4. ELANG SEGARA


SI TENGGANG sudah beberapa hari berlayar dengan kapal Elang Segara. Tetapi kapal Elang Segara tidak sama dengan perahu ladingnya. Samudera luas tak serupa pula dengan sungai dekat kampungnya, tempat ia biasa berlayar-layar dengan perahunya. Lautan penuh ombak gelombang. Lebih-lebih kalau badai datang. Ombak gelombang setinggi tinggi sabut belaka. Tetapi bagi anak kapal semuanya sudah dianggapnya biasa saja. Mereka memanjat tiang, berjalan seenaknya di atas geladak. Seperti si Tenggang berjalan dalam hutan saja.

Tidak demikian bagi Tenggang. Beberapa hari berlayar kepalanya selalu merasa pusing. Perutnya rasanya mual. Kadang-kadang muntah. Aduh, sengsara sekali si Tenggang. Karena baru sekali itulah ia berlayar seumur hidupnya. Tetapi lama kelamaan dia menjadi biasa juga. Dipakainya pakaian anak kapal yang biasa. Dia bekerja dengan rajin dan ulet sekali membantu anak-anak kapal. Dia sanggup memanjat tiang agung secepat kera memanjat. Cara pekerjaan dalam kapal banyak yang sudah diketahuinya. Sehingga ia disukai oleh teman-temannya. Demikian pula akhimya ia pun disayangi nakoda kapal Elang Segara. Yang bernama Nakoda Jaya itu.

Dalam beberapa bulan saja si Tenggang sudah bertukar bulu. Dulu anak hutan. Kini anak laut.

Ternyata asal diberi kesempatan pemuda Sakai itu pun cerdas otaknya. Rajin mempelajari sesuatunya. Dalam waktu senggang ia mempelajari ilmu pelayaran kepada teman temannya. Dan cepat sekali ia mendapat kemajuan. Teman temannya suka sekali bergaul dengan dia. Dia periang. Tetapi kadang kadang bersedih juga. Yaitu bila teringat si Bulan. Si Bulan yang sudah menjadi istri Embeh Tembaga. Tetapi lekas pula hilangnya disebabkan kesibukan dalam pekerjaannya.

Nakoda Ranjaya sayang pula kepadanya. Sehingga Tenggang tidak dianggapnya anak buahnya, tetapi sudah sebagai anak angkatnya. Dari orang tua yang arif budiman dan ahli pelayaran inilah Tenggang banyak sekali mendapat pelajaran. Nakoda Ranjaya sudah berpengalaman selama 30 tahun di laut.

Dalam pada itu Elang Segara yang bermakna elang laut berlayar juga dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain. Di pelabuhan ini dimuat beberapa jenis barang-barang dan diantarkan ke pelabuhan yang lain. Di sana dimuat pula dengan bandela yang asing pula. Banyak sudah Tenggang menyinggahi beberapa pelabuhan. Semakin bertambah luas pemandangannya bertambah banyak juga pengalamannya. Sehingga tak seorang pun yang menyangka lagi bahwa pemuda pelaut ini asalnya dari suku Sakai bangsa yang masih setengah biadab di hutan belantara tanah Semenanjung.

Suatu hari berkatalah Nakoda Jaya, ’’Anakku Tenggang! Dalam beberapa hari lagi, kapal kita akan sampai ke Labuhan Puri . Disanalah pangkalan kapal kita. Dan di situ jugalah tinggalnya yang punya kapal kita ini, namanya: Saudagar Biram. Ia kaya sekali dan diam dalam sebuah gedung yang besar dan amat indah . Kita akan beristirahat agak lama di Labuhan Puri. Kapal kita akan diperbaiki dahulu mana-mana yang rusak. Kemudian baru kita berlayar pula kembali. Mungkin kita akan berada di darat sebulan lebih.”

Si Tenggang merasa gembira. Tetapi bercampur juga dengan sedih. Entah di belahan bumi mana dia sekarang berada. Ia pun teringat dengan teman-temannya: Si Sirih, Akoi, Keledek, Lepan, dan lain-lainnya. Juga ia teringat dengan kedua orang tuanya: Pak Talang dan Ibu Deruma. Bagaimanakah mereka sekarang? Dan juga dia terkenang dengan si Bulan. Masih ingatkah ia kepadanya?

Dia sanggup memanjat tiang agung secepat kera memanjat.
Batin Hitam! Orang tua yang sudah merenggutkan kekasihnya. Tetapi kalau tidak demikian tentu ia masih berada di kampungnya dan belum menjelajahi dunia ini.

Elang Segara melancar juga dengan secepatnya di muka samudera. Lautan tenang dan sedang baik hati. Kelepak-kelepak layar merdu bunyinya. Anak-anak kapal ada yang bernyanyi-nyanyi. Sebab beberapa hari lagi mereka akan memasuki Labuhan Puri. Untuk istirahat yang agak panjang. Mereka yang sudah berumah tangga tentu akan berjumpa dengan anak dan istrinya. Alangkah suka citanya mereka! Tapi Tenggang?

Pokok rumbia daunnya rampak,

tumbuh berdekat batang kerambil;

Menangis mendengar bunyi ombak,

ombak bak bunyi orang memanggil ....