Pembicaraan:Sitti Nurbaya

Informasi tentang edisi ini
Edisi:
Sumber:
Kontributor:
Tingkat kemajuan:
Catatan: Sitti Nurbaya merupakan novel kedua karya Marah Rusli sesudah novel Azab dan Sengsara. Di bawah judul novel ini tertulis anak judul: "Kasih Tak Sampai". Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1922 oleh Balai Pustaka.

Sampai dengan tahun 2008 novel ini telah memasuki cetakan ke-44. Secara berturut-turut Sitti Nurbaya diterbitkan sebagai berikut. Cetakan ke-2 pada tahun 1925, cetakan ke-3 pada tahun 1929, cetakan ke-4 pada tahun 1937, cetakan ke-5 pada tahun 1941, cetakan ke-6 pada tahun 1951, cetakan ke-7 pada tahun 1954, cetakan ke-8 pada tahun 1957, cetakan ke-9 pada tahun 1959, cetakan ke-10 pada tahun 1960, cetakan ke-11 pada tahun 1965, cetakan ke-12 pada tahun 1979, cetakan ke-13 pada tahun 1981, cetakan ke-14 pada tahun 1982, cetakan ke-15 pada tahun 1984, cetakan ke-16 pada tahun 1985, cetakan ke-17 pada tahun 1986, cetakan ke-18 pada tahun 1986, cetakan ke-19 pada tahun 1989, dan cetakan ke-20 pada tahun 1990. Pada tahun 2008, Balai Pustaka menerbitkan Seri Sastra Klasik, yang antara lain termasuk Siti Nurbaya sebagai cetakan yang ke-44.

Pada tahun 2008 novel ini terdiri atas 16 bab yang setiap bab ditandai dengan huruf Romawi. Bab-bab itu adalah "Pulang dari Sekolah", "Sutan Mahmud dengan saudaranya yang Perempuan", "Berjalan-jalan ke Gunung Padang", "Putri Rubiah dengan Saudaranya Sutan Hamzah", "Samsul Bahri Berangkat Ke Jakarta", "Datuk Maringgih", "Surat Samsul Bahri kepada Nurbaya", "Surat Nurbaya kepada Samsul Bahri", "Samsul Bahri Pulang Ke Padang", "Kenang-Kenangan kepada Samsul Bahri", "Nurbaya Lari Ke Jakarta", "Percakapan Nurbaya dengan Alimah", "Samsul Bahri Membunuh Diri", "Sepuluh Tahun kemudian", "Rusuh Perkara Belasting di Padang", dan "Peperangan antara Samsul Bahri dan Datuk Maringgih".

Dalam novel ini dikisahkan cerita dua remaja, Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri, sejak dari sekolah rakyat. Rumah mereka berdua berdekatan. Sitti Nurbaya adalah anak pedagang kaya Bagindo Sulaiman, dan Samsul Bahri adalah anak Sutan Mahmud seorang Penghulu di Padang. Karena Samsul Bahri harus melanjutkan sekolah dokter, Samsul Bahri berangkat ke Jakarta. Datuk Maringgih adalah seorang kaya yang kikir di Padang. Dengan tipu muslihatnya, Bagindo Sulaiman jatuh miskin. Bagindo Sulaiman meminjam uang pada Datuk Maringgih. Uang itu tidak dapat dikembalikan oleh Bagindo Sulaiman. Datuk mengadukan hal itu kepada Belanda agar Baginda Sulaiman dipenjarakan. Bagindo Sulaiman dapat tidak dipenjara asal Sitti Nurbaya dapat diperistri oleh Datuk Maringgih. Sitti Nurbaya tanpa dipaksa oleh Baginda Sulaiman rela menikah dengan Datuk Maringgih.

Samsul Bahri sangat kecewa setelah mendengar perkawinan Sitti Nurbaya itu. Samsul Bahri nekad membunuh diri. Akan tetapi, rencana itu dapat digagalkan oleh seseorang. Sutan Mahmud di Padang telah mendengar bahwa Samsul Bahri telah meninggal karena bunuh diri.

Samsul Bahri masuk menjadi opsir Belanda. Ketika Samsul Bahri dikirim ke Padang untuk memadamkan suatu pemberontakan di sana, ia bertemu dengan pemberontak yang dikepalai oleh Datuk Maringgih. Dalam pertempuran itu Datuk Maringgih meninggal dunia dan Samsul Bahri meninggal setelah berada di rumah sakit. Sitti Nurbaya telah lama meninggal dunia karena diracun oleh Datuk Maringgih. Sampai sekarang di Gunung Padang ada lima kuburan yang berjejer. Kuburan itu adalah kuburan Bagindo Sulaiman, kuburan Sitti Nurbaya, kuburan Samsul Bahri, kuburan Sitti Maryam (ibu Samsul Bahri), dan kuburan Sutan Mahmud (ayah Samsul Bahri).

Novel Sitti Nurbaya merupakan novel yang digemari oleh masyarakat sehingga nama Sitti Nurbaya dikenal oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini. Novel ini telah mengalami tiga kali perubahan ejaan, yaitu Ejaan Van Ophuijsen, Ejaan Republik, dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Novel ini dilengkapi dengan sembilan buah gambar lukisan.

A. Teeuw (1980) menyatakan bahwa novel Sitti Nurbaya merupakan novel yang pertama yang baik dijadikan contoh yang membicarakan pertentangan kebudayaan. Walaupun buku ini terlalu banyak mengandung moral dan gambaran sentimental yang keterlaluan, kisahnya lebih menarik bagi seorang pembaca yang berpikir dan menilai suatu roman menurut ukuran Barat.

Umar Junus (1980) mengemukakan komentarnya terhadap novel ini. Oposisi utama dalam novel ini ialah pertentangan antara buruk dan baik yang diperlihatkan dalam dua rupa. Pertama, pertentangan antara adat Minangkabau (Padang) dan adat baru. Kedua, pertentangan antara orang kaya yang tamak dan orang yang baik, biasanya berpendidikan. Tapi pertentangan pertama tidak diperbincangkan secara luas, sehingga tidak ada pertukaran pandangan dan pikiran antara kedua golongan yang bertentangan itu. Selanjutnya, kesengsaraan yang dialami Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri tak dapat dihubungkan dengan kejahatan adat lama. Kesan yang dapat diterima, pertentangan ini telah ditumpangkan begitu saja kepada keseluruhan cerita sehingga mengganggu kelancaran cerita. Dan adalah tidak benar untuk mengatakan bahwa Sitti Nurbaya dan Samsul Bahri sebagai korban pertentangan adat.

H.B. Jassin mengatakan bahwa buku Sitti Nurbaya telah dicetak berulang-ulang di Malaysia dan menjadi bestseller serta menjadi buku bacaan wajib di sekolah-sekolah. Jassin mengatakan pula bahwa dalam Sitti Nurbaya terdapat lukisan manusia yang hendak melepaskan diri dari adat-istiadat kedaerahannya.

Sumber: http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sitti_Nurbaya

Penguji baca:

Mulai diskusi tentang Sitti Nurbaya

Mulai diskusi baru
Kembali ke halaman "Sitti Nurbaya".