Pada Sebuah Pantai: Interlude

Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang

sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir, dan aku

menggerutu, “masih tersisa harum lehermu”; dan kau tak

menyahutku.

Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,

hijau (mungkin kelabu).

Angin amis. Dan

di laut susut itu, aku tahu,

tak ada lagi jejakmu.

Berarti pagi telah mengantar kau kembali, pulang dari

sebuah dongeng tentang jin yang memperkosa putri yang

semalam mungkin kubayangkan untukmu, tanpa tercatat,

meskipun pada pasir gelap.

Bukankah matahari telah bersalin dan

melahirkan kenyataan yang agak lain?

Dan sebuah jadwal lain?

Dan sebuah ranjang & ruang rutin, yang

setia, seperti sebuah gambar keluarga

(di mana kita, berdua, tak pernah ada)?

Tidak aneh.

Tidak ada janji

pada pantai

yang kini tawar

tanpa ombak

(atau cinta yang bengal).

Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan,

berberes dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin tak ada

dosa, tapi ada yang percuma saja.”

Tapi semua ini terjadi dalam sebuah sajak yang

sentimentil. Dan itulah soalnya.

Di mana ada keluh ketika dari pohon itu

mumbang jatuh seperti nyiur jatuh dan

ketika kini tinggal panas & pasir yang

bersetubuh.

Di mana perasaan-perasaan memilih artinya sendiri,

di mana mengentara bekas dalam hati dan kalimat-

kalimat biasa berlarat-larat (setelah semacam

affair singkat), dan kita menelan ludah sembari

berkata: “Wah, apa daya.”

Barangkali kita memang tak teramat berbakat untuk

menertibkan diri dan hal ihwal dalam soal seperti ini.

Lagi pula dalam sebuah sajak yang sentimentil hanya ada satu

dalil: biarkan akal yang angker itu mencibir!

Meskipun alam makin praktis dan orang-orang telah

memberi tanda DILARANG NANGIS.

Meskipun pada suatu waktu, kau tak akan lagi datang

padaku.

Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal,

mungkin pula tak kekal.

Kita memang bersandar pada mungkin.

Kita bersandar pada angin

Dan tak pernah bertanya: untuk apa?

Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.

Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga

pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut

pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya.

1973