Pengarang:Multatuli

Eduard Douwes Dekker
(1820–1887)
Eduard Douwes Dekker

Multatuli yang mempunyai makna si Aku Yang Menderita adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker (1820–1887), Multatuli yang dilahirkan di Amsterdam tahun 1820, wafat di Nieder-Ingelheim, Jerman, tahun 1887. Sejak umur 18 tahun dia menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Perlakuan yang tak berperikemanusiaan terhadap penduduk negeri jajahan menimbulkan kegusaran dalam dirinya. Ia mengambil sikap membela rakyat yang terhisap oleh pengusaha perkebunan kopi yang bersekongkol dengan bupati pribumi yang dilindungi oleh residen Belanda.

Setelah dengan berani membela kaum yang tertindas di distriknya dengan melancarkan perjuangan melawan ketidak-adilan selama 20 tahun yang tak berhasil, dia meninggalkan Indonesia.

Pada awal tahun 1858 dia tiba di ibukota Belgia, Brussel. Tinggal di kamar loteng sebuah penginapan bernama In de kleine prins, di rue (jalan) de la Fourche nomor 52. Di kamar kecil itulah lahir kreainya yang kemudian menjadi termasyhur, berjudul Max Havelaar of de Koffieveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappij.

Dalam novel yang lebih merupakan otobiografi ini, dengan keras Multatuli mengecam pemerintah Belanda yang membiarkan berlakunya tindakan yang sewenang-wenang, dimana dia sendiri selaku saksi-mata. Di tempat penginapan itu Multatuli menderita kedinginan; seringkali, untuk menggarap novelnya itu dia turun ke ruang tamu yang juga merupakan kabaret itu. Seperti halnya di tempat-tempat lain kemudian, dalam kemelaratan dia mampu melahirkan karya besarnya seperti Max Havelaar; itu, selain Minnebrieven; (Surat Surat Cinta), Dialog Dialog Jepang;, Ide Ide;, dalam 7 jilid (1862-1877) dan sebagainya.; Sikap dan tindakan serta kreativitasnya yang kongkret cukup membuktikan bahwa Multatuli adalah seorang sastrawan sekaligus humanis yang besar. Kerna kebesaran jiwanya. Pikirannya yang menuju ke atas. Demi kebenaran dan keadilan serta kemajuan masyarakat manusia yang manusiawi.

Patung Eduard Dekker di Amsterdam, Belanda.

Dalam peringatan ulang tahun ke-100 tahun wafatnya. Ada yang pro ada yang kontra; ada yang bersimpati menghormati ada pula yang melecehkannya. Yang kontra, antara lain berupa fitnahan dari seorang walikota Belanda dan suara sumbang dari seorang professor sekaligus pejabat Atase Kebudayaan Kedubes Indonesia ketika itu. Sedangkan yang pro, diwujudkan antara lain dengan penegakan patung Multatuli hasil karya pemahat Hans Bayens, dalam suatu upacara resmi yang dihadiri oleh Ratu Beatrix. Dalam upacara peringatan yang merupakan peristiwa budaya yang cukup signifikan itu, salah seorang pembicara bernama Geert van Oorschot telah berkesempatan menguraikan kedudukan penting sang sastrawan itu. Dengan menandaskan, bahwa sekalipun Multatuli sudah wafat seabad yang lalu, namun semangat anti-kolonialnya yang berkobar-kobar itu hingga kini tetap memberi inspirasi yang pantang kunjung padam. Di sisi lain, dalam menilai sejarah kolonialisme Belanda, Geert van Oorschot dengan tegas menunjukkan bahwa Nederland sebagaimana halnya negara-negara kolonial lainnya, terkenal sebagai negara yang secara membabibuta melakukan penghisapan, pencurian dan perampokan;. Dan jasa Multatuli justeru terletak pada keberaniannya sebagai perintis dalam mengungkapkan kekejian-kekejian tersebut. Khusus menyinggung kehadiran Ratu Beatrix, dia menyatakan terimakasih dan penghargaannya yang selaku "Ratu yang pertama yang tampil di mimbar tanpa dibebani nista kolonial.; Multatuli memang merupakan contoh yang cerah dan sangat menarik dalam gelindingan roda waktu dan dalam lembaran sejarah kehidupan umat manusia. Khususnya bagi Indonesia, benarlah bahwa pengaruhnya besar dan sangat bermakna, sejak dari dulu sampai masa kini. Bukankah tokoh-tokoh ternama seperti R.A. Kartini dan Pramoedya Ananta Toer adalah merupakan bukti dari manusia-manusia yang menjadi pengagumnya? Begitu pula W.S. Rendra, penyair yang selain dijuluki si Burung Merak, juga mendapat julukan si Aku Yang Menderita alias Multatuli. Hal mana sangat gempar dan semarak sekali dalam peristiwa sekitar pelarangan dari penguasa saat itu atas sajak-sajaknya yang masing-masing berjudul Demi Orang Orang Rangkasbitung; dan Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam;.

Lauriergracht 37, sebuah gedung apartemen diantaranya dimana Eduard Douwes Dekker meninggal.

Peristiwa Rendra-Multatuli pada saat itu juga membuktikan betapa pentingnya makna pikiran atau semangat Multatuli dan kaum yang mendambakan kebenaran dan keadilan. Kaum yang gelisah terhadap situasi tiadanya keadilan, di mana hak-hak azasi manusia diinjak-injak dan kesengsaraan rakyat merajalela. Kedua sajak Rendra yang dilarang Orba itu memang mengungkapkan keadaan yang dialami bangsa dan tanahair Indonesia di bawah cengkeraman rezim saat itu. Dimana tiadanya keadilan bagi rakyat. Sekalipun negara sudah merdeka, apakah bangsa kita sudah medeka?; Itulah inti pertanyaan dan pernyataan Rendra.

Karya-karyanya sunting