Menopause
… ada godaan dari politik yang seperti itu–baik kita seorang fasis atau bukan. Sebab, di sana banyak hal jadi tegas, lurus, tak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya pertempuran: ketika dua seteru berhadapan dengan bayonet terhunus…
Jika revolusi bukanlah sebuah jamuan makan, demokrasi bukanlah sebuah lapo tuak. Aforisme itu tentu saja tak amat segar, tapi kadang-kadang kita perlu ingat lagi bahwa demokrasi–betapapun ia sebuah cita-cita yang memikat–adalah seonggok beban. Sistem (ataukah proses?) ini bukan sebuah ruang tempat orang bisa asyik berdebat, berembuk, minum-minum, main catur, kalah dengan sebal, dan menang dengan riang, asal membayar. Ketika sejumlah orang berada bersama di suatu tempat dan hendak mengupayakan hidup yang tanpa penindasan, mereka akan segera tahu bahwa dalam sebuah demokrasi, politik adalah sebuah jalan yang musykil. Bahkan kadang-kadang agak aib, menjengkelkan, dan membosankan.
“Demokrasi,” kata Jean Baudrillard, “adalah menopause masyarakat Barat.” Pemikir Prancis ini mengatakannya di sebuah tulisan yang terbit pada 1987, hanya dua tahun sebelum seantero Eropa Timur lebih baik memilih “menopause” itu, setelah partai-partai komunis lumpuh. Saya tak tahu adakah Baudrillard sekadar mau kedengaran kontroversial, ataukah ucapannya menunjukkan kejemuan umum para intelektual Eropa terhadap sebuah sistem yang membuat politik mereka kurang seru ketimbang pertandingan cricket. Tapi jika demokrasi adalah sebuah menopause, bagaimana dengan yang lain dari demokrasi? “Fasisme,” kata Baudrillard, “adalah nafsu syahwat [masyarakat Barat] di usia separuh baya.”
Kiasan seperti itu bisa menjerumuskan, terutama jika kita membayangkan bahwa syahwat separuh baya juga bisa merupakan syahwat orang yang berpengalaman, sesuatu yang lebih terkendali dan bertahan. Dengan kata lain: fasisme bisa lebih mengasyikkan, terutama ketika demokrasi tak lagi sesuatu yang menggairahkan. Dan di bayangan kita pun tampak Mussolini di atas sebuah balkon di Kota Roma: gundul, gempal, bagaikan sebuah lingga yoni, dan gemuruh. Di jalanan berbaris pengikutnya, ribuan orang yang militan, laskar berseragam yang galak dan meneriakkan permusuhan kepada siapa saja yang “bukan-kita”. Seakan-akan hidup adalah gelora yang penuh, kejantanan yang berotot, dan keberanian vivere pericoloso, “hidup secara berbahaya”. Seakan-akan perang pasti sebuah kebajikan. “Tak jadi soal siapa yang menang,” ujar Il Duce, (seperti ditemukan dalam catatan harian menantunya), “untuk membuat satu bangsa jadi besar, perlu untuk mengirim mereka ke peperangan….” Sebulan sesudah itu ia membawa Italia ke dalam pertempuran dengan Sekutu pada tahun 1940.
Dari sini kita tahu apa yang dibawakan oleh politik fasisme: serangkaian pengganyangan yang bertalu-talu. Memang ada godaan dari politik yang seperti itu–baik kita seorang fasis atau bukan. Sebab, di sana banyak hal jadi tegas, lurus, tak bisa ditawar-tawar. Seperti halnya pertempuran: ketika dua seteru berhadapan dengan bayonet terhunus, yang menentukan bukanlah debat dan pertimbangan benar atau tidak, melainkan kemurnian tekad dan tindakan. Sering, bahwa yang lurus, tegas, dan murni itu bisa terdengar gagah, dan anehnya juga “moral”.
Politik dalam sebuah demokrasi justru acap kali tak bisa lurus, tegas, ataupun murni. Prosesnya seperti tak pernah mengalami klimaks: omong, omong, omong, antara pihak “sini” dan pihak “sana”. Dan jika demokrasi adalah seonggok beban, beban yang terberat adalah keniscayaan kompromi. Bahkan dengan orang yang paling memuakkan sekalipun. Memang ada yang memalukan, ada yang terasa aib, dan ada yang kurang bersifat “moral”.
Di Indonesia, proses yang begitu telah jadi sesuatu yang dianggap negatif–dan mungkin itu sebabnya demokrasi harus mengalami tahap yang sakit. Bertahun-tahun lamanya orang hidup dengan politik yang haus akan klimaks berkali-kali. Antara 1958 dan 1965, di bawah Sukarno, politik jadi satu dengan pekik “revolusi”, yang mengganyang dan mengremus musuh. “Konfrontasi” adalah sesuatu yang bagus. Antara 1965 dan 1998, di bawah Soeharto, politik jadi satu dengan kekerasan (juga pembunuhan) dan korupsi. Keputusan diambil setelah pihak “sana”, lawan bersaing, diancam atau dihancurkan. Atau disuap. Bukan saja harga diri hancur, tapi juga sisa-sisa yang moral dalam hidup rusak. Nilai-nilai yang ditawarkan agar bisa diterima dengan martabat yang utuh oleh pihak “ sana”–sesuatu yang universal–tak berlaku. Pada dasarnya: sebuah politik penaklukan.
Bisakah sebuah negeri hidup terus dengan politik seperti itu? Jika kompromi dianggap mengalah, dan kalah dianggap bukan saja kehilangan harga diri, tapi juga punahnya ruang hidup, fasisme akan jadi sebuah gaya bersama, disadari atau tidak. Dalam fasisme, “sini” secara hakiki berlawanan dengan “sana”.
Demokrasi, dan negosiasi, sebaliknya mengandalkan sebuah proses ketika “hakikisme” seperti itu tak berlaku. Ketika dua kubu (atau lebih) berunding dan bersaing, mereka tak sekadar perlu mengemukakan kepentingan yang diwakili oleh “sini”, tapi juga mengemukakan sebuah wacana yang lebih universal, dan sebab itu bisa diterima oleh “sana”. Dan dengan itu pula kubu “sini” pun membuat pengalamannya sendiri sesuatu yang universal. Proses ini, seperti dikatakan Ernesto Laclau, memang merupakan “satu wahana bagi universalisasi”.
Dan kita tahu, universalisasi adalah juga jalan ke arah pembebasan–karena tak ada lagi politik penaklukan, karena tak akan ada Tuan yang menindas Budak, tak akan ada yang terpasung sebagai budak atau yang memperbudak. Di sini tampak demokrasi bukanlah sebuah menopause. Ia juga bukan sebuah proses berahi yang asyik. Ia sebuah alternatif, yang mungkin hambar, tapi tak bisa dielakkan–ketika kita tak bisa mencintai yang “sana” habis-habisan, tapi juga tak bisa berperang habis-habisan. Ketika kita mendapatkan kesadaran akan batas, di hadapan.