Menjadi Guru di Masa Kebangunan

Menjadi Guru di Masa Kebangunan

Men kan niet onderwyzen wat men wil, men kan niet onderwyzen wat men weet, men kan alleen onderwyzen wat men is

Oleh

Ir. Soekarno

Di masa kebangunan, maka seharusnya tiap-tiap orang harus menjadi pemimpin, menjadi guru.

Pahlawan politik menjadi gurunya massa yang mendengarkan pidato-pidatonya dan mengikut pimpinan taktik perjuangannya, jurnalis menjadi gurunya pembaca-pembaca surat kabarnya, bedrifsleider menjadi gurunya pegawai-pegawai yang di bawahnya, mas Lurah menjadi gurunya masyarakat desa yang di bawah pengawasannya, tukang kopi menjadi gurunya anak istri yang membantu pekerjaannya – semua orang menjadi gurunya semua orang. Alangkah haibatnya dan alangkah bijaksananya waktu Nabi Muhammad s.a.w. bersabda bahwa “Semua kamu itu adalah pemimpin dan akan diperiksa dari hal pimpinannya. Laki-laki memimpin terhadap istrinya, perempuan pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan akan diperiksa dari hal pimpinannya. Buruh pemimpin dalam harta benda majikannya dan akan diperikasa dari hal pimpinannya. Alhasil semua kamu itu pemimpin, dan masing-masing akan diperiksa dari hal pimpinannnya”.

Pemimpin! Guru! Alangkah haibatnya pekerjaan menjadi pemimpin di dalam sekolah, menjadi guru di dalam sekolah, menjadi guru dalam arti yang spesial, yakni pembentuk akal dan jiwa anak-anak! Terutama sekali di zaman kebangunan! Hari kemudiannya manusia adalah di dalam tangan si guru itu, -menjadi Manusia Kebangunan atau bukan Manusia kebangunan. Sudah terlalu afgezaagd-lah peribahasa wie de jeugd heeft, heeft de toekomst, sudah lebih dari seribu kali kita mendengarnya, membacanya, mengucapkannya, sehingga hampir-hampir saja malu mengulanginya lagi di sini – tetapi tahukah Tuan bahwa peribasa ini di dalam zaman kebangunan bukan lagi harus dianggap sebagai suatu peribahasa ”kembang lambé”, tetapi satu ernst, satu doodelijke ernst?

Tiap-tiap perguruan, di negeri mana saja dan pada bangsa apa saja, mempunyai guru yang baik dan mempunyai guru yang kurang baik; mempunyai guru yang segala-galanya seperti mendapat Ilham Ilahi buat menjadi guru, dan mempunyai guru yangb sebenarnya lebih baik menjadi penjaga toko atau juru tulis atau belasting-ambtenaar saja. Tetapi bagi satu perguruan besar seperti Taman Siswa itu, yang di dalam arti yang sebenar-benarnya ialah satu perguruan nationaal, maka sebenarnya tidak bolehlah ada guru yang cap tersebut belakangan itu. Bagi satu perguruan seperti Taman Siswa itu, maka peribahasa wie de jeugd heeft, heeft de toekomst tadi itu, menjadikanlah benar-benar satu doodelijke ernst.

Sungguh, alangkah haibatnya kalau tiap-tiap guru di dalam perguruan Taman Siswa itu, satu per satu, Rasul Kebangunan! Alangkah nationaalnya kalau tiap-tiap gurunya bukan saja memenuhi syarat-syarat technisch yang orang biasanya tuntutkan dari seorang guru, tetapi benar-benar Rasul Kebangunan yang sejati – Rasul Kebangunan bukan saja secara ”formeel”, tetapi Rasul Kebangunan di dalam tiap-tiap sepak terjangnya, di dalam segenap levenshouding-nya, di dalam sekujur badan dan tulang sumsumnya-satu Rasul Kebangunan sampai ke ujung tiap-tiap getaran rohnya dan jiwanya!

Hanya guru yang benar-benar Rasul Kebangunan dapat membawa anak ke dalam alam Kebangunan. Hanya guru yang dadanya penuh denganh jiwa Kebangunan dapat ”menurunkan” Kebangunan ke dalam jiwa anak. Saya menulis kalimat ini dengan ingat kepada satu ucapan yang pernah diucapkan oleh mahapemimpin Perancis Jean Jaures di dalam Gedung Perwakilan Rakyat di kota Paris. Apa yang beliau katakan? Beliau katakan bahwa onderwijs is in zekeren zin een voortplanting!

Memang. Onderwijs is in zekeren zin een voortplanting! Guru yang sifat hakikatnya hijau akan “beranak” hijau, guru yang sifat hakikatnya hitam akan “beranak” hitam, guru merah akan “beranak” merah. Saya tidak mau masuk ke dalam golonganya orang-orang yang mengatakan bahwa guru bisa “main kumidi” kepada anak-anak: Di muka anak-anak dengan muka yang angker hanya mengasih pengajaran-pengajaran “yang termuat di dalam lesrooster saja,” tetapi di belakang anak-anak itu berjiwa lain – berjiwa fascist atau anarchist atau nationalist atau communist, bertindak seperti orang yang tak berani membunuh nyamuk atau bertindak seperti bandit, seperti seorang godsdient fanaticus atau seorang pemburu perempuan jalang yang bejat moral, seperti mahatma atau seorang penipu. Tidak, guru tidak bisa “main kumidi”, guru tidak bisa mendurhakai ia punya jiwa sendiri. Guru hanyalah dapat mengasihkan apa yang dia itu sebenarnya. Men kan niet onderwijzen wat men wil men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is!

Maka oleh karena itulah saya berani juga mengatakan (ada orang yang mengatakan bahwa saya mabok ilmu masyarakat!) bahwa perguruan-perguruan kita itu semuanya, baik Taman Siswa, baik Muhammadiyah, baik Nahdatul Ulama, baik Perguruan-perguruan Rakyat di sana-sini, maupun perguruan yang manapun juga, sebenarnya tak lain daripada gambarnya masyarakat kita sendiri. Semua sifat hakekatnya masyarakat kita itu adalah terbayang di dalam perguruan-perguruan itu. Men kan niet onderwijzen wat men wil men kan niet onderwijzen wat men weet, men kan alleen onderwijzen wat men is,-dus: de natie onderwijst zichzelf. Sesuatu bangsa mengajar dirinya sendiri! Sesuatu bangsa hanyalah dapat mengajarkan apa yang terkandung di dalam jiwanya sendiri! Bangsa budak belian akan mendidik anak-anaknya di dalam roh perhambaan dan penjilatan; bangsa orang merdeka akan mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang merdeka; bangsa monarchist akan mendidik anak-anaknya menjadi onderdaan-onderdaan; bangsa republiken akan mendidik anak-anaknya menjadi burgers; bangsa yang dikungkung oleh kapitalisme, yang terpecah belah di dalam kelas-kelas yang memusuhi satu sama lain, akan menunjukkan di dalam onderwijs-nya semua perpecahbelahan, semua pertikaian dan percideraan, semua nafsu-nafsunya penderitaan dan perjoangan, semua kuman-kumannya devide et impera yang asalnya dari kungkungan kapitalisme itu.

Tetapi ini tidak boleh berarti bahwa dus Taman Siswa boleh menganggap dirinya hanya sebagai satu badan passief saja, satu badan yang ”menunggu saja sorotan-sorotan” daripada masyarakat Indonesia itu. Tidak! Sebagaimana masyarakat Indonesia itu (sebagai juga tiap-tiap masyrakata), terutama di dalam zaman Kebangunan ini, mempunyai juga kemauan, mempunyai juga himmah, mempunyai cita-cita, mempunyai wil, mempunyai dynamiek, maka Taman Siswa pun harus mempunyai kemauan, himmah, wil dan dynamiek itu, ikut menjadi penghelanya wil dan dymaniek itu. Guru-guru Taman Siswa, satu per satu, harus ikut menjadi prajurit dan pahlawannya massa wil dan massa dynamiek, prajurit dan pahlawannya Iradah Kebangunan di Zaman Kebangunan!

Apakah kenang-kenangan yang kita cantumkan kepada guru-guru perguruan-perguruan kita di zaman Kebangunan ini? Roh kerakyatan, roh kemerdekaan, roh kelaki-lakian (kekesatriaan) harus berkobar di dalamnya guru-guru itu. Roh tiga inilah yang harus menjadi api keramatnya mereka punya jiwa, menjadi wahyu penghaibat hidup, Wahyu Cakraningrat yang manjing di dalam mereka punya sukma.

Zaman sekarang bagi kita Zaman Kebangunan, bagi dunia umum satu zaman kegentingan. Bagi dunia umum satu zaman yang semua penyakit-penyakitnya peradaban modern terbuka dengan cara yang mendirikan bulu. Satu zaman yang kehalusan budi diinjak-injak binasa oleh fascisme, oleh peperangan, oleh nafsu angkara murka, oleh kebinatangan-kebinatangan yang timbul dari nafsu kebendaan dan kapitalisme. Satu zaman yang cultuurgoederen-nya peri kemanusiaan mungkin binasa sama sekali dan tidak kembali lagi buat puluhan tahun atau ratusan tahun! Kalau guru-guru perguruan-perguruan kita tidak tijdig onderkennen penyakit-penyakitnya masyarakat internationaal itu, kalau guru-guru perguruan kita itu hanya guru-guru yang ”tahu mengajar menulis dan menghitung” saja, maka alangkah besarnya bencana yang dapat menjangkit daripada penyakit-penyakit masyarakat internationaal kepada tubuhnya masyarakat sendiri! Kalau guru-guru kita tidak orang-orang yang geestelijk weerbaar terhadap kepada jangkitannya penyakit-penyakit itu, maka bolehlah bangsa Indonesia dari sekarang sedia-sedia akan menerima hari kemudian yang kelam hitam sama sekali!

Darimanakah datangnya penyakit-penyakit yang hampir meremukkan tubuh masyarakat internationaal itu? Tak lain tak bukan daripada pendurhakaan kepada tiga hukum dasarnya pergaulan manusia yang saya sebutkan tadi, pelanggaran kepada tiga soko gurunya menschelijke orde yang kita kenang-kenangkan juga kepada guru-guru kita itu. Kini kerakyatan didurhakai dengan fascistische dictatuur dan absolutisme; kemerdekaan didurhakai dengan Blitzkrieg Anschlusz, imperialisme, terreur, pengekangan fikiran merdeka, perbudakan, politiek dan economisch, kelaki-lakian dan kekesatriaan diinjak-injak dan dilempar jauh-jauh, diganti dengan pengecutan, penjilatan, kepalsuan, pendurhakaan, vijfde colonne, verraad, woordbreuk, onderkruiperij. Kini tiga soko gurunya menschelijke orde tadi itu menjadi tertawaan orang, dicemoohkan, kolot dan tidak laku, dinamakan theorie tua bangka yang tidak sesuai lagi dengan kehendak zaman. Kini separoh dunia telah hilang kepercayaannya kepada tiga soko guru itu, kini malahan telah ada orang-orang di kalangan rakyat kita sendiri yang ikut-ikut hilang kepercayaann itu!

Alangkah dahsyatnya kebencanaan batin ini kalau juga menjalar di kalangan bangsa kita! Karena itu, daripada guru-guru adalah tergantung pula sebagian kerja penangkisan bencana itu, bukan terutama sekali dengan ”mentah-mentahan” mengajarkan tiga soko guru itu kepada anak-anak yang masih kecil, tetapi dengan pembentukan rohnya si guru oleh si guru sendiri. Bukan terutama sekali membentuk tiga soko guru itu menjadi technisch leerstof kepada murid-murid, tetapi terutama sekali dengan menghidupkan roh kerakyatan, roh kemerdekaan, roh kekesatriaan itu di dalam dadanya si guru sendiri.

Dan inipun tidak boleh secara dogmatis, tidak boleh secara ”menelan” formule seperti orang menelan pil bulat-bulat. Orang hanyalah dapat menangkap roh kerakyatan, roh kemerdekaan, roh kekesatriaan itu benar-benar, kalau ditangkapnya dengan alat vrijheid van gedachte yang diper-usahakan dengan cara yang benar. Roh kerakyatan, kemerdekaan dan kekesatriaan itu hanyalah bisa hidup sejati kalau datangnya ialah daripada toepassingnya vrijheid van gedachte itu dengan cara yang sehat, dan bukan daripada menyekok atau menelan dia sebagai formula-formula yang tiada jiwa. Guru yang tak mampu memperusahakan vrijheid van gedachte itu sehingga ia logisch dengan sendirinya datang kepada kerakyatan, kemerdekaan dan kekesatriaan – guru yang demikian itu tak mungkin menjadi orang yang betul-betul hidup di dalam roh tiga macam itu, tak mungkin menjadi orang yang fanatisch bewust daripada roh tiga macam itu walaupun dicekok dan dijejali roh tiga itu oleh semua dewa-dewa dan semua dewi-dewi yang ada di kayangan!

Nah, manakala sumber yang sejati daripada tiga roh itu ialah toepassing-nya vrijheid van gedachte, maka cara voortplanting-nya roh-roh ini (onderwijs is voortplanting!) haruslah dengan jalan mendidik anak-anak itu di dalam suasana memperusahakan vrijheid van gedachte itu juga dengan dikasih bahan-bahan inlichting yang secukupnya. Tahukah Tuan, apa yang saya selalu nasehatkan kepada guru-guru sekolahan rendah yang di bawah pengawasan saya? Saya, yang sebagai juga lain-lain Saudara, alhamdulillah, diberkati dan dikaruniai Allah dengan rasa cinta kepada kerakyatan dan kemedekaan, saya menasehatkan kepada guru-guru sekolahan rendah itu supaya sedapat mungkin perkataan-perkataan ”kerakyatan” dan ”kemerdekaan” itu janganlah satu kali pun diucapkan di hadapan anak-anak! Sebab manakala si guru itu benar-benar menyala jiwanya dengan roh kerakyatan dan roh kemerdekaan karena percikan-percikan api toepassing vrijheid van gedachte, dan manakala si guru juga meng-geladi murid-muridnya toepasen vrijheid van gedachte itu dengan diberi bahan-bahan inlichting yang secukupnya, maka, meski zonder ”cekokan”, zonder ”metode suruh telan” zonder ”formula-formulaan”, dengan sendirinya toch terjadilah voortplanting juga. Dan bukan hanya voortplanting yang sementara saja, bukan voortplanting yang hanya selama ada kontak antara guru dan murid, tetapi voortplanting yang kekal, yang tetap hidup di dalam jiwa si murid, sampai ia besar, sampai dewasa, sampai tua, sampai masuk lubang kubur!

Inilah arti yang dalam daripada perkataan Proudhon berhubung dengan roh kerakyatan itu, bahwa democratie is peudocratie, yakni bahwa volksregreen is kinder regreen. Inilah arti yang dalam daripada perkataan bijaksana itu, yang menunjukkan bahwa kerakyatan ialah satu system, di mana opvoedings-principe mengambil tempat yang terkemuka dan terpenting. Dan inilah pula makna perkataan Lincoln bahwa in de kinderen zijn de kiemen, de beginselen van gedachten. Satu kali gedachte itu menjadi jiwa anak-anak dengan cara logisch (yakni karena toepassing-nya vrijheid van gedachte), satu kali ia menetas secara logisch di dalam sarangnya keinsyafan anak-anak itu, maka ia akan tetap bersarang di situ sampai terbawa masuk ke dalam lubang kubur!…