Pembunuhan di Kerajaan Surakarta

Majalah Tempo, 14 Mei 1977.


DUA pamflet gelap ditemukan, di bulan Desember 1787, di Surakarta. Pamflet gelap itu ditempelkan di Pagongan di bagian kraton tempat menyimpan gamelan. Isinya panjang, dan bermiripan: si penulis menggugat Raja Surakarta, Pakubuwana III. Salinan maklumat itu tak diketemukan, tapi arsip VOC masih menyimpan terjemahannya.

Dalam pamflet yang pertama disebutkanlah bahwa Sri Susuhunan tak boleh lagi jadi raja. "Engkau keturunan para penguasa yang terhormat dan berwatak pendeta, tapi kenapa engkau tak berlaku benar?", begitu rangkaian kalimatnya, menghantam. "Raja macam apakah kamu? Raja dari bangsa Eropa, kamu tidak lagi menyenangkan Tuhan." Dan dengan nyala yang sama panasnya pamflet itu pun bertanya: "Haruskah orang-orang Eropa itu lebih kuat ketimbang Tuhan? .... Sebagai raja, kamu selesai sudah. Karena itulah negerimu kacau, sandang dan pangan mahal, hujan jarang turun, dan semua serba penyakit."

Siapakah si penulis pamflet gelap itu? Di kalimat awal ia mengaku sebagai "Susuhunan Ayunjaya Adimurti Senapati Ingalaga". Ia menyatakan diri datang dari Mekah. Ia berjanji, bahwa di hari ke-11 bulan itu, di hari Jum'at, ketika "bianglala berwarna merah dan putih ujungnya mencapai mentari", tanda datangnya "sang Raja dari Mekah" akan nampak.

Dan kraton Surakarta pun konon geger. Zaman 200 tahun yang lalu itu belum ada Gestapu, Kiri Banu, CIA, PSI, Masyumi, ekstrem kiri dan kanan lainnya—jadi mungkin si penulis adalah orang sinting. Tapi orang sinting juga bisa berbahaya. Waktu itu banyak orang sinting dianggap punya kekuatan gaib—atau mungkin juga sebenarnya karena pernah ada jenius yang begitu nyentriknya hingga dianggap miring. Pendeknya: kraton Sala ribut dan Kompeni ikut sibuk.

Alkisah, Residen Belanda waktu itu adalah seorang korup yang bernama Palm. Residen ini kemudian diketahui kurang bisa dipercaya dan mengkomersialkan jabatan. Tapi di tangan tokoh semacam inilah Kompeni menyelidiki perkara pamflet gelap itu. Hasilnya: seorang kyai suka mistik yag bernama Kyai Alim Demak ditangkap.

Dan sang Kyai yang butahuruf itu pun dihukum mati. Sebenarnya ia hampir selamat dari hukuman itu, ketika perkaranya terdengar oleh Gubernur Greeve di Semarang. Pembesar ini mungkin sudah mulai tahu azas "presumption of innocence", atau anggapan bahwa si tertuduh harus dianggap tidak bersalah sebelum dapat dibuktikan sebaliknya. Ia minta agar kasus Kyai Alim Demak diteliti kembali. Tapi terlambat. Laki-laki tua itu disiksa sampai tewas. Kulitnya sepotong demi sepotong dikelupas dari tubuhnya, dan pamflet gelap itu dibakar di bawah parasnya. Seorang petugas kraton yang bernama Tanjunganom—namanya disebut Satu kali dalam pamflet, meskipun belum tentu dia yang dimaksud dibakar hidup-hidup.

Lalu kasus itu pun ditutup. Palm sendiri kemudian, 11 Mei 1788, mati mendadak, ketika para penguasa di Batavia sudah mulai tak percaya begitu saja laporan sang Residen. Mereka menduga ada sesuatu yang tak sepele di balik semua ini. Mereka toh melihat rakyat Jawa gelisah. Banyak orang bergabung dengan gerakan para Kiyai, para "agitator Islam" yanq bermunculan dari Banten, Cirebon dan Madura.

Tapi pertanyaan masih belum terjawab: bersalahkah Kyai Alim Demak? Bersalahkah Tanjunganom? Bersalahkan rakyat?