Pengawal Tambang Emas/1
1. PERANTAU DARI KOLANG
PADA suatu hari pulanglah seorang anak muda dari rantau. Tidak ada membawa apa-apa. Waktu dia pergi dahulu ia hanya membawa sebuah bungkusan kecil. Berisi pakaian sedikit. Itu beberapa tahun yang lewat, Dan ketika ia pulang ia hanya membawa sebuah 'bag'. Kata itu bahasa Inggeris yang bacaannya: beg. Artinya kopor. Bag itupun hanya kecil saja. Hanya pakaiannya saja yang bertukar dari waktu pergi dahulu. Kini sudah agak baik sedikit. Mendengar kata bag itu kita mengira ia merantau kenegeri yang memakai bahasa Inggeris. Atau bahasa Inggeris dipergunakan dinegeri itu. Mungkin juga bangsa Inggeris berkuasa dinegeri itu.
Dugaan kita itu benar. Anak muda itu merantau ke Kolang. Kolang itu sebuah negeri yang bukan terletak di Indonesia. Kolang itu dalam istilah Minang. Nama sebenarnya: Klang. Negeri itu terletak di Tanah Semenanjung Malaka. Itulah namanya pada masa itu. Kemudian berganti dengan Malaya. Setelah negeri itu merdeka berubah lagi namanya dengan: Malaysia.
Klang itu juga nama sebuah sungai. Sungai Klang. Sungai itu melewati kota Kuala Lumpur ibu negeri Malaysia itu. Ada anak sungai itu, bernama sungai Gombak. Pada pertemuan sungai Klang dan sungai Gombak itulahpada zaman dahulu orang mendirikan sebuah mesjid. Itulah cikal bakal kota Kuala Lumpur. Sekarang kota itu sudah menjadi sebuah kota besar.
Jadi Klang itu juga nama negeri. Terletak dekat muara sungai Klang itu. Pada masa dahulu banyak orang kita merantau kesana. Ada yang berhasil. Ada juga yang tidak. Ada yang terus menetap disana. Berumah tangga disana. Dan tak pernah pulang lagi ke kampung halamannya.
Pada masa itu negeri itu berada dibawah kekuasaan Inggeris. Kita berada dibawah kekuasaan bangsa Belanda. Terjajah dalam istilah yang lain. Karena itulah banyak kata-kata berasal dari bahasa Inggeris dalam bahasa Malaysia itu. asalnya dari bahasa Inggeris. Kemudian ejaannya berubah sesuai dengan lidah mereka. Ya, sama juga dengan kita.
Anak muda itu bernama Sibarani. Ketika Sibarani pergi merantau dak ada ia memiliki keahlian apa-apa, Atau ketrampilan yang istimewa. Yang dihandalkannya hanyalah tulang yang delapan kerat,- demikian istilah bangsa kita. Tidak heran ia kurang sukses dirantau yang jauh itu.
Dalam pada itu situasi dunia pada masa itu kurang pula menguntungkan. Dunia sedang dilanda oleh: malaise. Bangsa kita merobah kata itu dengan kata lain yang sesuai dengan lidahnya: meleset. Jadi zaman meleset. Semua meleset dari sasarannya. Kaya yang dicari, miskin yang dapat. Sukses yang diperjuangkan, kegagalan yang ditemui. Dimana-mana didunia sama saja.
Sebenarnya Sibarani tidak pulang sendirian. Ada dua orang lagi temannya. Nanti akan kita temui juga dalam cerita ini.
Ketika Sibarani sampai dikampung manusia pertama yang ditemaninya ialah abang kandungnya sendiri. Kedua orang tua: ayah dan ibu dia tak punya lagi. Keluarga dekat satu-satunya hanyalah abangnya itu, Itupun ibu yang sama tetapi ayahnya berlainan.
Untuk menemui abangnya Sibarani pergi kerumah isterinya. Sebab rumah pokok (rumah asli) didiami oleh kemanakannya.
Walaupun pulangnya tidak dalam keadaan yang amat menggembirakan tetapi gayanya meyakinkan juga, Isteri abangnya terkejut melihat kemunculan Sibarani.
"O, kamu sudah pulang Barani?" tegur iparnya. Ia bergegas membentangkan sehelai tikar pandan putih. Sibarani meletakkan bag nya sambil melihat sekitar rumah, Disini juga tak ada perubahan apa-apa. Iparnya sejenak pergi kebelakang dan kembali membawa sebuah teko dan sebuah gelas, Gelas itu diisinya dengan air teh lalu disuguhkannya kepada si perantau yang baru pulang itu.
"Ada banyak membawa?" tanya isteri abangnya sambil menjeling ke kopor yang dibawa Sibarani.
"Ah, tak ada kak," jawab Sibarani. "Hanya penanggungan saja yang terbawa dari rantau. Sekarang dimana-mana zaman meleset. Dimana-mana suasana keruh dan tidak menguntungkan. Pulang dan hasilnya pulang pokok."
" Ya, tak apalah Barani," jawab iparnya menghibur. "Asal pulang kembali dalam keadaan sehat sudah syukur. Banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan dikampung kita, Dan pengalaman selama merantau itu tentu ada juga gunanya." "Tetapi pekerjaan yang lama itu tak lantas lagi diangan saya, kak."
"Mengarit maksudmu?"
"Ya!"
"Jadi...?"
"Saya akan mencari lapangan lain."
"Ah, disinipun kamu tidak akan kekurangan pekerjaan. Asal mau dan ulet kesempatan selalu terbuka. Tanah kita kaya, hutan kita kaya, kita diam diatas bumi yang subur dan kaya raya."
"Benar kata kakak itu," jawab Sibarani. "Itu bergantung kepada teman-teman saya nanti. Tapi,... eh abang mana?"
Sibarani baru sadar bahwa setelah beberapa lama bercakap-cakap abangnya belum juga tampak. Isteri abangnya tertawa.
"Abangmu kini sudah terbalik edong. Sudah beberapa bulan ia tinggal dalam hutan. Ia membuka ladang gambir. Selama itu dia tak pernah pulang ke kampung. Seakan-akan dia merantau lebih jauh dari kamu. Sayalah yang mengantarkan perbekalannya sekali sepekan kesana. Kini gambirnya itu sudah hampir akan dikempa. Kalau kau mau tentu kau dapat membantu abangmu itu Kini ia sendirian saja dalam hutan itu. Tidak mau membawa teman. Sayapun tidak dibolehkannya lama-lama disana."
Sibarani termangu-mangu.
" Dimana abang membuat ladang, kak?"
" Jauh benar, sudah hampir ke Subayang, empat jam perjalanan dari sini. Kini hari Selasa hari Sabtu yang akan datang saya akan kesana mengantarkan perbekalan. Apakah akan saya pesankan?"
Sibarani berpikir-pikir sejenak.
" Tak usah, kak, Biar saya pergi sendiri menemuinya, Tetapi sebelumnya saya ingin menemui dua orang teman saya dahulu, Mereka ma merantau dengan saya. Dan kami sama-sama pulang pula, Dan kamipun sama-sama punya sebuah rencana. Tetapi apa rencana itu belum akan saya katakan, Kalau tak jadi nanti kami malu. Mulut orang kampung kita ini agak lain, Kakak maklum sifat orang kampung kita bukan?"
"Ia, saya maklum, tak ubahnya sebagai kuda binal. Didahulukan dia menggigit, dikemudiankan dia menyepak. Disuruhnya memanjat. Bila sudah tinggi kita ditarikkannya kebawah. Senang kita dia bergunjing, miskin kita di pijak-pijaknya, ya semua serba salah....."
"Ya, saya akan menemui kedua teman saya itu dahulu. Kami sudah punya rencana pula."
" Siapa mereka?"
" Tu' Layau dan Indan Badaring."
" O, orang Lurah Bukit itU? Saya kenal dengan dia. Jadi rupanya mereka sama-sama merantau dengan kamu?"
"Ya, Kak!"
" Hebat rencana mu itu agaknya Barani."
"Hebat, tetapi agaknya kakak tak usah saya rahasiakan pula. Sebab mungkin nanti kami akan minta bantuan kakak juga. Namun ini baru rencana kak dan masih rahasia. Saya harap kakak akan diam-diam saja dulu. Tetapi kepada abang akan saya sampaikan juga. Jadi kakak maklum tentu saja saya tak dapat membantu kerja abang di ladang itu."
"Itu terserah padamu Barani. Jadi apa rencanamu itu Barani?"
"Begini kak. Di Malaya Kami sama-sama bekerja disebuah tambang timah, nama tempat itu Taiping. Kami bekerja di tambang timah di Taiping itu. Tetapi disana payah, kak. Kita didesak oleh orang Cina. Hampir semua pekerjaan dipegang oleh orang Cina. Kita orang melayu ini tak berarti apa-apa. Juga pekerjaan disana berat dan berbahaya. Namun ada juga pengalaman yang berharga kami dapat disana.
Tu' Layau mengatakan bahwa di daemu kita ini ada jua ambang .... Jadi dengan pengalaman menambang itu kita bisa pula membuka usaha sendiri membuka tambang itu..."
" O, rencana yang hebat sekali. Jadi membuka tambang timah?"
" Bukan, tambang emas!"
" Tambang emas?" ulang perempuan itu dengan perasaan heran dan kagum. " Dimana itu?"
" Tu' Layau menerangkan bawa ada tamah ulayatnya di Rimba Mangkisi. Tanah ulayatnya itu mengandung bijih emas."
" Masya Allah, baru sekarang saya dengar. Jadi ada pula emas dalam Rimba Mangkisi itu?"
" Ya, ada. Tu' Layau menerangkan bawa zaman dahulu tambang emas itu pernah juga dusahakan oleh orang Belanda. Kabarnya banyak juga hasilnya. Kemudian tambang itu ditinggalkan begitu saja. Kita tak tahu apa sebabnya. Jadi dengan cara sederhana kita dapat melombong emas itu dan mengeluarkan hasilnya." "Nah, kan etul juga kataku. Paling kurang tidak dapat kekayaan, akan dapat juga pengalaman merantau kenegeri orang itu Kalau tidak akan timbul kesadaran bahwa dinegeri kita ini ada juga terpendam harta kekayaan dalam bumi. Tinggal kita mengusahakan saja.
Jadi entu kamu tidak dapat membantu abangmu, bukan?"
"Memang tidak, kak. Mengempa gambir itu sangat berat kerjanya Pagi-pagi memetik daun gambir yang akan dikempa Daunnya dijemur dulu. Kemudian direbus Baru daunnya itu dibungkus dan kemudian diapit dalam kempahan, lalu bajinya ditokok. Menokok baji itu saja minta ampun, kak. Rasanya umur bertambah pendek. Kakak bayangkan penokoknya itu saja hampir 40 kilo beratnya. Belum lagi badan berubah corak, sebagai warna gambir itu pula
Dan saya rasa abang takkan mau juga dikawani di ladang itu. Ada suatu rahasianya."
" Mungkin kau benar Barani. Jadi kapan tambang itu akan dibuka? Kalau sudah ada hasilnya beri aku agak sebuah- cincin nanti yaaa?"
Sibarani ketawa.
"Nanti saya buatkan kakak sebuah kalung sebesar tinju..."
Keduanya tertawa pula.
"Tetapi kau harus menemui abangmu Barani."
"Tentu saja, kak. Setelah saya menemui Tu' Layau dan Intan saya akan pergi kepada abang di ladangnya."
"Kau tabu tempatnya?"
"Masa saya tidak tahu. Setiap solok dan biding bukit dalam Rimba Mangkisi itu saya kenali baik-baik. Saya 'kan bekas perimba, kak."
"Nah, tunggulah saya bertanak dulu, yaa? Makan disini saja."
"Tak usab kak. Hari ini juga saya kan menemui Tu' Layau."
Setelah menitipkan bag-nya Sibarani turun kembali.
Adapun yang dipanggilkan abang oleh Sibarani itu ialah Tu' Atin yang membuat ladang dekat Subayang. Dan yang dipanggilkannya kakak itu ialah Tina isteri Tu' Atin. Sibarani ialah adik kandung Tu' Atin. *)
.///.
*). Bacalah: "Misteri Rimba Mangkisi."