran mereka untuk melakukan perlawanan lebih jauh. Bukankah hal itu sama dengan sikap Bung Hatta yang di tahun-tahun 50-an meletakkan jabatan sebagai Wakil Presiden dan menerbitkan bukunya “Demokrasi Kita”?

Ini berarti semua upaya telah dilakukan, penulis tinggal menyerahkan perjuangan pada tahap berikut kepada generasi muda yang akan memimpin bangsa ini. Penulis tidak menyesal telah mengambil keputusan seperti ini, walaupun harus menyatakan dalam tulisan ini, bahwa “api demokrasi” tetap menyala dalam dadanya dan akan dibawanya ke liang kubur. Kalau bangsa ini menghendaki ia turut serta dalam perjuangan menegakkan demokrasi di masa mendatang, harus ada “petunjuk yang jelas” bagi penulis. Bukankah dengan demikian, penulis tidak meninggalkan gelanggang perjuangan, yang dalam bahasa wayang kulit disebut sebagai “colong playu”? Tetapi ini adalah kesadaran (yang mungkin juga keliru), bahwa memang memperjuangkan demokrasi untuk sebuah negeri dan bagi sebuah bangsa, memang mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan (sendirian saja), bukan?.