Paman Pemakan Tanah

Paman Pemakan Tanah
oleh Fajar Rillah Veski

Paman Pemakan Tanah

Fajar Rillah Veski

SMA N 1 Situjuh Limo Nagari Kab. 50 Kota



Mendung berarak, hujan turun pada sore berkabut sembilu itu. Penghuni brumah kayu ujung kampung, seakan turut menangis meratap diri, bersama tetesan kilat yang menyelinap di celah dinding pudar nan tampak uzur. Penghuni itu adalah orang-orang yang tak pernah berada pada roda keberuntungan hidup. Debu-debu intimidasi, intervensi, selalu melekat di tubuh yang sesungguhnya tidak lagi mampu menahan kotoran peradaban. Sebenarnya, mereka ingin berlari dari ombak permasalahan yang telah melaut ini. Tapi, setiap kaki mereka akan dilarikan, ulat-ulat berbisa duri pasti menusuk detak jantung dan menembus daging segar di balik sepatu baja. Kemudian, nanah busuk membusur panjang di pertepian luka.

Ahhhh....

Pemandangan yang menjijikkan. Namun, pohon duka ini jualah yang membuahkan tekad di lubuk sanubari mereka. Bahwa, hidup tanpa berjuang adalah sebuah kematian dan mati dalam berjuang justru sebuah kehidupan.

Seperti hari-hari kemarin, sore yang kali ini bersemak tetesan langit. Juga tidak beranjak dari cerita tentang tanah. Tanah yang diwarisi oleh buyut moyang. Kini tidak sekadar ditumbuhi tanaman penangkal kelaparan. Tapi, di tanah itu juga telah berkembang biak pelabuhan udara, kebun sawit, dan penambangan pasir besi sehingga para pewaris tanah yang melegam pekat tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengigau kian kemari. Kemudian, bercerita soal tanah mereka yang luas membentang alam. Namun, igauan menyerupai khayalan sirna secepat angin. Ketika mereka tahu, kalau tanah-tanah impian semakin berkurang. Lantaran dimakan oleh Paman Gindo, salah seorang penghuni rumah.

Entah karena lapar atau memang mengidap penyakit cacingan, Paman Gindo selalu melahap tanah dan tak pernah bersisa. Setiap jengkal tanah habis dimakannya. Setiap itu pula, jengkal tanah lain harus merasakan kerakusan lelaki berusia setengah abad ini.

"Sampai kapan kau akan memakan tanah kita, Gindo," ujar perempuan paruh baya, bernama Nurtihailis dengan suara letih.

"Ahh......uni tak perlu banyak omong. Lagi pula, tanah itu milik kaum kita. Bukan hasil jerih payah uni berkeluarga," kata Paman Gindo sambil mengisap rokok bertembakau tanah.


"Kamu pasti selalu menjawab begitu. Setiap kali aku bicara tanah, kamu pasti menyinggung-nyinggung keluargaku. Bukankah Uda Lubis, suamiku, juga kakakmu? Dan anak-anak itu juga keponakanmu. Merekalah yang akan menyelamatkanmu di hari tua nanti. Atau, kamu memang tidak setuju uni atau uda tinggal di kampung?" tanya wanita yang biasa dipanggil Lis itu tak kalah keras. Mungkin wanita itu tak mampu lagi menahan luapan emosinya.

Lalu, dialog antara dua insan tadi selesai begitu saja. Sebab, mereka sama-sama ragu untuk melanjutkan pembicaraan. Lis takut, kalau sikapnya yang apatis terhadap Paman Gindo membuat lelaki itu tersinggung dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Lis sadar, kalau ia belum memiliki lelaki dewasa yang bisa membantunya dalam urusan dengan keluarga. Apalagi, kedudukan suaminya dalam keluarga Lis tidak seberapa. Bagaikan abu di atas tungku, bisa terbang kapan saja.

Begitu pula dengan Paman Gindo. Ia sebenarnya ragu untuk menyakiti hati Lis, kakak perempuan satu-satunya. Ia takut, apabila iparnya tersinggung dengan perangai yang ia lakukan. Tapi, apa boleh buat, tanah-tanah kaum mereka laksana daging yang teronggok di atas piring. Selalu mengimbau-imbau agar mereka disantap.

Dengan memekakkan telinga dari jerit tangis sanak saudara, Paman Gindo tetap menari di leluas tanah. Kemudian makan dengan sekenyang-kenyangnya. Lalu tertidur pulas dan bangun untuk makan kembali. Begitulah sehari-hari Paman Gindo menghabiskan waktu. Makan tanah, minum tanah, merokok tanah.

Sebenarnya, penyakit Paman Gindo telah diobati. Tidak sedikit dukun yang diundang untuk menyembuhkannya. Sebab, menurut orang-orang kampung kami, hanya manusia "pintar" dan "berkepandaian" yang bisa menyembuhkan. Namun, setelah dicoba sekian kali. Hasilnya tetap saja nihil alias nol koma nol. Bahkan, seluruh dukun yang pernah menangani penyakit Paman Gindo berserak liurnya karena diserang dari belakang.

Seluruh keluarga sudah bosan mencarikan obat dan orang pintar agar dapat menyembuhkan Paman Gindo. Makanya, mereka membiarkan begitu saja perangai lelaki ini. Mereka telah menarik benang merah. Biarkan Paman Gindo tetap melahap tanah. Sebab, suatu saat nanti, lelaki itu pasti akan dimakan tanah. Jadi, selagi sisa-sisa napas bergelayutan di denyut nadi tubuhnya, biarkan penyakit makan tanah itu kronis. Walau kadang kala, tanah yang dimakan adalah tanah pusaka. Tanah yang oleh adat kampung tidak boleh digadai-jualkan.

***

Pulang maklum pada Paman Gindo. Sejujurnya, ia bertekad bangun dari sakit yang diderita. Tapi, setiap ia berhenti makan tanah, kepalanya pasti pusing, pinggangnya sakit. Sandaran hidupnya yang semula tegar berkarang bajamenjelma seketika menjadi jaring laba-laba.


"Pokoknya, apabila kamu berhenti memakan tanah, aku akan mencari orang lain yang lebih hebat," teriak sandaran bergincu murahan pedas.


Kata-kata itu menghunjam saraf hati. Kemudian, mendenyut ke tempurung kecil dalam kepala Paman Gindo sehingga memaksanya untuk terus dan terus memakan tanah. Apalagi, Arifin, juragan pemakan tanah yang sering mempengaruhi warga untuk pesta mabuk selalu memanas-manasi Paman Gindo. Katanya, Gindo itu hanya kaya tanah. Tapi, tidak bisa berjudi memperebutkan tanah. Buktinya, setiap permainan judi, Paman Gindo tak pernah mencicipi kemenangan. Malahan, tanah yang mesti ia lahap, justru dinikmati Arifin.


"Kamu itu belum apa-apa, Gindo. Kalau berani, ayo main lagi. Siapa tahu kamu menang sehingga bisa pula memakan tanahku," ujar Arifin yang juga Kepala Nagari Tiku-Tiku itu, pada suatu ketika.


Rayuan pemakan tanah inilah yang membuat Paman Gindo tak pandai memejamkan mata. Ucapan Arifin selalu terngiang di telinganya hingga ia terus dan terus berjudi dengan tanah.


Cuma saja, setiap perjudian digelar, Arifin selalu meraup kemenangan besar. Di samping licik dalam bermain, lelaki ini juga memberi arak tanah pada lawan-lawannya, termasuk kepada Paman Gindo. Apabila arak itu diminum, dengan seketika orang-orang akan mabuk. Kemudian melayang bersama tanah-tanahnya. Mereka diterbangkan membubung jauh tinggi sekali. Sampai keangan-angan seraya pasti terjadi di alam abadi. Jika arak tanahnya tidak mempan, dengan seketika orang-orang juragan Arifin menggunakan tangan lembut, bertenaga baja. Memaksa setiap lawan untuk kalah dan kembali mempertaruhkan tanahnya. Mereka juga tidak segan mengadu domba para pejudi. Akibatnya, terjadilah perang antara petaruh itu. Kemudian, juragan Arifin, selaku bandar judi tanah, akan meraup keuntungan yang melangit.

Dengan uang judi tanah tadi, Arifin membeli segala yang bisa dibeli, termasuk harga diri dan urat nadi. Penari malam, penegak hukum, pejabat, tokoh adat, ustad berjanggut lebat, dan wartawan tukang catat menjadi milik sang juragan. Semua akan menari, menangkap, memerintah, mengaji, mengatur, dan mencatat, jika disuruh. Sebab, mereka hanyalah secuil tanah bagi Arifin. Bisa diladang, dicincang, diracuni, dikencingi, dan sekali-kali diberi pupuk, itu pun jika sudah terdesak.

***

Sore itu, penyakit Paman Gindo kumat lagi. Kebun kopi depan rumah mulai dikelilingi dijilat sampai air liurnya berserak-serak. Kemudian, jari-jari yang besar, bermain jengkal. Lalu, melahap tanah subur tak terukur.

Nurtihailis, yang melihat kejadian itu, menjerit minta tolong. Tangisnya memecah kampung, air mata membanjiri rumah. Tetangga berdatangan, tetapi hanya diam.

"Gindo, hentikan. Ini tanah kita satu-satunya. Tempat kaun kita hidup dan meneruka. Mulai dari Gunung Merapi sebesar telur itik sampai pucuk zaman nanti," lolong Nurtihailis di keramaian.

Uni tenang saja, tanah ini harus dimakan. Sebab, sandaran di rumah sudah berubah. Lagi pula, uni kan tidak membutuhkan tanah ini," ujar Gindo sedikit menenangkan suasana.

"Tapi, kamu bukan harus makan tanah, Gindo. Kepala, pinggang, dan sandaranmu yang sakit, tidak mesti diobati dengan memakan tanah. Atau, kamu mau membunuh aku," pinta Nurtihailis keras bercampur cemas.

"Bukan, bukan itu maksudku, uni jangan marah dulu. Tanah ini aku makan demi membangkit martabat kaum kita. Agar kita tidak lagi dipandang sebelah mata. Nanti kalau tanah ini sudah dimakan, kita cari tanah yang lebih baik,” kata Paman Gindo meyakinkan Nurtihailis.

Sementara itu, awan terus menyerak air. Orang-orang makin ramai, seperti pergi menonton saluang atau randai. Tong-tong dipukul berdentang-dentang. Separuh warga Nagari Tiku-Tiku datang.

Rupanya, mereka penasaran dan ingin melihat wajah Paman Gindo kalau sudah makan tanah. Sebab, obrolan di lapau, dangau, serta surau cuma sebatas menceritakan senyum sang paman. Tidak pernah digambarkan rengek Nurtihailis atau tanah yang termakan.

Baru saja sampai di tempat tujuan, warga yang berdatangan menerima serajut teriakan.

“Hoi..., orang-orang kampung. Tanah ini enak sekali. Kalian juga punya, mari ikut santap. Selagi umur di kandung badan, kita semua pantas makan,” kata Paman Gindo dengan histeris.

“Ayo! Tunggu apa lagi. Pulang ke rumah masing-masing. Makan tanah kalian, Kehidupan ini akan berubah. Percayalah, ha ha ha,” sambungnya sambil tertawa,

Bagai terhipnotis, orang-orang berlarian dari rumah Nurtihailis. Mereka menuju ke tanah masing-masing. Kemudian ikut menjengkal, menjilati dengan liur bercampur tetes hujan. Lalu, memakan dengan nikmat dan lahap.

Sekejap, orang-orang kampung sudah ketularan virus makan tanah. Bahkan, mereka berlomba menghabiskan. Tak peduli besar ataupun luas. Strategis atau tidak. Subur atau gersang. Yang pasti, masyarakat saling mengunyah tanah.

Pemandangan sehari-hari telah menjadi tanah. Kalau dulu, berak dan kencing Paman Gindo belum mengandung tanah. Kini, orang-orang kampung berak dan kencingnya justru mengeluarkan tanah.

Virus kian menjadi. Semua sudah sama-sama makan tanah. Lalu tinggallah bangkai-bangkai yang tak dimakan tanah. Sebab, tanah sudah habis dimakan bangkai. Keterangan:

Uni : kakak perempuan. Panggilan untuk
kakak perempuan di Minang.
Uda : suami/kakak laki-laki
Diak : dek atau adek
Saluang atau randai : kesenian /budaya masyarakat Minangkabau
Lapau, dangau, surau : warung, rumah atau langgar