Mimpi-Mimpi Mimpi
oleh Mendayu Amarta Fitri

MIMPI-MIMPI MIMPI

Mendayu Amarta Fitri
SMAN 1 Gunung Talang




Aku Mimpi...

Ada sebuah cerita tentang mimpi yang mungkin tak pernah kau dengar. Katanya, saat sebuah mimpi terlahir ke dunia, ia akan memiliki tahta di hati pemiliknya, tahta yang akan tetap kokoh selama sang pemilik mimpi meyakininya. Adalah sebuah kehormatan bagi sebuah mimpi, saat pemilik mimpi tetap mengimpikannya. Sang mimpi akan tetap bertahta di singgasananya dan berbaur dengan mimpi-mimpi baru yang mungkin saja tercipta kapan saja. Tapi ada saat ketika mimpi-mimpi baru mengambil tempat, merebut dan mendepak sang mimpi dari singgasananya. Saat itu terjadi, anginlah yang jadi saksi. la berdesir bersama ribuan mimpi yang tak lagi dapat tempat, terbuang, dan terlupakan.

Aku Mimpi...

Dan kini di sinilah aku. Mengalun bersama angin dan mimpi-mimpi lain yang terlupakan. Kami berdesir, mengarungi lautan harapan untuk kembali mendapatkan tempat di hati para pemilik mimpi. Tapi seperti semua makhluk yang tercipta di dunia, kami tak bisa selamanya ada. Ada batas, dan waktu kami tidaklah lama. Saat pemilik mimpi tetap tak menginginkan kami, saat itulah semua yang tersisa dari kami akan sirna selamanya. Tapi sebelum itu terjadi, setiap hari kami tak lelah berikhtiar, mencoba melawan garisan bahwa kami telah dilupakan.

    Kami hanyalah mimpi-mimpi
    Yang punya impian,
    Untuk kembali diimpikan...

27 Juli 2011, 18.02...

Aku diam saja, mengikuti irama angin yang menopangku. Aku lelah dalam diam, dan aku diam dalam lelah. Lelah untuk waktu-waktu panjangku bersama sang bayu, sedang mim-mimpi lain bersuka cita di atas tahta-tahta yang bercahaya. Tapi setidaknya sang bayu begitu baik padaku. Aku nyaris menyerah, jika ia tidak menyemangatiku dan membawaku kembali kemari. Rumah pemilikku, atau yang lebih tepat rumah mantan pemilikku.

Aku tertegun, sudah cukup lama aku menyerah dan tak datang lagi kesini. Sejujurnya aku gentar, aku sudah pasrah. Tapi kalimat angin padaku sedikitnya mampu membuatku maju lagi meski untuk waktu tersisa yang singkat. "Kau tak boleh menyerah pada takdir, Mimpi. Kau adalah mimpi! Tak seharusnya Kau kehilangan mimpimu!" Kata angin waktu itu. Dan untuk semangat yang dilontarkan sahabatku satu-satunya itu, aku tak ingin menyerah lagi. Aku akan berjuang mendapatkan tempatku lagi, meski akan berhasil atau tidak. Entahlah, aku tak tahu.

Aku masuk lewat ventilasi rumah, segera menuju tempat yang kurindukan, kamar mantan pemilikku, Dayana. Tapi dia tak ada disana. Baru saja aku hendak keluar dari kamar itu, terdengar suara langkah kaki yang cepat. Dayana berlari masuk ke kamarnya, sesegukan. Ia menangis! Aku mendekatinya, mencoba memberi ketenangan yang mustahil. Ia tetap saja menangis! Aku kenal tangisan itu, tangisan untuk sebuah mimpi! Aku mencoba lebih dekat, apa pun mimpinya itu, aku harus meyakinkannya bahwa ia menangis untukku. Aku harus menggantikan mimpi itu! Mimpi itu haruslah aku!

"Padahal semua teman-teman sudah boleh punya sepeda motor sendiri! Kenapa aku tidak boleh? Lagipula aku kan sudah SMA, umurku sudah cukup," ujar Dayana sambil melempar bantal ke arah pintu. Aku tertegun, tidak berhasil.

Ibu Dayana muncul dari pintu, mengambil bantal yang tadi dilemparnya.

"Ini bukan tentang umurmu cukup atau belum, Dayana," ucap ibunya dengan wajah lembut, "Hanya saja yang ibu lihat, Kau belum terlalu fasih mengendarai sepeda motor. Ibu hanya takut terjadi apa-apa, ini kan kota besar! Ibu tak sanggup kehilangan lagi Dayana, setelah ayahmu pergi, ibu hanya punya kau, Dayana," ucap Ibu Dayana dengan mata berair. Dayana terdiam.

"Tapi ibu sudah punya rencana. Saat liburan nanti, ibu akan minta Pamanmu mengajarimu agar lebih fasih, dan kalau ibu merasa Kau telah mahir, naik kelas nanti Kau sudah punya motor sendiri!" Ibu Dayana tersenyum menyudahi kalimatnya. Mata Dayana terlihat berbinar.

"Tapi tentu kau harus berusaha sungguh-sungguh, agar ibu dapat memberi label mahir padamu," ucap Ibunya. Seketika wajah Dayana tampak bahagia.

"Tentu saja, Ibu. Aku akan berlatih serius. Memiliki motor adalah impian besarku," ucapnya bersemangat. Aku merengsek mundur. Mimpi Dayana untuk memiliki motor ternyata terlalu besar untuk kugantikan. Aku keluar menemui angin. Baiklah, hari ini gagal. Tapi besok akan kucoba lagi.

28 Juli 2011, 16.45...

Kantin sekolah sudah sepi sedari tadi. Ini sudah lewat jam pulang sekolah. Tapi Dayana masih setia mengaduk-aduk lemon tea yang tak sedikitpun disentuhnya. Hatinya sedang kesal. Ia tak melakukan apapun, hanya melamun, harusnya ini waktu yang tepat untuk membuatnya kembali mengingatku, tapi lagi-lagi semua yang dipikirkannya terlalu berharga baginya untuk bisa kuganggu gugat. Aku tahu apa yang sedang dipikirkannya. Cinta!

Yah, Dayana kecilku yang dulu kini sedang jatuh cinta. Tapi kali ini cinta itu membuatnya cemburu. Sekelebat cerita berkelebatan dalam memorinya yang dengan mudah dapat kubaca. Seorang pemuda dan seorang gadis yang sedang mengerjakan tugas bersama dan sesekali dengan akrabnya bercanda. Harusnya tak ada yang salah dengan adegan itu, kalau bukan karena ada cinta yang melahirkan cemburu. Pemuda itu, Vian. Dayana sudah menyukainya bahkan sejak mereka SMP, dan sekarang mereka sudah kelas 2 SMA. Tak ada yang salah dengan adegan itu kecuali bahwa gadis itu bukan Dayana.

Gadis itu, Rani. Gadis yang selalu mendapatkan tempat terakrab dengan Vian. Memang mereka berteman sejak kecil, tapi kenyataan itu tak pernah mampu meredam kecemburuan yang tercipta. Dan saat cinta terlalu menyesak, Dayana menyerah. Menyerah dengan harapannya sendiri. Itulah kenapa ia duduk menyendiri di kantin siang ini. Tiba-tiba sepi yang senyap itu terusik, seorang anak lelaki datang mendekati Dayana. Vian. Aku hanya memandangi apa yang terjadi.

"Dayana, apa yang terjadi? Kenapa sejak tadi Kau menghindariku?" Tanya Vian mengambil tempat duduk di depan Dayana. Dayana diam, menunduk menyembunyikan matanya yang basah.

"Ada apa? Kau menangis?"

"Aku tidak menangis," sanggah Dayana percuma, sebab jelas terlihat bahwa ia menangis.

"Kau tak bisa bohong! Katakan! Apakah kau marah padaku? Kenapa menghindariku?”

Dayana masih diam, susah payah menahan tangis.

"Bicaralah, Dayana! Jangan hanya menangis."

Tiba-tiba tangisan Dayana pecah. Dilepaskannya semua. Dalam isak yang tertahan ia berkata,

"Kau tidak salah, Vian! Yang salah adalah aku. Aku yang terlalu menyukaimu, hingga tak pernah bisa meredam cemburu saat Kau dekat dengan Rani! Aku yang salah! Aku terlalu berharap atas cinta yang tak pernah ada untukku!” Dayana sesegukan. Kulihat Vian tertegun, diam. Cukup lama hening, hingga di satu waktu Vian mengambil tangan Dayana dan menggenggamnya erat.

"Kau tahu, Dayana? Memang akulah yang salah, maafkan aku. Aku harusnya tahu Kau cemburu, dan membawamu keluar dari perasaan menyakitkan itu. Hanya saja selama ini, aku tak berani untuk berpikir bahwa Kau cemburu. Aku hanya takut kenyataan sebenarnya tidak seperti itu, sebab tahukah Kau, aku menyukaimu sudah sejak lama, sejak kita masih sama-sama di SMP."

Kulihat Dayana tertegun, tak menduga mendapati kenyataan seperti itu. Dipandanginya Vian dengan pandangan tak percaya.

"Jadi, maafkan aku, Dayana. Aku menyayangimu. would you be my girl?" Tanya Vian. Dayana tersenyum, lama sekali. Sampai kemudian berkata, "Tentu saja. Itu yang kutunggu sejak lama. Kau impíanku!"

Lagi! Sepertinya aku memang tak cukup berharga untuk menggantikan impian Dayana yang satu ini.

29 Juli 2010, 02.22...

Angin berdesau lembut petang itu di sebuah tanah lapang penuh bunga rumput. Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari dengan semangat membuat bunga rumput di tangannya berterbangan. Di belakangnya, sang ayah mengejarnya sehingga membuat gadis itu tertawa senang. Tiba-tiba gadis kecil itu berhenti, tertegun mendapati seekor makhluk putih bersih tak jauh di depannya, bola matanya membulat lucu.

"Ayah, itu apa?" Tanyanya sambil menunjuk makhluk tersebut.

"Oh, itu namanya kelinci, Dayana," jawab sang ayah.

"Lucu sekali! Boleh kita tangkap ya, Yah?" Dayana merengek.

"Jangan Dayana, itu kelinci peliharaan kakak itu!" Ucap sang ayah sambil menunjuk seorang anak laki-laki tak jauh dari si kelinci. Dayana tampak kecewa, bibirnya sedikit maju, lucu sekali, membuat ayahnya tertawa kecil.

"Sudahlah, Dayana manis. Merawat bintang peliharaan itu repot. Lebih baik nanti ayah belikan sesuatu yang lebih lucu," hibur sang ayah.

"Benarkah? Ayah Janji?" Mata Dayana kembali membulat berbinar.

"Ya, ayah janji. Dayana maunya apa? Asal jangan binatang peliharaan!"

"Hmm... Apa ya?" Dayana berpikir dengan ekspresi menggemaskan. "Oh ya, Dayana mau dibelikan..."

Krrrriiiiiingggggggggg.......

Jam weker berbunyi membangunkan Dayana. Dadaku berdegup cepat selagi tadi Dayana bermimpi. Sungguh sejak tadi aku menahan nafas. Mimpi tadi, adalah mimpi tentang hari dimana Dayana dengan cara bicaranya yang lucu membuatku terlahir ke dunia. Mimpi tadi adalah mimpi tentang aku! Tapi kenapa dia harus terbangun tepat di saat dia akan mengingatku? Ough! Weker sialan!

Lagi-lagi aku gagal untuk kembali diingat. Kupandangi Dayana yang baru bangun lalu beraktifitas seperti biasa. Tampaknya ia lupa sama sekali tentang mimpinya barusan. Dadaku sesak, sungguh. Mungkin kali ini pun takdir belum bersedia untuk berbaik hati padaku. Mungkin esok, atau lain kali.

30 Juli 2011, 11.10...

"Apa yang mau Kau ceritakan, Eli?" Tanya Dayana sedikit berteriak sebab kantin sekolah ramai sekali.

"Hmmm... Taraaa!!! Surprise!!! Kau tahu, ayahku akhirnya setuju untuk membuat kolam renang di rumah!" Cerita Eli dengan wajah bersemangat.

"Hmm... Lalu, apa istimewanya?" Tanya Dayana dengan wajah bingung. Aku menggelengkan kepala melihat tanggapan Dayana. Harusnya dia tahu, bahwa ada kolam renang di rumah adalah sebuah impian besar bagi seorang atlet renang seperti Eli.

"Oh, Dayana. Kenapa kau menanggapinya dengan biasa saja? Kau tahu, ini impian terbesar yang pernah aku punya. Bahkan sejak aku kecil,” ujar Eli. "Apakah Kau tak pernah punya impian saat kau kecil?"

"Impian saat kecil?" Dayana tampak berpikir. Nafasku seperti tertahan. Kudekati ia, ayolah Dayana! Ingat aku! Impian terbesarmu saat kecil! Ayolah!

"Hmm..., sepertinya tak ada yang istimewa. Aku tak ingat pernah punya impian yang hebat saat kecil."

Aku seperti terbanting mendengar kalimat Dayana. Kenapa kau masih tidak mengingatku, Dayana? Baiklah, aku memang tak cukup hebat. Tapi tidakkah kau ingat, kau pernah benar-benar memimpikan aku saat itu? Kulihat Dayana dan Eli pergi, dan tak lagi membahas tentang impian-impian kecilnya. Sekali lagi, aku masih tak berhasil diingat. Sudahlah, tak apa.

31 Juli 2011, 10.30...

Akhir minggu yang manis bagi Dayana. Ini kencan pertamanya dengan Vian. Mereka berjalan-jalan di pertokoan dengan wajah riang. Sesungguhnya aku tak tega untuk merecoki akhir minggunya yang indah. Tapi apa daya, waktuku tak banyak lagi. Aku harus tetap berusaha!

"Hey! Lihat, boneka itu manis sekali," pekik Dayana tertahan. "Ayo kita masuk ke toko itu," ujarnya sambil berlari memasuki toko.

"Boneka yang mana?" Tanya Vian.

"Itu!" Dayana menunjuk sebuah etalase penuh dengan boneka berwarna merah muda. Nafasku tercekat, jantungku berdetak lebih kuat dari sebelumnya. Inikah waktunya? Baiklah! Aku harus bisa membuatnya mengingatku kali ini! Ayolah Dayana! Ingat aku! Dayana berjalan mendekati etalase itu.

"Yang ini," ucapnya seraya menunjuk sebuah boneka yang tepat berada di samping boneka kelinci merah muda. "Boneka beruang kecil yang sedang memegang hati! Belum pernah aku melihat boneka semanis ini," ujar Dayana tersenyum.

Aku ikut tersenyum. Getir. Lagi untuk kesekian kalinya, Dayana tidak bisa mengingatku. Dadaku seketika sesak, aku sesegukan menangis tersedu-sedu. Tangisan yang sejak bertahun-tahun lalu kutahan, kini lepas semuanya. Aku terisak-isak dalam kesedihan yang teramat dalam. Angin mendekatiku, berusaha memberi ketenangan. Lama baru tangisanku usai. Angin memangkuku dengan alirannya yang basah, ia ikut menangis.

"Maafkan aku. Tapi bolehkah aku tahu, apa sebenarnya dirimu, Mimpi? Kau itu mimpi tentang apa?" Angin menanyaiku. Aku tersenyum dalam tangis, sepertinya sudah saatnya kuceritakan siapa sebenarnya aku.

22 Maret 1999, 16.55...

Angin berdesau lembut petang itu di sebuah tanah lapang penuh bunga rumput. Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari dengan semangat membuat bunga rumput di tangannya berterbangan. Di belakangnya, sang ayah mengejarnya sehingga membuat gadis itu tertawa senang. Tiba-tiba gadis kecil itu berhenti, tertegun mendapati seekor makhluk tak jauh di depannya, bola matanya membulat lucu.

"Ayah, itu apa?" Tanyanya sambil menunjuk makhluk tersebut.

"Oh, itu namanya kelinci, Dayana," jawab sang ayah.

"Lucu sekali! Boleh kita tangkap ya, Yah?" Dayana merengek.

Jangan Dayana, itu kelinci peliharaan kakak itu,” ucap sang ayah sambil menunjuk seorang anak laki-laki tak jauh dari si kelinci. Dayana tampak kecewa, bibirnya sedikit maju, lucu sekali, membuat ayahnya tertawa kecil.

"Sudahlah, Dayana manis. Merawat bintang peliharaan itu repot. Lebih baik nanti ayah belikan sesuatu yang lebih lucu," hibur sang ayah.

"Benarkah? Ayah Janji?" Mata Dayana kembali membulat berbinar.

"Ya, ayah janji. Dayana maunya apa? Asal jangan binatang peliharaan!"

"Hmm... Apa ya?" Dayana berpikir dengan ekspresi menggemaskan. "Oh ya, Dayana mau dibelikan..."

"Sudahlah, Angin! Maafkan aku. Sekarang waktuku sudah habis! Aku akan musnah untuk selamanya, akan lebih baik jika tak seorangpun tak mengingatku," ujarku menghentikan ceritaku. "Baiklah, jika itu yang Kau mau, Kawan. Tak apa," ucapnya tak ingin memaksaku.

Kemudian dengan tiba-tiba, angin sahabatku terbang berbaur dengan yang lain, berputar-putar di sekelilingku. Langit menggelap, cahaya-cahaya turun mengepungku. Ini saatnya aku pergi. Perlahan kurasakan tubuhku kaku, mati. Baiklah, selamat tinggal semuanya, selamat tinggal Dayana! Aku menyayangimu.

Perlahan aku menghilang bersama selaksa harapan untuk kembali diingat. Hari ini, mimpi seorang gadis kecil bernama Dayana, yang pernah diucapkannya pada ayahnya telah mati. Mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan sebab sang ayah meninggal sebelum sempat mewujudkan mimpi itu. Mimpi yang benar-benar telah dilupakannya bersama dengan kesedihannya atas kepergian sang ayah. Sebuah mimpi sebentuk boneka kelinci merah muda yang tak lagi pernah diingatnya.

Aku hanyalah sebuah mimpi yang bermimpi untuk kembali diimpikan...

Epilog

"Sudahlah, Dayana manis. Merawat bintang peliharaan itu repot. Lebih baik nanti ayah belikan sesuatu yang lebih lucu...," hibur sang ayah.

"Benarkah? Ayah Janji?" Mata Dayana kembali membulat berbinar.

"Ya, ayah janji. Dayana maunya apa? Asal jangan binatang peliharaan!"

"Hmm... Apa ya?" Dayana berpikir dengan ekspresi menggemaskan. "Oh ya, Dayana mau dibelikan boneka kelinci yang warnanya merah muda!"