Menjelang Senja di Pantai Padang

Menjelang Senja di Pantai Padang
oleh Fitra Yogi

Menjelang Senja

sunting

di Pantai Padang

sunting

Fitra Yogi

sunting
Fak. Sastra Universitas Bung Hatta
sunting

Deburan ombak kadang dapat membuyarkan inspirasiku untuk berkhayal. Apalagi saat sore seperti ini. Ketika angin mulai merajai lautan, menggelitik ombak sampai tertawa puas, lalu tumpah ruah ke pantai. Menyihir buih-buihnya merayap ke atas dan membuat mataku perih. Akhirnya, imajinasi terbirit menjauh dariku. Kertas yang kupegang pun masih kosong, sekosong otakku. Tidak tahu apa yang akan kulukis ataupun kutulis, selain nyanyian laut yang monoton dan membosankan. Seakan hanya itu saja kemampuanku mengumandangkan tentang laut, laut, dan laut, menyebarkan pamflet senja dengan segala kegagahan, keelokan, keangkuhan, sampai kebodohannya. Ah, semua itu malah membuatku gila. Terlalu sering pujian tentang laut kuabadikan di kertasku atau pemandangan kerontang tak berbatas yang membuat orang sepertiku jenuh. Aku ingin mencari bahan lain untuk kulukis, seperti kapal karam di tengah lautan, misalnya, atau orang tenggelam meratap pertolongan, atau juga, seorang gadis duduk di batu memandang senja menanti cinta?


Ya, seorang gadis. Pandanganku tertumbuk ke utara, pemandangan laut tak berarti apa-apa dibandingkan seorang gadis yang bergelut dengan sebuah tatapan kosong. Aku iri dengan batu yang diduduki sang gadis dan angin yang membelai wajahnya karena memang, gadis itu begitu bersinar dari kejauhan. Sanggup aku melihat wajah ayunya dari sini meskipun sebuah lamunan mencoba merusak keindahannya.


Akankah kuukir sosoknya di kertasku? Aku masih ragu melukisnya. Jangan-jangan saat setengah perjalanan penaku ia akan beranjak dari sana. Atau, dia akan melihat dan menghampiri lalu mencekik leherku ketika dia tahu bahwa aku sedang mengamati dan melukisnya, seperti publik figur menuntut paparazi karena telah mengabadikan kegiatannya. Kurasa tak mungkin! Khayalanku terlalu luas. Tapi, jika aku bisa melukisnya, lukisan ini mampu mengalahkan segala lukisanku yang lain, yang hanya terpaku pada pemandangan penuh basa-basi. Ataupun, gambar sang kekasih yang setiap perjalanan waktu selalu mengundang sedih. Kekasih yang jauh di mata, tetapi tidak juga pernah dekat di hati. Selalu berusaha menjauh dariku yang sudah tidak berguna lagi di matanya. Padahal, aku sebisa mungkin terus mengenangnya, merindukannya, dan sesekali kurangkai dengan bunga. Tapi, semua itu tidak membuat hatinya tergerak sedikit pun. Lalu aku hanya sanggup mencurahkan perasaanku melalui pena dan kertas. Dan, kembali sendiri.


***

Sejak aku tinggal kembali di Padang, Kota Bingkuang ini, setelah lama merantau ke negeri orang, kesendirian makin akrab bersahabat denganku. Ia berhasil mengoyak-ngoyak


76

diriku saat berada di pantai ini. Semampu mungkin kuciptakan keramaian semu di sekitarku. Tetapi, tetap saja sepi! Sepi yang bisu tidak bisa diajak kompromi. Sepiku pendendam sejati. Jika kusakiti, pasti dia akan membalaskan bertubi-tubi kepadaku. Buntutnya, air berdesak-desakan keluar dari mataku, lalu bertambah banyak dan menenggelamkanku.

Itulah secuil penderitaan yang kualami di tanah kelahiranku ini. Banyak hal sebenarnya untuk menambal deritaku. Seperti rezeki nomplok atau cinta yang nomplok atau lebih baik sesuatu yang bisa membuatku bahagia. Salah satunya adalah gadis yang belum beranjak dari atas batu di tepi pantai itu. Dibiarkannya buih-buih air laut merajam tubuhnya. Tak diacuhkannya sang angin mempermainkan rambutnya yang indah. Aku heran, persoalan apa gerangan yang dipikirkan oleh bidadari sepertinya. Tidak pantas kepedihan meraba-raba sosoknya yang begitu mempesona. Apa yang ada di benaknya sehingga betah bertengger bagaikan kakak tua di pundak bajak laut? Apa dia ditinggalkan cinta? Atau broken home, mungkin? Atau, bisa jadi dia tidak punya uang untuk hidup? Di mana rumahnya? Mungkin sekitar sini! Dan, di mana kekasihnya? Tega sekali jika ada yang menelantarkannya. Atau, dia sudah punya suami? lalu cerai. Dan, anaknya dibawa sang suami? Ah! Tak perlu kupikirkan segala yang rumit-rumit. Aku cuma butuh gambar dirinya. Kan kuabadikan serancak mungkin. Kalau perlu kubingkai dan kujual? Ah, tidak perlu kujual. Lukisan ini tak ternilai harganya, kalau saja kujual walaupun kantongku telah gersang dimakan waktu.

***

Matahari mulai mengantuk. Langkahnya gontai meraih selimut tidur. Aku juga sudah tak tahan dengan udara di sini, mulai tak bersahabat. Angin pun bebas melantunkan lagu-lagu samudra. Tidak seperti beberapa jam yang lalu, saat dunia membatasi pengembaraan sang angin. Hingga dua baju lapisku tidak kuat lagi membendungnya. Tapi, gambar ini belum jadi. Baru seperempat perjalanan. Aku tidak mau pulang sebelum sebuah cinta dan cita kuraih. Penaku beberapa kali terhambat perjalanannya ketika gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Wajahnya dibiarkan diperkosa angin. Waktuku seringkali tersita oleh gerakan-gerakan mubazir gadis itu. Akhirnya, kulewatkan wajah, kudahulukan rambut. Rambutnya berkilau seperti bintang iklan di televisi. Apa mungkin dia artis tenar? Rambutnya panjang tergerai melukiskan keindahan sejati. Pakaiannya yang glamour menandakan kemewahan tak terbeli. Semuanya akan kuabadikan di kertasku. Di kertas seseorang yang mungkin kedudukannya lebih rendah dari objeknya.

***

Anak-anak pantai merayakan kegembiraan setelah mencetak gol ke gawang lawan. Mereka seakan terlarut bersama kesenangan masing-masing. Suara-suara kecil mereka tenggelam oleh gemuruh ombak. Kadang bersatu menciptakan bising yang sarat kejanggalan. Ada pula pengamen cilik menjual suaranya kepada orang-orang yang bersantai di pondok di tepi pantai. Entah apa yang mereka dendangkan. Di telingaku, lagu mereka tidak punya nilai seni sama sekali. Tanpa unsur merdu, malah membuatku bosan. Tapi, aku senang jika melihat mereka tersenyum gembira. Terasa sekali kehangatan persaudaraan yang mereka jalani tanpa kebutuhan materi memuaskan. Lain dengan diriku yang cukup segalanya, tapi tidak bisa bergembira dengan hati senang Seperti mereka.


Tiba-tiba mereka berhenti di tempat aku duduk. Sekadar melihat-lihat apa yang kulakukan. Kurasa mereka sudah bisa menerka apa yang akan kulukis. Mereka mencermati gelagatku dengan melihat ke bawah, ke depan dan ke bawah, lalu ke depan lagi. Dilihatnya lukisanku dan juga objek yang aku lukis. Aku berusaha tersenyum di depan mereka. Tapi, tiba-tiba saja mereka pergi menjauh seperti habis melihat orang gila. Kurang ajar sekali, memangnya aku ini gila! “Dasar anak kampung, tidak bisa melihat orang kota!” kataku sambil merungut kesal.

***

Angin semakin kencang. Rokokku sudah tak kuasa menahan dinginnya keadaan. Ombak pun sudah berani


78

menantangku bermain bersama. Sisa lukisanku tinggal sedikit lagi. Namun, ada saja yang menghalangi pandanganku. Segerombolan anak muda berpasang-pasangan duduk dan berdiri di sekitar gadis yang kulukis. Tapi, sosok gadis itu dibiarkan saja oleh mereka. Bagaikan berbaur dengan batu-batu, mereka tak mengacuhkannya. Memang, anak muda sekarang tidak bisa menghargai karya Tuhan, terlalu terbawa pergaulannya masing-masing. Padahal, gadis itu lebih cantik daripada wanita lain di antara mereka, lebih anggun, lebih cool, lebih sexy. Mereka mana mau peduli dengan semua itu. Andai saja kekasih gadis itu adalah aku, kan kuajak bermesra-

mesraan di depan mereka. Agar mereka tahu makna cinta dalam hidup ini, yang mungkin banyak salah diartikan oleh orang banyak. Wajar saja, jika aku berkata seperti itu karena aku sudah bosan, jenuh, dan trauma akan cinta. Andai saja aku kembali memiliki cinta, kan kugenggam dan takkan pernah kulepaskan. Memang, penyesalan datang belakangan.

***

Satu sentuhan, selesailah lukisanku. Akhirnya, tubuh ini bisa bergerak bebas menangkis angin setelah beberapa jam diam. Napasku mulai teratur jalannya dari macet yang semerawut. Mataku sudah lelah bekerja, begitu pula dengan seluruh anggota tubuhku, terlalu letih untuk lembur. Apalagi, sudah tiga hari aku tidak tidur memikirkan masalah-masalah kehidupan yang mulai akrab dengan maut. Setidaknya, mautku bisa diundur jika nanti aku menyerah pada malam dan membiarkan tubuh ini dibelai-belai oleh mimpi.


Kucoba melihat kembali keadaan gadis itu, yang mulai tampak samar karena senja. Hah! Sudah tidak ada lagi! Ke mana dia pergi? Mungkin dia sudah bosan! Atau sudah dapat wangsit dari renungannya? Ha-ha-ha, mengapa juga aku yang sibuk. Cuma mengikis waktu yang makin berlari.

***

Seruan azan magrib merambat cepat ke telingaku, menghipnotis penduduk kampung untuk bergegas ke masjid. Aku turut serta menghiasi panggilannya. Kupanggul tas dan kujinjing lukisan yang baru kubuat. Keadaan masjid begitu ramai, bak merayakan Idulfitri saja. Inikah suasana kampung sebenarnya? Padahal, letak kampung ini di pinggir pantai yang lengang, kecuali hari libur. Kuletakkan tas dan lukisanku sembari menunggu azan berlalu. Kucoba mengoreksi apa yang kudapat tadi di pantai. Lalu seorang ibu separuh baya mendekat melihat lukisanku, disertai dengan beberapa orang tua.

"Bagus, ya, gambarnya, tapi sepertinya, Emak pernah lihat...," sembari mengerutkan keningnya, membuatku bingung.

“Ini saudara, Adik, ya?” Tanya seorang nenek sambil menunjuk ke lukisanku. "Ih...dia, kan, yang mati tenggelam kemarin!" sambung seorang wanita mengagetkanku.

"Sama, ya, apa memang dia?"

"Iya, wanita yang kemarin mati, kan?”

"Yang badannya hancur itu, ya?”

"Memang dia, kok! Bajunya saja sama."

"Katanya dibunuh, ya?"

"Bukan. Kata orang-orang dimakan ikan hiu!"

Aku diam terpaku mendengar ocehan mereka. Tiba-tiba saja semua yang ada di masjid mengerubungiku.

"Ini, Adik yang ngelukis sendiri?" tanya seorang ustaz kepadaku.

"lya, baru beberapa jam yang lalu di tepi pantai sana,” jawabku.

"Apa kamu nggak salah lukis, Dik?" tanyanya kembali penasaran.

"Ah tidak, Pak Ustaz! Mata saya masih plus, kok,"

"Astagfirullah al adzim...," kata ustaz itu tak mampu meneruskan lagi.

Dalam hati seakan tak percaya, ternyata yang kulukis sudah wafat sehari sebelumnya. Aku tidak tahu pasti apa yang menyebabkan ia mati begitu megenaskan. Masalahnya sekarang, gambaran dirinya terabadikan olehku.