Mengenang Husni Alatas

Majalah Tempo, 23 April 1977.


KEPADA kenang-kenangan almarhum Husni Alatas nomor TEMPO kali ini kami persembahkan.

Berhari-hari kami percaya, berharap, dan bercerita, bahwa dia masih hidup di hutan itu. Ternyata tidak. Ia menyebut nama Tuhan di hari pertama kecelakaan di lereng G. Tinombala itu, lalu menutup hari terakhir hidupnya. Ia tidak bersama kita lagi. Ia sudah bersama mereka yang kekal.

Ia adalah salah satu contoh yang baik dari seorang koresponden di daerah. Ia mencintai daerahnya, la mencintai flora dan faunanya. Ia mencintai lereng bukit dan semak itu. Ia juga mencintai mereka yang hidup di sana—dengan segala problem mereka. Ia banyak berjalan, mendengar, lalu menulis. Orang yang berbicara halus ini seperti banyak mengendapkan gejolak dari hidupnya sendiri dan dari hidup orang di sekitarnya.

Adakah ia mempunyai lawan? Kami tidak tahu. Yang jelas ia punya banyak kawan, bahkan pengagum, la bisa mengambil jarak dari mereka yang ditulisnya: dekat tanpa menjadi sekadar humas, jauh tanpa terlanjur menjadi musuh. Tentu saja tak selamanya ia bisa menyenangkan mereka yang mengira, bahwa di luar puji-pujian, yang lain adalah kritik.

Husni—seperti pers di Indonesia ini—tak jarang harus mengalami kenyataan bahwa pujiannya sering dianggap sudah selayaknya, sementara kritiknya tidak. Barangkali begitulah kaidah hidup: kritik selamanya lebih keras terdengar dibanding dengan ucapan selamat. Kritik bisa menimbulkan dendam, sedang pujian—gampang dilupakan.

Tapi untunglah pers bukan berkisar pada soal mengkritik dan memuji melulu, seperti yang banyak disangka orang. Husni lebih banyak berbuat untuk daerahnya dari sekadar itu. Ia, yang lebih lama bekerja di bidang jurnalistik ketimbang banyak rekannya di majalah TEMPO, adalah satu tauladan.

Dalam hal-hal tertentu mungkin ada yang bisa menggantikannya. Tapi Husni hanya Husni. Inna Lillahi wa inna ilaihi raji'un.