Minta Hukum yang Pasti Dalam Soal "tabir"


MINTA HUKUM YANG PASTI DALAM SOAL" TABIR"

SURAT TERBUKA KEPADA K.H.M. MANSUR KETUA

H.B MUHAMMADIYAH YANG BARU INI MELANGSUNGKAN KONGRESNYA KE 28 DI MEDAN

ASSALAMU'ALAIKUM,

Saudara yang tercinta,

Atas permintaan dan atas nama banyak kaum intelektuil Indonesia,

saya dengan perantaraan saudara, menulis surat ini kepada semua anggauta Muhammadiyah, terutama sekali kepada utusan-utusannya yang akan ber­kongres di Medan pada penghabisan bulan ini.

Dengan sangat saya minta, supaya apa yarig saya tuliskan di bawah ini, diperhatikan betul-betul.

Sebab hal yang saya tuliskan ini bukanlah sekali-kali hal yang "remeh", tetapi betul suatu hal yang mengenai ideologi kaum intelligentzia Indonesia dan kaum Muhammadiyah seluruhnya.

Hal itu ialah hal tabir. Dengan mengucap Allahamdu'lillah kepada Allah subhanahu wata'ala, maka tindakan protes saya tempo hari, yakni dengan cara demonstratif bersama-sama saya punya isteri meninggalkan suatu rapat Muhammadiyah yang memakai tabir sudah membangunkan minat sebagian besar dari rakyat Indonesia terhadap soal ini. Memang dengan maksud itulah saya membuat protes yang demonstratif itu. Boleh dikatakan semua Majalah Islam sudah membicarakan hal ini. Ada yang pro, ada yang zakelijk-netral, ada yang anti, ada yang mau menghabisi soal ini dengan alasan-alasan perseorangan yang tidak zakelijk. Sekarang, sudah nyatalah minat itu sehangat-hangatnya, dan tinggallah kita membicarakan soal ini di Majelis Tarjih nanti dengan tenang dan obyektif.

Saya harap saudara mengertilah betul-betul apa yang saya maksudkan tahadi dengan menyatakan bahwa soal ini mengenai ideologi kaum Muham­madiyah pula.

Mengenai ideologi kaum intelektuil, oleh karena kaum intelektuil benar-benar tidak bisa simpati kepada tabir itu, sebab mereka tahu bahwa tabir itu adalah benar-benar "simbulnya perbudakan kaum perempuan" itu. Mereka mengira, bahwa saya bermaksud mengatakan bahwa orang lelaki Islam dengan sengaja mau memperbudakkan kaum perempuan, mau menindas kaum perempuan. Saudara tahu bukan begitu, maksudnya.

Tabir adalah simbul perbudakan perempuan, sebagaimana misalnya Bur­gerlijk Wetboek orang Belanda adalah simbul perbudakan perempuan. Di dalam Burgerlijk Wetboek itu, sebagai hasilnya historisch maatschap­pelijk proces, hak-hak kaum perempuan Eropah banyaklah diikat dan digunting. Tetapi siapakah orang yang mau mengatakan, bahwa orang lelaki Eropah memperbudak perempuan Eropah? Siapakah yang tidak mengetahui, bahwa orang Eropah itu sangat beleefd dan galant terhadap kaum perempuannya?

Namun tiap-tiap orang yang mengetahui seluk-beluknya Burgerlijk Wetboek, akan membenarkan perkataan saya, bahwa Burgerlijk Wetboek itu adalah simbul perbudakan perempuan, dan bahwa ,oleh karenanya, Burgerlijk Wetboek itu bersifat tidak sempurna dan tidak boleh menjadi teladan bagi kita.

Tidak, saudara Mansur yang tercinta. Susunan Burgerlijk Wetboek bukanlah akibat dari persengajaan individu kaum lelaki Eropah mau menghina kaum perempuan, bukanlah akibat bewust willen, tetapi adalah akibat dari susunan masyarakat Eropah, dari perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat Eropah dari historisch maatschappelijke verhoudingen di kalangan orang Eropah.

Maka begitu pula, kalau saya mengatakan bahwa tabir adalah simbul dari perbudakan kaum perempuan, maka bukanlah saya maksudkan bahwa orang lelaki Islam sengaja mau menindas kaum perempuan, bukanlah saya maksudkan bahwa orang lelaki Islam itu semuanya orang jahat, tetapi ialah: bahwa tabir perbandingan-perbandingan di dalam masyarakat orang Islam, yakni akibat atau sisa dari historisch maatschappelijke ver­houdingen di kalangan orang Islam. Malahan saya berkata: walaupun misalnya benar orang lelaki Islam jaman sekarang memasang tabir itu justru "mau memuliakan orang perempuan", begitulah setengah alasan dari pro tabir, maka saya tetap menamakannya simbul perbudakan! Bukan kehendak individu yang di sini harus kita pertimbangkan tetapi adalah kedudukan masyarakat, perbandingan-perbandingan masyarakat! Misalnya saudara mengurung burung di dalam sangkar emas, memberikan kepada­nya makan dan minum yang lezat, menempatkan sangkar itu di dalam bilik yang terindah untuk memuliakan dia, tidakkah benar kalau saya berkata bahwa saudara menghukum burung itu? Itulah sebabnya, maka saya di dalam interview tempo hari mengatakan, bahwa tabir bukan perkataan kain secabik, tetapi ialah satu hal, yang mengenai segenap maatschappe­lijke positie perempuan!

Saudara, saya ulangi lagi: kaum intelektuil Indonesia tidak bisa simpati tabir itu, oleh karena mereka dengan cara historisch maatschappelijke analyse, mengetahui, bahwa tabir ialah sisanya historisch proces yang men­datangkan perbudakan masyarakat.

Mereka merasakan tabir sebagai satu hal yang betul menyinggung ideologi mereka, sebab mereka hidup di dalam satu ideologi anti-perbudakan. Marilah kita perhatikan dan benarkan ideologinya

kaum intelligentzia itu!

Dan sebaliknya marilah kita kini perhatikan serta menjaga ideologi kaum Muhammadiyah sendiri! Sebab sebagai tahadi sudah saya katakan, maka tabir adalah mengenai ideologi kaum intelektuil Indonesia dan ideologi kaum Muhammadiyah. Kenapa mengenai

pula ideologi kaum Muhammadiyah?

Mengenai ideologi kaum Muhammadiyah pula, oleh karena soal tabir ini menjadi ujian kepada kaum Muhammadiyah betapa jauhkah mereka punya kemuhammadiyahan: apakah benar mereka berideologi muda tak mau lain alasan melainkan Qur'an dan Hadits; apakah benar mereka berideologi muda, berani menentang adat yang tidak sesuai dengan Qur'an dan Hadits; apakah benar mereka berideologi muda berani menerima semua hal modern yang nyata dibolehkan oleh agama? Ideologi Muham­madiyah di dalam kongres Medan ini dibawa di atas padang ujian, dan kaum intelektuil Indonesia menunggu-nunggu dan mendo'a-do'a, moga­-moga ujian itu berhasillah kiranya yang sesuai dengan zaman.

Akh saudara Mansur! Kenapa di dalam soal ini kita merasakan hukum yang buat isteri-isteri Nabi sahaja itu, kepada umum? Kenapa di dalam soal ini kita mau melebihi kebijaksanaan Allah dan Rasul, yang buat umum tidak menyuruh pasang tabir? Kenapa di dalam soal ini kita ber­kata: "ya, diperintahkan sih tidak, tapi dilarang pun tidak"?

Kenapa di dalam soal ini kita begitu? Kenapa misalnya kita, buat menjaga jangan sampai ada orang mencuri, tidak tutup sahaja kita punya rumah? Menutup rumah tokh juga tidak dilarang? Atau buat menjaga jangan sampai kits berjusta, tidak kita tutup sahaja kita punya mulut jangan bicara dengan orang lain? Membisu tokh juga tidak dilarang?

Sekali lagi: kenapa di dalam soal ini?

"Panji Islam", 1939