Nehru Sang Demokrat yang Jujur
Majalah Tempo, 26 Maret 1977.
SEORANG penulis Barat mengunjungi Diwan-i-Khas dan ia terpesona. Gedung yang terletak di Agra ini dibangun oleh Kaisar Akbar, penguasa India utara dalam abad ke-16. Di sana ada sebuah ruang yang disebut sebagai ruang audiensi pribadi. Pusatnya adalah sebuah pilar besar, berdisain Hindu dan Muslim. Memahkotai pilar itu adalah tempat duduk Kaisar. Keempat sudut ruang ada jalan terentang. Di ujung-ujungnya terletak kursi buat tiap Menteri.
"Rupanya", tulis pengunjung itu kemudian, "Akbar memang melibatkan diri dalam perbenturan pendapat. Di sinilah citra yang sempurna tentang kekuasaan politik dalam lingkupan dialog yang bebas".
Tamu itu kemudian menceritakan kesannya kepada Nehru. Itu terjadi 21 tahun yang lalu. Waktu itu sang Perdana Menteri masih mengagumkan tapi orang sudah berbicara tentang tanda-tanda bahwa ia capek.
Jawaharlal ternyata tidak ingat Diwan-i-Khas.
AKBAR memang biasa disebut seorang kaisar besar. Ia Islam, tapi kerajaannya ia dasarkan pada rasa hormat kepada kebudayaan dan agama Hindu. Ia menghapuskan pajak khusus atas orang bukan-Muslim, menganjurkan agar penyembelihan sapi tidak dilakukan, ikut serta dalam festival Hindu dan menggalakkan studi karya klasik Sansekerta.
Dan ketika usianya baru 33 tahun, Akbar mendirikan ibadat-khana di Fatehpur Sikri. Di dalamnya orang Islam dari pelbagai mazhab, Para pastur Jesuit dari Goa, kaum Zoroaster, para pandit Hindu dan para yogi, mendiskusikan masalah agama dengan Akbar sendiri.
Di abad ke-20, dalam kedudukan dan nama harum yang begitu rupa (dia adalah seperti Bung Karno bagi Indonesia waktu itu) pernahkah Nehru melibatkan diri dalam perbenturan pendapat? Nehru nampak capek, kata sebuah teori, karena ia kesepian. Ia tak dilingkungi oleh orang-orang yang setanding dengan dirinya. Mungkin ia bosan.
Tapi mungkin juga ia tak memerlukan lingkungan yang terdiri dari pikiran-pikiran gesit, tajam dan cemerlang. Cukup terkenal tulisan di sebuah berkala di Calcutta di bulan Nopember 1937. Tulisan ini memperingatkan rakyat India akan bahaya kediktaturan Nehru. Tulisan itu ditulis oleh Nehru sendiri, tanpa mencantumkan namanya.
MUNGKIN kebesaran Nehru bukanlah karena ia pada dasarnya seorang demokrat. Kebesaran Nehru ialah bahwa kesempatan untuk menyeleweng yang ada padanya ia kontrol sendiri kencang-kencang.
Ketika partainya dalam krisis kepemimpinan dan pemilu diselenggarakan di tahun 1951, ia tetap berpesan: "Lebih baik kita berhasil menjaga sukma kita dan kalah pemilu, ketimbang menang lewat cara yang salah."
Putrinya kini mungkin akan belajar dari kata-kata itu. Juga orang lain. Tapi barangkali pula ada yang akan berkata bahwa mudah bagi orang seperti Nehru untuk berbicara seperti tadi, karena ia belum pernah merasakan kekalahan. Kekalahan dalam politik tidak hanya pahit, tapi juga bisa mengandung risiko. Di beberapa negeri, beda antara pihak yang kalah dengan pihak yang menang sering ditandai oleh penjara atau kuburan massal.
Nehru memang mungkin tidak membayangkan itu. Tapi mengapa ia harus?