Merajut Kepingan Dokumen Kasus G30S
Sejarah, menurut E.H. Carr, adalah suatu dialektika antara masa sekarang dan masa lampau. Sejarah juga merupakan dialog yang tidak berkesudahan antara sejarawan dan sumber. Bila ditemukan arsip baru, sejarah dapat ditinjau ulang.
Jadi, tidak ada tulisan atau buku sejarah yang final. Dalam kasus Gerakan 30 September (G30S) pun sebetulnya tidak ada interpretasi akhir dan tunggal terhadap peristiwa tersebut. Bukan saja berhubungan dengan fakta, sejarah juga berkaitan dengan sudut pandang. Dengan data atau fakta yang sama, dapat dilakukan penafsiran baru bila suatu peristiwa dilihat dari perspektif yang lain atau pada masa yang berbeda.
Dokumen mengenai politik luar negeri AS tahun 1964-1968 mengenai Indonesia, Malaysia, Filipina, yang ditarik oleh pihak pemerintah Washington tapi sempat dipasang pada salah satu situs internet, juga mengemukakan hal-hal baru, meskipun itu hanya mendukung tesis yang sudah disampaikan sejak dulu. Naskah itu pada intinya mengungkapkan keterlibatan pihak AS (dalam hal ini CIA) dalam peristiwa yang terjadi tahun 1965-1996 di Indonesia. Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin antara blok kapitalis dan blok komunis, AS berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan kelompok kiri. CIA membantu dengan berbagai cara dan pengucuran dana bagi segala usaha untuk menghancurkan PKI. Di dalam dokumen tersebut, terungkap bantuan yang diberikan pihak AS sebanyak Rp 50 juta kepada Komite Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu melalui perantaraan Adam Malik. Sebagaimana diketahui, KAP Gestapu itu dipimpin oleh Subchan Z.E. (alm.) dari NU dan Harry Tjan Silalahi. Ikut aktif pula di sana tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun.
Yang menarik, juga disebutkan dalam dokumen itu tentang bantuan berupa peralatan telekomunikasi. Keterangan rinci tentang alat-alat telekomunikasi itu, sebanyak 13 baris kalimat, dihapus (not declassified) dalam teks tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bantuan itu betul-betul berupa alat telekomunikasi. Soalnya, pada sumber yang lain, seorang diplomat AS pernah memberikan keterangan bahwa bantuan itu berupa alat-alat semacam walkie-talkie. Jika demikian, mengapa harganya sampai US$ 3 juta? Sebetulnya permintaan dari AS adalah barang senilai US$ 13 juta, tetapi yang dipenuhi hanya sebanyak jumlah di atas. Masuk akal bila istilah itu dipergunakan untuk menyamarkan pengiriman senjata yang dipergunakan oleh TNI untuk mengamankan Pulau Jawa.
Sebagaimana diketahui kemudian, terjadilah pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh PKI pada tahun 1965-1966. Meskipun diakui pembunuhan itu sebagian merupakan resultan dari konflik horizontal yang sudah terjadi sebelum 1965 antara kelompok kiri dan kaum agama (Islam), peran militer cukup signifikan.
Soal daftar nama pengurus teras PKI di seluruh Indonesia yang diberikan oleh pihak AS kepada Angkatan Darat untuk dibasmi—melalui orang kepercayaan Adam Malik—adalah sesuatu yang sudah lama terungkap. Hanya, di sini hal itu dikuatkan lagi. Di dalam arsip ini juga dikemukakan (telegram dari Kedubes AS di Jakarta kepada Department of State, 4 November 1965): "In Central Java, army (RPKAD) is training moslem youth and supplying them with weapons and will keep them out in front against PKI. Army will try to avoid as much as it can safely do so direct confrontation with PKI."
Dokumen ini—sebagaimana kebanyakan arsip asing—juga mengandung beberapa kesalahan dalam pengetikan nama orang Indonesia. Bahkan, pada daftar nama tokoh yang tercantum dalam naskah ini, Sultan Hamengku Buwono IX disebut sebagai "Malaysian First Minister for the Economic and Financial Sector". Kemudian, ada berbagai bagian yang tidak dibuka (not declassified), tapi hal ini tidak membatalkan kesimpulan bahwa AS (CIA) ikut terlibat dalam peristiwa tahun 1965 itu.
Dokumen ini menguatkan hipotesis lama tentang keterlibatan unsur asing dalam percobaan kudeta 1965 dan rangkaian kejadian sesudah itu. Menurut versi ini, dalang utama G30S adalah CIA, yang ingin menjatuhkan Sukarno dan kekuatan komunis (teori domino). CIA bekerja sama dengan sebuah klik AD untuk memprovokasi PKI. Apalagi, jika kita baca buku George M.T. Kahin tentang keterlibatan CIA dalam kasus PRRI dan Permesta beberapa waktu sebelumnya, bukan mustahil CIA juga memegang peranan dalam percobaan kudeta tahun 1965.
Peristiwa 1965 itu terjadi pada masa Perang Dingin, tatkala AS dan sekutunya berseteru dengan negara-negara komunis. AS, yang ketika itu menghadapi perang Vietnam, tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Menurut David T. Johnson (1976), terdapat enam skenario yang dapat dijalankan Amerika Serikat untuk menghadapi situasi yang memanas di Indonesia: (1) membiarkan saja, (2) membujuk Sukarno mengubah kebijakan, (3) menyingkirkan Sukarno, (4) mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan, (5) merusak kekuatan PKI, (6) merekayasa kehancuran PKI dan sekaligus kejatuhan Sukarno. Ternyata skenario terakhir yang dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk dilaksanakan.
Indikasi keterlibatan pemerintah/dinas rahasia Inggris dan Australia juga ada. Namun, hal itu lebih tampak setelah peristiwa G30S, ketika pihak Inggris membantu propaganda untuk menghancurkan PKI. Menurut Mike Head (1999), peran Australia sama aktifnya dengan peran pemerintah AS, meskipun skalanya lebih kecil. Dalam telegram yang dikirim dari dan ke Kedutaan Australia di Jakarta, tecermin sikap bahwa Soeharto "harus bersikap lebih kejam untuk menghancurkan semua dukungan bagi PKI".
Tulisan Coen Hotzappel (dalam Journal of Contemporary Asia, vol. 2, 1979) dapat dipandang dalam konteks skenario nomor 6 yang dikemukakan David T. Johnson tersebut. Operasi G30S dilakukan oleh tiga pasukan, yaitu Pasopati, Pringgodani (dalam versi sejarah resmi disebut Gatotkaca), dan Bimasakti. Penculikan para jenderal dilakukan oleh pasukan Pasopati. Setelah itu, mereka diserahkan kepada pasukan Pringgodani, yang mengoordinasi kegiatan di Lubangbuaya. Sedangkan pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI, telekomunikasi, dan teritorial.
Dengan bersumberkan hasil pengadilan Untung dan Nyono, Coen Hotzappel mencurigai kegiatan pasukan Pringgodani, yang melaksanakan kegiatan kudeta yang memang dirancang untuk gagal. Pembunuhan beberapa jenderal yang belum semuanya tewas di Lubang dilakukan oleh pasukan Pringgodani. Gugurnya para perwira tinggi AD itu menyebabkan Presiden Sukarno tidak mau mendukung gerakan tersebut dan memerintahkan Brigjen Suparjo agar menghentikan operasinya. Coen menuding Mayor Udara Sujono dan Sjam sebagai tokoh sentral yang mengendalikan pasukan Pringgodani tersebut. Plot yang tidak matang itu menyebabkan G30S dapat ditumpas dengan cepat dan kemudian PKI, yang dianggap sebagai dalang kudeta tersebut, dihancurkan. Sedangkan Sukarno, yang tidak mau mengutuk PKI, dijatuhkan.
Dari berbagai versi di atas, manakah yang lebih tepat? Menurut saya, cukup masuk akal bila dikatakan bahwa tidak ada pelaku tunggal dalam peristiwa tersebut. Keterlibatan Syam Kamaruzaman sudah terang, demikian pula dengan sekelompok militer. Dalam konteks Perang Dingin, keterlibatan unsur asing seperti AS (dalam hal ini CIA) sangat mungkin. Yang terang, gerakan ini tidak diketahui oleh mayoritas anggota PKI di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, peristiwa G30S bukanlah pemberontakan oleh sebuah partai.
Sukarno dan Soeharto sama-sama mengetahui gerakan tersebut, termasuk isu adanya Dewan Jenderal. Sukarno adalah orang yang sangat dicelakakan oleh peristiwa tersebut (karena tidak mau mengutuk PKI, ia dikesankan terlibat), sedangkan Soeharto adalah orang yang sangat diuntungkan oleh gerakan tersebut. Para saingannya sesama jenderal tersingkir (ngluruk tanpa bala), sementara ia melenggang ke kursi kepresidenan.
Dari berbagai buku dan dokumen yang sudah dapat dibaca di dalam dan di luar negeri, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, keterlibatan PKI—sebagai sebuah partai, dalam memimpin G30S—kian diragukan, kecuali peran segelintir elite pengurusnya. Kedua, tuduhan semakin menjurus pada persekongkolan suatu kelompok kecil di dalam Angkatan Darat plus Angkatan Udara yang mencoba menangkap dan menghadapkan beberapa jenderal kepada Presiden Sukarno. Ketiga, tindakan ini untuk mendahului isu kudeta oleh "Dewan Jenderal", yang dipercaya oleh kelompok tersebut akan berlangsung menjelang 5 Oktober 1965. Paul F. Gardner memakai istilah brain trust untuk menyebut kelompok Dewan Jenderal. Keempat, kegagalan gerakan yang dilakukan secara serampangan itu—apakah disengaja atau tidak—memberi kesempatan kepada tentara untuk menghancurkan musuh besar mereka, yaitu PKI, serta menumbuhkan konsolidasi di kalangan ABRI, yang waktu itu terpecah, dan sekaligus menciptakan aliansi dengan kelompok lain di kalangan masyarakat seperti mahasiswa dan umat Islam dalam menghadapi "musuh bersama" yang diproyeksikan sebagai "anti-Tuhan". Kelima, pembantaian massal yang terjadi setelah G30S adalah kelanjutan dari strategi di atas yang didukung oleh ketegangan sosial dan kesulitan ekonomi sebelum G30S.
Keenam, plot itu secara langsung atau tidak langsung sejalan dengan strategi penghancuran komunis oleh pihak Barat. Ketujuh, meskipun peristiwa itu berlatar belakang global (situasi Perang Dingin), secara paradoks sumber permasalahannya dapat pula dicari tidak hanya pada level nasional, tetapi juga pada tingkat lokal. Dorongan untuk meneliti aspek lokal ini makin kuat, misalnya sejauh mana keterlibatan Kodam Diponegoro, atau yang lebih kecil lagi grup pasukan Pasopati. Kedelapan, Sukarno dan Soeharto sama-sama mengetahui peristiwa itu relatif lebih awal, tetapi Sukarno adalah orang yang paling dirugikan sementara Soeharto paling diuntungkan oleh gerakan tersebut. Sembilan, selama ini Syam Kamaruzaman dicurigai sebagai "double agent", agen PKI sekaligus intel AD. Seandainya bisa dibuktikan bahwa Syam itu "triple agent"—maksudnya, selain fungsi di atas ia juga spion atau bisa dipengaruhi oleh CIA—ia telah menyambungkan berbagai faktor kunci menjadi satu rangkaian.
Jadi, tidak ada tulisan atau buku sejarah yang final. Dalam kasus Gerakan 30 September (G30S) pun sebetulnya tidak ada interpretasi akhir dan tunggal terhadap peristiwa tersebut. Bukan saja berhubungan dengan fakta, sejarah juga berkaitan dengan sudut pandang. Dengan data atau fakta yang sama, dapat dilakukan penafsiran baru bila suatu peristiwa dilihat dari perspektif yang lain atau pada masa yang berbeda.
Dokumen mengenai politik luar negeri AS tahun 1964-1968 mengenai Indonesia, Malaysia, Filipina, yang ditarik oleh pihak pemerintah Washington tapi sempat dipasang pada salah satu situs internet, juga mengemukakan hal-hal baru, meskipun itu hanya mendukung tesis yang sudah disampaikan sejak dulu. Naskah itu pada intinya mengungkapkan keterlibatan pihak AS (dalam hal ini CIA) dalam peristiwa yang terjadi tahun 1965-1996 di Indonesia. Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin antara blok kapitalis dan blok komunis, AS berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan kelompok kiri. CIA membantu dengan berbagai cara dan pengucuran dana bagi segala usaha untuk menghancurkan PKI. Di dalam dokumen tersebut, terungkap bantuan yang diberikan pihak AS sebanyak Rp 50 juta kepada Komite Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu melalui perantaraan Adam Malik. Sebagaimana diketahui, KAP Gestapu itu dipimpin oleh Subchan Z.E. (alm.) dari NU dan Harry Tjan Silalahi. Ikut aktif pula di sana tokoh Muhammadiyah, Lukman Harun.
Yang menarik, juga disebutkan dalam dokumen itu tentang bantuan berupa peralatan telekomunikasi. Keterangan rinci tentang alat-alat telekomunikasi itu, sebanyak 13 baris kalimat, dihapus (not declassified) dalam teks tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bantuan itu betul-betul berupa alat telekomunikasi. Soalnya, pada sumber yang lain, seorang diplomat AS pernah memberikan keterangan bahwa bantuan itu berupa alat-alat semacam walkie-talkie. Jika demikian, mengapa harganya sampai US$ 3 juta? Sebetulnya permintaan dari AS adalah barang senilai US$ 13 juta, tetapi yang dipenuhi hanya sebanyak jumlah di atas. Masuk akal bila istilah itu dipergunakan untuk menyamarkan pengiriman senjata yang dipergunakan oleh TNI untuk mengamankan Pulau Jawa.
Sebagaimana diketahui kemudian, terjadilah pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh PKI pada tahun 1965-1966. Meskipun diakui pembunuhan itu sebagian merupakan resultan dari konflik horizontal yang sudah terjadi sebelum 1965 antara kelompok kiri dan kaum agama (Islam), peran militer cukup signifikan.
Soal daftar nama pengurus teras PKI di seluruh Indonesia yang diberikan oleh pihak AS kepada Angkatan Darat untuk dibasmi—melalui orang kepercayaan Adam Malik—adalah sesuatu yang sudah lama terungkap. Hanya, di sini hal itu dikuatkan lagi. Di dalam arsip ini juga dikemukakan (telegram dari Kedubes AS di Jakarta kepada Department of State, 4 November 1965): "In Central Java, army (RPKAD) is training moslem youth and supplying them with weapons and will keep them out in front against PKI. Army will try to avoid as much as it can safely do so direct confrontation with PKI."
Dokumen ini—sebagaimana kebanyakan arsip asing—juga mengandung beberapa kesalahan dalam pengetikan nama orang Indonesia. Bahkan, pada daftar nama tokoh yang tercantum dalam naskah ini, Sultan Hamengku Buwono IX disebut sebagai "Malaysian First Minister for the Economic and Financial Sector". Kemudian, ada berbagai bagian yang tidak dibuka (not declassified), tapi hal ini tidak membatalkan kesimpulan bahwa AS (CIA) ikut terlibat dalam peristiwa tahun 1965 itu.
Dokumen ini menguatkan hipotesis lama tentang keterlibatan unsur asing dalam percobaan kudeta 1965 dan rangkaian kejadian sesudah itu. Menurut versi ini, dalang utama G30S adalah CIA, yang ingin menjatuhkan Sukarno dan kekuatan komunis (teori domino). CIA bekerja sama dengan sebuah klik AD untuk memprovokasi PKI. Apalagi, jika kita baca buku George M.T. Kahin tentang keterlibatan CIA dalam kasus PRRI dan Permesta beberapa waktu sebelumnya, bukan mustahil CIA juga memegang peranan dalam percobaan kudeta tahun 1965.
Peristiwa 1965 itu terjadi pada masa Perang Dingin, tatkala AS dan sekutunya berseteru dengan negara-negara komunis. AS, yang ketika itu menghadapi perang Vietnam, tidak ingin Indonesia jatuh ke tangan komunis. Menurut David T. Johnson (1976), terdapat enam skenario yang dapat dijalankan Amerika Serikat untuk menghadapi situasi yang memanas di Indonesia: (1) membiarkan saja, (2) membujuk Sukarno mengubah kebijakan, (3) menyingkirkan Sukarno, (4) mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan, (5) merusak kekuatan PKI, (6) merekayasa kehancuran PKI dan sekaligus kejatuhan Sukarno. Ternyata skenario terakhir yang dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk dilaksanakan.
Indikasi keterlibatan pemerintah/dinas rahasia Inggris dan Australia juga ada. Namun, hal itu lebih tampak setelah peristiwa G30S, ketika pihak Inggris membantu propaganda untuk menghancurkan PKI. Menurut Mike Head (1999), peran Australia sama aktifnya dengan peran pemerintah AS, meskipun skalanya lebih kecil. Dalam telegram yang dikirim dari dan ke Kedutaan Australia di Jakarta, tecermin sikap bahwa Soeharto "harus bersikap lebih kejam untuk menghancurkan semua dukungan bagi PKI".
Tulisan Coen Hotzappel (dalam Journal of Contemporary Asia, vol. 2, 1979) dapat dipandang dalam konteks skenario nomor 6 yang dikemukakan David T. Johnson tersebut. Operasi G30S dilakukan oleh tiga pasukan, yaitu Pasopati, Pringgodani (dalam versi sejarah resmi disebut Gatotkaca), dan Bimasakti. Penculikan para jenderal dilakukan oleh pasukan Pasopati. Setelah itu, mereka diserahkan kepada pasukan Pringgodani, yang mengoordinasi kegiatan di Lubangbuaya. Sedangkan pasukan Bimasakti bertugas menguasai RRI, telekomunikasi, dan teritorial.
Dengan bersumberkan hasil pengadilan Untung dan Nyono, Coen Hotzappel mencurigai kegiatan pasukan Pringgodani, yang melaksanakan kegiatan kudeta yang memang dirancang untuk gagal. Pembunuhan beberapa jenderal yang belum semuanya tewas di Lubang dilakukan oleh pasukan Pringgodani. Gugurnya para perwira tinggi AD itu menyebabkan Presiden Sukarno tidak mau mendukung gerakan tersebut dan memerintahkan Brigjen Suparjo agar menghentikan operasinya. Coen menuding Mayor Udara Sujono dan Sjam sebagai tokoh sentral yang mengendalikan pasukan Pringgodani tersebut. Plot yang tidak matang itu menyebabkan G30S dapat ditumpas dengan cepat dan kemudian PKI, yang dianggap sebagai dalang kudeta tersebut, dihancurkan. Sedangkan Sukarno, yang tidak mau mengutuk PKI, dijatuhkan.
Dari berbagai versi di atas, manakah yang lebih tepat? Menurut saya, cukup masuk akal bila dikatakan bahwa tidak ada pelaku tunggal dalam peristiwa tersebut. Keterlibatan Syam Kamaruzaman sudah terang, demikian pula dengan sekelompok militer. Dalam konteks Perang Dingin, keterlibatan unsur asing seperti AS (dalam hal ini CIA) sangat mungkin. Yang terang, gerakan ini tidak diketahui oleh mayoritas anggota PKI di seluruh Indonesia. Dengan kata lain, peristiwa G30S bukanlah pemberontakan oleh sebuah partai.
Sukarno dan Soeharto sama-sama mengetahui gerakan tersebut, termasuk isu adanya Dewan Jenderal. Sukarno adalah orang yang sangat dicelakakan oleh peristiwa tersebut (karena tidak mau mengutuk PKI, ia dikesankan terlibat), sedangkan Soeharto adalah orang yang sangat diuntungkan oleh gerakan tersebut. Para saingannya sesama jenderal tersingkir (ngluruk tanpa bala), sementara ia melenggang ke kursi kepresidenan.
Dari berbagai buku dan dokumen yang sudah dapat dibaca di dalam dan di luar negeri, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, keterlibatan PKI—sebagai sebuah partai, dalam memimpin G30S—kian diragukan, kecuali peran segelintir elite pengurusnya. Kedua, tuduhan semakin menjurus pada persekongkolan suatu kelompok kecil di dalam Angkatan Darat plus Angkatan Udara yang mencoba menangkap dan menghadapkan beberapa jenderal kepada Presiden Sukarno. Ketiga, tindakan ini untuk mendahului isu kudeta oleh "Dewan Jenderal", yang dipercaya oleh kelompok tersebut akan berlangsung menjelang 5 Oktober 1965. Paul F. Gardner memakai istilah brain trust untuk menyebut kelompok Dewan Jenderal. Keempat, kegagalan gerakan yang dilakukan secara serampangan itu—apakah disengaja atau tidak—memberi kesempatan kepada tentara untuk menghancurkan musuh besar mereka, yaitu PKI, serta menumbuhkan konsolidasi di kalangan ABRI, yang waktu itu terpecah, dan sekaligus menciptakan aliansi dengan kelompok lain di kalangan masyarakat seperti mahasiswa dan umat Islam dalam menghadapi "musuh bersama" yang diproyeksikan sebagai "anti-Tuhan". Kelima, pembantaian massal yang terjadi setelah G30S adalah kelanjutan dari strategi di atas yang didukung oleh ketegangan sosial dan kesulitan ekonomi sebelum G30S.
Keenam, plot itu secara langsung atau tidak langsung sejalan dengan strategi penghancuran komunis oleh pihak Barat. Ketujuh, meskipun peristiwa itu berlatar belakang global (situasi Perang Dingin), secara paradoks sumber permasalahannya dapat pula dicari tidak hanya pada level nasional, tetapi juga pada tingkat lokal. Dorongan untuk meneliti aspek lokal ini makin kuat, misalnya sejauh mana keterlibatan Kodam Diponegoro, atau yang lebih kecil lagi grup pasukan Pasopati. Kedelapan, Sukarno dan Soeharto sama-sama mengetahui peristiwa itu relatif lebih awal, tetapi Sukarno adalah orang yang paling dirugikan sementara Soeharto paling diuntungkan oleh gerakan tersebut. Sembilan, selama ini Syam Kamaruzaman dicurigai sebagai "double agent", agen PKI sekaligus intel AD. Seandainya bisa dibuktikan bahwa Syam itu "triple agent"—maksudnya, selain fungsi di atas ia juga spion atau bisa dipengaruhi oleh CIA—ia telah menyambungkan berbagai faktor kunci menjadi satu rangkaian.